Enam

1990 Kata
Telapak tangannya terasa lembab karena keringat dingin. Napasnya tidak beraturan. Jantung berdetak berkali-kali lebih cepat dari biasanya. Gugup setengah mati.   Mobil hitam keluaran Jerman yang dia tumpangi kini memasuki jalan dengan penerangan minim. Cassie yakin sekali, sekarang dia sudah keluar dari lajur kota dan memasuki daerah yang benar-benar tidak dikenal.   Setelah makan siang itu, Jeon meminta Cassie untuk menunggunya sebentar di sebuah halte. Jujur saja, sebenarnya Cassie sempat ragu untuk menuruti kehendaknya. Kalau bisa, dia memilih untuk menaiki bis, lalu pulang.    Akan tetapi, jika dia pulang dan tidak memenuhi permintaan Jeon, kira-kira konsekuensi apa yang akan dia terima? Mengingat pria itu adalah seorang kriminal, Cassie sendiri merinding dibuatnya. Lagi, apabila jika Cassie mengikuti apa yang diinginkan Jeon, apakah nantinya dia akan baik-baik saja?   Gadis itu benar-benar dilema dan tidak mempunyai daya apapun. Maka, dengan segala doa yang dia panjatkan, Cassie memilih opsi kedua. Menunggu Jordan Jeon di sana dan berharap nantinya dia akan aman meskipun sumber bahaya ada di depan matanya.   Siapa yang menyangka, setelah menunggu di halte sekitar kurang-lebih lima belas menit, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Jordan Jeon, dengan kendaraan mewah tersebut, berhasil membuat calon penumpang bis dan pejalan kaki di sekitar halte tercengang. Pria itu menyuruh Cassie untuk segera naik, duduk di kursi penumpang, di sampingnya.   Kini, Cassie duduk diam dengan kedua tangan yang meremas kuat tali sabuk pengaman, memperhatikan kesunyian lingkungan tempat mereka berada. Bersama kegelapan yang mencekam relung hati gadis berperawakan mungil tersebut.   "Ini di mana?" cicit Cassie akhirnya setelah sekian lama duduk diam.   Jeon tidak segera menjawab. Dia sangat fokus pada jalan gelap yang hanya diterangi oleh sinar rembulan.   "Ju-Jeon?"   Pria itu mempercepat laju mobil yang dia kemudikan. Tidak peduli dengan jalan yang tidak terlalu mulus. Membuat tubuh Cassie ikut tersentak ketika ban mobil melindas lubang yang besar.   Cengkraman kedua tangan Cassie semakin kuat. Gadis itu semakin panik namun tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dia lebih memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat-rapat.   Terbersit di kepala Cassie, sepertinya Jeon akan menghabisinya di antah-berantah nan gelap gulita ini. Dalam situasi tersebut, siapa yang tidak akan berpikiran negatif seperti Cassandra? Orang yang membawanya ke tempat itu adalah Jordan Jeon. Berbagai kesimpulan menggerogoti batin Cassie, seperti;   Pertama, Jeon sengaja mencarinya agar dapat bertemu lagi dan membunuhnya.   Kedua, pria itu berpura-pura berbaik hati dengan mengajaknya makan siang dan jalan-jalan menggunakan mobil mewah sebagai hadiah perpisahan sebelum mengakhiri riwayatnya.   Ketiga, mayat gadis itu akan dibuang mengenaskan di tempat terpencil itu.   Membayangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, Cassie rasanya ingin sekali menangis. Gadis itu memejamkan matanya. Terlalu takut untuk memperhatikan jalan yang gelap. Apalagi melihat pria di sampingnya itu. Indra penglihatannya terasa panas. Dia menahan air matanya agar tidak terbendung. Sebuah tekad tercetus di batinnya. Setelah mobil berhenti, dia akan kabur sebisa mungkin.   Perkiraannya tepat. Ketika mobil berhenti bergerak, Cassie segera melepas sabuk pengaman, membuka kunci dan pintu, lalu melompat turun dari mobil. Akan tetapi, ketika Cassie hendak berlari, sebuah tangan mencengkam kuat tas selempangnya. Jordan Jeon menariknya dengan sangat kuat sehingga punggung gadis itu menabrak jok yang tadinya dia duduki.   "Mau ke mana?"   "Please, please, please, jangan bunuh aku! Please, aku mohon, jangan bunuh aku! Aku tidak mau mati sekarang! Aku belum siap! Aku bersedia melakukan apapun, sungguh! Jangan sakiti aku. Aku bersumpah, aku tidak pernah dan tidak akan cerita pada siapapun tentang kejadian malam itu. Aku mohon!"   Racauan Cassie membuat Jeon menghela napas berat. Mengosongkan paru-parunya hingga stok udara di dadanya habis sebelum mengisinya kembali. Dia berdecak kesal.   "Tutup pintunya," pinta Jeon tenang.   Masih dengan tangan yang bergetar hebat, Cassie pun memenuhi kehendak pria itu. Dia duduk kaku dengan mata tertuju pada kedua kakinya. Terlalu pengecut untuk menatap Jeon. Pikirannya kalut. Nalurinya selalu berteriak bahwa dia sedang berada dalam bahaya.   Mesin mobil dimatikan. Semuanya gelap total. Hanya cahaya rembulan yang memberikan sepercik daya agar Cassie melihat keadaan sekitar. Sepi, sunyi, senyap.   Gadis itu baru tersadar kalau mobil yang dia tumpangi berhenti di luar badan jalan, bersembunyi di balik pohon besar.   Matilah dia.   Menurut film-film bergenre action thriller, Jordan Jeon pasti akan menyeretnya ke belakang pohon dan membunuhnya. Tapi, yang justru berlangsung justru sebaliknya. Pria itu memintanya untuk tidak keluar dari mobil. Apakah dia akan dibunuh di tempat duduknya?   "Jangan ke mana-mana," kata Jeon sembari menurunkan sandaran kursi kemudi, lalu bergerak ke jok belakang. "Tunggu di sini sekitar, umm, dua puluh menit."   Dia terlihat sibuk melepas setelan jas dan kemejanya, mengganti dengan sebuah jaket kulit hitam. Pria muda itu juga memasangkan sebuah benda kecil di lubang telinganya. Entah apalah itu, Cassie tidak mengerti. Setelah selesai dengan berbagai benda yang tak pernah Cassie lihat sebelumnya, Jeon kembali beringsut ke jok depan dan menatap gadis itu.   "Berikan ponselmu."   Ponsel? Untuk apa pria itu meminta ponselnya?   Walaupun berbagai pertanyaan dengan jawaban tak pasti terus berdatangan, Cassie tetap mengabaikannya dan menurut. Gadis itu mengobrak-abrik isi tas selempangnya dan memberikan benda itu pada Jeon.   "Berapa sandinya?"   Cassie meneguk kasar liurnya dan menjawab dengan suara sedikit bergetar, "Nol, lima, nolㅡ"   "Tiga, sembilan, sembilan?" potong Jeon sembari mengetik sesuatu pada ponsel gadis itu. "Tanggal lahir. tidak kreatif."   Cassie diam saja. Dia tak bersuara. Tidak dapat mencerna apa yang sedang terjadi lebih tepatnya.   "Tekan panggilan cepat di angka sembilan jika terjadi hal-hal aneh dan mencurigakan." Jeon mengembalikan ponsel Cassie. "Ingat, jangan ke mana-mana! Tunggu aku di sini, kalau kamu mau aman."   Kemudian dia membuka pintu mobil dan berjalan menjauh meninggalkan mobil dan Cassie yang terkunci di dalamnya. Tenggelam bersama kesunyian dan gelapnya malam dengan sebuah tas ransel yang terlihat kosong tersampir di bahu kirinya. Jeon menekan tombol kecil pada alat yang sudah menyumbat telinganya. Terdengar suara sahabat sekaligus rekan kerjanya.   "Posisi?"   "Dua ratus meter dari lokasi," gumam Jeon sembari memasang sarung tangan hitam terbuat dari kulit yang terselip di kantung belakang celananya. "Bagaimana?"   "Empat orang. Kamu hanya perlu mengambil dua paket. Sisanya bakar saja semuanya. Konfirmasi kembali setelah selesai. Aku akan kirim Jackson untuk pembersihan."   Langkah Jeon semakin cepat setelah penjelasan  Troy berakhir. Dia menuju sebuah gudang bekas pabrik yang menjadi lokasi misi terbarunya.   Ketika dia berada tepat di depan gedung tua itu, Jeon berhenti sesaat. Memejamkan matanya sejenak dan menghirup oksigen sebanyak mungkin sebelum melaksanakan tugasnya malam ini.   Kala selesai dengan ritualnya, Jeon pun membuka pintu yang sedikit terbuka, menandakan bahwa targetnya di dalam sana. Belum ada berkas cahaya yang menerangi ruangan. Lelaki itu terus berjalan dengan tenang mengikuti instingnya.   Tepat di sebelah kirinya terdapat ruangan yang dia yakini adalah tempat sasarannya berada. Tanpa pikir panjang, Jeon membuka pintu ruangan tersebut dengan sekali tendangan. Di hadapannya, ada empat orang yang tengah duduk mengitari sebuah meja bundar.   Jordan Jeon segera berlari ke orang terdekat dari pintu. Pria itu dengan lihai meraih kepala target, memutarnya hingga terdengar suara patahan yang sangat memilukan. Dengan mudah, dia mematahkan leher orang tersebut dalam sekali hentakan, lalu menjatuhkan tubuh itu bersamaan dengan tatapan tajam untuk target selanjutnya.   Kepanikan membuat gaduh ruangan tersebut. Tiga orang yang tersisa masing-masing mengambil senjata dan mengamankan barang selundupannya. Tanpa membuang waktu, Jordan Jeon bergerak cepat masuk ke kolong meja, menendang kaki targetnya dari arah berlawanan hingga engsel lutut kaki orang tersebut lepas dan tubuhnya pun limbung begitu saja.   Suara tembakan terdengar. Peluru menembus meja yang menjadi akses teraman bagi Jeon meraih targetnya. Pria berambut gelap tersebut menarik tubuh target keduanya dan memberikan beberapa bogeman pada titik-titik yang mampu menyebabkan kelumpuhan. Orang itu mengerang hebat dan kini Jeon menggunakan tubuh tersebut sebagai tameng bagi peluru yang melesat, tertuju padanya.   Satu tembakan mengenai leher bagian belakang tamengnya, menyebabkan cipratan darah pada sisi wajah Jeon serta jaket kulitnya. Beruntung, tubuh orang yang tamengnya itu lebih besar dari Jordan Jeon dan peluru tidak tembus.    Untuk kali ini, Jeon tidak mau membuang banyak waktu. Seseorang sedang menunggunya. Dia mengambil sebuah pistol dan membalas baku tembak yang terus meluncur ke arahnya.   Jeon tidak serta-merta menembak target ketiganya di titik mematikan. Dia memulai dari kaki, bahu, dan lengan sehingga dua orang yang tersisa itu tak mampu melakukan apapun selain berteriak kesakitan. Semua dilakukan dengan sangat mudah. Sangat terlatih dan berpengalaman.   Keturunan terakhir keluarga Jeon itu mendorong tubuh target keduanya yang sudah tak bernyawa. Dia menghela napas dan berjalan mendekati dua kotak di atas meja. Tak berminat mendengarkan erangan mereka, pemuda itu lebih tertarik pada kotak-kotak tadi dan menemukan apa yang sesungguhnya dicari.   "Siapa dari kalian berdua yang menyerangku kemarin?"   Pertanyaan Jeon membuat dua orang yang merintih kesakitan itu bergidik ngeri. Salah satunya cepat-cepat menggeleng.   "Bukan saya!" elaknya, lalu menunjuk rekannya. "Dia! Ini salah satunya dan yang lainnya sudah kau bunuh!"   Jeon mengikuti arah yang ditunjuk orang tersebut. Target pertamanya adalah salah satu penembak yang menyerangnya beberapa hari yang lalu. Kemudian, dia beralih pada pelaku kedua yang masih merintih bersama sumpah serapah atas kebodohan komplotannya tersebut.   "Kau punya nyali yang lumayan," gumam Jeon. Dia menyisihkan kantong-kantong berisi serbuk salju yang diminta oleh  Troy. "Tapi sayang, aku masih hidup."   "Sampah biadab! Kalian membunuh saudaraku, b*****t!"   Jeon mengangkat sebelah alisnya. "Saudara yang mana?" Dia mengambil sebuah pisau cutter yang ada di meja dan mendekati orang itu.   "Kau salah target. Aku tidak pernah mengikuti eksekusi itu." Perlahan, dia mengeluarkan mata pisau itu dan melanjutkan, "Atau kau ingin merasakan apa yang  Troy lakukan ke saudaramu?"   Senyum sinis Jeon membuat orang itu merinding. Belum lagi pertanyaannya yang berbunyi, "Kau ingin bagian mana yang lebih dulu? Atas atau bawah?"   "b******n!" maki pria itu.   Jeon tertawa dengan nada yang sangat mengerikan. "Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berbincang lebih lama."   Kemudian dia menancapkan pisau cutter tersebut di organ vital orang itu dan menambahkan, "Maaf, aku tidak terlalu suka hal-hal sadis seperti yang  Troy lakukan. Lebih cepat selesai, lebih baik."   Setelah erangan memilukan itu menggema, dia cepat-cepat mengeluarkan sebotol bahan bakar dari tasnya, menggantinya dengan berisi salju berharga puluhan juta Won tersebut. Kemudian menyiram asal bahan bakar tersebut ke segala arah, termasuk tubuh-tubuh korbannya.   Sambil membenarkan letak tali ranselnya, Jeon mengambil pemantik dan menyalakannya. Pemantik itu dilempar ke salah satu tubuh yang sudah tak bernyawa dan membakar ruangan tersebut.   Jeon berlari keluar secepatnya sembari melirik jam tangannya. Semuanya tuntas sekitar lima belas menit. Pria itu segera menelpon  Troy dan memberitahukan bahwa tugasnya telah selesai.   Dia masih di sana. Cassandra duduk termenung dengan mata kosong. Jordan Jeon berlari lebih cepat. Dengan napas terhengal, pria itu membuka pintu mobilnya. Dia pikir, Cassie akan kabur atau melarikan diri. Rupanya tidak, gadis itu masih duduk diam menunggunya dengan ekspresi yang tak dapat diartikan.   "Aku pikir kamu sudah pergi," kata Jeon memecah keheningan sembari melempar ransel dan sarung tangannya ke jok belakang.   Suara Jeon membangunkan Cassie dari lamunan. Gadis itu menyahut dengan suara yang sangat pelan, "Aku memang sempat berpikir untuk kabur, tapi sepertinya resiko untuk tersesat lebih mengerikan."   Jeon terkekeh. "Kenapa tidak kabur dengan mobilku saja?"   Gadis itu menunduk. Antara merutuki nasibnya, menyesal dan malu. "Aku tidak bisa mengemudi."   "Bagus." Jeon tersenyum puas dan berhasil membuat Cassie mendongak untuk melihat wajahnya.   "Kenapa?"   Cassie mengerjapkan matanya dua kali. Dalam keremangan malam, dia dapat melihat bulir keringat yang membasahi helaian rambut dan wajah Jordan Jeon, lalu berkata, "Kamu berkeringat."   "Tentu, aku baru selesai olahraga." Pria muda itu cepat-cepat melepas jaketnya yang terkena cipratan darah tadi dan melemparnya ke jok belakang bersama tas tadi.   "Olahraga? Di sini? Memangnya di sekitar sini ada tempat gym? Di lingkungan seperti ini? Sedari tadi aku tidak melihat satu rumah pun."   Jeon tidak menjawab pertanyaan beruntun dari Cassie. Dia menggelengkan kepalanya dengan seringaian lebar sembari menyalakan mesin mobil yang akan membawa mereka menjauh dari lokasi tersebut. Kali ini, dia mengemudi dengan sangat santai. Merasa sangat lega. Terutama karena ada gadis yang kini tanpa dia sadari telah menjadi pusat afeksinya.   Berbeda dengan Cassandra yang tidak mengerti apapun. Gadis itu sepertinya sudah gila. Mungkin dia sudah lupa dengan siapa dia berurusan sekarang.   "Jeon, sudah selesai, kan?" Pria muda itu mengangguk.   "Sekarang mau ke mana? Pulang, kan?"   Jeon menggeleng.   Cassie mengeluh. "Mau apa lagi? Please, aku harus pulang. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah pulang telat. Sebentar lagi, ibuku pasti menelpon. Jadi antarkan saja aku pulang. "   "Malam ini kamu tidak pulang. Katakan pada orang tuamu, malam ini kamu menginap di rumah teman," tandas Jeon dan berhasil membuat Cassie megap-megap.   ¤¤¤¤  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN