Lima

899 Kata
Hingga detik ini, Cassie belum menyentuh makanan yang ada di permukaan piring. Matanya terpaku pada pemandangan yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Terlalu takjub dengan aktivitas yang sebenarnya biasa saja bagi orang lain, bagi dirinya juga. Akan tetapi, mengingat siapa sesungguhnya pria yang duduk di depan Cassie ini, semua orang pasti akan lari terbirit-b***t.   Di tangan pria itu adalah burger ketiga yang tersedia. Jordan Jeon mengisi perutnya dengan sangat lahap. Dia juga sudah menghabiskan satu gelas besar soda dan satu porsi kentang goreng ukuran besar. Pria muda itu baru tersadar akan ekspresi Cassie ketika dia melihat kedua manik matanya. Jeon urung melanjutkan acara makan siangnya. Dia menaruh kembali burger tersebut dan menatap gadis yang sedari tadi memperhatikannya.   "Kenapa? Makanlah."   Cassie salah tingkah. Dia mengangguk cepat, meraih soda dingin dan meminumnya. Saking tergesa-gesanya, dia sampai tersedak. Rasanya minuman yang dia teguk tadi tersesat masuk ke saluran pernapasan, membuat hidungnya sesak. Gadis itu terbatuk-batuk.   "Minumlah yang benar."   Gadis itu tidak mengindahkan apa yang diucapkan Jordan Jeon. Dia sibuk menutupi mulut dan hidungnya dengan tisu. Tanpa diduga, pria yang tadinya duduk di hadapannya sudah berpindah tempat. Jeon mengusap-usap punggung Cassie pelan.   "Bagaimana aku bisa makan dan minum dengan benar kalau orang yang duduk di depan aku itu kamu," gumam Cassie dengan volume suara terkecil.   Sebagai seseorang yang terlatih dalam gelapnya dunia underground, tentu saja Jeon mendengar keluhan itu. Namun, dia lebih memilih untuk diam saja dan menyunggingkan sebuah seringaian tipis. Jeon pun memutuskan untuk kembali ke kursinya dan mulai menyantap burger ketiga yang sempat tertunda tadi setelah batuk Cassie mereda.   Tiba-tiba ponsel dalam saku jas hitamnya bergetar hebat. Pria muda itu terpaksa meletakkan makanannya ke piring. Ah, baru sekali gigit acara makan siangnya tertunda lagi. Setelah melihat nama si penelepon, Jeon berdecak kesal dan mengangkatnya.   "Apa?"   Uh, galak sekali, batin Cassie.   Dari seberang, Cassie memang tidak mendengar suara apapun. Namun, dari ekspresi Jeon, entah mengapa cewek itu merasakan bahwa telepon tersebut membawa kabar yang kurang baik. Ekspresi Jeon yang awalnya terlihat santai berubah menjadi sedikit kaku dan serius.   "Di mana kamu, Jeon? Kami sudah menemukan dalang penyerangan itu."   Jordan Jeon berhenti mengunyah, lalu menelan kasar makanannya sebelum balik bertanya, "Siapa?"   "Aku akan mengirimkan e-mail."   "Baiklah."   Koneksi pun diputuskan. Pria muda itu memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya, lalu kembali melanjutkan aktivitas mengisi perutnya.   "Kenapa?" tanya Jeon.   Cassie mengernyit. "Kenapa apanya?" Gadis itu bertanya balik. Suaranya kecil sekali.   "Kenapa tidak makan? tidak suka?"   Jeon menopang dagu dengan tangan kirinya yang bebas. Menatap perempuan di hadapannya lebih cermat, membuat Cassie menurunkan pandangan matanya.   "Bukan begitu," cicitnya.   Pria itu berdeham, lalu merapikan setelan jas serba hitam yang terlihat mewah dan sangat rapi itu. "Harusnya kamu menemaniku makan sekarang."   Cassie menarik napas dalam-dalam dan menyahut pelan, "Bukannya aku memang sedang menemanimu?."   "Kalau begitu, jangan hanya menatapku saja."   "Entahlah, seleraku hilang," jujur Cassie.   "tidak berselera?"   Cassie mengangguk.   Lama-kelamaan, rasa takut terhadap Jordan Jeon semakin menipis. Sekarang gadis itu lebih berani membalas tiap ucapannya. Kenyataan tersebut sesungguhnya agak membingungkan.   Jika beberapa saat yang lalu dia takut membuat Jordan Jeon yang harus digarisbawahi merupakan seorang pembunuh brutal itu marah, obrolan mereka justru membuat Cassie merasa aman dan sedikit lebih nyaman.   Mungkin karena mereka sedang berada di tempat umum. Apabila Jeon mencoba membunuhnya, saksinya terlalu banyak. Lain cerita kalau situasinya seperti pertama kali mereka bertemu, Cassie bisa mati berdiri saking takutnya.   Hal yang sama juga terjadi pada Jordan Jeon. Pria muda itu semakin lama semakin tertarik dengan segala sesuatu tentang gadis itu. Namun, setelah menyelidiki profil pribadinya, Jeon sedikit menyesal. Sejak pertemuan kedua mereka di rumah sakit itu, yang terus-menerus mengisi kepalanya adalah paras gadis tersebut.   Satu yang membuatnya penasaran, Cassandra tidak pernah tersenyum di depan Jordan Jeon. Setidaknya belum. Dia hanya melihat senyum manis itu lewat foto-foto yang diunggah ke media sosial. Untuk melihatnya secara langsung? Nihil.   "Tadi kamu gemetaran menahan lapar, dan sekarang kamu tidak selera. Jadi, apa maumu sebenarnya?"   Bagaimana tidak gemetaran kalau di hadapanmu sekarang sedang duduk seorang pembunuh sadis dan berdarah dingin yang asyik mengunyah makanan dengan sangat lahap? Ditambah lagi, kamu belum makan siang, perut sudah pasti meluncurkan aksi demo meminta agar segera diisi. Lapar dan takut. Sudah cukup jelas sebagai alasan Cassie untuk berdiam kaku saja.   "Aku mau pulang."   Percakapan ini dilakukan dengan volume suara yang rendah. Mungkin orang-orang mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Kenyataannya? Mengerikan bagi Cassie.   Jeon mengangguk dan berhasil membuat Cassie terlihat sedikit lega.   "Aku akan mengantarkan pulang setelah tugasku selesai."   Pernyataan itu membuat kening Cassie mengerut. Tugas? Gadis itu benar-benar tidak mengerti.   "Aku perlu makan yang banyak. Sudah lama tidak olahraga."   Hah?   Cassie benar-benar tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dimaksudkan oleh Jeon. Tetapi, dia berani tidak bertanya lebih lanjut.   Gadis itu diam-diam mencomot kentang goreng dan menemani Jeon makan siang. Sedangkan pria itu, dia menyadari bahwa Cassie sudah tidak terlalu tegang seperti sebelumnya. Dia tersenyum sekilas lalu menggigit burger ketiganya tadi dengan lahap.   Sudah beberapa hari dia beristirahat pasca penyerangan yang dilakukan para pembelot Triptych. Dia rindu dengan tugasnya. Tugas untuk mengeksekusi kelompok-kelompok yang tidak mengikuti kesepakatan paten dari Triptych. Tugas yang mungkin akan membuat Cassie lagi-lagi kabur dari sorotannya.   "Umm, memangnya kamu gym di mana?"   Pertanyaan Cassie benar-benar menguji Jeon untuk tidak terbahak. Dia pikir olahraga yang dimaksud adalah olahraga angkat besi seperti lelaki umum lakukan biasanya.   Pria muda itu terkekeh di bawah napasnya. Senyum lebar membuat deretan gigi Jeon yang rapi dipamerkan. Cassie pun tertegun menatapnya, antara kaget dan terpesona.   ¤¤¤¤  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN