Part 7

2083 Kata
Raka memilih untuk meninggalkan rumah sakit lebih awal. Bahkan ia melupakan tugasnya untuk visied para pasien yang menjadi tanggung jawabnya, rasanya kalau ia masih terus di rumah sakit sama saja dia melihat kehancuran dirinya sendiri. Mungkin ini karma yang di berikan Tuhan untuknya karena ia sudah merusak masa depan Nadira tapi kenapa karma yang ia dapatkan amat sangat menyakitkan? Ia membuang Snelli miliknya serta tas kerjanya ke jok belakang mobilnya, lalu ia memacu mobil Audinya dengan kecepatan tinggi. Emosi begitu berkecamuk di dalam dirinya dan tak bisa ia kendalikan lagi. Di satu sisi ia merasa senang setelah hampir lima tahun Nadira menghilang tanpa jejak akhirnya bisa ia temukan, dan di satu sisi ia begitu kecewa dengan Nadira. Jadi, alasan Nadira menghilang nyaris lima tahun yang lalu hanya karena, Handaru? Jangan bilang suami Nadira adalah Handaru dan karena Handaru lah, Nadira begitu tega meninggalkanya? Jalanan kota Jakarta hari ini cukup lengang, Raka memutuskan untuk mengubah rute arah ke rumahnya menjadi kearah kawasan Kemang. Rasanya Raka benar-benar tak ingin kembali kedunia terkutuk itu, dunia malam yang sangat identik dengan lampu remang-remang, musik dengan suara keras dan membuat gendang telinga pecah, penari-penari eksotis yang memamerkan lekuku tubuhnya, asap rokok yang mengepul di mana-mana, dan tentu alkohol juga barang terlarang tersebar luas disana. Raka memarkir mobil di depan sebuah tempat hiburan malam yang berada di kawasan Kemang. Tanpa pikir panjang ia memilih untuk masuk dan melupakan semua janji-janjinya dulu, janji untuk tidak datang ketempat hiburan malam dan meminum alkohol. Dokter macam apa ia ini? apa pantas ia di sebut dokter tapi tingkahnya seperti yang tidak mengerti tentang bahaya dunia malam itu? Bau asap rokok langsung menyambut kedatangan Raka, tapi lagi-lagi Raka tidak memperdulikanya. Banyak wanita dengan pakaian yang begitu seksi mendekati Raka tapi Raka mengabaikan mereka semua. Raka langsung memilih untuk mendekat kearah bar minuman. “Vokda-nya ya!” tuas Raka. Segera sang pelayan ini mengeluarkan segala jenis Vokda dari yang paling murah hingga yang paling mahal sekali pun. Raka menjauhkan pilihan kepada Vokda yang paling mahal dan kadar alkohol yang tinggi. Setelah pesannya tiba, Raka mulai menuangkan Vokda di sloki miliknya. Tegukan pertama pun di mulai. Lagi-lagi alkohol menjadi pelarianya persisi seperti empat setengah tahun yang lalu saat Dira menghilang tanpa jejak. Karena ia kehilang Dira semuanya menjadi sangat kacau. Bahkan, skripsi Raka terbekalai hanya karena Raka sibuk mencari Dira. Dan hari ini, alkohol kembali menjadi teman terbaiknya. Teman yang bisa mengerti bagaimana perasaannya sekarang. Rasanya ia begitu sakit hati melihat Dira dan Daru saling berciuman satu sama lagi. Raka ingin marah lalu memukul Daru bahkan ia juga ingin menghabisi Daru saat ini juga. Tapi, lagi-lagi Raka tak bisa statusnya sebagi dokter  begitu terasa kurang etis untuk bermain fisik bahkan menghilangakn nyawa seseorang hanya karena masalah cinta. ###### Agustus 2005 Akhirnya hasil ujian masuk univeritas tiba, Raka begitu terkejut mendapatkan namanya berhasil untuk masuk ke falkutas kedokteran yang sama sekali tak ia harapkan. Kenapa semua malapetaka begitu bertubi-tubi datang di dalam hidupnya? Belum cukupkah kehancuran keluarganya akibat perselingkuhan ibunya, lalu kematian ayahnya dan kedatangan si iblis bertameng malaikat yang sudah memporak-poradakan keluarganya ini. Udara sore hari yang terlihat mendung tak menyurtkan langkah Raka untuk pergi ketaman tempat biasa Raka dan Dira menghabiskan waktu mereka berdua. sudah sepuluh tahun, taman ini sudah menjadi saksi bisu bagaimana mereka berdua tumbuh bersama. “Dor!” seru seseorang sembari menepuk pundak Raka sangat kencang dan ini membuat Raka nyaris loncat dari ayunan yang ia duduki. Terlihat sosok Dira dengan rambut panjang yang biasa tergerai kini di kuncir ekor kuda dan ini membuatnya semakin cantik. “Ngagetin aja si kamu!” dumal Raka, “Untung aku nggak punya penyakit jantung! Bisa-bisa aku kena serang jantung mendadak kali. Kamu mau aku meninggal mendadak?” Dira tertawa meledek. “Ah, jangan dong. Nanti siapa yang melindungi aku kalau nggak ada yang melindungi aku lagi dong?” Raka bangkit dari ayunan yang ia duduki, kedua tangannya kini meraih pipi chubby milik Dira. “Aku akan selalu menjaga dan melindungi kamu, Nad. Untukku, kamu itu segalanya.” “Gombal!” dengus Dira. “Mau bukti apa kalau aku nggak gombal sama kamu?” tantang Raka. “Ugm....” Wajah Raka semakin dekat, bahkan desah napas Raka begitu terasa menyapu wajah Dira. Hampir sedikit lagi bibir mereka saling menyatu dan suara dering ponsel Dira yang begitu membuat semua orang yang mendengar cukup kaget menganggu mereka berdua. Dira merogoh saku celana jeans yang ia kenaka, nama Mbok Imah pengasuhnya sejak kecil tertera. “Halo Mbok?” “Non Dira di mana?” tanya Mbok Imah panik. “Saya masih ada di taman dekat rumah, kenapa ya Mbok.” “Itu....” “Itu apa Mbok?” “Saya.... wes mau ngomong... bahwa Tuan dan Nyonya....” “Ada apa dengan Papa dan Mama?” Dira mulai bingung dengan penuturan mbok Imah. “Pesawat yang di tumpangi tuan dan nyonya kecelakaan... Non.” Terdengar suara Mbok Imah sangat kecil. Dira langsung menjatuhakan ponsel yang ada di genggamnya. Apa... kecelakaan? Kenapa... kenapa ini terjadi?bukankah mereka hanya pergi untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Mamanya? Air mata Dira pun mulai menetes membasahi pipi chubbynya itu. melihat Dira menangis, Raka berinisiatif untuk memeluknya. Terlintas rasa heran di pikiran Raka. Kenapa Dira tiba-tiba menangis? Dira yang Raka tahu adalah seseorang yang tidak pernah menangis di depan umum seperti ini. “Nadira, kamu kenapa?” Raka mengelus punggung Dira dengan lembut, tapi gadis ini masih saja menangis. “Papa... Mama... kenapa... kalian ninggalin aku sendiri.” racau Dira. ###### Agustus 2005 Rumah tempat tinggal Dira mulai ramai berdatangan parah pelayat yang memberikan ucapan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas kepergian orang tua Dira. Dira masih saja terus menangis di sambil memeluk foto kedua orang tuanya. Sungguh, Dira belum siap menerima sebuah kenyataan bahwa sekarang ia sendirian. Jenazah kedua orang tua Dira masih belum di temukan, karena kecelakaan pesawat yang akan membawa kedua orang tuanya ke Singapur terbakar habis sehingga tim evakuasi kesulitan untuk membedakan banyaknya jenazah yang hangus terbakar. Beberapa orang berusaha menenangkan Dira yang menangis bahkan histeris. Terlihat sosok Reno, Isty juga Kayla berusaha menenangkan Dira yang sangat amat terpukul ini. Raka hanya duduk mematung memperhatikan semua orang di sekelilingnya, ia tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua tapi Raka tidak pernah membayangkan bahwa Dira harus merasakan kehilangan kedua orang tuanya di usia yang masih sangat belia. Suara hentakan heels membuat para pelayat mengalihan pandanganya terhadap sumber suara itu, sosok wanita paruh baya dengan rambunya yang sudah berwarna putih berjalan menuju arah Dira yang masih duduk sambil memeluk foto kedua orang tuanya. Raka berusaha mengingat-ingat wajah wanita paruh baya ini, rasanya ia begitu familiar dengan wajah wanita ini. Ah, benar. Hartini Saraswati. Seorang desainer dari Indonesia yang cukup sukses dengan bisnis brand fashion HS yang mendunia itu. Seorang single parent yang berjuang membesarkan kedua putranya tanpa seorang suami. Suaminya, Sugeng Wicaksono harus pergi meninggalkanya untuk selama-lamanya akibat kelicikan dunia bisnis. Ternyata, lebih dari sepuluh tahun Raka berteman dengan Dira masih banyak hal yang belum Raka ketahui tentang siapa itu Dira. Dan... lagi-lagi, terlalu banyak kebohongan yang Dira simpan rapi tentang dirinya selama ini. “Ibu,” ujar Reno, ia mencium punggung tangan wanita tua itu. “Kenapa....” terdengar suara wanita ini bergetar, “Kenapa semuanya harus menimpah Rizal dan Dian? Kenapa... harus anakku dan menantuku? Apa salah mereka berdua, ya Tuhanku?” Akhirnya wanita paruh baya ini pun menangis di samping Dira, di peluklah Dira dengan erat dan Dira menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan wanita ini. “Eyang... kenapa Papa sama Mama ninggalin Dira? Apa salah Dira? Dira nggak pernah nakal sama mereka kenapa mereka ninggalin Dira.” Mendengar celotehan Dira hati Hartini begitu mengiris. Kasihan cucu kesayanganya ini, harus menerima kenyataan yang pahit bahkan lebih pahit dari sebuah kenyataan bawah suaminya meninggal dulu. “Eyang ada disini, Sayang.” bisik Hartini, “Dira jangan sedih ya. Eyang akan selalu ada untuk Dira.” “Aku mau Papa, aku mau Mama! Aku mau mereka disini!” teriak Dira histeris. “Kenapa Tuhan jahat sama aku?! kenapa Tuhan harus merebut Papa sama Mama dari aku?!” ##### Tanpa sadar, Daru sudah terlelap di samping tempat tidur Rana. Dira memandangi Daru dan Rana sekilas, kedua tangan mereka saling berkaitan membuat Dira semakin sakit. Rana terlelap dengan damai dan Daru terlihat sangat tidak berdosa ketika ia tidur membuat Dira begitu iri. Kenapa Daru dan Rana begitu serasi untuk menjadi pasangan ayah dan anak? Butiran air mata mulai mengalir dari sudut-sudut mata Dira, kenapa kenyataan begitu pahit? Kenapa ayah kandung Rana adalah Raka? Kenapa harus dia? kenapa bukan Daru? Andai waktu bisa di ulang kembali, Dira akan memohon dengan Tuhan untuk bertemu dengan Daru terlebih dahulu bukan Raka. Dengan lembut, tangan kanan milik Dira mengelus pipi tirus milik Daru yang sedang terlelap. Wajahnya benar-benar seperti malaikat bersih tak berdosa. Hati Dira bergetar hebat saat kulitnya menyetuh tiap inci permukaan kulit wajah Daru. Kenapa, mencinta pria sebaik dan sesempurna Daru begitu sulit? Kenapa Tuhan harus menciptakan pria sesempurna ini hingga rasanya memiliki hati dan jiwanya terasa begitu sulit? Kenapa, aku tak bisa menghapus semua rasa kebencianku dengan pria? Batin Dira. Tanpa Dira sadari Daru merasakan sentuhan-sentuhan lembut yang ia berikan. Kedua mata Daru refleks terbuka ini membuat Dira kembali merasa cangung berhadapan dengan Daru apalagi kalau mengingat kenekatan dirinya tadi sore menimbulkan banyak cibiran di rumah sakit ini. “Dira,” panggil Daru. “Maaf Mas, aku buat kamu kebangun ya? Aku nggak tega sebenernya buat bangunin kamu, tidur kamu nyenyak banget.” Dira buru-buru menjauhkan tangan kananya dari pipi tirus Daru sialnya, tangan Daru jauh lebih cepat untuk menahan tangan Dira. “Maaf ya, aku jadi ketiduran disini.” Daru menciumi punggung tangan Dira. Lagi-lagi Dira merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Padahal, ini bukan pertama kalinya Daru mencium tangannya tapi kenapa rasanya semakin sering ia melakukanya semakin getaran dalam hatinya begitu kuat? “Ah, nggak apa-apa kok!” elak Dira. Keduanya sama-sama terdiam, kedua pandangan mereka bertemu di satu titik. Rana. “Rana, tidurnya nyenyak banget ya?” tanya Daru memecahkan keheningan. “Iya!” tegas Dira, “Mbak Via bilang, waktu sebelum Rana di bawa kesini Rana sempat nangis karena nggak kuat menahan sakit kepalanya terus akhirnya dia pingasan. Di tambah lagi, saat ia bangun rumah sakit dan berada di tempat begitu asing untuknya dan ya, Mas tahu, lah kebiasaan Rana kalau dia berada ditempat asing dan tanpa aku.” Daru membelai pipi chubby milik Rana. “Kenapa dia harus merasakan sakitnya di infus lagi ya? Belum cukupkah dulu ia harus masuk NICU saat ia baru melihat dunia ini? belum cukup sakitnya infus menembus kulit Rana saat ia berumur dua tahun  harus di rawat karena sakit diare yang nyaris membuatnya meninggalkan kita?” Daru benar, Rana terlalu banyak menderita. Lagi-lagi semua karena keegoisan Dira. Memang kelahiran Rana tidak pernah Dira harapkan sebelumnya, tapi Rana berhak untuk hidup dan bahagai bukan? Walau, ia begitu membenci Raka karena kejadian di masa lalu di antara mereka tapi, Rana hanya seorang anak yang tidak berdosa. “Aku emang, seorang Ibu yang nggak pernah becus buat ngusur anak,” gumam Dira, “Bahkah sejak Rana di dalam kandungan aku nggak pernah mau untuk menjaganya. Aku—” Jari telunjuk Daru mendarat cantik di depan bibir Dira. “Semua bukan salah kamu, Dira. Ini takdir. Maaf, aku terlalu emosi sampai-sampai marah yang berlebihan sama kamu tadi.” “Mas....” “Ada aku disini. Kita harus berjuang untuk menjaga Rana, Dir!” tuas Daru, “Kamu nggak sendiri.” Kita? Bahkan Daru yang tidak punya hubungan darah dengan Rana begitu mencintai Rana seperti anaknya sendiri. Sedangkan ayah kandung Rana sendiri? Kalau pun ia tahu pasti ia tak akan pernah mengakui Rana sebagai anaknya sendiri. “Mas Daru,” suara Dira nampak bergetar. “Kamu lupa, kita berdua ini orang tua Rana? Aku Ayahnya dan kamu Bundanya.” “Tapi, kamu—” “Aku nggak perduli, Dir!” potong Daru, “Walau secara hafiah, darahku dan Rana berbeda tapi aku mencintainya seperti anakku sendiri. Bahkan, saat pertama kali ia terlahir di dunia aku langsung jatuh cinta dengannya seperti seorang ayah yang jatuh cinta dengan anak perempuanya. Rasanya, saat pertama kali aku melihat Rana di ruang NICU dan membisikan lafal azan di telinganya aku benar-benar ingin melindunginya dengan sekuat tenagaku.” Dira terdiam, sedetik kemudian air mata mulai membanjiri pelupuk mata Dira. Daru langsung mendekap Dira dalam pelukannya, ia mengelus kepala Dira dengan lembut. “Aku cinta sama kamu, Dir.” bisik Daru, “Dan aku juga cinta sama Rana. Kalian alasan aku hidup sekarang. Aku janji aku akan selalu melindungi kalian berdua.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN