He Hua memotong rumput-rumput liar tinggi dengan gunting yang tumbuh bebas di teras rumah yang tinggalkan penghuninya sebelum beristirahat sejenak. Dia mengambil sebotol air minum, meneguknya beberapa tegukan untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.
"Ah, aku pengen makan dorayaki. Andai uang yang aku punya bisa membeli beberapa makanan dan minuman."
He Hua mengambil selembar uang dua puluh ribu dari dalam tas, ekspresi wajahnya muram. "Payah uang ini tidak bisa aku gunakan, bahkan aku dibilang menipu padahal kenyataannya uang ini asli."
"Daripada aku duduk diam di sini menunggu orang membantu lebih baik aku mencari bahan makanan mentah yang bisa dimakan."
He Hua berjalan menyusuri jalan setapak tanah yang diapit barisan pohon-pohon tinggi. Tumbuhan-tumbuhan berdaun hijau tumbuh liar di tanah. Suara embusan angin beradu dengan suara daun-daun cokelat kering yang diinjak He Hua.
Cukup lama He Hua berjalan. Tidak banyak orang yang berlalu lintas di tempat ini, mungkin karena suasanya yang sepi. Dia melihat sebuah sarang tergeletak di antara semak-semak perdu yang tumbuh merambat. Dengan penasaran He Hua mendekati sarang itu, melihat beberapa butir telur putih dia mendapatkan ide cemerlang.
He Hua mengambil kantong plastik hitam dari dalam tas, dengan hati-hati memasukkan beberapa butir telur di dalamnya.
"Telur ini bisa aku jual di pasar, paling tidak aku mendapatkan beberapa keping uang." He Hua tersenyum senang, memasukkan kantong plastik ke dalam tas, dari arah belakang tidak menyadari sepasang angsa besar berbulu abu-abu dan putih berjalan ke arahnya.
Suara teriakan angsa menghancurkan senyuman manis He Hua.
Ini pasti telur angsa itu, batin He Hua.
Sepasang angsa itu hampir saja akan menyeruduk He Hua jika saja gadis itu tidak segera berlari menghindar. Semua orang tahu tendangan maut angsa membuat tubuh sakit, maka dari itu He Hua harus berlari secepat mungkin keluar keluar dari hutan, di belakang kedua hewan itu masih terus mengejar, tidak melepaskan gadis yang telah mengambil calon anak-anaknya.
"Hey angsa tolong ikhlaskan telur-telurmu ini untuk aku jual, aku tidak punya uang sama sekali," teriak He Hua di sela-sela berlari tanpa menoleh ke belakang.
Kecepatan lari gadis itu secepat angin, rambut hitam panjangnya berkibar. He Hua berbelok ke jalan sebelah kanan. He Hua adalah pelari terbaik di sekolah SMA Pinghe, beberapa memenangkan juara di tingkat antar sekolah, kecamatan, dan kabupaten.
Pedagang-pedagang berjajar di sisi jalan menawarkan dan mempromosikan barang dagangannya. Keadaan pasar di terlalu ramai.
"Permisi!" ucap He Hua, orang-orang yang mendengarnya minggir ke tepi memberi jalan.
Sepasang angsa itu masih terus mengenar tidak kenal lelah. Detak jantung He Hua meningkat dua kali lipat dari normal, keringat bercucuran. Napasnya terengah-rengah.
Sudah lebih dari lima ratus meter, tapi mereka masih saja mengejar. Kalau kalian keras kepala tidak ingin mengalah, aku juga akan keras kepala, batin He Hua.
Dari sudut mata jernih He Hua ada kereta kuda yang sedang melintas di jalan. Dengan gerakan cepat dia berlari dan tanpa permisi menaiki kereta kuda tersebut. Bahkan penjaga-penjaga kereta tidak menyadari kehadiran He Hua.
He Hua mengatur napas yang tidak beraturan, mencoba menstabilkan detak jantung yang menggila di dalam rangka. Penampilan gadis itu jauh dari kata rapi, bahkan sangat berantakan dan tidak menggambarkan kalau He Hua adalah seorang wanita.
Seorang laki-laki muda yang sedang memegang buku bersampul biru tua bertuliskan matematika kaget atas kedatangan tamu yang masuk tanpa diundang.
He Hua membuka tirai kecil di sisi kanan kereta, di luar sepasang angsa liar itu ditangkap sekelompok warga karena menganggu. Dia menarik napas lega.
Xinyuan mengamati gerak-gerik gadis yang duduk di sebelahnya dengan ekspresi bertanya. He Hua menyadari dia tengah diperhatikan seseorang mencari asalnya. Hanfu putih membungkus tubuh pria berwajah tampan itu. Rambut sehitam arangnya rapi diikat tali putih.
Dia pemilik kereta kuda ini, apa dia akan marah kepadaku karena telah lancang masuk tanpa permisi ? pikir He Hua.
He Hua menarik senyuman di bibir tipisnya sembari menangkupkan tangan sebagai permintaan maaf. "Maafkan aku Tuan masuk tanpa izin, aku akan pergi sekarang."
Belum sempat Xinyuan mengucapkan perkataannya, He Hua sudah terlebih dahulu turun dan berlari kencang.
Xinyuan mengambil, melihat benda bulat yang memiliki jarum di dalamnya yang berada di pangkuannya. Jari-jari tangannya menghitung.
Takdir bintang jodoh dan hujan meteor tidak dapat dihindari.
Xinyuan terheran dengan hasil ramalan hari ini yang sedikit berbeda dari biasanya. Mungkin itu hanya salah hitung, pikirnya.
Sementara itu, He Hua masuk ke salah toko di pinggir jalan pasar. Rak-rak tinggi berisikan telur-telur yang tersimpan berbaris di ruangan, peralatan dan makanan hewan unggas ada di sisi bagian belakang, dan beberapa sangkar ayam, bebek, angsa terletak di depan toko. Aroma kotoran unggas menguar di udara, He Hua menutup hidungnya.
"Nona, anda butuh sesuatu?" Pemilik toko, pria dewasa berbadan gemuk itu menghampiri He Hua, dia bertanya dengan nada ramah dan senyuman di wajahnya.
He Hua menunjukkan kantong plastik hitamnya yang di dalamnya terdapat telur-telur angsa. "Aku ingin menjual telur-telur ini, berapa banyak uang yang akan kudapat?"
Pria dewasa yang bernama Liu Mu Bai mengambil kantong plastik dari tangan He Hua, mengeluarkan enam butir telur dan meletakkan di atas piring. Dia memeriksa telur-telur itu.
"Kualitas telurnya baik, harga satu butir telur adalah satu koin perunggu. Totalnya enam koin perunggu."
He Hua menyimpan enam koin perunggu di dalam tas, berterima kasih, dan melangkah keluar dari toko.
Perut He Hua berbunyi dia singgah di salah satu pedagang makanan di pinggir jalan. Uap panas keluar dari benda putih bulat menambah rasa lapar He Hua. Gadis itu mengambil dua potong bakpao dan meminta dibungkus. Wanita yang menjual bakpao itu tersenyum senang saat He Hua memberikan tiga koin perunggu sebagai bayaran.
He Hua tengah memakan bakpaonya saat suara keributan di tangkap indra pendengarannya.
Di seberang jalan seorang pria dewasa tengah menjewer telinga sebelah kanan seorang bocah kecil berusia lima tahun. Anak kecil itu meringis kesakitan, memegangi telinganya yang memerah. "Hey, anak nakal beraninya kamu mencuri jerukku!"
He Hua membuang bungkus kertas bakpao di tong sampah di pinggir jalan sebelum menghampiri asal keributan.
"Ada apa ini ?" tanyanya melirik bocah laki-laki yang tingginya hanya sebatas perut He Hua.
Pria dewasa berperut buncit banyak lemak menjawab. "Anak nakal ini telah mencuri barang daganganku, mana mungkin aku membiarkannya."
He Hua yakin karena faktor keterpaksaan anak kecil berwajah polos ini. "Katakan adik kecil alasan mengapa kamu mengambil barang dagangan Paman ini?" Dia bertanya dengan nada lembut seperti seorang kakak.
Hanfu yang dipakainya sangat kotor dan banyak tambalan di beberapa bagian. He Hua merasa kasihan, jika saja berada di rumahnya dia pasti akan mengambil beberapa lembar uang untuk membelikan pakaian baru.