2. Awal yang Menyakitkan

1641 Kata
Tak terasa hari yang ditunggu tiba. Besok Revan dan Zahra akan menikah. Zahra merasa bahagia. Sebab, hati yang telah lama dibawa pergi oleh orang yang sampai sekarang belum juga kembali, orang yang belum sempat mendengar ungkapan cintanya, kini telah kembali terisi oleh pria lain. Yaitu Revan, calon suaminya. "Lagi mikirin apa, Nak?" tanya bunda memasuki kamar Zahra. Kamar yang masih biasa saja. Karena besok, resepsi akan diadakan di ballroom salah satu hotel di kota ini. Dan setelah resepsi, Zahra dan Revan akan tidur di hotel. Karena itulah, kamarnya tidak perlu dihias. "Hayo, mikirin apa ya, senyum-senyum?" goda bunda Zahra. "Nggak Bun, lagi mikirin besok. Masih berasa kayak mimpi." "Kamu harus belajar buat jadi istri yang baik ya ... harus nurut suami. Apa pun yang terjadi, kamu tidak boleh punya pikiran untuk bercerai. Karena setiap orang berumah tangga, pasti selalu ada cobaannya. Jangan pernah gunakan emosi sesaat untuk menyelesaikan suatu masalah." "Iya, Bunda ... Rara akan belajar dan berusaha untuk menjadi istri yang baik. Rara akan berusaha untuk tidak mengecewakan ayah juga Bunda." Air mata Zahra menetes. Begitu juga dengan bundanya. Air mata haru. Air mata bahagia, tapi juga air mata kesediahan. Karena setelah ini, Zahra akan pindah ke rumah Revan, rumah pribadinya. "Oh, iya Bun, Ayah mana?" "Itu di bawah. Lagi menemui kerabat Ayah." "Mbak Agni ke sini kan, Bun?" "Iya, besok pagi baru terbang dari Surabaya." "Kangen Rara Bun, udah lama nggak ketemu." "Bunda dengar, Agni pindah ke kota ini. Mulai minggu depan katanya dia dinas di Rumah Sakit Mitra Sehat." "Bukannya itu Rumah Sakit keluarga Mas Revan ya, Bun?" "Mungkin, kalau memang itu benar, berarti dunia memang benar-benar sempit ya ...." Zahra hanya mengangguk. "Ya sudah, kamu istirahat, biar besok fit," Bunda Zahra memberi saran, lalu mencium kening Zahra. "Aku sayang Bunda," ucap Zahra mengeratkan pelukan pada pinggang bundanya. Karena posisinya sekarang sedang duduk di pinggiran ranjang sambil memeluk bundanya yang berdiri di sampingnya. *** Esoknya, Zahra bangun lebih pagi dari biasanya. Cantik. Zahra melihat pantulan dirinya di cermin. Saat ini ia mengenakan kebaya putih gading. Wajahnya pun sudah dimakeup. Tidak berlebihan memang, karena hanya untuk ijab kabul. Tante Sasa, kerabat bundanya yang mendandani gadis itu. Karena beliau memang biasa merias pengantin. Zahra merasa gugup saat mendengar suara Revan dengan lantang mengucapkan ikrar ijab kabul. Tak ada keraguan sedikit pun yang terdengar. Zahra terharu, begitu mendengar kata sah menggema di ruang tamu rumahnya Air mata bahagia lolos begitu saja dari mata indahnya. "Alhamdulillah , semuanya lancar," gumamnya pelan. Beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamar diketuk. Sepupu Zahra memanggil gadis itu untuk turun ke ruang tamu. Untuk menandatangani buku nikah. Ia berjalan pelan menuruni tangga. Dengan tangan digandeng sepupunya, agar tidak terjatuh. Revan terpana melihat Zahra. Zahra tersenyum, Revan pun membalasnya. Setelah menandatangani buku nikah, mereka saling menyematkan cincin. Zahra mencium tangan Revan. Revan mencium kening Zahra. Mereka benar-benar bahagia. Setelah acara selesai, semua dipersilakan untuk menyantap hidangan yang telah disediakan. Satu persatu tamu pulang. Yang tersisa hanya tinggal keluarga besar pengantin wanita, yang memang akan tinggal di sana sampai resepsi nanti malam. Zahra dan Revan pamit ke kamar untuk beristirahat. Sesampainya di kamar, Revan menutup pintu, lalu menguncinya. Dia meraih tangan Zahra agar mendekat. Kemudian merengkuh pinggang istrinya itu untuk menghapus jarak. Zahra menunduk malu. Telunjuk Revan meraih dagu Zahra agar mendongak menatapnya. "Kenapa menunduk, hm?" Zahra hanya tersenyum. "Terima kasih kamu sudah bersedia untuk menjadi istriku. Menjadi calon ibu anak-anakku," ucap Revan, lalu mencium kening Zahra lama. Setelah itu menatap matanya. Zahra balas menatap suaminya. Jarak mereka semakin dekat. Sampai akhirnya bibir mereka saling menempel. Mereka berciuman sampai napas mereka terengah. Dan akhirnya melepaskan pagutan bibir mereka. Revan menempelkan keningnya di kening Zahra. "Simpan untuk nanti malam," ucap Revan dengan nada menggoda, "sekarang aku akan bantu kamu menghapus riasan kamu, abis itu kita istirahat. Biar nanti malam nggak kelelahan." "Makasih, Mas, kelak jika aku melakukan kesalahan, Mas harus tegur aku. Mas harus ajari aku bagaimana menjadi istri yang baik." "Kamu juga. Kamu harus tegur aku di saat aku salah." Zahra dan Revan saling memeluk. Setelah berganti pakaian, mereka tidur. Benar-benar tidur. Agar tubuh kembali fit di saat resepsi nanti malam. *** Malamnya, semua berkumpul di hotel. Zahra benar-benar cantik. Begitu juga dengan Revan. Sangat tampan. Mereka sangat serasi. Banyak mata yang memandang mereka iri. Tamu mulai berdatangan. Begitu juga dengan keluarga Agni, yang datang dari Surabaya. Sebenarnya, Agni datang bukan hanya untuk menghadiri pernikahan Zahra, karena mulai sekarang, dia akan menetap di Jakarta. Agni adalah anak dari kakak ayah Zahra, yang saat ini telah meninggal. Setelah Agni menetap di Jakarta, ibunya akan tetap tinggal di Surabaya bersama kedua adik Agni. Ajeng yang masih kuliah, dan Alan yang masih SMA. Keluarga Agni mulai naik ke pelaminan. Untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai. Setelah bersalaman dengan ayah dan bunda Zahra, tiba saatnya Agni bersalaman dengan Revan. Namun, betapa terkejutnya saat mereka saling pandang. Agni tak menyangka jika suami Zahra adalah Revan. Revan juga tak menyangka. Jika dia telah salah menikahi orang. Mereka masih saling bersalaman. Bahkan wajah Revan sudah semakin menegang. Memperhatikan Agni dan Zahra bergantian. Mereka memang mirip. Meskipun mereka tidak kembar. Zahra yang bingung dengan tingkah Revan, langsung mengusap punggung Revan. "Mas, ini Mbak Agni. Sepupu aku dari Surabaya." Revan masih terdiam. Tapi perlahan, Agni melepas tangan Revan. Setelah itu, Agni memeluk Zahra. "Selamat ya, Ra, akhirnya kamu menikah duluan." "Makasih, Mbak. Mbak Agni juga buruan nyusul, biar kalau kita nanti punya anak bisa main bareng." Agni tersenyum. Zahra mengira itu adalah senyum haru. Meskipun kenyataannya, senyum itu adalah senyum kesakitan yang Agni paksakan. Setelah itu, Agni turun dari pelaminan. Sebelum turun, Agni melirik Revan yang dari tadi terus memperhatikannya. Takut Zahra curiga, Agni buru-buru bergabung dengan keluarga yang lain. "Mas kenapa?" tanya Zahra, setelah mereka dapat duduk karena tamu sedang menikmati hidangan. Namun, Revan masih saja diam. "Mas." Revan hanya menggeleng. Zahra menghela napasnya. Tak ingin memancing kemarahan Revan, akhirnya Zahra pun diam. Mata Revan terus saja memperhatikan Agni. Begitu melihat Agni berjalan ke arah toilet, Revan langsung menyusulnya. "Aku ke toilet," ucap Revan sebelum pergi. "Jangan lama-lama, Mas!" *** Revan menunggu Agni di depan pintu toilet. Begitu pintu terbuka, Revan langsung menarik Agni ke ujung lorong toilet. Di mana tempat itu jarang dilalui orang. "Siapa kamu sebenarnya?" "Aku Rara, Mas," jawab Agni. "Rara Agni Gupita, orang yang tahun lalu, selama dua minggu selalu curi pandang padamu. Orang yang malu-malu mengharap senyummu." Sejenak Agni terdiam untuk menetralisir jantungnya. "orang yang mengharapkan cinta kamu ...." Air mata itu pun akhirnya lolos dari kedua mata Agni. "Aku menerima surat dari kamu, tapi saat itu, aku harus pulang hari itu juga. Karena itulah hari ini aku ke sini, kebetulan sepupuku menikah. Sekaligus mulai besok aku akan mulai dinas di rumah sakit kamu. Tadinya aku berharap, aku bisa bertemu denganmu. Tapi takdir berkata lain. Tuhan mempertemukan kita dengan keadaan yang sudah berbeda." Revan langsung meraih punggung Agni, dan memeluknya erat. "Apa kamu tahu, aku mengira kalau Zahra itu kamu. Apalagi, mereka memanggil Zahra dengan panggilan Rara. Ditambah lagi wajah kalian mirip. Karena itu, begitu aku bertemu dengannya, aku langsung menyetujui perjodohan ini. Tapi ternyata, tapi ternyata dia bukan orang yang aku cintai." "Sudahlah, Mas, mungkin kita tidak berjodoh." "Nggak, kamu harus menungguku. Aku akan mencari cara agar kita bisa bersama. Kita berhak bahagia, Ra." "Tapi, Mas, aku nggak mau menyakiti Zahra." "Ssssssttttt, ini kesalahan. Sudah seharusnya diperbaiki sebelum terlambat." Pelan tapi pasti , Revan mencium bibir Agni. Awalnya lembut. Tapi lama-kelamaan semakin menuntut. Sampai akhirnya mereka melepas ciuman itu, setelah mereka kehabisan napas. "Aku minta nomor hp kamu, aku akan menghubungimu setelah acara selesai," ucap Revan sambil memberikan ponselnya kepada Agni. Kemudian Agni menyimpan nomornya di ponsel Revan. Agni memberikan ponsel itu kembali kepada Revan. "Aku akan kembali ke sana. Takut Zahra menyusul." "Iya, Mas." Sebelum Revan kembali, Revan mencium kening Agni cukup lama. Ciuman yang menunjukkan seberapa besar cinta Revan pada Agni. Kemudian mencium bibir Agni sekilas. *** Tanpa mereka sadari, ada orang yang mendengar semua pembicaraan mereka. Orang yang kini telah sah menjadi istri Revan. Zahra yang khawatir karena Revan tak juga kembali, akhirnya menyusulnya ke toilet. Namun, dia tak pernah menyangka, jika dia akan mendapati sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan dia yang diharapkan. Bukan dia yang dicintai. Air mata terus membasahi pipi Zahra yang masih penuh makeup. Sakit. Sesak di d**a yang ia rasakan. Namun, entah mengapa ia tak ingin menyerah. Apalagi, ia juga sudah berjanji pada bundanya, bahwa ia takan pernah berpikir untuk bercerai apa pun yang terjadi. 'Maafkan aku, Mbak Agni. Aku tak bisa melepas suamiku begitu saja,' batin Zahra. Setelah itu, ia memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Sebelum Revan dan Agni menyadari keberadaannya. "Kamu dari mana saja, Nak? Loh, kenapa matamu sembap?" tanya bunda Zahra khawatir. "Nggak apa-apa kok, Bun, Rara hanya sedih, setelah ini Rara akan berpisah sama Bunda," bohong Zahra. "Kamu nggak boleh sedih, Nak. Kita kan masih bisa bertemu." "Betul kata bunda, Ra. Ayah janji, jika Revan sibuk, kami yang akan menemuimu." "Ayah ...." Zahra langsung memeluk Ayahnya sambil menangis, sampai air mata Zahra membasahi jas yang ayah Zahra kenakan. Ayah Zahra mengelus kepala putrinya dengan sayang. "Loh, ada apa ini?" tanya mama Revan yang datang menghampiri bersama papa Revan. "Biasa Mar, Zahra sedih katanya, harus berpisah sama kami," jawab bunda Zahra. "Zahra nggak boleh sedih, Sayang, kalau kamu kangen ayah bunda, kan kamu bisa datang ke rumah bareng Revan. Mama jamin, pasti nanti Revan akan sangat menyayangimu. Kamu nggak akan merasa kesepian, Nak." 'Semoga saja, Ma ...,' doa Zahra dalam hati. **** Hallo ... saya sedih ketika di komentar cerita saya ini, ada yang menawarkan pdf ilegal. Kalau merasa keberatan di koin, kan bisa mengumpulkan koin gratis setiap harinya. FYI, pdf yang beredar itu versi lama, ya ... jadi kalaupun beli, ya percuma. Isinya nggak sama seperti yang di Dreame dan Innovel ini. Mubadzir jadinya. Versi Dreame hanya ada di aplikasi dan web resmi. Semoga teman-teman pembaca lebih bijak. Terima kasih ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN