"Percayalah, kalian adalah separuh dari kehidupanku" –Revin
•••
Rival melempar malas tas sekolahnya ke atas meja. Membuat tiga orang di sana terlonjak kaget. Perdebatannya dengan Revin tadi benar-benar membuat moodnya berantakan. Dia tahu, seharusnya dia tidak perlu menanggapi serius ucapan kakaknya itu. Toh selama ini Revin sering seperti itu. Tapi belakangan ini, perasaannya memang lebih sensitive dari cewek PMS.
Bahkan selama di perjalanan tadi, mereka hanya diam. Sesekali Revin bertanya dan hanya mendapat satu kata sebagai jawaban dari Rival. Mereka lebih banyak diam. Meredam pikirannya sendiri, dan menemukan letak kesalahannya.
Radit sering mengatakan, mereka hanya hidup bertiga. Jadi sebisa mungkin harus menghindari pertengkaran. Tapi, mau bagaimana. Bila mereka bertiga sama-sama mempunyai ego yang tinggi. Yang kapan saja siap untuk meledak. Raditpun sama. Hanya saja dia lebih bisa mengontrol amarahnya dengan berdiam diri dan menjauh dari adik-adiknya.
"Kenapa tu muka lusuh amat." Aldi menepuk pelan pundak Rival.
Rival hanya menoleh sebentar, lalu kembali melempar pandangannya ke arah depan. "Gak mood. Abis berantem sama Bang Revin." Jawabnya malas.
"Berantem kenapa lagi? Kayaknya lo berdua memang hobinya berantem ya. Untung Bang Radit gak ikut-ikutan." Ucap Reza menimpali.
"Gak ngerti gue. Bawaannya emosian mulu. Dan kalau lo salah-salah ngomong lagi sama gue, gue bisa aja diemin lo seminggu." Jawab Rival sambil menunjuk Reza tepat di depan matanya, sebelum bangkit dan meninggalkan kelas.
"Kan salah ngomong lagi gue." Kata Reza.
"Biasa, jadwalnya datang bulan jadi gitu." Balas Fandi lalu bangkit menyusul Rival.
Sebenarnya Rival bukanlah anak yang malas mengikuti upacara. Apalagi dibilang tidak mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Tidak, bukan begitu. Hanya saja dia malas mendengar kepala sekolah yang bila memberi amanat bisa hitung 10 kali mengelilingi lapangan sepak bola. Bahkan apa yang beliau jelaskan, akan diulang hingga 3 kali penyampaian. Alasannya agar semua paham. Padahal mereka semua sudah paham dari dulu. Karena setiap memberi amanat, hal yang disampaikan pasti sama.
"Kenapa Val?" Tanya Aldi saat melihat Rival sedikit membungkuk sambil memegang perutnya.
"Kram perut gue. Lagi pula tu bapak-bapak lama banget ngasi amanat." Balas Rival. Wajahnya sudah sedikit pucat disertai keringat dingin diwajahnya.
"Ijin ke belakang aja sana, gue panggilin petugas kesehatan, ya?"
Rival menggeleng, menanggapi kata-kata Aldi tadi. Seharusnya dia masih kuat hingga upacara selesai nanti. Entah mengapa perutnya belakangan ini sering bermasalah. Mungkin karena dia mempunyai maag yang memang menyiksanya sejak dulu.
Akhirnya setelah satu setengah jam berdiri di bawah terik matahari, upacara berakhir dan semua siswa dibubarkan. Rival bisa bernafas lega, karena dia tidak sampai pingsan dan menghebohkan satu sekolah. Dimana dia sembunyikan mukanya nanti. Bila seorang Rival Ragata Pratama pingsan hanya karena mendengar kepala sekolah menyampaikan amanatnya.
Kini mereka sudah menjadi penghuni kantin. Mereka rasa setelah upacara memang lebih enak diam di tempat ini dibandingkan kembali ke kelas dan mendengar penjelasan guru.
"Masih sakit?" Tanya Fandi. Rival hanya mengangguk kecil sambil masih membenamkan wajahnya di atas lipatan tangannya. Walau nyeri di perutnya kini sudah tidak separah tadi.
"Pulang gih, gue anter deh. Atau mau telpon abang lo?" Tanya Fandi lagi. Kini tangannya tergerak mengusap punggung Rival yang sudah basah karena keringat.
"Gak! Nanti gue dibilang alasan aja lagi. Dibilang malaslah, dibilang gak mau belajarlah. Bosen gue denger abang-abang gue ngomel."
"Alasan apanya, orang kelihatan gitu muka lo gak seger. Kalau gitu tidur di UKS aja." Ucap Aldi lalu meminum es jeruknya.
Rival masih tidak menjawab. Dia menarik teh hangat yang dipesannya tadi, lalu meminumnya perlahan.
"Nongkrong di warung belakang aja, gimana? Gue pengen tidur, tapi gak mau di UKS. Kalau di sini bisa ketahuan guru." Ucap Rival.
Ketiga temannya sedikit berpikir, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui ucapan Rival. Mereka memang mempunyai tempat nongrong di warung belakang sekolah. Sebenarnya sudah dilarang untuk berbelanja di luar sekolah, tapi masih banyak juga yang melanggar. Mengingat kantin akan sangat ramai saat jam istirahat.
••
Kini mereka sudah berada di depan ruang BK. Setelah tragedi pengrebekan oleh guru piket di warung belakang tadi. Bahkan Rival belum sepenuhnya tersadar dari alam mimpinya.
"Pulang!" Bentak Revin yang baru saja keluar dari ruang BK.
Rival seketika berdiri, tahu bahwa kakaknya pasti sangat marah saat ini. Setelahnya, wali dari Aldi, Fandi, dan Reza juga baru saja keluar. Awalnya rival ingin meminta maaf. Karena bagaimanapun, mereka bolos tadi adalah ide Rival. Tapi urung, karena melihat tatapan tajam kakaknya. Tanpa kata apapun Revin langsung menarik Rival pergi. Untuk hari ini mereka dipulangkan sebagai hukumannya.
"Sampai tadi lo kena skors, gue bunuh lo!" Ucap Revin saat mereka sudah berada di dalam mobil. Ucapan Revin tidak sepenuhnya benar, dia hanya ingin adiknya tahu bahwa dia tidak akan main-main bila anak itu macam-macam masalah sekolahnya.
Rival masih tidak mengeluarkan suaranya. Membiarkan Revin meluapkan semua emosinya. Dia memang salah, tapi bukankah dia sudah bilang bila dia tidak berniat sekolah hari ini?
Lagi pula dia bolos karena memang merasa tubuhnya sedang tidak baik. Namun bila mengatakan itu pada Revin saat ini, kakaknya itu pasti tidak akan percaya. Mengira Rival hanya mencari alasan agar tidak kena marah.
"Kenapa diem aja? Ngerasa kalau lo salah?" Kata Revin lagi. Pandangan masih fokus menyetir.
"Kalau gue jawab pasti salah. Mending diem." Jawab Rival pelan.
"Kalau tahu salah, ngapain dilakuin! Kurang apa sih gue sama Bang Radit merhatiin lo? Sampai bisa-bisanya lo malu-maluin gue dengan cara bolos kayak gitu!"
"Maaf." Ujar Rival pelan.
Kata-kata Revin berhasil menusuk hati Rival. Malu-maluin? Apa benar kali ini Revin kecewa padanya? Sebelumnya Revin tidak pernah marah sampai seperti ini. Tidak pernah membentak dan berucap sekasar ini.
"Maaf, maaf! Lo kira dengan maaf aja bisa memperbaiki kepercayaan gue? Kenapa? Lo udah bosen sekolah? Kalau bosen bilang! Berhenti sekarang! Jangan buang-buang uang Bang Radit." Tegas Revin lagi tanpa berniat sedikitpun menoleh kearah adiknya yang sudah menunduk dalam.
"Gue capek bang! Bukannya tadi pagi gue udah bilang kalau gue gak mau sekolah." Bela Rival.
"Capek? Val, lo itu disuruh sekolah, bukan kerja! Bisa-bisanya lo bilang capek. Gimana kalau lo disuruh sekolah sambil kerja!"
"Bukan gitu maksud gue, bang." Rival menjeda kalimatnya sebentar, "perut gue tadi sakit, makanya gak masuk kelas."
Revin tertawa sumbang, seakan apa yang Rival katakan tadi adalah bahan bercanda. "Alasan! Berapa kalipun lo alasan sakit, gue gak akan percaya. Anak nakal kayak lo pasti punya banyak alasan untuk bohong."
Rival terdiam. Sudah dipastikan berdebat dengan Revin hanya akan membuang-buang tenaganya. Revin bukanlah Radit. Yang bisa menahan emosinya untuk mendengar penjelasannya.
Akhirnya Rival memilih memejamkan matanya. Pasrah bila pada akhirnya dia akan mendengar amarah Revin lagi. Sudah cukup kali ini dia tahu bahwa Revin sebegitu kecewanya. Bahkan kakaknya tidak peduli apakah dia benar-benar sakit atau hanya berpura-pura sakit.
••
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, saat Radit baru saja tiba di rumahnya. Seharusnya dia sudah bisa pulang 2 jam yang lalu, bila saja tidak ada pelanggannya tiba-tiba datang saat bengkelnya sudah akan tutup. Jadilah mereka melembur hingga malam.
Langkahnya terhenti saat melihat Revin sedang fokus dengan laptopnya di ruang tamu. Lalu kembali langkahnya dibawa mendekati adiknya. Pandangan Revin sama sekali tidak beralih. Seakan tidak menyadari kedatangan Radit di sana.
"Fokus banget. Sampai abangnya datang gak disambut." Ucap Radit sembari melepas jaketnya.
"Eh, maaf bang. Gue terlalu fokus sama tugas." Jawabnya. "Kenapa jam segini baru pulang? Bengkel ramai, ya?
Radit mengangguk, "Lumayanlah. Tadi ada pelanggan yang datangnya kesorean juga. Jadi baru kelar malam." Katanya, lalu kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Mencari adiknya satu lagi. Biasanya Rival pasti ada di sana bersama Revin menunggunya pulang.
"Adek gue mana?" Tanya Radit.
"Di kamar." Jawab Revin singkat. Moodnya seketika turun bila mengingat kejadian tadi,
"Tumben. Kalian udah makan?"
"Gue udah. Rival belum. Habis kena marah sama gue, sampai sekarang gak mau keluar kamar."
"Marah? Gue kan udah bilang jangan sembarangan marahin Rival, lo gimana sih!"
"Dia bolos, bang! Gue sampai dipanggil buat ke sekolahnya. Gak boleh gue marahin dia?" Bentak Revin.
Radit tidak menjawab. Dia bangkit lalu berjalan menuju kamar adiknya. Membuka perlahan pintu kamar Rival, dan mendapati ruangan itu sudah gelap. Barang-barang Rival masih berantakan, pun dengan baju dan tas sekolahnya yang dia taruh asal.
Kini anak itu sudah bergulung di dalam selimutnya. Tidak terusik sedikitpun dengan kedatangan Radit. Entah sejak kapan Rival terlelap hingga tidak lagi menyadari suasana di sekelilingnya.
Tangan Radit terjulur mengusap kening Rival. Adiknya terlihat lebih pucat. Mungkin karena dia tidak makan sejak pulang sekolah tadi. Karena kata Revin, Rival memang tidak keluar kamar sejak sampai di rumah tadi. Awalnya Radit ingin marah dengan kelakuan Rival. Tapi melihat wajah polosnya, mengingatkan kembali pada papa. Bagaimanapun, dia tidak boleh teledor menjaga adiknya.
"Val, bangun. Makan dulu, udah malam." Kata Radit sembali mengusap pelan rambut adiknya.
Rival sedikit terusik. Tapi sama sekali tidak membuka matanya. Tubuhnya tergerak, merubah posisinya menjadi mebelakangi Radit. "Gak laper. Gue ngantuk." Jawabnya dengan suara serak,
"Sebentar aja. Atau gue mau bawa kesini? Nanti maag lo kambuh kalau gak makan."
Rival menggeleng. Kali ini tidak menjawab apapun.
"Val—"
"Gak, bang. Gue mau tidur." Jawab Rival cepat memotong ucapan Radit yang lama kelamaan menganggu telinganya.
Bahkan bila boleh jujur, Rival lapar. Tapi masih sangat sakit hati dengan perkataan Revin tadi siang. Seberapapun Revin marah padanya, harusnya kakaknya bisa menerima alasan yang dia ucapkan.
Akhirnya Radit menyerah. Bila sudah seperti ini, Rival pasti tidak akan mau untuk dipaksa. Dia kembali melangkahkan kakinya keluar. Menghampiri Revin yang masih terfokus dengan tugas kuliahnya.
"Jangan terlalu keras. Nanti kalau ada apa-apa, lo juga yang susah." Ucap Radit yang kini sudah berada di sebelah Revin.
"Iya, tahu bang. Tapi jangan dimanja banget. Udah gede gitu. Kebiasaan ngelunjak jadinya." Balas Revin.
Radit menghela nafasnya, tidak akan melanjutkan karena pada akhirnya hanya akan berdebat dengan Revin.
"Tadi mama sms gue. Katanya dia mau ketemu kita berdua." Ucap Radit mengalihkan pembicaraan.
Tapi perkataan Radit tadi berhasil membuat Revin menoleh cepat, "Mama? Di Jakarta, bang?"
Radit mengangguk, "Mungkin. Buktinya dia mau ketemu kita, kan?"
"Tapi gue gak mau. Gue gak akan mau ketemu mama lagi, kalau ujung-ujungnya akan bahas hal yang sama."
"Iya, sama. Gue juga gak mau ketemu mama. Gue tahu apa yang mau mama omongin sama kita." Jawab Radit. Pandangannya masih kosong ke depan,
Bagaimanapun dia tidak akan rela bila bertemu mama dan akan menyulitkan kehidupannya ke depan. Bukankah bersama adik-adiknya saja sudah cukup? Dan dia juga tidak akan mengusik mama dan keluarganya.
Bila saja, mama bisa merubah sedikit kalimat di pesannya tadi, mungkin Radit bisa mempertimbangkan untuk bertemu. Tapi, dari pesannya saja, sudah bisa ditebak apa yang akan mama lakukan.