GILA

1365 Kata
Hari masih begitu buruk sekarang, hujan yang turun deras juga tidak memiliki niat untuk berhenti. Bahkan, suara guntur terdengar begitu nyaring sampai tanah bergetar. Tapi, dibalik cuaca yang buruk itu ada seseorang yang bersyukur lebih dari apa pun. Bukan karena mendapatkan uang atau harta karun, tapi berhasil menghalau kepergian seseorang yang berharga. Dalam hati, orang itu jelas berharap hujan tak akan pernah berhenti, tak peduli sebesar apa banjir yang akan terjadi kelak. Yah, yang pasti dia senang saja sekarang ini. Apalagi ... seseorang yang berada dalam pelukannya begitu manis saat tidur. Rasanya hangat, benar-benar tak bisa dilepaskan begitu saja. Dia ingin sekali menghancurkan segala batas yang ada, tetapi ada banyak hal yang bisa menjadi semakin buruk serta kejam di masa mendatang. Benar, itu adalah Leonite. Pria muda nan tampan yang sangat senang karena hujan deras, pria hangat yang menjadi guling seorang wanita muda dengan rambut merah. Ah ... Dewi Musim Semi sedang tertidur lelap dalam pelukannya. Napas yang teratur itu ingin sekali ia buat memburu kasar karena lelah saat bercinta. Bayangan akan wajah kesal Matthias melayang, membuat hatinya semakin senang. Dia bangga pada keadaan saat berduaan saja dengan Luisa, dan jelas akan semakin bangga jika melihat wajah Matthias yang marah karena cemburu. Bagi ia, Matthias, dan Luisa, hal seperti ini adalah pemandangan biasa saja. Tidak ada rahasia di antara mereka bersaudara. Sikap posesif ia dan Matthias kepada Luisa adalah bukti penyimpangan, tapi mereka jelas tak peduli. Yah, benar. Leonite dan Matthias, mereka mencintai Luisa Montpensier, walau mereka berdua tahu itu hal terlarang. Rasa cinta yang menjadikan mereka sebagai b***k Luisa, perasaan gila yang mendorong perilaku impulsif pada keduanya dengan brutal. Kadang Leonite berpikir. Bagaimana bisa mencintai saudari sedarah dengan sangat menggebu-gebu? Baik dirinya atau pun Matthias sering bicara, mempertanyakan pada diri sendiri tentang sikap menyimpang yang ada. 'Benar ... kami berdua hanya b******n gila yang mencintai Luisa.' Kenyataannya memang sangat memuakkan, tapi itu tak bisa dipungkiri. Mereka menyeret Luisa dalam hubungan kakak beradik yang tidak normal, sejak kecil mereka selalu begitu. Memonopoli Luisa Montpensier, mendepak para pria yang mencintai Luisa sejauh mungkin, dan hanya membuat mereka saja yang bisa berada di samping Luisa. Hingga saat Luisa jatuh cinta dengan sendirinya, mengejar Putra Mahkota yang datang ke pesta kedewasaan Luisa pada tahun lalu. Rasa cinta yang Luisa umbar pada Putra Mahkota membuat Leonite dan Matthias tak bisa berbuat apa pun. Ahhh ... rasanya tak rela jika Luisa harus menghabiskan sisa hidupnya sebagai istri orang lain. Tapi, mereka berdua bisa apa? Yang dicintai adik mereka adalah Putra Mahkota, jabatannya lebih tinggi, dan tak bisa mereka sentuh seperti bangsawan lain. Selain itu, jika Luisa tahu mereka berbuat sesuatu yang buruk pada Putra Mahkota, maka mereka pasti akan dibenci. Ketidakberdayaan membuat kekang leher Leonite dan Matthias semakin kencang, lalu memaksa kedua pria itu menekan rasa cemburu menjadi rasa ikhlas dalam melepaskan. Namun, semua kini berbeda. Luisa tidak lagi menginginkan Putra Mahkota. Benar ... Luisa tidak perlu mencintai siapa pun, hanya perlu dicintai. Hal itu tidak dilakukan oleh Putra Mahkota, dan Luisa kini melepaskan tali kekang yang ingin dipasang pada leher calon kaisar itu. 'Aku bisa gila karena terlalu senang. Bagaimana denganmu, Matthias? Apa kau juga merasakan hal yang sama? Atau bahkan lebih dari rasa senangku?' Leonite menepis lamunan busuknya. Ia yang sudah terbangun dari tidurnya beberapa menit lalu, tidak beranjak dari ranjang karena fokus menikmati pemandangan surgawi di hadapannya dengan sangat bijak. Wajah cantik dengan mata terpejam, terlihat tenang karena mimpi indah menghampiri. Bulu mata yang cukup panjang dan lentik, bibir merah muda yang manis, hidung mancung menggoda yang terlihat bagai pahatan sempurna, alis yang tertata rapi dan juga menawan hati. Leonite yang tak henti-hentinya kagum pada pemandangan di depan mata mengulurkan tangan, ia membelai pipi wanita itu penuh kasih sayang dan serat akan kelembutan. Luisa Montpensier, adik yang ia cintai, jaga, dan yang menjadi obsesi gilanya sejak lama. Wanita musim semi yang menawan, dan satu-satunya wanita yang sangat ia inginkan tapi tak bisa. Jika tidak dikekang oleh status, Leonite sudah lama menyembunyikan Luisa dari pandangan siapa pun. Ia akan menempatkan wanita cantik itu pada posisi paling tinggi dalam hal apa pun. Tapi malang. Nasib mereka harus berakhir menjadi saudara, dan cinta yang besar dalam hatinya harus dikubur dengan aman. Terkadang dia cemburu pada Matthias, karena Luisa juga sangat memerhatikan saudara mereka itu. Tapi, kadang ia juga sangat jengkel pada diri sendiri, bagaikan b******n gila, malah berharap bisa memiliki hubungan yang lebih dari saudara dengan sang adik. Pria itu mengalihkan tatapan, melihat ke arah bibir Luisa yang ia kecup sesaat sebelum mereka tidur. Benda kenyal itu terasa begitu lembut, jika saja ia bisa, dirinya sangat ingin menikmati manisnya bibir tersebut lebih lama. Kadang ia harus bisa menahan diri dengan baik, berusaha tidak mengekang Luisa di bawah tubuhnya. Tapi ... pada saat hasrat sudah sangat membara, ia juga tak bisa menghindari sikap rasional yang ada. Lamunan Leonite buyar dengan cepat, ia merasakan pergerakan tubuh Luisa yang sangat lembut. "Emmmm ...." Suara serak itu terdengar bagai melodi klasik yang indah, menggetarkan hatinya sampai tak bisa berbuat apa-apa. Beruntung saja Luisa tak bangun, jadi ia bisa melanjutkan kegiatannya dalam menikmati keindahan Luisa. Bukankah akan lebih menawan jika tanpa pakaian? Yah, tapi Leonite buru-buru menepis keinginan itu. Dia berteriak dengan sangat nyaring di dalam hatinya. 'Ah ... sial! Aku benar-benar b*****h gila.' Tapi ... dia sangat ingin. Leonite yang gelisah memejamkan mata, berharap hasrat gila nan b******n laknat dalam dirinya segera padam. "Leo, kau, kenapa begitu resah?" Tiba-tiba suara Luisa menggema dengan jelas di telinga Leonite, membuat pria dewasa yang malang itu lekas menatap Luisa yang juga menatapnya. "Kau terlihat tidak baik-baik saja. Ada apa?" "Hanya lelah. Bukan hal yang buruk, dan kau bisa tenang." Leonite memaksakan senyumnya. Akan lebih baik jika Luisa kembali tidur, tidak mengajaknya bicara. "Benarkah?" "Tentu," jawab Leonite sambil membelai rambut Luisa. "Baiklah, aku percaya." Luisa yang terlihat agak gugup membuat Leonite gemas, ia tersenyum dengan lembut. Yah, memang apa lagi yang harus dilakukan? Hanya sentuhan ringan dengan penuh perasaan saja yang bisa diberi. "Hah, hujannya tidak berhenti juga." Keluhan dari bibir manis Luisa hanya ditanggapi dengan tatapan oleh Leonite. Pria itu lantas memeluk Luisa lagi, dan berbaring telentang. Kini, Luisa ada di atas tubuhnya, kedua tangan Leonite juga memeluk pinggangnya posesif. "Leonite!" Luisa kaget, ia membelalakkan matanya sempurna. "A-apa yang kau lakukan?" "Tidak ada. Aku hanya melakukan yang biasa kita lakukan saat berdua," balas Leonite tanpa rasa canggung. Wajah Luisa lagi-lagi memerah, dan Leonite yang melihat hal itu menjadi semakin suka menggodanya. Pria itu membelai lembut pipi Luisa, lalu mengecup bibir manis itu dengan perlahan. Bisa ia rasakan manisnya ciuman mereka, tetapi Luisa belum memberikan balasan. Adiknya masih diam, sejurusnya pun Leonite menggigit perlahan bibir bagian bawah Luisa agar mulutnya sedikit terbuka. Setelah berhasil, Leonite langsung memasukkan lidahnya. Memejamkan mata dan kembali mendalami ciumannya dengan sangat lembut. Tak berapa lama, walau terasa masih canggung, Luisa membalas ciuman itu. Tidak ada tuntutan, mengalir dengan alami seperti sungai dekat vila, lalu berembus perlahan bagai angin ketika hujan. Ciuman mereka pun berhenti, keduanya seakan rakus dengan udara sekitar karena nyaris kehabisan napas. Tapi, pemandangan wajah Luisa yang terengah membuat Leonite semakin ingin melakukan hal lebih. Suasana yang begitu sunyi, sampai pada cahaya remang yang damai. Luisa menatap Leonite, terlihat jelas ada banyak pertanyaan dalam tatapan itu. Sementara Leonite yang melihatnya kembali mencium bibir Luisa, tidak berniat memberi penjelasan. Berbeda dengan yang pertama, Luisa memberontak. Membuat ciuman bibir yang manis itu berakhir, lalu membuang mukanya ke arah lain. "Luisa?" "A-apa yang kau perbuat, Leonite. Ki-kita ... kita tak seharusnya melakukan itu." "Kau lupa?" Suara Leonite bergetar, serat akan kekecewaan yang dalam. "Hah ... yah memang sudah lama kita tidak begini. Setelah kau dan Putra Mahkota bertunangan, kau menjaga jarak dekat kita. Bukan hanya padaku, tapi juga Matthias." "Apa?" Luisa terlihat kaget. "Apa ciuman Putra Mahkota lebih baik dan lembut? Kau melupakanku, ya?" "Tidak! Bukan begitu. Maksudku, apa kita selalu seperti ini?" Leonite memejamkan mata, ia kembali membaringkan Luisa di sampingnya dan memeluk raga itu erat. "Jahat sekali, padahal aku dan Matthias selalu menghangatkan tempat tidurmu dan menjagamu dengan baik selama ini. Sejak jatuh cinta pada Yang Mulia, kau mengabaikan kami dan mengejarnya dengan segala cara." "Ah ... aku hanya, aku hanya merasa agak canggung. Maafkan aku, jika kau mau lagi ayo lanjutkan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN