AWAL
Setelah kecelakaan itu, aku kira aku akan mati dengan tenang. Aku bisa merasakan dengan jelas detak jantungku yang berhenti, napasku yang tercekat, darahku yang mengalir deras dengan bau anyir menyengat, dan perlahan pendengaranku menghilang.
Ya…
Aku hanya ingat suara-suara panik di sekelilingku, orang-orang yang menyebutkan kecelakaan beruntun di tengah kota dan menyerukan agar segera memanggil ambulans.
Aku pikir aku sudah mati dengan tenang, bersama semua kenangan pahit dan pengkhianatan dari tunanganku sendiri.
Tapi...
“Lady... bangunlah. Lady, Anda harus bangun. Kita akan segera tiba di istana.”
Apa ini?
Aku membuka mataku perlahan. Seorang wanita muncul dalam pandanganku, wajahnya jelas menunjukkan kepanikan.
“Lady... saya mohon!”
Kepalaku terasa sangat sakit. Ingatan demi ingatan asing mengalir begitu saja.
Apa yang sedang terjadi?
Kenapa aku...
“Lady, Anda baik-baik saja? Apakah Anda sakit? Wajah Anda begitu pucat.”
“Di mana ini?” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Jiwaku belum sepenuhnya kembali, dan... pemandangan ini, apa sebenarnya?
“Kita di dalam kereta kuda, Lady.”
Mataku membelalak. Jantungku berdegup kencang. Ingatan ini... kenapa tercampur dengan ingatanku sendiri?
“Hiks... saya sangat khawatir. Satu jam yang lalu Anda pingsan, Lady.”
“Clarie?” Aku mengenal nama itu.
“Ya, saya Clarie, Lady.”
Dia adalah Clarie. Pelayan pribadi wanita yang tubuhnya kini aku rasuki. Apa aku benar-benar merasuki tubuh ini? Bahkan neraka pun tak sudi menerima jiwaku?
Aku merasuki salah satu karakter jahat dalam novelnya sendiri—karakter yang akan mati hanya karena terlalu mencintai tokoh utama. Dia dipenggal oleh pujaan hatinya sendiri, demi menyelamatkan cinta pertama sang Putra Mahkota yang tanpa sengaja membunuh salah satu tamu kehormatan kekaisaran.
Karakter ini dikenal karena cintanya yang begitu besar—bahkan terlalu besar. Ia rela menanggung kesalahan orang lain demi kebahagiaan orang yang dicintainya.
Aku sendiri, yang menciptakannya, kadang bingung. Apakah dia benar-benar jahat? Tapi... aku ingat bahwa kematiannya adalah bentuk penebusan dosa atas segala ulahnya.
Ya... nama karakter jahat ini adalah Luisa Montpensier. Putri Duke Montpensier, anak bungsu dari tiga bersaudara.
Aku menggambarkan Luisa sebagai sosok luar biasa cantik—berambut panjang kemerahan dan bermata amber yang menawan. Seorang wanita sempurna yang menggoda, cerdas, dan sangat terkenal di kalangan sosialita ibu kota. Calon Putri Mahkota Kekaisaran, namun dengan karakter yang bengis. Julukannya: ‘si lidah tajam’, musuh utama sepanjang kisah novel ini.
“Lady, tolong katakan sesuatu. Saya sangat khawatir, saya mohon, Lady.”
Mendengar tangis Clarie, aku segera tersadar dari lamunanku.
“Saya baik-baik saja.” Aku berusaha duduk. Aku tidak ingin membuat karakter sampingan ini khawatir. “Jangan menangis, Clarie. Aku tidak mati, dan aku sangat sehat.”
Clarie yang sejak tadi menangis langsung menghapus air matanya. Aku memberinya sapu tangan.
“Lady, saya tidak pantas... sapu tangan Lady akan kotor. Saya hanya pelayan. Maafkan saya, Lady.”
“Gunakan. Ini perintah, Clarie.”
Aku memang penulis novel ini, tapi itu bukan berarti aku juga bisa bersikap sekejam Luisa yang asli.
“Ba-baik, Lady.”
Clarie menurut tanpa protes. Ia menggunakan sapu tangan itu dengan hati-hati.
Hah… bagaimana ini? Kalau aku tahu aku akan merasuki tubuh Luisa setelah mati, aku tidak akan membuat akhir yang tragis baginya.
Putra Mahkota menikahi Luisa bukan karena cinta, tapi karena alasan politik. Semua demi wanita utama novel ini. Bahkan, Putra Mahkota harus menanggung penderitaan karena menikahi wanita yang tidak dia cintai sama sekali.
Sepertinya... Luisa yang asli mendoakanku dengan sumpah serapah karena telah menulis nasib kejam untuknya. Mengerikan. Tapi yah... aku pantas menerimanya. Aku adalah ‘Tuhan’ dalam cerita ini.
“Lady, apakah Anda benar-benar ingin menikah dengan Putra Mahkota? Beliau tidak akan memberikan cinta kepada Anda. Beliau hanya menikahi Anda karena kesepakatan politik.”
Yah... keluarga Duke dikenal menjauhi politik perebutan kekuasaan. Tapi Duke menyetujui pernikahan ini demi Luisa—demi permintaan Luisa sendiri.
Bahkan lebih dari itu, Duke mengancam Putra Mahkota. Jika Luisa tidak dijadikan permaisuri, maka wanita yang dicintai oleh sang pangeran akan berada dalam bahaya.
Aku bisa gila!
Kalau memang harus masuk ke dunia novel, kenapa bukan saat Luisa belum mencintai Putra Mahkota? Pria yang bahkan tidak pernah menatapnya walau Luisa sudah berbuat begitu banyak.
Pria yang tidak menegakkan keadilan, dan malah terlihat puas saat Luisa menggantikan wanita utama yang dituduh membunuh seorang tamu penting kekaisaran.
Kalau dipikir-pikir... Luisa bukan antagonis, kan? Dia hanya mencintai terlalu dalam, dan rela melakukan apa pun demi cinta. Sikapnya yang kejam hanyalah bentuk perlindungan diri dari lingkungan sosial yang kejam.
“Lady, apakah Anda sanggup hidup tanpa cinta dari suami Anda? Saya tahu ini sangat tidak sopan, dan saya mungkin tidak berhak mengatakan ini. Tapi, bagi saya, kebahagiaan Anda adalah segalanya. Saya tidak ingin orang lain menyakiti Anda. Dan pernikahan ini... sangat dipaksakan. Semua orang tahu, Putra Mahkota hanya menikahi Anda untuk mendapatkan dukungan politik dari keluarga Anda.”
Aku mengembuskan napas panjang. Clarie benar. Dan yang bersalah di bagian ini... tentu saja aku.
Aku memaksa Duke menikahkan Luisa demi alur cerita. Aku memanfaatkan kasih sayang ayahnya tanpa rasa bersalah. Bodoh! Kalau mencintai, seharusnya dikejar dengan tulus, bukan dengan intrik politik.
Karakter jahat ini membawa seluruh keluarganya ke jurang neraka!
Oh, Luisa... seberapa besar kebencianmu padaku? Aku yakin kau mengutukku habis-habisan atas nasib kejam yang kutuliskan.
Tapi sekali lagi... aku tak bisa menyalahkan siapa pun. Akulah penulisnya.
“Kita akan ke mana?” tanyaku.
Clarie tampak bingung sejenak. “Hari ini Anda akan menemui Putra Mahkota, Lady. Pernikahan Anda tinggal beberapa hari lagi. Pertemuan ini adalah makan siang yang Anda rencanakan sebulan lalu.”
Ahh… bagian itu, ya. Aku ingat adegan ini. Dan... aku harus mengubahnya. Ini belum hari pernikahan. Masih ada waktu lima hari.
“Baiklah, saya mengerti.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku sendiri yang akan mengubahnya. Revisi mendadak pada karya terkenalku... secara langsung.
Luisa, semoga kau tenang di alam sana. Maafkan ‘Tuhan’-mu ini yang telah memberimu nasib yang sungguh tidak adil.