2. Duda Tua, atau Daun Muda?

1386 Kata
"Maaf Bu, saya cuma bercanda." Melihat mimik wajah Arsyila yang cukup serius, Arash segera meminta maaf. Dia tidak menyangka, yang akan menjadi bosnya adalah seorang wanita cantik yang cukup mempesona di matanya. Membuatnya tak menyesal sedikitpun karena telah mengikuti titah sang papa. "Iya, nggak apa-apa," sahut Arsyila, wanita itu tersenyum tipis. "Silakan duduk," pintanya. "Makasih Bu." Arash duduk tepat di hadapan Arsyila. Padahal, dia berniat memperkenalkan dirinya, tapi semua kalimat yang telah disusun rapi di dalam kepalanya kini buyar seketika. "Ehm, begini Bu…. Saya, Arashi." Tanpa menyebutkan nama lengkapnya, Arash memperkenalkan diri. Sebab dia tak ingin rekan dan atasannya ini tahu siapa dia sebenarnya. Meski sebagian petinggi perusahaan sudah tahu siapa Arash, tapi Arash tak ingin lebih banyak lagi yang mengetahui siapa dirinya. Wanita di hadapan Arash masih diam menunggu kelanjutan kalimat perkenalan yang akan lelaki itu ucapkan. "Bu, kenapa saya dilihatin begitu, saya gugup." Arash protes karena tatapan mata Arsyila tak lepas darinya. "Atau Ibu terpesona dengan saya?" Arsyila menyeringai, lalu dia menggeleng. "Maaf ya. Kamu ke ruangan saya mau perkenalan, iya kan? Bisa nggak, jangan buang-buang waktu saya?" Tegas Arsyila. Oh, cantik-cantik galak. Batin Arash. "Saya lulusan S1 Manajemen Bisnis, izinkan saya bergabung di tim ini, saya mohon arahan dan bimbingannya," ucap Arash, dengan ekspresi serius. "Oke, tapi saya minta kamu harus bisa membedakan dan menempatkan diri, di mana kamu harus serius, dan di mana kamu bisa bercanda, paham?" Arsyila masih menatap lelaki muda di hadapannya dengan sorot mata menghujam. Di mata Arsyila, Arash sudah memiliki nilai minus karena sudah berani bercanda padahal belum kenal. Bukannya Arsyila ingin bersikap bossy, tapi dia sadar betapa sulitnya membentuk sebuah tim yang solid dan selalu di pandang baik, oleh para pimpinan perusahaan, terutama pemilik. Arsyila hanya tidak ingin, hanya karena nila setitik rusak s**u sebelanga. Ya, maksudnya, hanya karena bocah tengil yang baru bergabung ini, nama timnya di luar sana bisa jelek. "Siap Bu!" Sahut Arash. "Oke, kamu boleh keluar!" Titah Arsyila. "Tapi saya belum tau nama Ibu." Meski sudah diminta keluar dari ruangan itu, Arash masih betah duduk di sini. Arsyila tidak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya menunjuk pada sebuah papan nama yang tertera namanya, gelar, serta jabatan. Mata Arash tertuju pada papan yang ditunjuk Arsyila. "Arsyila Jelita Puspasari," ucapnya pelan. "Nice name, kayak orangnya." Arsyila terdiam lagi. Benar-benar ini anak. Belum mulai bekerja saja, Arsyila sudah dibuat sakit kepala olehnya. "Udah, kan?" Tanya Arsyila. "Udah Bu." Arash merasa tahu diri pun langsung bangun dari tempatnya. "Oh ya, nanti kamu bagikan nomer hape kamu ke staf yang lain ya? Biar kamu bisa masuk ke WA Grup divisi kita." Arsyila mengingatkan. "Baik Bu, ibu sendiri, nggak butuh nomer saya?" "Sejauh ini belum." Arsyila tersenyum paksa. "Kalau gitu, saya deh yang butuh nomer Ibu, boleh tukaran?" Arash memberikan ponselnya pada Arsyila. Dengan sangat terpaksa Arsyila mengetik nomernya di sana. "Thanks." Arash memberikan senyum manis yang tulus sebelum dia meninggalkan ruangan itu. * "Halo semuanya, perkenalkan saya Arash, saya lulusan S1 Manajemen Bisnis. Senang bertemu dengan Anda semua, semoga kita bisa menjadi rekan yang baik dan bisa bekerja sama.” Berbeda saat dengan bersama Arsyila. Arash justru terlihat lebih tegas saat berkenalan dengan calon rekan-rekannya. Dia ingat kata-kata Papa. Kalau dia harus menunjukkan image yang bagus, selain berniat belajar bisnis dari awal, Arash juga memiliki tugas lain dari sang papa. Yaitu memantau kinerja mereka semua. "Ya, salam kenal juga. Gue Radit, santai aja sama kita-kita di sini, nggak usah kaku. Btw, nggak ada meja kosong sih, soalnya… sejauh ini nggak ada karyawan yang mengundurkan diri, jadi posisi lo mungkin nggak terduga di sini." Benar yang dikatakan Radit, biasanya karyawan baru akan ada karena adanya pergantian, entah yang lama resign atau dikeluarkan oleh perusahaan. Tapi, kehadiran Arash yang tak diduga-duga mengakibatkan lelaki itu tak memiliki posisi meja di sana. Mengenaskan sekali. "Oke. Nggak masalah," sahut Arash santai. "Gue bisa di dalam aja kali ya? Ruangan Bu Arsyila, kayaknya di sudut ruangan beliau ada meja dan kursi kosong." Arash mengangkat kembali macbook harga tiga puluh jutaan yang baru saja dia keluarkan dari tasnya. Dan macbook itu sempat membuat rekan-rekannya sedikit heboh dan bertanya-tanya. "Maaf, Bu Arsyila nggak bisa diganggu." Itu adalah suara Rayna, teman baik Arsyila selama ini. "Ya iya, mana ada bos gabung ruangannya dengan karyawan," timpal Radit lagi. "Kita bisa berbagi meja, atau nanti gue laporin deh ke HRD, biar ada meja tambahan buat lo." Saran Radit. "Nggak usah, nggak apa-apa." Tolak Arash, dengan santainya lelaki itu kembali mengetuk pintu ruangan Arsyila. Setelah tiga kali ketukan, tanpa dipersilakan masuk, Arash langsung menarik handle pintu dan nyelonong masuk ke sana. "Kamu! Kan belum saya pesilakan, kenapa langsung masuk!" Arsyila menggeram kesal, cepat-cepat dia membenahi jilbabnya yang hanya terletak di kepala tanpa pengait di dagu. "Maaf Bu, maaf, saya terpaksa." Tanpa bertanya-tanya dulu, Arash langsung duduk di kursi kosong yang dia maksud. "Ngapain kamu di sana?" "Nggak ada tempat untuk saya di luar Bu, ini kan kosong, kayaknya memang ditakdirkan untuk saya." Arash meletakkan barang-barangnya di atas meja. Arsyila mengerjapkan matanya melihat tingkah lelaki itu. Heran, berani sekali dia. "Kata siapa kamu boleh duduk di sana?" "Inisiatif saya Bu, jadi di mana lagi kalau nggak di sini? Cuma di sini yang kosong." Privasi Arsyila terganggu sudah, jika benar lelaki itu akan menetap di sana. Mengusik kesendirian dan ketenangannya selama ini. "Terserah kamu aja deh." * "Sabar aja, mungkin ini ujian buat kamu." Rayna menyuruhnya sabar, setelah dia curhat panjang lebar tentang kekesalannya dengan brondong sinting yang sudah berbuat sesuka hati hari ini. "Nggak tau deh aku harus gimana? Coba kamu cari tau asal usulnya dari mana? Pacarmu kan di bagian personalia, ayo please bantu aku." "Percuma. Sebenarnya Indra juga nggak tau banyak soal dia. Tiba-tiba aja berkasnya udah ada di HRD. Tapi kamu ngerasa nggak sih, kalau dia itu mirip seseorang?" "Iya, aku juga melihatnya kayak nggak asing. Tapi siapa ya?" Mereka berdua saling tatap, tapi tak juga menemukan jawabannya. "Argh! Hilang udah kesempatanku bisa selonjoran di sofa kalau jam istirahat." Arsyila kesal, kebebasannya di ruangan itu terenggut begitu saja. "Tapi kalau aku, jadi kamu sih, bakal betah. Soalnya, ganteng gitu." Rayna tidak menanggapi kekesalan Arsyila. Malah mendukung, dan seakan kehadiran Arash di ruangannya bukanlah sebuah masalah besar yang harus dipusingkan. "Bocah, sih, no ya!" Tolak Arsyila. "Kali aja kalau dia cowok matang, dan lebih dewasa, aku nggak akan nolak, tapi nyatanya… dia anak kemarin sore yang baru tamat S1." "Tapi, mending mana, Ar? Duda tua atau daun muda? Hayo…" goda Rayna. "Please, jangan ingat-ingat masa laluku yang kelam Na. Udah tutup buku dengan masalah itu." Ketus Arsyila. Dia kembali menyandarkan kepalanya di meja kantin. * Seharian ini, Arash sudah mempelajari visi misi perusahaan, juga visi misi divisi marketing. Untuk selanjutnya, dia hanya perlu menunggu instruksi dari bos atau rekannya yang lain. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Arsyila gelisah bolak balik mengintip keluar jendela ruangannya. Hujan masih belum reda, bahkan semakin deras. Terpaksa dia harus menunggu reda, atau jalan satu-satunya, meninggalkan motornya di perusahaan dan dia pulang ke kos-kosannya menggunakan taksi. Selama dua tahun menjabat sebagai manajer pemasaran, Arsyila memang mendapat gaji yang lumayan. Tapi, dia belum punya keinginan untuk membeli mobil, apalagi dengan cara mencicil. Lebih baik dia kemana-mana menggunakan motor, daripada setiap bulan harus pusing memikirkan cicilan. "Udah jam pulang, kenapa Ibu masih di sini?" Suara Arash kembali terdengar, setelah berjam jam mereka tak saling bicara. "Hujan," sahut Arsyila singkat. "Ibu nggak bawa mobil?" "Saya nggak punya mobil." Tegasnya, sambil masih menatap keluar. Berharap hujan segera reda. Dia kesal sekali dengan keadaan ini, terjebak dengan Arash yang menurutnya luar biasa berani, dan tengil. Sedangkan Rayna? Dia tentu sudah pulang dengan aman, bersama kekasihnya. "Saya udah boleh pulang, atau harus temani Ibu di sini?" Arsyila melirik Arash sekilas, lelaki itu tampak sedang membereskan barang-barangnya. "Atas dasar apa kamu harus temani saya di sini? Pulang ya pulang aja!" "Mau bareng nggak, biar saya antar?" Tawar Arash. "Nggak usah Arash, makasih tawarannya." Arsyila tersenyum tipis, dia menyadari sebenarnya lelaki ini baik. Tapi sikapnya saja yang menyebalkan. "Yakin? Dilihat dari awan mendungnya, hujannya bakalan lama Bu, bisa-bisa sampai pagi." Arsyila tertawa. "Kamu bisa membaca awan dan durasi hujan, kenapa nggak lamar kerja di BMKG aja?" Arash pun tertawa mendapat pertanyaan dari si bos cantik. "Kalau saya lamar kerja di BMKG, saya nggak bisa ketemu Ibu di sini." "Stop bercanda." Wajah Arsyila berubah lagi, jadi serius. Anak ini, pantang dikasih celah, langsung menjadi-jadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN