HAVEN - Part 2

1233 Kata
Suara desahan terdengar disebuah ruangan yang ada di suatu unit apartemen yang cahayanya meremang, dan sedikit gelap. Tidak hanya desahan, bunyi ranjang yang bergerak pun menjadi tanda, kalau ada sepasang anak manusia yang sedang memadu kasih di dalam kamar unit apartemen itu. Kedua tangan yang lentik itu memeluk tubuh kekar, dan bertato yang ada di atasnya. Tubuh mereka berdua menyatu, dan saling bergerak satu sama lain. Si pria terus menghujam nya dengan gerakkan yang sedikit kasar, dan cepat. "Ah," desahannya terus terdengar saat tubuhnya merasakan kenikmatan yang luar biasa. Ia mencakar punggung kekar, dan bertato itu saat merasakan, jika dirinya sudah sampai pada klimaksnya. Tubuhnya melengkung ke depan, dengan kepala yang mendongak. Desahannya keluar bersamaan, dengan tubuhnya yang jatuh kembali ke atas ranjang. "Kau menakjubkan sekali," suara berat itu menyapa gendang telinganya. "Kau juga menakjubkan sayang," jawabnya, dan mencium bibir si pria dengan lembut. ^^^ "Ponselmu terus berbunyi sayang, tidak ingin menjawab panggilan itu?" Haven, menatap kekasihnya, Selene yang saat ini berdiri di depan pintu kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk kimono. Pria bermata hazel itu berdiri, ia hanya mengenakan celana boxer, menghampiri Selene lalu memeluk pinggang ramping wanita itu dengan manja. Sebelah tangannya menyentuh wajah Selene yang terasa halus, dan lembut. Bibirnya perlahan kembali mendarat dibibir merah, dan tebal milik Selene. Selene mendorong tubuh kekar, dan besar itu. Ia melangkah menuju ponsel Haven yang terus berbunyi. "Orang tuamu menelepon mu, sayang," Selene menunjukkan layar ponsel Haven pada pria itu. "Biarkan saja," jawab Haven kembali melangkah ke ranjang, dan merebahkan tubuhnya di sana. "Tapi ini dari daddy mu," Haven menutup kedua matanya, "tidak semua permintaannya harus aku turuti Selene," "Tapi sepertinya ini penting, dia tidak berhenti menghubungimu," Haven terpaksa kembali membuka kedua matanya. Selene memberikan benda itu pada Haven, dan ia menyambutnya dengan malas. Melihat reaksi Haven, Selene hanya bisa tertawa, ia kembali melangkah masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Haven yang saat ini tengah berbicara dengan Simon. *** Perlahan, kedua mata Fiona terbuka. Mata birunya bergerak menatap ruangan tempat ia dirawat. Kosong, tak ada seorang pun di sana. Ia mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menyentuh kepalanya yang terasa sakit, dan juga wajahnya yang terasa kaku. Lalu, pandangannya beralih pada kedua tangan, dan kakinya yang lebam. Seketika kedua matanya membulat, "ayah," dengan gerakan yang cepat, ia melepaskan jarum yang tertancap di tangannya, lalu turun dari ranjang. Bukannya berhasil berdiri, tubuh Fiona malah jatuh ke lantai dengan ironis. Ia berusaha untuk berdiri, tapi kakinya terlalu lemah untuk digerakkan. "Ayah!! Ayah!!" Fiona terus menyebut ayahnya, hingga Simon datang, dan membantu dirinya untuk bangun dari lantai. "Dimana ayahku? Aku ingin menemui ayahku," Fiona menangis. "Untuk saat ini, kau belum bisa menemui ayahmu," Kedua mata Fiona bergerak menatap wajah Simon dengan bingung, "apa maksudmu? Kenapa aku tidak bisa menemui ayahku sendiri? Kau siapa? Kenapa bisa kau berbicara seperti itu? Dimana ayahku? Dia sedang sekarat, kepala, dan wajahnya berdarah, aku harus bertemu dengannya, aku harus mengobatinya," Fiona memberontak, ia mencoba untuk turun dari ranjang, tapi Simon menahan tubuhnya. "Tenanglah nak, untuk saat ini ayahmu sedang mereka sandera," Tubuh Fiona seketika menegang, kedua matanya yang basah menatap lekat wajah Simon. "Maksudmu?" suara Fiona berubah menjadi pelan. Simon menatap sedih Fiona. Bisa ia rasakan kesedihan yang menimpa wanita itu. Reaksi yang Fiona berikan hampir sama seperti yang pernah ia alami dulu, di saat Allard pergi meninggalkan dirinya karena ulah Wrathborn. Kedua tangan Simon menyentuh wajah Fiona. "Maafkan aku nak, aku terlambat datang untuk menyelamatkan kalian," Fiona menangis sejadi-jadinya, tubuhnya bergetar dengan hebat. Simon memeluk tubuh Fiona dengan erat. "Ayahku harus hidup paman, dia tidak boleh meninggalkan aku," "Iya nak, akan ku pastikan Emir kembali dengan sehat, dan bertemu denganmu lagi. Ini janjiku." ^^^ Mobil Haven berhenti tepat di depan rumah orang tuanya. Ia terpaksa memenuhi keinginan Simon, yang menginginkan dirinya untuk kembali pulang ke rumah mereka. Haven sudah memiliki sebuah apartemen, dan juga rumah sendiri. Ia pun, juga sudah lama keluar dari rumah kedua orang tuanya tersebut. Haven keluar dari mobilnya, ia yang saat ini hanya memakai kaos hitam berlengan pendek, hingga menunjukkan tatonya di kedua tangannya, dipadukan dengan celana jeans pendek yang warnanya senada dengan kaos yang ia kenakan saat ini. Rambutnya yang berwarna coklat, jatuh menutupi keningnya membuatnya semakin terlihat tampan saja. Kakinya yang kuat melangkah masuk ke dalam rumah, di sana sudah ada kedua saudaranya, yaitu Denzel, dan juga Victoria. "My brother!!" teriak Victoria, menghampiri Haven, lalu memeluk tubuh pria itu dengan hangat. "I miss you," ucap Victoria lagi sembari melepaskan pelukannya. "Me too," jawab Haven dengan singkat. Kedua matanya mengedar, "mana mom and dad?" "Mommy ada di kamar, kalau daddy sedang diperjalanan," jawab Victoria kembali melangkah ke arah Denzel yang tampak sibuk dengan ponselnya. "Apa game lebih penting dari saudaramu, Denzel?" Haven mendekat ke arahnya. Ia duduk di samping kanan Denzel yang fokus memainkan game favoritnya. "Ya, game sangat penting, dan segalanya bagiku," jawab Denzel fokus pada layar ponselnya, dan Haven hanya bisa menggelengkan kepala. Victoria yang duduk di sebelah kiri Denzel hanya bisa tertawa melihat interaksi Haven, dan Denzel. "Pasti kau habis dari tempatnya Selene," Tanpa menoleh ke arah Denzel, Haven menganggukkan kepala, "ya, dan saat sedang bersamanya, daddy pasti akan menelepon. Dan hingga saat ini, aku masih bingung, mengapa itu terus terjadi saat aku sedang bersama Selene? Saat tidak bersama dengannya, daddy tidak menelepon atau pun menggangguku," "Instingnya terlalu kuat untuk kau bohongi Haven," jawab Denzel dengan mata yang tetap fokus pada layar ponselnya. "Dan aku yakin, pasti saat ini akan ada sesuatu yang sangat penting untuk dia beritahukan kepada kita," Haven menoleh ke arah Denzel, "kau tahu akan rencananya?" Denzel menggeleng, "no, aku hanya merasa dia ingin kita mengetahui sesuatu yang sangat penting, hingga membuat kita berkumpul bersama seperti ini," Denzel mematikan layar ponselnya. Ia tatap Haven, dan Victoria bergantian. "Apa yang kau rasakan Denzel?" tanya Victoria tampak tertarik dengan ekspresi wajah Denzel. "Aku merasa, dia membawa sesuatu yang tidak akan bisa Haven tolak," Denzel, dan Victoria serentak menoleh ke arah Haven. "Maksudmu?" "Mobilnya sudah datang," Denzel tidak menjawab pertanyaan Haven. Tebakan pria itu memang benar, mobil Simon berhenti tepat di belakang mobil Haven. Ia turun dari kendaraan itu bersama Fiona. Wanita itu berdiri di samping Simon, dengan penampilan yang cukup lebih baik dari sebelumnya. Ia tatap bangunan besar di depannya "Paman yakin, aku akan diterima oleh keluargamu? Aku hanya orang asing," "Kau bukan orang asing nak, kau anak dari temanku. Di saat dia sedang tidak bisa menjagamu, maka aku yang akan menggantikan posisinya untuk sementara. Mulai saat ini, jangan pernah berbicara seperti itu lagi. Kau bukan orang asing, mengerti?" Fiona menganggukkan kepalanya, ia tatap Simon dengan yakin. Pria tua itu menggenggam erat sebelah tangan Fiona, lalu melangkah menuju pintu. "Mereka akan segera muncul," "Apa maksudmu dengan kata mereka Denzel?" Haven menatap keheranan Denzel yang sudah berdiri dari duduknya. Kepalanya mendongak ke arah adiknya itu. "Itu mereka," bisik Denzel. Haven, dan Victoria serentak menoleh ke arah pintu. Victoria berdiri dari duduknya saat melihat seorang wanita bersama dengan orang tuanya. Tangannya digenggam oleh Simon! Haven pun reflek berdiri, saat pandangannya bertemu dengan seorang wanita asing, yang tidak ia ketahui, sedang bergandengan tangan dengan orang tuanya. "Kalian sudah datang," Simon menatap satu persatu ketiga anaknya. "Kalian tidak perlu terkejut seperti itu," ucapnya sembari masuk ke dalam rumah. Ia berdiri di depan ketiga orang itu. "Aku ingin memperkenalkan, orang yang aku genggam ini kepada kalian," "Dia siapa dad?" tanya Victoria menatap dari bawah ke atas penampilan Fiona. "Perkenalkan, dia Fiona. Calon istri Haven."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN