1. Karyawan Baru

1272 Kata
“Aku baru wisuda kemarin, loh Pa. Kasih waktu istirahat dulu, kenapa? Please. Paling nggak sebulan." Seorang lelaki yang sebentar lagi menginjak usia dua puluh tiga tahun itu, merengek di hadapan sang papa yang kala itu memintanya langsung terjun ke dunia kerja, dunia bisnis yang ditekuni sudah ditekuni papanya sejak puluhan tahun silam. "Nggak bisa, Rash. Papa nggak mau kamu sampai kayak Papa. Semuanya terlambat, dan waktu itu papa juga nggak mulai dari nol. Papa dipercaya sama Opa, langsung jadi pimpinan dan itu tentu membuat Papa pusing, harus banyak belajar sambil bekerja juga. Apalagi, jurusan kuliah papa sama sekali nggak ada kaitannya dengan bisnis." Balas lelaki paruh baya yang sangat mengharapkan anak bungsunya bisa menekuni bisnis, dari awal. Dia adalah Abimana Narendra Roland, sejak usianya dua puluh delapan tahun, Abi menekuni dua profesi sekaligus. Dosen dan pengusaha. "Inilah kesempatan kamu, kamu punya waktu dua bulan untuk bisa sedikit bersantai, sebelum harus menyambung pendidikan S2 mu, Nak. Percayalah, semua yang papa lakuin ini, adalah yang terbaik buat kamu." "Nah, makanya Pa. Mending Arash fokus kuliah magister dulu deh, nanti kalau udah selesai, baru dia terjun ke dunia kerja. Kasihan Pa," timpal Laura, mamanya Arash. "Mama memang paling best. Kiss dulu dong Ma." Arash merasa mendapatkan pembelaan dari mamanya, langsung bangun dari duduknya dan memberi kecupan di pipi sang mama. "Mama bukan belain kamu loh. Cuma supaya kamu bisa fokus aja, mama tau gimana rasanya kuliah sambil kerja itu, memang nyiksa banget." Laura berbagi pengalaman tentang masa lalunya. Abi melirik istrinya sekilas. "Tapi keadaan Mama dulu beda, sayang. Arash kerja bukan untuk mati-matian cari uang. Tapi untuk belajar dan mempraktekkan apa yang udah dia dapatkan selama kuliah. Pokoknya, dengarin Papa ya? Jangan nunda-nunda lagi, oke? Papa udah bicara ke bagian HRD, dan kamu udah terdaftar sebagai karyawan baru di sana, tepatnya di bagian marketing. Dan ingat, selama tiga bulan, status kamu adalah karyawan magang. Papa pingin lihat gimana kinerja kamu selama tiga bulan itu." Sama halnya saat menjadi dosen, Abi juga memberlakukan sikap tegas pada anaknya, tanpa terkecuali. "Udah ngikut aja, Rash." Laura pun akhirnya setuju dengan usul suaminya. "Karyawan magang, Pa? Enggak sekalian aja, dari yang lebih bawah lagi, office boy misalnya." Arash berdecak malas. Tapi mau bagaimapun, dia adalah anak yang penurut. Terbukti saat dia akan memilih jurusan kuliah, Arash tidak menolak dengan permintaan papanya yang menginginkan dia kuliah jurusan Manajemen Bisnis.Tapi untuk kali ini, Arash bukan bermaksud menolak. Hanya saja, dia ingin menunda sebentar. Ingin mengistirahatkan kepalanya yang penat. Kalau istilah anak jaman sekarang, dia ingin healing sebentar saja. Jalan-jalan keluar negeri atau paling tidak, istirahat dan bermalas-malasan di kamar, tanpa aktifitas yang mengejarnya. "Serius kamu mau jadi OB? Papa dukung banget kalau gitu. Sebulan aja, gimana?" Arash pikir, papanya akan tersindir dengan kalimatnya. Tapi justru sang papa malah setuju dan menganggap serius dengan ucapannya itu. "Nggak Pa. Enak aja. Jangan OB, apa kata teman-temanku nanti." "Papa cuma pingin kamu tau, dan bisa merasakan semuanya itu dari bawah. Supaya nantinya kamu nggak salah langkah, dan nggak berbuat semena-mena sama bawahan kamu. Karena tanpa mereka, kita juga nggak akan bisa maju. Jangan menganggap hanya karyawan kita aja yang butuh kita karena pekerjaan. Kita juga pasti butuh mereka, paham?" "Iya Pa, paham. Aku ke kamar dulu, mau isti–" "Kata siapa kamu boleh ke kamar? Mulai hari ini, kamu harus pergi ke kantor. Paling nggak perkenalan lah dengan calon atasan dan rekan-rekan kamu. Lebih cepat lebih bagus. Pergilah!" Pinta Abi dengan tegasnya. Arash memejamkan mata sejenak. Dia baru kemarin merayakan hari wisudanya, bahkan toga yang dia pakai kemarin juga belum dikembalikan ke pihak kampus. Tapi, sang papa bersikeras memintanya pergi ke perusahaan hari ini juga. "Harus hari ini banget, ya Pa? Udah jam sepuluh, sebagai anak baru, aku takut dibully kalau datang jam segini." "Bukan masalah. Lebih baik sedikit terlambat daripada tidak sama sekali, siap-siap sana! Pakai pakaian yang rapi." "Iya Pa…" "Oh ya, yang papa dengar, pegawai di Divisi Marketing itu cantik-cantik loh. Siapa tau kamu bisa makin semangat nanti setelah ketemu mereka–" "Oh, Papa juga nyari info tentang karyawan bagian mana aja yang cantik-cantik, begitu, kah?" Sindir Laura. "Enggak Ma. Itu cuma dapat sekilas informasi, sekadar kabar angin. Biar Arash yang membuktikan, benar atau enggaknya." Sangkal Abi. "Aku nggak ikut-ikutan deh Pa. Ma, kayaknya benar deh, Papa suka nyari info karyawan yang cantik-cantik. Mama harus waspada, jaga Papa baik-baik ya Ma. Aku pernah dengar istilah, tua tua keladi, makin tua makin menjadi." Arash semakin memperkeruh suasana sambil melangkah dengan malas menuju kamarnya untuk bersiap-siap, sesuai titah papanya. "Anak ini! Balas dendam ke Papa ya, kamu?" Arash tak lagi mendengar ocehan Papanya, karena dia sudah menghilang di balik pintu kamar. * "Oalah, ternyata kamu toh, Na." Arsyila kembali duduk bersandar di kursi kebesarannya, setelah melihat siapa yang muncul dari balik pintu setelah diketuk. “Pakai ngetuk pintu segala, kirain siapa." "Masuk ke ruangan atasan, walau kita ini udah temenan, kan tetap harus pakai etika, Ar. Kamu mau tau gosip baru, nggak?" Rayna, teman juga bawahan Arsyila di bagian marketing, duduk di hadapan Arsyilla sambil mengibaskan rambutnya. "Enggak tau, gosip apaan?" "Ada karyawan baru nanti di divisi kita." "Loh, kok bisa? Perasaan kita lagi nggak buka lowongan deh." Arsyila mengernyit. Masalahnya, dia sedikit kurang suka dengan kehadiran orang baru. Dia sudah sangat nyaman dan pas dengan timnya yang sekarang. Ada orang di tim barunya, Arsyila rasa perlu beradaptasi lagi, apalagi jika mendapat anggota tim yang susah diatur. "Ya nggak tau. Jalur orang dalam, kali. Tapi tenang, Ar. Aku tau kamu nggak suka dengan kehadiran orang baru. Dia ini, statusnya masih karyawan magang, masanya tiga bulan. Jadi kalau nanti kinerjanya nggak beres, kamu bisa ngajuin rekomendasi pemutusan kontrak ke HRD. Tapi ingat, nggak boleh semena-mena ya Bu." Rayna menjelaskan panjang lebar. Arsyila masih terdiam sambil memikirkan. "Kamu tau info ini cepat banget, dari mana? Oh iya aku lupa, pacarmu kan ada di bagian personalia." "Nah itu, katanya juga ini anak baru tamat kuliah, kayaknya kita harus ekstra nih ngajarinnya, ekstra sabar pastinya." Arsyila mengangguk singkat. "Ya, semoga aja bisa diajak kerjasama dengan baik. Kamu kan tau, gimana Pak Abi. Setiap kali meeting, beliau selalu bilang kalau divisi kita adalah jantungnya perusahaan. Kalau tim marketingnya bagus dan solid, kemajuan perusahaan ada di tangan kita. Sumpah ya, sebenarnya itu beban banget buat aku." Gadis itu jadi harap-harap cemas, memikirkan anak baru yang akan masuk ke dalam timnya. "Tenang, tenang… kita lihat aja nanti gimana." "Btw, cewek atau cowok?" "Cowok, Ar. Aku udah lihat fotonya, gantengnya Masya Allah. Mirip artis Korea. Namanya siapa ya… nggak sempat lihat namanya, langsung lihat fotonya tadi karena menarik perhatian." Cengir Rayna terlihat, saat dia menjelaskan itu. Tok tok tok Mendengar suara ketukan pintu, Arsyila dan Rayna saling tatap. "Masuk!" Titah Arsyila dari dalam. Tak lama kemudian, Arsyila dan Rayna kembali saling pandang ketika sosok tampan bertubuh tinggi memasuki ruangan itu. Lelaki itu memakai setelan hitam putih, khas penampilan karyawan magang. "Selamat pagi menjelang siang Ibu-ibu." Sapa lelaki itu. Dia adalah Arashi Narendra Roland. Menampilkan senyum terbaiknya. Kata teman-teman kuliahnya yang perempuan, senyum Arash ini adalah jenis senyum pemikat yang bisa mematikan lawan jenis. Menggetarkan hati, Arash sendiri tidak menyangka kalau atasannya ternyata adalah seorang perempuan. "Ya, pagi…" jawab Arsyila. "Bu, saya pamit keluar dulu ya?" Rayna sebenarnya masih betah di sana karena kehadiran berondong tampan di ruangan itu. Tapi mungkin, ada hal penting yang akan karyawan baru itu sampaikan pada Arsyila, maka dia memilih pergi. "Nanti makan siang bareng, ya Na!" Pinta Arsyila, sebelum Rayna menutup pintu. "Oke Bu!" sahut Rayna. "Saya nggak diajak sekalian, Bu?" Kening Arsyila berkerut mendengar kalimat dari lelaki di hadapannya. Baru hari pertama loh. Belum kenalan, belum apa-apa. Berani sekali dia? Dasar Bocah
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN