Pernah suatu ketika, Regan yang saat itu sedang sibuk mengikuti UKM kampusnya itu mengajak bagas untuk keluar makan karena biasanya tu anak nongkrong di sekitar kampus secara teman bagas itu banyak dan dia akrab dengan banyak orang. Tetapi jawabannya bagas itu membuatnya menganga heran. Saat itu ia menelpon bagas,
“gas, lo dimana? Temenin gue makan dong, gue belum makan daritadi.”
“duh sorry gan, gue masih di luar.”
“di luar mana? Luar kampus? Gue samperin.”
“engga, luar kota.” Jawabannya membuat regan terkejut, ya lagian besok dia masih harus kuliah ga libur ko bisa-bisanya udah pergi jalan jalan ke luar kota aja.
“lo keluar kota kemana nyet? Besok lo mau bolos apa gimana? Ip lo udah bener?” regan melontarkan pertanyaan rentetan.
“gue ga ke luar kota jauh kok, ke kota sebelah doang. Jaraknya paling satu jam setengah.”
“lo ngapain emang?”
“Mancing.”
“hah? Mancing? Lo tau tempat mancing dari mana?”
“dari- ‘gas, itu kamu tarik dong, udah ada ikannya tuh nanti lepas lagi.’” Suara yang regan kenal terdengar dari telepon bagas.
“LO MANCING BARENG BAPAK GUE?”
“hehe, iya gan. ‘bentar pah, ini regan nelpon.’” Panggilan bagas kepada papahnya yang secara bapak kandung regan, membuat regan syok. Sejak kapan ni anak jadi anak angkat?
“SEJAK KAPAN LO MANGGIL BAPAK GUE PAPAH CUKK?”
“udah lama sih, papah lo minta dipanggil gue ‘papah aja.’ biar ga canggung banget.”
“kasihin handphone lo ke bokap gue, gu mau ngomong.”
“iya, iya.” Regan lalu menunggu suara berat dari papahnya muncul.
“halo? Iya regan? Ini papah, kenapa?”
“PAPAH SEJAK KAPAN DEKET SAMA SI BAGAS? BAHKA MANCING? DAN MANGGIL PAPAH KAYA AKU?” ucap regan protes, sedangkan pria paruh baya itu tertawa mendengar teriakan protes anaknya yang seakan tidak terima.
“ya ampun, kamu kenapa sih ngegas gitu. Ya kan gapapa, bagas temen deket kamu. Yaudah papah anggap aja bagas anak papa juga.”
“PAH, AKU BAHKAN GA PERNAH DIAJAK PERGI MANCING LO.” Regan protes lagi, seakan tidak terima diperlakukan tidak adil. Dia yang anak kandung tapi merasa jadi anak angka setelah tergantikan oleh bagas.
“apa sih regan? Kan kamu ga sabaran orangnya. Kalo papah ajak kamu mancing, yang ada kamu ngomel-ngomel mulu bikin telinga papah marah. Udah ah, marah-marahnya. Papah mau lanjut mancing sama bagas dulu.”
“aku mau balik, papah harus ajak aku mancing juga. Aku gamau kalah sama bagas, aku yang anak kandung papah bukan dia.” Ucap regan tegas, yang membuat suara berat itu terdengar. Ayah regan tertawa mendengar regan, anaknya sangat posesif.
“iya-iya, terserah kamu. Boleh papah tutup telponnya regan?”
“jangan pah, kasihin bagas aja.”
“yaudah, sebentar ya.” Papahnya sangat halus, ia sangat sabar dan tidak pernah berhenti bersikap manis kepada siapapun. Seumur hidupnya pun dia tidak pernah melihat papahnya itu memarahi mamahnya. Dia tidak pernah melihat orang tuanya berantem, satu kali pun. Entah karena regan yang tidak pernah melihat atau mereka yang terlalu pintar menyembunyikannya. Regan tidak tahu.
“apa gan?” suara bagas yang kini terdengar.
“LO TAI.” u*****n penuh penghayatan terdengar dari suara regan, ia seperti bersungguh-sungguh mengumpati bagas. Ia langsung menutupnya, sebelum mendengar bagas mengumpatinya balik. Bagas yang diumpati seperti itu hanya terdiam,
“yaelah ni anak, bapaknya ngajak gue mancing aja marah-marah.”
“kenapa bagas, regan marah-marah?”
“iya pah, regan ngumpatin aku masa barusan di telpon. Katanya “LO TAI.” “ bagas mengadu kepada papahnya regan, beliau hanya tertawa meresponnya. Kadang bagas merasa sangat tidak adil, kenapa regan yang sifatnya seperti anak setan ternyata mempunyai ayah yang sangat soft macam malaikat yang baru turun dari surga.
Belum sampai disitu aja, Alfan juga pernah mengalami pengalaman yang sama. Sewaktu ia berkumpul bersama teman-teman kayanya, ia sangat bosan. Teman-temannya membahas banyak hal yang tidak ia pahami, perutnya juga sudah lapar. Regan ingin makan rawon, bukan steak mahal yang berada di depannya.
Karna sudah teramat bosan berada di sana, Alfan meminta ijin kepada teman-temannya untuk pulang terlebih dahulu dengan alasan mamahnya ingin mengajak pergi padahal sih engga. Tapi dia kan masih punya adab sopan santun untuk gak nyelonong gitu aja ninggalin acara. Alfan lalu menelpon mamahnya, agak lama sampai nada dering itu berganti dengan nada suara seorang wanita.
“kenapa Al?” alfan jika di rumah memang dipanggil Al, karena ya itu harusnya nama panggilannya sejak dahulu. Salahkan saja regan dan bagas yang enggan memanggil Al dengan alasan namanya terlalu ribet dan ga cocok sama dia, alhasil semua teman teman kampus yang mengenalnya juga ikut ikutan untuk manggil dia Pan.
“mamah dimana?”
“di rumah, kenapa?”
“aku mau rawon.”
“yaudah sini, mamah udah masak rawon kok.”
“kok tumben udah udah? Biasanya harus aku request dulu baru mamah masakin.”
“kan ada yang request lebih dulu.”
“hah siapa?” lalu mamahnya meminta panggilan obrolan mereka menjadi panggilan video, di situlah terpampang nyata sosok tinggi berbadan besar yang masih asik melahap rawon makanan favorit dari mamahnya.
“LO KOK BISA DI RUMAH GUE?!” alfan berteriak spontan yang membuat orang-orang yang berada di jalanan kini menatapnya aneh, alfan langsung meminta maaf dengan nada tidak enak lalu memiliih untuk berlalu menahan lalu. Regan yang melihatnya hanya ketawa ngakak.
“tadi gue belanja di super market, ketemu nyokap lo sendirian. Terus ditawarin suruh mampir bikin rawon bareng.”
“MAMAH KO NGAJAK NI BABON MASAK RAWON SIH?”
“enak aja babon, mahh aku dibilang alpan babon!”
“NYETT GAUSAH MANGGIL MAMAH GUE DENGAN SEBUTAN MAMAH YE!”
“idih, biarin dong. Orang nyokap lo sendiri yang nyuruh, iya ga mahh?”
“iya, al. mamah yang nyuruh regan manggil mamah sama kaya kamu kok.”
“mamah ko gitu si?”
“kenapa si al? lagian temen deket kamu juga gapapa.”
“mamah aku abis ini mau pulang, rawonnya jangan diabisin.” Mamahnya hanya tersenyum, pasalnya rawon yang telah ia masak kini tinggal sisa setengah. Yang lebih tepatnya, masih dimakan oleh regan.
“aduh al, rawonnya sisa setengah mangkok doang.”
“KO BISA?” lalu mamah regan mengarahkan kameranya kepada regan yang masih asik menyantap rawon dengan tentram, tanpa dosa.
“MAMAH AKU GAMAU TAU, AKU MAU MINTA DIMASAKIN RAWON.”
“iya iya. Galak banget.”
“kasihin hpnya ke regan bentar mah.”
“kamu mau ngapain?”
“ga ngapa ngapain mah.”
“beneran ya? Regan jangan dimarahin. Mamah yang ajak dia kesini.”
“iya iya, kasihin ke regan aja mah.”
“halo pann, wasaap napa nihh.” ucap regan santai sambil tengah asik menyantap rawon bikinan mamah regan.
“nyet, deketin ni hp ke kuping lo.” Regan yang sambil makan hanya menurutinya, dia tidak berpikir panjang.
“MULES KOE SESOK MODARO COK!” alfan berteriak dengan sangat bertenaga, suara dari handphone pun memantul sampai terdengar ke telinga mamah regan yang masih mengupas buah di meja dapur depan regan. Regan sontak syok mendengarnya, mamahnya alfan hanya tertawa terbahak bahak mendengar u*****n medok anaknya itu.
“mah, dia nyumpahin aku mules?”
“iya gan.” Jawab mamahnya alfan sambil tertawa geli, pertemanan anak muda sungguh asik sepertinya.
Dan ya benar saja teman-teman, entah karena dendam alfan yang terlalu besar sampai-sampai dikabulkan langsung atau Regan yang tidak sadar jika ia salah makan. Besoknya dia mules, bolak-balik ke kamar mandi hingga wajahnya seperti tak berwarna.
Kejadian itu juga menimpa Bagas, saat ia pulang untuk ke rumah -yang jarang sekali dia pulang- dia sangat terkejut dengan makanan makanan yang ada di meja makan. Bagas sempat terharu sebelumnya
“Mah? Seseneng itu ya anaknya pulang. Sampe dibeliin makanan banyak segini uuuu.” Ucap bagas menggoda mamahnya yang tengah menyiapkan sejumlah makanan di dapur. Saat bagas akan memakan sepotong paha ayam, tangannya langsung dipukul halus oleh mamahnya.
“apasih ma? Bagas mau makan, bagas laper dari tadi juga belum makan. Lagian ini disipin buat bagas juga.” Ucapnya sangat percaya diri.
“idih, siapa yang bilang buat kamu? Idihh.” Cibir mamahnya sendiri.
“lah terus makanan enak sama banyak ini buat siapa kalo bukan buat aku?”
“buat re-“ kalimat mamah bagas terputus karena yang hampir disebut sudah muncul.
“oi gas, udah balik aja lu.”
“REGANN?” yap, regan menyusul bagas dengan mengikutinya diam-diam. Abis bagass ini walaupun keliatan slengekan dia juga gengsi. Secara alfan sudah jelas crazy rich, dan regan yang yahh dia ga bilang si kalo dia kaya tapi tetap keliatan aja dengan rumah gede yang dikasih Cuma Cuma ama orangtuanya dan dia tinggal sendirian dengan fasilitas yang lengkap. Bagas yang hanya orang kampung jadi minder. Tetapi Regan dan Alfan sepertinya sadar akan sikap bagas yang seperti itu, maka dari itu dia diam- diam mengikutinya. ah bukan dia, mereka. Karena alfan juga turut serta berkunjung ke rumah bagas.
“oh gas, udah sampe?” alfan keluar dari kamar bagas dengan santai.
Tindakan mereka berdua yang tidak terduga membuat bagas speechless, mereka tidak bicara banyak tetapi yah. Anak sultan ama anak orang kaya berkunjung ke rumahnya yang ga bagus bagus amat dan yang lebih kagetnya lagi mereka dari kamar dia? Yang ga pernah diberesin? Dan make kaosnya?
Regan dan alfan yang tengah memakai kaos bagas itu juga tidak merasa risih, mereka seperti nyaman nyaman aja tubuhnya ditempelin sejumput kain yang harganya ga nyampe 30 ribu yang dia beli di pasar malem. Apa ga risih mereka make yang harganya segituan sedangkan biasanya saja mereka memakai kaos yang harganya paling murah ya 300k itu aja udah lecek dan hampir dijadiin lap pel dapur kalo ga dihibahin ke fakir miskin macem bagas.
“lo berdua ngapain ke sini?? Lo ngikutin gue ya daritadi?” ucap bagas sambil menyipitkan matanya, yang ditanyai hanya santai aja lalu duduk di meja makan.
“ya emang kenapa? Kita ga boleh main ke rumah lo gitu?” ucap regan kepada bagas dengan melemparkan tatapan mata sengit.
“kita ga boleh main ke rumah bagas ya tante?” kini gantian alfan yang caper kepada mamahnya bagas.
“boleh ko, temennya bagas boleh main kesini kapanpun. Panggil aja mah ya.”
“DIH APAAN LO SOK LEMAH LEMBUT NYET” bagas sebal melihat alfan yang biasanya selalu sewot mendadak jadi kaya anak kucing gitu.
“bagas, ngomongnya yang bener. Ga boleh gitu sama temennya sendiri.”
“alah mamah ga tau aja kelakuan mereka di luar kek gimana, lebih liar dari aku mah! Terus juga Lo Lo gausah manggil mak gue mamah” ucapnya sambil menunjuk gantian alfan dan regan yang sedang duduk manis.
“udah biarin aja bagasnya kek gitu, ini dimakan ya? Kalo kurang tambah lagi aja nanti gampang.” Ucap mamah bagas sembari mengambilkan sepiring nasi dan lauk pauk kepada alfan dan regan.
“mah ko aku ga diambilin sihh?!”
“ambil sendiri.”
“IHHH.”
Bagaspun akhirnya mengambil sendiri makanannya dengan masih bersungut-sungut sebal. Tetapi dalam hatinya juga ia merasa senang, walaupun bagas dan alfan terlihat seperti bukan anak baik baik apalagi dengan porsi badan dan tampang yang mendukung buat bully anak orang gitu mereka terlihat pantas dijadikan teman atau bisa disebut juga sahabat bagi bagas. Alfan dan regan berada di rumah bagas yang sederhana, tetapi mereka sama sekali tidak mengeluh apapun. Sebenarnya bagas tau mereka gerah, tetapi alfan dan regan sama sekali tidak mengeluh. Mereka hanya diam sambil melemparkan candaan kepada keluarga bagas yang kebetulan berada di rumah. Ada ayahnya, mamahnya, dan adeknya yang berada di sana.
Sesekali mereka akan menanyakan kelakuann bagas bagaimana saat berada di kampus, tetapi untungnya karena mereka baik akhirnya mereka melakukan pencitraan demi menutupi identitas bagas yang sudah tidak ada citranya itu. Alfan dan regan sepakat membicarakan bahwa bagas sangat baik, sangat rajin, inisiatif selalu membereskan makaann dan minuman ketika mereka nongkrong atau membuatkan mereka berdua mie instan secara orang tuanya pasti hapal bagas ga bisa masak, bohong juga perlu strategi.