Tujuh

2122 Kata
"Umm," Cassie melirik pria di sampingnya sejenak sebelum bertanya, "kita mau ke mana?"   Jordan Jeon tersenyum sekilas saat mendengar gadis itu mengucapkan kata kita. Kita yang berarti merupakan subjek jamak yang terdiri atas aku dan kamu. Sebuah kata yang tidak terlalu berarti, namun terasa berbeda baginya.   Cassie yang mendengar pun refleks menoleh padanya. Matanya berbinar-binar penuh antusias. "Pulang ke rumah?" Namun beberapa detik kemudian dia tersadar. Jalan yang dilalui bukanlah jalan menuju rumahnya. "Tapi ini bukan jalan ke rumahku."   "Siapa yang bilang mau pulang ke rumahmu?"   Gadis itu melotot. "Lalu, mau ke mana?"   Jeon tidak menjawab. Dia memutar kemudi dan memperlambat laju mobil untuk memasuki halaman sebuah gedung apartemen yang berada di jantung kota New York. Bias cahaya dari lampu gedung memberikan Cassie penglihatan yang lebih jelas. Gadis itu baru saja menyadari bahwa terdapat percikan darah pada sebagian wajah Jeon.   Pada detik itu pula sebuah hipotesa tercetus. Jordan Jeon telah melakukan tindak kriminal yang lain. Jangan bilang kalau beberapa saat lalu, di tempat asing nan menyeramkan itu, Jordan Jeon meninggalkan Cassie sendirian di mobil hanya untuk melakukan pembunuhan seperti empat tahun lalu.   Mulut gadis itu terbuka saat menyadari kemungkinan itu, mengingat bagaimana gelagat Jeon.   Olahraga, katanya.   "Jordan Jeon," panggil Cassie tiba-tiba kala pria itu hendak membuka pintu dan turun dari mobilnya.   Pria yang namanya disebut itu membeku seketika. Tak menyangka Cassandra menyebutkan nama lengkapnya. Dia memperhatikan Cassie yang membuka tas dan mengambil beberapa lembar tisu. Jeon pun benar-benar terkejut tatkala tangan Cassie mengarah ke wajahnya. Refleks dia menghindar dan menangkap tangan Cassie sehingga gadis itu tidak dapat menyentuhnya.   "Apa yang kamu lakukan?" tanya Jeon yang terdengar agak dingin.   Cassie tidak kalah kagetnya. Gadis itu sampai terbata-bata. "A-anu, ada da-darah di-di situ. "   "Hah?"   Jeon segera mengarahkan kaca tengah mobil dan mengamati sisi wajahnya. Benar saja, ada bercak darah yang sudah mengering di pipi kanan hingga dagunya. "Oh, iya. Aku lupa membersihkannya," gumamnya.   "Bisakah kamu bersihkan dulu sebelum keluar?" kata Cassie dengan polosnya, membuat Jeon tersenyum sekilas.   "Kenapa? Takut ada yang melihatnya?"   Senyuman itu membuat Cassie tertegun sejenak sebelum membalas, "Kalau ada yang curiga, bagaimana?" Dia menghela napas. "Aku tahu, kamu ke tempat mengerikan tadi bukan untuk olahraga, tetapi justru... "   "Justru apa?" tanya Jeon saat Cassie tiba-tiba berhenti bicara.   Duh, gadis itu keceplosan!   "Pokoknya, kamu sedang melakukan sesuatu yang bisa... Umm... Darah sampai ke wajahmu."   Jeon memalingkan wajahnya. Tidak tahan melihat ekspresi Cassie yang benar-benar lucu dan membuatnya ingin meledakkan tawa saat itu juga. Pria muda itu lebih memilih untuk membuka pintu mobil dan keluar. Dia juga membuka pintu belakang untuk mengambil ransel dan jasnya. Kemudian terkekeh sembari berlari memutari mobilnya dan membukakan pintu untuk Cassie.   Ketika dia meraih gagang dan membuka pintu mobil, pandangan matanya pun bertemu dengan gadis itu. Binar dan cahaya yang merasuk dua manik mata hitam kecoklatan itu membuat Jeon tertegun. Sungguh, teramat indah. Dari alam bawah sadarnya, ratusan kembang api meledak dengan penuh antusias. Sebuah rasa yang tidak pernah Jeon alami sebelumnya, di sepanjang hidupnya.   Cassandra mengedipkan matanya, membuat Jeon tersadar bahwa dia sudah berdiri kaku di tempatnya cukup lama. Dia berdeham canggung lalu berkata, "Turun."   Menuruti perintahnya, gadis itu pun turun dan menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya meremas kuat tali tas selempangnya. Pertanda kalau rasa gugup, canggung dan takutnya masih belum hilang juga. Cassie terkejut setengah mati kala Jeon tiba-tiba meraih lengannya dan menggenggam pergelangan tangannya, lalu berjalan menuju pintu masuk yang tak jauh dari lokasi parkir mobil.   Atmosfer canggung dan kaku mengundang kesunyian, membuat Cassie hanya berdiam diri mengikuti arah ke mana pun Jeon melangkah. Dia juga tidak berani untuk meminta pria itu melepaskan genggaman tangannya. Cassie hanya bisa menatap kosong sisi tubuh Jordan Jeon dari belakang.   "Cassandra."   Gadis itu mengerjapkan matanya dan memfokuskan diri ketika mendengar namanya disebut.   "Ya?" sahutnya.   "Masuklah," kata Jeon. "Mau sampai kapan kamu di sana?"   "Aku sedang berpikir."   Jeon terkekeh. "Nanti saja berpikirnya, masuk dulu."   Perintah itu diucapkan dengan suara selembut mungkin. Melihat gadis manis seperti Cassie, rasanya Jeon tidak akan tega untuk memperlakukannya dengan kasar.   Cassie mengambil langkah masuk ke sebuah unit apartemen yang ternyata sangat luas dan elegan. Tipikal penthouse yang didiami oleh para manusia berkantung tebal. Mau tak mau, gadis dari keluarga sederhana itu terkagum-kagum dibuatnya.   "Wah, ini rumah siapa?"   Jeon tertawa di bawah napasnya tanpa suara. "Rumahku. Di sebelahnya adalah milik Aldrich-," ujarnya seraya melempar asal tas ransel dan melepas jaketnya.   Mata Cassie membulat. "Ah, benar! Kamu mengenal Aldrich ?"   Cassandra baru ingat dengan sebuah fakta mengejutkan bahwa ternyata Jordan Jeon adalah teman dari Aldrich-pria ramah yang menjadi malaikat penolong Wendy. Lelaki yang selalu peduli pada kesehatan Wendy dan berhasil meraih simpati Cassie atas perilakunya yang sangat hangat tersebut. Cassie menyebutnya lelaki idaman.   Oh, siapa yang tidak mengidamkan seorang pria seperti Aldrich?   Namun, ternyata di balik itu semua, siapa yang menyangka kalau rupanya Aldrich berteman sangat baik dengan seorang pembunuh seperti Jordan Jeon? Rasa kagum itu seketika hancur lebur, runtuh dan sirna begitu saja.   Kendati demikian, Cassie juga tidak bisa larut dalam kekecewaan. Faktanya, gadis itu juga tidak terlalu mengenal baik Aldrich, meski mereka sangat sering berkomunikasi. Cassandra juga tidak tahu apapun tentang rahasia pria itu.   "Kenal?" Lagi-lagi Jeon terkekeh. Dia berjalan masuk ke sebuah kamar dan dari dalam sana dia berkata, "Dia sudah seperti saudaraku sendiri."   Cassie terkejut setengah mati. Gadis itu berlari kecil dan menyusul Jeon yang rupanya berada di dalam kamar mandi untuk mencuci bersih darah kering di wajahnya.   "Saudara? Maksudmu..."   Jeon mengangguk, membenarkan. "Maaf jika kenyataan ini membuatmu kecewa, tapi semua adalah kebenaran. Aldrich  lebih mengerikan dari yang kamu kira."   Cassie menelan paksa liurnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa sangat kering sebelum bertanya memastikan satu hal.   "Maksudmu pembunuh?" tanya gadis itu setelah berhasil mengusir rasa gugupnya.   Pertanyaan Cassie membuat Jeon terdiam sejenak, menatap Cassie dari pantulan cermin lalu berbalik.   Pria bermarga Jeon itu meletakkan kembali handuk kecil yang dia ambil dari lemari. Tanpa memperdulikan wajah serta rambutnya yang basah, pria itu mendekati Cassie.   "Sebagian benar." Dia mendongak dan menghela napas sebelum menatap lekat Cassie. "Sudahlah. Jangan membahas hal ini. Kamu tidak capek?"   Cassie belum sadar bahwa tangan kanan Jeon sudah mendarat di atas kepalanya. Hingga ketika dia merasakan sebuah belaian lembut di rambutnya, baru gadis itu berkata, "Ng-tidak terlalu. Apa yang kamu lakukan?"   "tidak ada." Jeon tersenyum sekilas. "Hanya ingin melihatmu dalam jarak ini. Keberatan?"   Gadis mungil itu salah tingkah. Jeon merundukkan tubuh hingga wajahnya terasa sangat dekat. Bahkan hembusan napasnya sampai menerpa permukaan wajah Cassie.   "Bu-bukan begitu," cicit Cassie ciut.   "Kalau begini?"   Oh, Tuhan.   Jeon memiringkan wajahnya. Diam-diam, jemarinya bergerak merayap ke tengkuk Cassie, menahan agar gadis itu tidak mundur lagi.   Seketika, jarak pun menghilang begitu saja saat Jordan Jeon menyentuhkan permukaan bibirnya ke bibir mungil nan ranum gadis itu. Mengecupnya dengan sangat lembut, membuat Cassie yang awalnya terbelalak perlahan ikut memejamkan matanya.   Suara kecupan mesra dan deru napas keduanya mengisi indra pendengaran masing-masing. Menjadi simfoni atas hasrat yang tiba-tiba datang dan membuai mereka ke jalan yang lebih gelap namun penuh akan keindahan.   "Ummh."   Lenguhan gadis itu membuat Jeon memperdalam ciumannya.   Cassandra seolah-olah dibuat melayang menuju khayangan. Meskipun titikan air dari ujung helai rambut Jeon ikut membasahi wajahnya, gadis itu sepertinya sudah tidak terlalu peduli. Kedua kakinya memang masih menginjak bumi, namun jiwanya terbang tak tahu arah.   Tak jauh berbeda dengan Jordan Jeon yang kini sudah mulai kehilangan akal sehat. Lelaki muda itu merasa tubuhnya seperti merasakan sebuah energi yang benar-benar membuatnya hidup. Semakin erat dekapan dan lembutnya belaian yang dia lakukan, semakin kuat pula daya yang belum pernah dia rasakan seumur hidupnya itu.   "Jeon."   Gadis itu melepaskan kedua tangannya dan menghentikan gerakan Jeon yang semakin berani. Dia menahan tangan kanan Jeon yang ternyata telah bergerilya di bawah kaosnya.   "Hm?"   Cassie mengatur napas dan degup jantungnya. "Kamu harus mandi."   Jeon menyeringai sesaat sebelum mengangguk kecil. Dia tidak bergerak dari posisinya dan melingkarkan kedua lengannya untuk merengkuh gadis itu.   "Mandi bersama?"   Cassie melotot dan refleks mendorong tubuh Jeon. "Apa kamu sudah gila?" ucapnya salah tingkah. Kemudian beranjak menjauh dari ambang pintu toilet dengan d**a yang berdebar-debar.   ¤¤¤¤     Cahaya terang mengusik tidur lelapnya. Kesejukan ruangan membuat putri bungsu keluarga Kim itu menarik selimut, mengeratkannya. Dingin sekali, rasanya seperti sedang tidur di musim salju saja. Cassie dengan gusar menendang-nendang selimut lembut nan tebal yang menutupi tubuhnya. Dia memaksakan diri untuk membuka mata dan menggerutu.   Gadis itu bangun dari tempat tidur berukuran sangat besar dan tentunya ini bukanlah ukuran kasur miliknya. Bibirnya bergumam, "Luas sekali."   Ketika matanya terbuka sepenuhnya, Cassie mengedarkan sorotan pandangnya. Jelas saja, dia tidak sedang berada di kamarnya. Gadis itu lantas duduk tegap dengan mata terbelalak. Perlahan, dia memindai ke segala arah. Perabot dan dekorasi kamar yang sangat maskulin dan sophisticated.   Setelah puas mengamati tiap inchi isi kamar, Cassie pun pelan-pelan mengamati dirinya. Dia menahan napas kala melihat pakaian yang dikenakan tubuh mungilnya. Kaos putih polos ukuran besar yang menenggelamkan dirinya.   Cassandra refleks meraba tiap jengkal tubuhnya. Dia bernapas lega ketika merasakan bahwa tidak ada yang aneh dengannya dan berarti dia tidak apa-apa. Gadis itu seketika melompat turun dari kasur saat mendengar suara asing dari luar kamar.   Napasnya tercekat saat teringat di mana keberadaannya. Dia membisikkan seruan kepada dirinya sendiri.   "Astaga! Itu Jordan Jeon!"   Tanpa pikir panjang, Cassie melangkah cepat menjauh dari kasur dengan kaki telanjang. Dia menghampiri pintu kamar tersebut dan pelan-pelan membukanya. Cassie mengintip dari celah pintu.   Ruang tengah unit apartemen yang sangat luas itu terlihat lengang. Padahal beberapa detik yang lalu dia sangat yakin mendengar suara batuk dari sang tuan rumah. Melihat situasi yang sepertinya aman-aman saja, gadis itu pun berjalan keluar dari kamar. Secara insting, kedua kakinya berjalan menuju dapur.   Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika mendengar suara batuk itu lagi. Dan kali ini, Cassie menemukan sumber suara. Jordan Jeon tertidur lelap di atas sofa hitam panjang, di depan televisi di ruang tengah. Gadis itu diam-diam menghela napas lega. Meskipun dia sedang berada di rumah seseorang yang berbahaya sepertinya, setidaknya pria itu tidak melakukan hal-hal gila padanya.   Ah, tunggu! Apakah berciuman juga termasuk hal-hal gila? Cassie sendiri tidak yakin.   Gadis bersurai panjang nan indah itu pelan-pelan mendekati Jeon yang masih memejamkan mata. Dia berjongkok tepat di depannya sehingga wajah mereka berdua sejajar.   Jordan Jeon adalah salah satu manusia yang dianugerahi paras tampan penuh akan keindahan.   Cassie tidak dapat membohongi diri sendiri. Karena pada dasarnya, sejak pertama mereka bertemu. Di malam mengerikan itu, Cassie mengakui bahwa Jordan Jeon sungguhlah menawan. Dia juga tak kuasa untuk memungkiri bahwasanya sejak kejadian itu Cassie merasa dirinya sudah jatuh cinta.   Meskipun ribuan kali pula dia menyangkal dan memohon pada hatinya agar melupakan rasa itu. Dia telah tergoda untuk menautkan perasaannya pada orang yang salah.   Gadis itu menggerakkan jemarinya. Rasa ingin menyentuh wajah tampan itu sangat amat... Sial!   Bunuhlah Cassandra detik itu juga karena Jordan Jeon tiba-tiba membuka matanya!   Pria muda itu terkekeh.   "Ouh! Ada bidadari yang sedang memandangiku," gumamnya sambil bergerak menyentuh d**a bidangnya. Berlagak seolah-olah sedang terkena serangan jantung.   Cassie mendengus, menahan tawa. "Apa-apaan sih!"   "Kenapa? tidak mau dipanggil bidadari?"   Jeon memiringkan badannya agar dapat menatap gadis di sampingnya dengan leluasa, membuat Cassie semakin salah tingkah.   "Tidak, terima kasih." Cassie memutar bola matanya seraya berdiri. "Aku mau pulang. Ada kuliah-eh, eh! Jordan Jeon! Lepaskan!"   Gadis itu mulai menjerit ketika tubuhnya ditarik paksa dan limbung, jatuh ke pelukan Jordan Jeon. Derai tawa mengisi ruang tengah penthouse itu. Kegiatan pagi yang sangat hangat dan tidak pernah Jeon rasakan lagi semenjak peristiwa mengerikan bagi keluarga Jeon.  Salah satu impiannya, satu per satu telah terwujud. ¤¤¤¤   "Lily, hei! Coba lihat di sana! Bukankah itu Cassie?"   Kedua mata Lily sontak mengikuti ke mana arah tangan Janeth menunjuk. Mulutnya terbuka lebar ketika mengetahui objek yang sedari tadi membuat Janeth heboh bukan main.   "Ya Tuhan! Benar, itu Cassie!" pekik Lily. "Dan itu siapa?"   "Yang jelas, itu bukan Gerald ," kata Janeth penuh keyakinan.   Lily mengangguk membenarkan. "Seingatku, Gerald tidak pernah punya motor besar seperti itu!"   "Eh, dia melepas helm!"   "Oh, my God! Dia tampan!"   "Sangat! Astaga, Siapa dia?!"   Mereka tetap memekik dan berseru meskipun motor yang mengantarkan Cassie sudah berlalu. Dua gadis itu pun lantas segera menyambar lengan Cassandra yang menjadi topik utama obrolan heboh mereka hari ini.   "Cassie, Cassandra! Siapa orang yang mengantarmu tadi?"   "Sumpah, dia lebih tampan daripada aktor drama di televisi!"   "Siapa dia, Cassandra?"   "Pacarmu?"   "Pacar? tidak mungkin! Gadis payah seperti Cassie mana mungkin bisa punya pacar setampan itu!"   Cassie melempar tas selempangnya dan melepas jaket kulit hitam kebesaran yang dia kenakan ke pangkuan Lily. Gadis itu membenarkan kaos putih ukuran besar milik Jordan Jeon dan menggelung asal rambut panjangnya, lalu ikut duduk di kursi taman tempat dua temannya bersantai.   "Apakah kalian bisa tenang? Aku perlu bernapas sejenak," kata Cassie sembari menghela udara.   "Cassie, jawab pertanyaanku!" tuntut Janeth dan diamini oleh Lily.   "Orang tadi?"   Dua perempuan manis itu mengangguk antusias. Beberapa detik kemudian mereka menganga lebar setelah mendengar pertanyaan mengejutkan Cassandra yang berbunyi;   "Kalau benar dia adalah pacarku, apa kalian akan percaya?"   ¤¤¤¤
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN