Una mengelap keringat saat sudah berhasil menyelesaikan pekerjaannya di dalam kamar Jeka. Jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi sekarang. Dia bergegas merapikan penampilan sebelum keluar dari sini dan bertemu Jeka.
Mba Raisa sudah ada di kantor juga. Dia kebingungan karena tidak mendapati Una di tempat padahal tasnya sudah ada. Saat bertanya pad abos, Jeka bilang Una sedang disuruh untuk bersih-bersih ruang kamar. Jadi, Mba Raisa yang melanjutkan pekerjaan pagi ini untuk menyiapkan keperluan meeting.
"Mister, keadaan ruangan sudah rapi. Mau dicek dulu atau bagaimana? Takut ada yang harus atau kelewat saya kerjakan,” ucap Una yang berdiri di samping meja bos.
"Tidak perlu, terima kasih," ucap Jeka tanpa repot menatap sekretaris baru. Lelaki itu tengah sibuk dengan komputernya, tetapi tidak seperti kemarin yang malah bermain kartu. Kali ini dia benar sedang mengurus pekerjaan. "Silakan keluar dari ruangan saya, bersiap-siap secepat mungkin. Kita akan meeting kurang dari setengah jam."
"Baik, Mister." Una mengangguk. "Saya permisi."
Una langsung keluar dari ruangan setelah Jeka membalas dengan deheman pelan. Mba Raisa melirik ke arah anak tetangga yang kelihatan lelah dan lunglai setelah menutup pintu ruangan Pak Bos. Gadis itu berjalan mendekat dan duduk di kursi sampingnya sambil menghela napas berat.
"Mamamu bilang jam setengah enam kurang kamu sudah jalan? Cepat sekali, Na." Wanita hamil itu memutuskan untuk membuka pembicaraan.
"Iya, Mba. Pak Bos nyuruh aku datang pukul enam setiap hari."
"Apa?" Mba Raisa saja sebagai karyawan lama tampak kaget, apalagi Una. "Serius?"
"Mba, Mba Raisa pernah gak sih disuruh bersihin kamar, ganti sarung bantal dan seprai, terus nyikat kamar mandi sama bos yang dulu?" tanya Una langsung tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya dan lagi-lagi dibalas keterkejutan di wajah cantik si ibu hamil.
"Mba hampir gak pernah pegang apa-apa di luar kerjaan ini kecuali pantry, sih," jujur Mba Raisa. “Mungkin beda kebijakan ya, Mba sendiri juga masih belum banyak mempelajari peraturan baru dari Pak Jeremy.”
Tuh kan, fix, Una pasti jadi korban iseng karena Jeka menaruh dendam. Memang laknat manusia kampret satu itu.
Karena tidak ingin membuang waktu semakin banyak, gadis itu mengeluarkan pouch make-up-nya dari dalam tas dan pamit pada Mba Raisa untuk ke toilet sebentar.
Saat Una keluar dari toilet, di sana sudah ada Jeka yang berdiri di dekat meja Raisa dengan raut wajah terlihat kesal. Una sudah was-was takut salah melakukan pekerjaan, tetapi kalau diingat-ingat semua dia kerjakan dengan baik, kok.
"Dari mana kamu?" tanya Jeka dingin saat Una mendekat. Dia sudah berganti kostum dengan pakaian yang sudah Una siapkan sebelum pulang hari kemarin. "Kamu tahu tidak kita sepuluh menit lagi harus ada di ruang meeting?"
"Maaf, Mister."
Mba Raisa menatap Una dan Jeka bergantian. Dia berusaha menahan tawa saat Una memanggil Jeka dengan sebutan mister. Apa-apaan itu, heh? Mengapa lucu sekali?
"Lain kali jangan bersikap seenaknya kamu, ya? Waktu untuk membetulkan make-up itu harusnya bisa kurang dari lima menit. Mengerti?"
‘Astaga, make-up lima menit itu baru untuk gambar alis doang tahu gak?’ dumel Una yang lagi-lagi hanya berani dia suarakan dalam hati.
"Baik, Mister."
"Kamu belum pelajari materi mengenai apa yang akan kita bahas di pertemuan hari ini?"
Astaga, Tuhan. Tolong beri Una banyak stok kesabaran untuk menghadapi si bos toxic nan kampret ini. Jelas-jelas dia yang menyuruh Una bekerja rodi sejak tadi tanpa henti. Apa dia amnesia?
"Belum, Mister. Saya akan membaca dan mempelajarinya sekarang juga."
"Nanti dulu." Saat Una hendak kembali masuk ke tempatnya ... Jeka kembali bersuara, "Ke dalam sebentar, saya tunggu."
Mba Raisa tersenyum ke arah Una setelah Jeka pergi seolah mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Una menaruh pouch make-up dan bergegas masuk ke dalam neraka mewah itu setelah membalas senyum manis Mba Raisa.
Jeka langsung menyuruh Una menghampirinya yang berdiri sembari menatap pemandangan ibu kota dari atas, kemudian menyerahkan dasi hitam pada sekretaris baru tersebut. "Pakaikan saya dasi," perintahnya yang tidak ingin dibantah.
"Baik, Mister."
Una mengambil dasi itu dari tangan Jeka, kemudian menyuruh Jeka agak menunduk sedikit agar dia bisa menaruh dasi itu di bagian kerah kemeja.
Sedari tadi, Una berusaha untuk tidak menatap ke arah lain selain fokus pada dasi hitam yang tengah dia simpulkan dengan cepat.
"Hari ini kita akan membahas mengenai pembukaan pabrik baru di daerah Jawa Barat dan berdiskusi mengenai tambahan pasokan barang dagang ke agen-agen di wilayah terpencil," jelas Jeka tanpa disuruh. Una bisa mencium wangi parfum yang menguar dari tubuh Jeka serta bau mint dari mulutnya. Mungkin dia mandi pakai parfum dan menggunakan pasta gigi sebagai camilan setiap hari karena bau itu seakan benar-benar menempel. "Saya ingin produk kita bisa menyebar secara merata bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa dan lebih banyak lagi orang yang tahu produk-produk Indodrink."
Perusahaan Indodrink fokus dalam mengembangkan berbagai jenis minuman. Una sendiri baru tahu kalau banyak minuman kemasan yang ternyata bermerk Indodrink setelah dia sempat mencari tahu sedikit mengenai sejarah perusahaan di malam sebelum interview berlangsung. Produknya antara lain terdiri dari mulai s**u, jus, yogurt, teh sampai air mineral pun ada. Selama ini dia juga sering membeli produk-produk Indodrink tanpa tahu siapa perusahaan yang menaungi.
Pantas saja pemiliknya yang tidak lain tidak bukan adalah papa dari Jeka bisa masuk dalam jajaran 10 orang terkaya di Indonesia. Sudah seperti ingin memonopoli pasar saja karena hampir semua merk minuman yang ada di pasaran adalah milik Indodrink—walau merk minuman tersebut berbeda-beda.
"Baik, Mister," jawab Una seadanya. Dia menjauhkan diri dari Jeka setelah selesai memasang dan membenarkan dasi.
"Silakan keluar dan bawa notes serta pulpen. Untuk hari ini kamu dengarkan saja diskusi antara saya, Raisa, dan beberapa orang di dalam ruang meeting. Catat hal yang perlu dicatat, karena saya juga bisa menanyakan pendapat padamu." Jeka baru menyuruh Una pergi setelah gadis ini membantunya pakai jas.
"Baik, Mister." Una hanya bisa berkata seperti itu untuk menyanggupi ucapan Jeka.
Pukul delapan, Una, Mba Raisa, dan Jeka berjalan bersama ke ruang meeting yang berbeda satu lantai.
Mba Raisa duduk di sebelah kanan Jeka, dan Una di sebelah kiri. Di sana sudah ada beberapa orang petinggi perusahaan yang sudah hadir. Hampir semua laki-laki, hanya ada satu perempuan. Ada seorang dari mereka yang tersenyum dan mengedipkan sebelah mata ketika bertatapan dengan Una. Astaga, dasar genit!
Jeka memulai presentasi, menjelaskan bagaimana produk-produk Indodrink agar bisa masuk pelan-pelan dan diterima di masyarakat terpencil di desa-desa yang sudah lebih dulu mengenal produk sebelah karena harganya sedikit lebih murah dan juga sudah lebih dulu menyebar ke pelosok-pelosok karena jalur distribusinya menumpang pada produk perusahaan lain.
Jeka ingin Indodrink bisa ikut masuk ke pelosok dan disukai oleh lebih banyak orang walau harganya sedikit lebih mahal dari produk sebelah, berbeda lima ratus rupiah sampai seribu. Jeka yakin produk Indodrink akan banyak disukai karena rasanya yang jauh lebih enak dan memiliki kualitas terbaik. Jeka optimis kalau konsumen akan membeli produk Indodrink lagi untuk kali kedua, ketiga, dan seterusnya setelah membeli produk pertama. Indodrink dicintai semua kalangan, sesuai dengan slogan yang jadi kebanggaan di perusahaan ini.
Meeting diadakan sampai pukul sepuluh, dan setelahnya Jeka menutup acara pertemuan juga diskusi bersama para karyawan.
Una berjalan berdampingan dengan laki-laki yang tadi mengedipkan sebelah mata padanya. Gadis berambut sebahu ini tampak tidak nyaman, dia berusaha menjauh tetapi sialnya laki-laki itu malah mengajaknya mengobrol.
Mba Raisa masih ada di dalam ruang meeting bersama Pak Jeka, sementara yang lain diperbolehkan keluar.
"Kamu anak baru yang kemarin dikenalin sama Raisa, ya?"
"Betul, Pak." Una menjawab dengan senyum kikuk.
"Kenalin, nama saya Pram." Dia berhenti dan mengulurkan tangan dengan cengiran lebar, dan dibalas Una yang menyambut tangan itu meski sejujurnya dia enggan. "Pramudya Rahardian, salah satu manajer di sini. Ruangan saya ada di lantai ini juga, kalau kamu mau tahu."
"I-iya, Pak. Saya Aruna Puteri Pertiwi, panggil Una saja."
Una berusaha melepas jabatan tangan laki-laki bernama Pram ini, tetapi sulit karena dia tidak mau melepasnya. Una menarik kedua sudut bibir ke atas dan bicara sesopan mungkin. "Maaf, Pak, tangan saya bisa dilepas?"
"Oh, iya, maaf," ucap Pak Pram tanpa rasa bersalah. "Sudah lama tidak memegang tangan lembut anak baru di kantor ini."
Rasanya, Una ingin menampar mulut lancang laki-laki kurang ajar modelan Pram ini menggunakan notes yang ada di tangan kirinya.
"Bu Raisa, tolong cek lagi ruangan ini sebelum pergi setelah mematikan LCD proyektor. Matikan AC dan kunci pintunya." Di dalam, Jeka baru memutuskan pergi setelah mengobrol sedikit dengan Mba Raisa mengenai masalah pekerjaan.
"Baik, Pak Jeremy.” Wanita hamil ini menjawab sambil mengangguk. Jeka bergegas keluar dan alisnya mendadak bertaut saat melihat Aruna tengah berinteraksi dengan salah satu manajer yang ada di sana.
"Kamu mau makan siang di mana nanti? Boleh minta nomor teleponmu?"
"ARUNA!"
Una tanpa sadar tersenyum saat mendengar suara sang mantan disusul dengan derap langkah sepatu yang mendekat ke arah mereka. Jeka kini berdiri di samping sekretaris barunya, kemudian menatap Pram.
"Mengapa masih di sini, Pak? Ada yang masih ingin dibicarakan dengan Aruna?" ucap Jeka langsung.
Pram mengulas senyum kekesalan yang dibungkus dengan manis, kemudian menggeleng. Dia kembali menatap Una dan Jeka bergantian, kemudian bersuara, "Saya pamit kembali ke ruangan."
"Oh iya, silakan," sahut Jeka sambil melirik ke arah Una. Memastikan perempuan itu baik-baik saja meski tidak bertanya langsung.
Una mengusap d**a saat dia terbebas dari laki-laki modus semacam Pram.
"Makasih, Mis ...."
Una tidak lagi melanjutkan ucapan ketika Jeka melempar jas beserta dasi yang dia copot ke muka sekretaris barunya. "Bawa dasi dan jas saya ke ruangan, gantung di lemari seperti kemarin."
Saat Aruna menurunkan jas bos yang menghalangi pandangan, dia sudah melihat punggung Jeka yang berjalan di depan sana menuju ke lift yang berada dekat ruangan Pram. Karena tidak mau melihat Pram lagi, Una sedikit berlari mengejar Jeka sambil membawa dasi dan jas milik lelaki itu.
“MISTER, TUNG … GU!”
Una pikir, Jeka akan dengan tega tetap membiarkan pintu lift tertutup sampai dirinya tidak bisa masuk dan harus menunggu lagi. Ternyata sebelum pintu benar-benar tertutup, Jeka menekan tombol untuk membuka lagi pintu tersebut sampai Una bisa masuk.
“Bisa hati-hati tidak?” tegur Jeka sambil menahan lengan Una ketika perempuan itu sempat limbung dan hampir jatuh. “Kalau kamu kenapa-napa nanti tidak ada yang bisa saya suruh-suruh lagi.”
Huh, nasib jadi sekretaris rasa bahan suruhan. Kalau bukan karena mamanya yang menatap Una penuh bangga karena berhasil bekerja di sini, kalau bukan karena Una yang stress karena terus dibanding-bandingkan dengan anak tetangga ... tentu saja Una akan melempar jas dan dasi ini balik ke muka Jeka lalu memaki-maki manusia satu itu sampai puas.
***