Chapter 1
***
"Pokoknya Bibi tunggu uangnya sampai besok ya. Awas aja kalau enggak kamu kirim. Barang-barang kamu di sini, semuanya Bibi buang."
Skayara menghela napas berat. Duduk di kursi plastik di depan kamar kostnya, dia mengingat lagi ancaman sang bibi beberapa waktu lalu.
Bingung, itulah Skayara sekarang karena bukan untuk bertanya kabar, tujuan sang bibi menelepon adalah; untuk meminta uang.
Tidak sedikit, nominal yang diminta cukup banyak. Seolah tidak peduli dan tidak mau tahu tentang bagaimana sulitnya Skayara mencari uang, Lina—sang bibi ingin apa yang diminta dikirim paling lambat besok.
Ini bukan kali pertama Lina menyusahkan Skayara soal uang. Namun, sesering apa pun perempuan itu meminta, Skayara tidak bisa menolak karena alasan; balas budi.
"Ini aku harus cari uang ke mana coba?" tanya Skayara pada dirinya sendiri. "Gajian masih lama, terus Bibi mintanya juga enggak sedikit. Pusing banget."
Skayara menoleh ke arah piring berisi nasi yang sedang dia santap. Ditodong uang sepuluh juta, nafsu makannya hilang, sehingga alih-alih kembali menyantap nasi, dia memilih untuk beranjak.
"Ngegojek juga enggak akan dapat sepuluh juta dalam semalam," ucap Skayara sambil memandang motor maticnya. "Ah, bodo amat deh. Jalan-jalan dulu mendingan, siapa tahu dapat rezeki nomplok."
Tanpa mengganti baju, Skayara berjalan menuju motor, lalu meninggalkan kost begitu saja. Menyusuri jalanan malam ibu kota, pikirannya dipenuhi ucapan demi ucapan sang bibi, hingga ketika tiba di jalanan sepi, sebuah pemandangan membuatnya mengernyit.
"Eh, itu apa?" tanya Skayara, setelah melihat segerombolan orang menyerang pria berkemeja. "Kok kaya lagi di keroyok ya? Wah, enggak bisa dibiarin."
Tidak bisa diam saja melihat orang ditindas, Skayara menurunkan standar motornya lalu berlari. Mengintip dulu dari balik pohon, dia semakin yakin terhadap dugaannya sehingga dengan nyali yang terkumpul penuh, Skayara berseru,
"Woy, lagi apa kalian? Ngeroyok orang ya?"
"Siapa lo?" tanya salah seorang pria berkepala plontos. "Enggak usah ikut campur, ini urusan kit-"
"Panggil bantuan," pinta pria berkemeja putih yang terlihat tidak baik-baik saja. "Mereka semua preman, dan mereka nyerang saya daritadi."
"Kan ... keroyokan!" ujar Skayara, sambil mengarahkan telunjuknya pada gerombolan pria di depannya. "Kalau memang laki-laki, jangan gitu dong mainnya. Satu lawan satu!"
"Saya suruh kamu panggil bantuan! Bukan nambahin masalah!"
"Ini saya lagi bantu, Mas!" ujar Skayara spontan. "Mas tenang aja, saya enggak selemah yang Mas pikir!"
"Ish!"
"Maju sini satu-satu!" ujar Skayara lagi, tanpa rasa takut. "Delapan kok lawan satu, lawan dua dong biar lebih adil! Maju!"
Terjadi begitu cepat, delapan orang pria yang semula mengeroyok satu orang, berpencar menjadi dua kubu. Empat orang melanjutkan lagi tugas mereka menyerang si pria berkemeja, sementara empat orang lagi menyerang Skayara.
"Maju satu-satu! Gue enggak takut!" seru Skayara yang terus mengeluarkan jurusnya.
Tidak sekadar bualan, perempuan itu mulai berhasil menumbangkan para pria yang menyerangnya. Kurang dari sepuluh menit, delapan orang yang semula berkuasa, keok.
"Minggat kalian!" usir Skayara lagi pada delapan orang pria yang lari terbirit-b***t menuju kendaraan mereka.
Tidak ada lagi perkelahian, suasana mendadak hening. Skayara tersenyum puas, hingga ucapan dari pria berkemeja putih yang barusaja dia tolong, membuat atensinya beralih.
"Punya ilmu apa kamu? Saya perhatiin jago banget berantemnya."
"Saya pelatih taekwondo, Mas. Jadi kebetulan bisa," ucap Skayara, dengan senyumannya yang ramah. "Mas baik-baik aja, kan? Untung saya datang ya. Kalau enggak, Mas pasti udah jadi ayam geprek."
Tidak menimpali, pria berkemeja putih di depan Skayara, mengusap sudut bibirnya yang kebetulan berdarah. Mengulurkan telapak tangan tanpa permisi, sebuah nama disebutkannya secara tiba-tiba.
"Alaska."
"Eh? Mas ngajak saya kenalan?" tanya Skayara, sebelum menyambut uluran tangan pria di depannya. "Skayara, Mas. Biasa dipanggil Skaya."
"Saya berhutang budi sama kamu," kata Alaska. "Mau imbalan apa?"
"Saya ikhlas lho, Mas, bantu Masnya," ucap Skayara, tersenyum samar.
"Saya tahu, tapi saya tetap mau kasih imbalan," ucap Alaska. "Mau apa? Bilang aja enggak usah canggung."
"Kalau uang, ada?" tanya Skayara hati-hati.
"Banyak," ucap Alaska. "Mau berapa?"
"Sepuluh juta?" tanya Skayara lagi. "Ada enggak segitu? Kebetulan saya lagi butuh buat ditransfer ke kampung."
"Segitu doang?" tanya Alaska—membuat Skayara mengangguk. "Mana nomor rekeningnya, saya kirim sekarang."
"Eh, serius, Mas?" tanya Skayara, memastikan.
Terlalu mudah, dia cukup curiga karena baginya, sepuluh juta bukanlah uang sedikit.
"Ya serius," ucap Alaska, sambil merogoh ponsel. "Sebutin nomornya."
Meskipun kaget bahkan curiga, Skayara mendikte nomor rekeningnya satu persatu. Tidak sampai semenit, uang sepuluh juta masuk—membuat kedua matanya membulat sempurna.
"Mas, ini uang dari Mas?"
"Menurut kamu?" tanya Alaska, sambil menaikkan sebelah alis. "Makasih karena udah bantuin saya. Kalau enggak ada kamu, saya mungkin udah babak belur."
"Sama-sama, Mas," ucap Skayara. "Makasih juga karena udah kasih saya uang. Bisa langsung saya kirim nih ke bibi saya."
"Buat apa?" tanya Alaska.
"Buat hajatan sodaranya," kata Skayara. "Bibi punya hutang, dan sekarang ditagih."
"Oh."
"Saya pamit ya, Mas," ucap Skayara. "Mas Alaska langsung pulang habis ini. Hati-hati juga di jalan. Semoga enggak ketemu mereka."
"Iya."
Skayara berbalik lalu berjalan dengan perasaan berbunga-bunga. Mendapat durian runtuh, dia tak sabar untuk mengirim uang dari Alaska, pada sang Bibi.
Namun, belum sampai Skayara ke motor, suara Alaska kembali terdengar—membuat dia berbalik.
"Skayara."
"Eh iya, Mas, kenapa?"
"Kamu mau enggak jadi tunangan saya?"
"Hah?" tanya Skayara cengo. "T—tunangan? Tunangan gimana maksudnya, Mas?"