“Kemarin aku menonton film action bersama Michael . Keren banget! Ceritanya tentang mafia dan penjahat-penjahat yang saling berburu. Pemeran utamanya juga sangat tampan!"
"Lalu, bagaimana dengan Michael ?"
"Di film action itu banyak adegan pembunuhan, jadi aku berpura-pura takut saja agar bisa memeluknya. Hehe!"
"Huuu! Dasar udang di balik batu!"
"Hehehe. Namanya juga kesempatan. Kapan lagi aku bisa dipeluk sama Michael? Betul, tidak, Cassie?"
"Cassie?"
"Hei, Cassandra!"
"Hah??"
Cassandra terbangun dari lamunannya ketika mendengar Lily dan Janeth memanggil-manggil namanya. Sesungguhnya, sayup-sayup dia mendengarkan obrolan dua teman karibnya. Namun, gadis itu terlarut dalam lamunan tentang kejadian beberapa hari yang lalu saat di rumah sakit.
Ah, seandainya dua temannya ini tahu bahwa dia pernah mengalami hal mengerikan yang mereka bicarakan itu secara langsung.
Bahkan Cassandra melakukan kontak langsung dengan para penjahat seperti yang mereka obrolkan, mungkin dua temannya itu akan mati berdiri mendengarnya.
Gila saja, Cassie sepertinya sudah tidak waras karena telah berciuman dengan seorang pembunuh! Tidak hanya sekali saja, dia telah melakukannya dua kali!
Dalam hati, Cassie terus mengutuk sekaligus memberikan pembelaan atas perbuatannya itu. Mengutuk kegilaan yang bisa saja membahayakan nyawanya dan memberikan pembelaan karena hal tersebut wajar saja dilakukan sebab dia sudah ditolong oleh pria itu.
Terlebih lagi, lelaki yang disebut sebagai pembunuh terlatih berdarah dingin itu sangatlah tampan. Kalau Cassie boleh jujur, paras lelaki itu tidak pantas menjadi seorang kriminal, dia seperti seperti pangeran. Jika saja dia tidak memiliki bekas luka di pelipis kanannya, mungkin pria itu akan menjadi aktor atau model terkenal di New York.
Sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi dari ponselnya bersamaan dengan dua teman karib yang sibuk protes karena dia tidak memperhatikan percakapan. Cassie sampai gelagapan sendiri. Bingung antara menjawab pertanyaan Lily dan Janeth atau membuka pesan tersebut terlebih dahulu.
"Tunggu, tunggu. Ada SMS," kata Cassie pada dua temannya itu sambil membuka kunci pada layar ponselnya.
Aldrich
Cassie, aku sedang di jalan
menuju tempat Wendy.
Membaca SMS yang dia terima dari Aldrich, Cassie segera memasukkan ponselnya ke kantong tas dan bangkit dari kursi taman kampus. Gadis itu lagi-lagi berhasil membuat Lily dan Janeth terheran-heran. Kali ini mereka tampak kebingungan dengan sikap Cassandra yang tidak seperti biasanya.
"Girls, aku duluan ya? Ada emergency."
Lily mengerutkan keningnya. "Mau ke mana? Dari kemarin selalu pulang lebih awal.."
"Yup, jangan menggunakan alasan emergency, Cassandra. Memangnya kelasmu sudah selesai? Kami tidak menerima jasa penitipan nama di daftar presensi," timpal Janeth.
Cassie menghela sejenak sebelum mulai menjelaskan pada teman-temannya. "Hei, kalian para perempuan tak pengertian, dengar. Tetanggaku sedang sakit. Lebih tepatnya, dia sedang mengalami traumatis. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Sejak pulang dari kantor, dia tiba-tiba pingsan."
"Aku takut, kemungkinan terburuknya dia dirundungi oleh teman kerjanya. Kasihan, dia tinggal di New York seorang diri. Orang tuanya berada di Kanada. Besok dia akan pulang. Untung ada salah satu teman kantornya yang bersedia membantu," lanjutnya.
Mata Janeth membulat. "Kanada? Apakah dia tampan?"
"Dia perempuan, bodoh," sahut Cassie kesal. "Lalu, dia juga lahir New York."
"Dirundungi bagaimana? Apa traumanya sangat parah?" Lily terlihat agak sensitif jika mendengar kejahatan sosial tersebut. Dia paling benci hal-hal bersifat tidak berperasaan seperti itu.
"Aku juga kurang mengerti. Dia tidak pernah cerita apapun. Namun, saat di rumah sakit, dokter berkata bahwa kemungkinan besar dia telah menjadi korban kekerasan. Banyak memar di sekitar leher. Seperti bekas cekikan."
"Oh, Tuhan."
Tak dapat dipungkiri, dari respon Janeth dan Lily, dapat dipastikan bahwa mereka pasti sangat ketakutan. Berbeda dengan Cassandra yang nampak biasa-biasa saja.
Gadis itu sudah menyaksikan hal-hal yang lebih mengerikan dibanding hanya bekas cekikan belaka. Melihat mayat yang mati mengenaskan atau tubuh bersimbah darah sudah cukup membuat Cassie kuat. Meskipun gadis berperawakan kurus dan mungil tersebut tetap gemetar dan menggigil jika teringat kenangan itu.
"Kalau begitu, sebaiknya kamu pulang secepatnya, Cassie. Temani tetanggamu itu. Kasihan," kata Lily sedikit memaksa karena rasa khawatir berlebihan.
Janeth mengangguk membenarkan. "Pulanglah. Kamu juga harus berhati-hati, Cassie."
Mendengar pesan dari dua temannya itu, Cassie tidak dapat menahan senyum harunya. Dia melambaikan tangan sembari berlari kecil meninggalkan halaman kampus, menuju halte terdekat.
Langkahnya sedikit tergesa, mengingat sekarang bertepatan dengan waktu makan siang. Beruntung, hari ini dia hanya memiliki kelas pagi, jadi Cassie bisa menemani Wendy lebih lama.
Dalam perjalanan, Cassie masih mencerna apa yang terjadi pada Wendy. Bisa-bisanya perempuan dengan senyum ceria nan manis itu mengalami hal semengerikan itu hingga membuatnya trauma berat.
Bayangkan saja, Wendy sampai-sampai tidak ingin berangkat ke kantor untuk masuk kerja. Bahkan untuk menyalakan ponselnya saja dia ketakutan. Selama beberapa hari ini, Wendy hanya meminjam ponsel Cassie untuk menghubungi orang tua dan Aldrich.
Cassie teringat dengan malam terakhir ketika Wendy pulang kerja. Tetangganya itu tidak mengenakan pakaian kantornya yang selalu terlihat rapi, melainkan sebuah mantel besar berwarna hitam, tanpa alas kaki, dan diantar oleh seorang laki-laki. Laki-laki yang mengantarnya juga bukan Aldrich. Cassie tidak mengenalinya.
Ah, memikirkan masalah tetangganya itu membuat Cassie semakin pusing saja.
Dia hanya berharap Wendy akan segera sehat dan ceria seperti pertama kali mereka bertemu. Mungkin Cassie akan merindukan Wendy meskipun baru mengenal kurang dari satu bulan ini.
Gadis itu selalu menginginkan sosok kakak perempuan yang sangat pengertian. Sepertinya Cassie memang harus menabung agar bisa menyusul Wendy ke Kanada nanti.
Bis yang Cassie tumpangi sudah tiba di halte yang tak jauh dari lingkungan gedung tempat tinggalnya. Gadis itu melangkah terburu-buru. Hampir setengah berlari. Takut Wendy semakin sakit dan kondisnya memburuk.
Biasanya, Aldrich akan tiba lima belas menit setelah Cassie menerima SMS. Perkiraannya tepat. Dari kejauhan, Cassie melihat mobil Aldrich sudah terparkir di depan gedung. Gadis itu berlari kecil untuk menghampirinya.
"Aldrich ," sapa Cassie sedikit tersengal.
"Maaf, aku tidak sempat beli makan siang Wendy-. Aku langsung pulang setelah menerima pesanmu."
Seperti biasa, Aldrich tersenyum renyah pada Cassie. "tidak apa-apa, Cassie. Aku sudah membawanya." Dia memamerkan dua kantung plastik yang tentu saja berisi makanan.
Cassie menghela napas lega. "Syukurlah, kalau begitu. Ayo, kita ke atas."
"Tidak perlu, Cassie. Aku hanya sebentar," cegat Aldrich. "Ah, ya! Apa kamu bisa membantuku? Temanku menunggu di tempat parkir. Tadi dia bertanya di mana toserba terdekat. Apa kamu bisa menunjukkan jalan padanya?"
Kedua alis Cassie terangkat. Teman? Cassie tidak pernah melihat Aldrich datang ke sini bersama temannya.
Dari kejauhan, dia melihat seseorang dengan pakaian formal serba hitam bersandar membelakangi badan mobil.
"Tolong ya," kata Aldrich, lalu meninggalkan Cassie.
Sepeninggal Aldrich, entah mengapa, Cassie merasa ada yang aneh. Firasatnya mengatakan bahwa orang yang berdiri membelakanginya itu nampak sangat familiar.
Akan tetapi, Cassie cepat-cepat menggeleng dan mengusir firasat tersebut. Cewek itu memasang senyum termanisnya dan berjalan ke arah mobil yang sering digunakan Aldrich.
"Permisi, temannya Aldrich ya?" Cassie menyentuh lengan pria itu dengan ujung telunjuknya. "Aldrich meminta saya untuk menunjukkan jalannya. tidak jauh, hanyaㅡ"
DEG!
Cassandra tersentak kala menyadari siapa pria yang Aldrich sebut sebagai temannya itu. Dia adalah Jordan Jeon. Pria itu berbalik dari posisinya dan memperhatikan Cassie dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Gadis itu pun baru ingat cara untuk bernapas ketika Jeon berdiri menjulang tinggi tepat di hadapannya. Gadis itu hampir terperanjat, namun tetap berada di posisi. Matanya mengerjap, seolah tak yakin dengan apa yang ditemuinya.
Kali ini Cassie tidak mengkhayal. Pria itu benar-benar nyata karena sekarang terjadi kontak fisik di antara mereka.
Pipi kiri Cassie ditarik oleh dua jari milik pria yang dia kenali sebagai pembunuh berdarah dingin itu. Ya, Jordan Jeon mencubit pipinya. Tidak keras, tetapi jika dilakukan dalam waktu yang cukup lama bisa membuat pipi Cassie bengkak sebelah.
"Kita bertemu lagi, Cassandra."
¤¤¤¤