Kedua kaki tanpa alas itu berlari dengan sangat kencang di atas tanah yang basah. Gaun warna putih selutut yang ia kenakan pun kotor terkena lumpur.
Nafasnya terengah-engah, tapi ia harus terus berlari menuju ke suatu tempat
Rinai hujan membasahi rambutnya yang panjang sepunggung berwarna coklat caramel. Angin juga tidak tinggal diam, ia menyapa setiap pepohonan yang ia lewati begitu pula menyapa rambut wanita itu yang membuatnya tampak cantik sama seperti bola matanya yang berwarna biru.
Kakinya terus berlari, dan tidak merasakan sakit, padahal saat ini telapak kakinya sudah berdarah.
Aku akan menyelamatkanmu. Tunggu aku ayah, aku akan datang. Gumamnya dalam hati, dan terus berlari hingga sampai dimana kakinya perlahan berhenti saat melihat beberapa pria bertubuh besar mengenakan jaket kulit berdiri di depan sebuah bangunan yang terbuat dari kayu.
Dari depan bangunan itu terlihat seperti gudang penyimpanan, atau mungkin juga terlihat seperti kandang hewan.
Ia bersembunyi di balik pohon, nafasnya terengah dan tatapan matanya yang tampak sangat khawatir.
Bagaimana caranya agar aku bisa masuk ke sana? Apa yang harus aku lakukan?
Wajahnya bingung, ia mencari-cari sesuatu yang bisa membantu dirinya. Dan untungnya kedua matanya melihat ada ketapel yang letaknya tak jauh dari pohon tempat ia bersembunyi.
Senyumannya terbit saat melihat benda itu.
Ia kembali berdiri di balik pohon, ketapel sudah ada di tangannya dengan sebuah batu yang cukup besar, ia arahkan benda itu ke sebarang jalan yang mana itu adalah hutan. Ia mulai menarik karet ketapel, dan juga batunya.
Semoga ini bisa mengalihkan mereka.
Batu itu melayang dengan tinggi masuk ke dalam hutan dan membuat rumput yang tumbuh dengan tinggi bergerak, dan batu itu juga membentur pecahan kaca sehingga menimbulkan bunyi, dan membuat pria-pria yang berbadan besar itu langsung menoleh ke arah hutan dan pergi ke sana.
Ia bernafas dengan lega, ternyata tidak sulit untuk membuat mereka terkecoh.
Ia pun mendekat ke arah bangunan kayu itu. Pintunya pun tidak di kunci, sehingga membuatnya dengan mudah masuk ke dalamnya.
Sesaat sudah membuka pintu, kedua mata birunya menatap seorang pria berambut putih yang duduk di kursi dengan tubuh yang terlilit tali, dan kepala yang terkulai dengan lemas ke depan.
Pria itu tampak tidak sadarkan diri.
"Ayah!!" teriaknya, langsung berlari menuju pria itu. Air matanya langsung jatuh saat ia sudah berada di depan pria itu. Ia menangkup wajah yang pucat dengan kepala yang mengeluarkan darah, "ayah, ini aku Fiona," dengan suara yang bergetar dan air mata yang terus mengalir di pipinya, ia mencoba untuk membangunkan ayahnya. "Ayah, bangun lah,"
"Wow, ada mangsa lain yang terperangkap,"
Fiona langsung menoleh ke arah suara itu, di depan sana, lebih tepatnya di pintu, ada seorang pria dengan kepala plontos, wajah berkumis, dan memiliki tato di kedua tangannya, ia menatap Fiona dengan seringai yang menakutkan.
"Bagus, aku bisa langsung membunuh kalian berdua sekaligus!"
Setelah mengucapkan itu, beberapa pria langsung masuk ke dalam, penampilan mereka sama seperti pria plontos itu, tubuh mereka di penuhi tato, dan tindik di wajah masing-masing. Di tangan mereka pun, memegang kayu, parang, bahkan tongkat bisbol.
Fiona panik, ia berdiri di depan Ayahnya yang tidak sadarkan diri.
"Apa yang ingin kalian lakukan kepadaku!!" teriak Fiona, pria-pria itu semakin mendekat ke arahnya. "Menjauh kalian!!" teriaknya lagi.
Pria plontos itu hanya tertawa melihat Fiona yang panik, anak buahnya mulai melayangkan senjata yang mereka bawa kepada Fiona.
Fiona yang seorang wanita, tidak mempunyai senjata, tidak bisa bela diri, hanya mampu melindungi dirinya dengan kedua tangannya dari serangan brutal pria-pria itu.
Mereka tertawa melihat tubuh Fiona yang jatuh ke lantai, dan sudah bersimbah darah oleh pukulan yang mereka berikan pada tubuh Fiona.
Fiona masih berusaha untuk tersadar, ia tidak boleh mati! Ia harus tetap hidup, dan membantu ayahnya terlepas dari para penjahat itu.
Dor!!
Satu tembakkan terdengar dari luar, pria plontos yang masih berdiri di depan pintu, memutar tubuhnya ke depan.
Sesaat kemudian, kedua matanya langsung membulat saat melihat siapa yang ada di hadapannya.
"Anak buah Simon!" bisiknya, lalu dengan wajahnya yang berubah takut ia berlari masuk ke dalam.
Ada 3 mobil warna hitam yang berhenti di depan tempat itu. Di samping mobil sudah berdiri pria-pria berjas hitam, dengan earpiece di telinga masing-masing.
Salah satu dari mereka membuka pintu mobil, dan turunlah seorang pria berambut putih, dengan tongkat yang membantu dirinya untuk berjalan.
Sebenarnya, tanpa tongkat itu pun ia masih bisa berjalan, namun saat ini penyakit yang bersarang di tubuhnya sering kambuh, dan menyebabkan ia harus memakai tongkat itu untuk membantunya agar bisa beraktivitas.
Ia melepaskan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Tatapan mata tajam khas miliknya, bergerak melihat bangunan yang ada di di depannya.
"Selamatkan mereka," ucapnya kepada semua anak buahnya.
Mereka langsung masuk ke dalam, dan ia menunggu di luar.
Pria berkepala plontos itu terlihat panik, "berhenti berhenti," ucapnya berlari ke arah anak buahnya. "Bawa mereka berdua pergi dari sini," ucapnya menyuruh mereka untuk membawa anak, dan ayah itu untuk pergi dari sana.
Fiona masih berusaha untuk membuka kedua matanya, walaupun kepala, dan tubuhnya terasa sakit semua.
"Jangan sentuh aku," suara Fiona melemah, pria-pria itu menuntun tubuh Fiona agar berdiri, tapi gerakkan mereka terlalu lambat, sehingga anak buah Simon lebih dulu menghajar mereka.
Tubuh Fiona kembali jatuh dengan lemas ke lantai, dan satu anak buah Simon dengan sigap menggendong tubuh Fiona untuk keluar dari sana.
"Pak, hanya nona yang bisa diselamatkan," ucap pria itu pada Simon yang menatap prihatin keadaan Fiona.
Simon mengangguk, "bawa ke rumah sakit sekarang,"
"Baik pak,"
Setelah memastikan keadaan Fiona sudah aman, Simon pun melangkah masuk ke dalam bangunan itu.
Di dalam, keadaan sudah sangat kacau, anak buahnya, dan para penjahat itu masih baku hantam, tapi jumlah mereka kalah dengan jumlah anak buah Simon.
Dan akhirnya mereka satu persatu tumbang.
Salah satu anak buah Simone mendekat ke arahnya, "tuan Emir dibawa oleh mereka pak,"
"Aku sudah mengetahuinya," jawab Simon, lalu kedua matanya yang tajam itu menatap sekeliling. "Bakar tempat ini, jangan sampai meninggalkan jejak sedikitpun." Simon melirik pria itu, "kau paham maksudku kan?"
"Paham pak," ucapnya dengan menundukkan sedikit kepala.
"Beritahu aku, jika kalian sudah melakukan apa yang aku perintahkan. Aku harus ke rumah sakit sekarang."
"Baik pak," pria itu menjauh dari Simon, guna memberitahu rekan-rekannya tentang apa yang Simon perintahkan.
Simon pergi dari sana, ia melangkah menuju ke mobil, "kita ke rumah sakit sekarang," ucap Simon pada sopirnya.
Mobil pun melenggang dari tempat itu.
***
Fiona terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya penuh luka, dan memar. Saat ini, ia tidak sadarkan diri di dalam ruangannya.
Simon sudah berdiri di depan ruangan Fiona, dari jendela, bisa ia lihat Fiona yang tidak sadarkan diri di dalam sana. Dokter bilang, luka, dan memar Fiona tidak terlalu serius, untungnya wanita itu bisa menjaga kepalanya agar tidak terkena pukulan, dan kemungkinan ia akan sadar sebentar lagi.
"Kenapa Anda berdiri di luar pak? Masuk lah ke dalam," dokter muncul, dari ruangan sebelah.
"Ah iya, aku hanya mengikuti prosedur yang ada," jawab Simon dengan tersenyum canggung ke arah dokter.
"Untuk kasus yang pasien alami, tidak apa-apa bagi walinya untuk masuk ke ruangan, lagi pula sebentar lagi pasien akan sadar," ucap dokter sembari melihat ke arah jam tangannya.
"Iya dokter, terima kasih,"
Dokter berlalu dari hadapan Simon, dan pria itu pun masuk ke dalam ruangan Fiona. Tongkatnya menyapa lantai ruangan itu, Simon duduk di kursi yang ada di sana.
Ia tatap wajah Fiona yang terlelap dengan sebelah pipi yang di perban, dan tangan yang penuh lebam.
"Fiona harus aku lindungi dari Wrathborn. Mereka sangat berbahaya, mereka tidak akan segan-segan membunuh orang-orang yang sudah membuat mereka sakit hati, terutama pemimpin mereka! Mereka berdiri atas dendam, dan sakit hati. Karena itu pula, mereka terus mengincar keluarga yang dulunya harmonis seketika hancur hanya karena hasutan mereka! Dan hingga saat ini, Wrathborn masih menjadi musuh utama keluarga Sachdev! Karena mereka juga ayahku tutup usia setelah berhasil tersadar dari komanya selama bertahun-tahun!" rahang Simon mengeras, kedua tangannya menggenggam erat tongkatnya.
"Hanya Fiona yang Emir miliki sekarang, dan aku harus melindunginya!" Simon menatap lekat Fiona yang masih menutup kedua matanya. "Akan ku jadikan kau bagian dari keluargaku Fiona. Nama Sachdev akan tersemat di belakang namamu." ucap Simon dengan senyuman yang menghiasi wajah keriputnya.