"Sesederhana itu mauku. Bahagia."
- Radit
•••
Setiap hari bagi Radit masih sama, masih menjadi perjuangan untuk hidupnya dan kedua adiknya. Bagi Radit, mereka adalah alasan untuk tetap kuat. Untuk tetap bersabar menjalani takdir yang sudah digoreskan untuknya.
Menjadi pijakan dari Revin dan Rival, menjadikan Radit menanggung beban yang jauh lebih besar diusianya yang ke dua puluh lima tahun. Tujuan hidupnya kini hanyalah kebahagiaan mereka. Bahkan bekerja hingga larut malam pun sudah menjadi kebiasaannya.
Radit masih ingat bagaimana dia berjanji untuk bertanggung jawab pada alm. Papa, untuk menjaga dan merawat adik-adiknya. Maka dengan itu, Radit mempunyai alasan di atas rasa lelahnya.
"Pagi, Bang."
Radit menoleh dan mendapati Revin yang sudah duduk di meja makan.
"Pagi. Rival mana?" tanyanya lalu membawa sarapan ke meja makan.
"Telat bangun lagi kayaknya," jawab Revin singkat. Tangannya menarik nasi goreng yang baru disiapkan Radit tadi.
"Kebiasaan deh. Lo juga, bukannya dibangunin malah ditinggal! Nanti telat tu anak."
"Biar aja, udah besar biar mandiri, Bang."
Radit hanya mengela nafas kasar. Malas berdebat dengan adiknya pagi-pagi seperti ini. Mereka saja sudah jarang bertemu, tapi sekali bertemu selalu saja ada perdebatan.
"Pagi, Bang." Suara Rival berhasil mengalihkan pandangan Radit. Laki-laki itu berbalik menatap adiknya.
"Kalau alarm hidup itu langsung bangun. Jangan kebiasaan dilanjutin tidur. Nanti kesiangan," ucap Radit yang masih menatap ke arah Rival.
Anak itu hanya diam tanpa berniat menanggapi ucapan kakaknya. Dia menarik piring dengan malas, lalu menyendok pelan makanannya.
"Val, kalau abangnya kasi tahu itu dijawab. Jangan diem!" Kata Radit. Tapi dia berusaha tidak terlalu keras menaikkan suaranya.
"Iya, Bang. Capek gue dengerin lo marah-marah mulu."
Radit hanya diam. Tidak melanjutkan untuk memarahi Rival. Karena akan percuma, ujung-ujungnya anak itu akan balik marah.
"Lo begadang lagi semalam?"
Rival menggeleng. "Tidur tepat waktu kok gue. Bahkan sampai nggak buat tugas karena ketiduran," ucap Rival. Baru saja Revin akan mengomelinya, tapi pandangan Rival sudah beralih.
Kini pandangan anak itu menatap Radit yang sibuk dengan ponselnya.
"Gue nggak sekolah ya, Bang. Boleh?" tanya Rival pelan.
Radit langsung menoleh dan menatap tajam adiknya, "Kenapa?"
"Perut gue nggak enak," jawabnya dengan wajah yang memelas. Tapi memang benar. Rasanya hanya ingin tidur dan meringkuk di dalam selimutnya.
"Bohong tuh! Alasan aja. Bilang aja males karena sekarang upacara, kan?" serga Revin cepat, yang langsung dibalas tatapan tajam oleh Rival.
Radit sempat memperhatikan sebentar raut wajah Rival yang memang sedikit pucat. Tapi beberapa kali Rival beralasan yang sama hanya karena malas sekolah. Jadi dia tidak mau tertipu lagi dengan tampang polos adiknya.
"Awas aja gue beneran kenapa-kenapa, nyesel lo bang!" ucap Rival lalu beranjak dari tempatnya.
Namun dengan segera tangan Radit menahan, dia tahu mood Rival pasti tidak baik. Tidak biasanya Rival menanggapi serius bercandaan Revin.
"Kalau beneran sakit, nggak apa-apa, lo istirahat aja di rumah," ucap Radit pelan.
"Nggak! Gue nggak apa-apa." kata Rival sambil masih menatap Revin yang kini terdiam.
"Serius? Belakangan ini lo sering bilang perut lo sakit. Takutnya ada apa-apa, mending coba preksa aja, ya." Suara Radit semakin melembut. Merasakan tangan Rival yang dingin membuatnya langsung khawatir. Takut bila adiknya itu bukan hanya beralasan sakit.
"Nggak! Gue bukan anak malas!" ucapnya lalu melepas paksa tangan Radit dan bergegas pergi.
Radit mengusap wajahnya kasar. Selalu saja begitu. Rival sulit diberitahu bila dalam keadaan badmood seperti ini.
"Susulin sana. Lain kali kalau mau bercanda lihat kondisi dulu," kata Radit.
Revin mengangguk pelan lalu bergegas menyusul adiknya yang sudah lebih dulu pergi.
Radit menyandarkan tubuhnya di kursi, memejam sebentar untuk meredam perasaannya yang tidak karuan. Merasa sangat bersalah pada Papa, karena tidak bisa benar-benar menjaga adiknya dengan baik.
Andai saja Papa masih ada, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini. Dia tidak akan sesulit ini membesarkan kedua adiknya yang mempunyai ego yang sama-sama tinggi. Atau andai saja Mama tidak seegois itu dan menerima mereka menjadi satu keluarga, mungkin hidupnya masih berlimpah kasih sayang.
Tapi, sungguh. Radit sama sekali tidak menyesal. Dia hanya takut, bila caranya salah mendidik kedua adiknya. Lebih dari itu, dia bahagia. Ada mereka dalam hidupnya. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah melepas mereka untuk pergi jauh. Karena separuh dari hidup Radit sudah ada pada adik-adiknya.
••
"Dit, ada customer tuh mau ketemu lo di depan." Irfan mendekati Radit yang sedari tadi hanya diam melamuan di mejanya.
"Nyari gue? Udah lo urus aja, gue lagi males."
"Kalau gue bisa udah gue ladenin Dit. Nah ini mau ketemu langsung sama yang punya katanya."
Radit itu bisa dibilang pengusaha muda yang cukup sukses dengan bengkelnya. Bahkan bengkel milik Radit sudah mempunyai nama yang cukup besar dan mengantongi banyak penghargaan serta kepercayaan.
Bengkel milik Radit bukan bengkel rumahan biasa. Bahkan tempatnya yang modern disertai cafe di bagian atas, membuat tempat itu bukan hanya tempat nongkrong bagi mereka yang menunggu mobil atau motornya dimodifikasi, tetapi juga tempat santai bagai mereka yang ingin berkumpul dengan teman-teman.
Akhirnya Radit hanya mengangguk, menyuruh Irfan untuk keluar lebih dulu dan dia akan menyusul setelahnya.
Entah mengapa perasaannya jadi tidak karuan hari ini. Ada hal yang mengganjal di pikirannya, dan dia tidak tahu itu apa.
Hingga suara pesan masuk membuat Radit sedikit tersentak. Laki-laki itu menggerutkan keningnya sebentar saat membaca nama pengirimnya.
Mama
Halo Radit. Apa kabar?
Mama kangen sama kamu dan Revin
Kalau ada waktu, mama mau ketemu
Radit hampir saja melempar ponselnya, bila saja dia tidak ingat bahwa dia masih sangat membutuhkan benda itu.
Wanita itu, mamanya, Radit yakin sudah berada di Jakarta lagi saat ini. Setelah sekian lama dia mendengar Mama menetap di Singapura. Bukankah ini masalah? Tidak ada yang lebih tenang saat mendengar mamanya tidak berada di Indonesia kala itu.
Katakanlah Radit durhaka saat menjauhi wanita itu. Radit bukanlah anak yang baik, saat tidak satupun kata-kata dari wanita itu dia turuti. Radit hanya tidak mau, bila Mama menghancurkan kebahagiannya.
•••
Author note:
Hallo. Ini cerita yang sudah pernan di post di w*****d, dan aku post ulang lagi di sini, ya. Terima kasih sudah kembali membaca kisah mereka ?