Juli 2004
Perceraian kedua orang tua Raka dan kematian ayah Raka benar-benar membuat hidup Raka terpuruk dan hancur. Bahkan saat ujian nasional, nilai Raka benar-benar buruk semua orang bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Raka, karena Raka sejak SD adalah seorang anak yang berprestasi tiba-tiba berubah menjadi anak yang sangat bodoh.
Kini Raka mulai duduk di bangku kelas 11 SMA. setahun setelah kematian ayah Raka, ibu Raka tak pernah menyerah memboyong Raka tinggal bersamanya. Raka yang baru berusia 16 tahun itu berusaha untuk hidup sendiri dan berkerja demi hidupnya. Tapi sayang, seorang bocah ingusan seperti Raka tak mampu bertahan di tengah kerasnya sebuah kehidupan akhirnya ia menyerah dan tinggal bersama ibu, adiknya dan ayah tirinya. Hubungan Raka dan Dira cukup berpengaruh akbiat masalah yang di hadapi Raka. Walau Raka dan Dira masih bisa bertemu tetap saja, bagi Raka tinggal berjauhan dengan Dira bagaikan seorang Pangeran dengan Rapunzel yang terhalang tembok besar atau Beauty and The Beast yang terhalang sebuat takdir.
Semilir angin sore berhembus membuat dedeaunan pohon berguguran, seperti biasa sebuah keharusan bagi Raka untuk bertemu dengan Dira di bawah pohon rindang yang berada di taman bermain. Raka yang sejak tadi memperhatikan Dira dalam kebisuan, jari jemari lentik Dira menari-nari dengan pensil yang berada di genggaman tangan kanannya diatas lembaran kertas sketchbook. Dira masih terus mengabaikan Raka dan asik dengan dunia sendiri.
“Terus aja ngacangin aku!” dumal Raka.
Dira melirik sejenak kearah Raka. “Siapa yang ngacangin kamu? Kamu aja sibuk pacaran sama gitar!”
Raka menjauhkan gitar yang ada di pelukanya itu. “Udah tuh aku udah jauhin gitar dari aku! sekarang, jauhin sketchbook kamu!”
Dira tak menyahut, ia mengabaikan seruan dari Raka. Melihat sikap Dira yang mulai mengesalkan, akhirnya Raka mengambil paksa sketchbook yang ada di tangan Dira.
“KAKAK RAKA BALIKAN NGGAK BUKUKU!” teriak Dira mulai menggema.
Raka langsung bangkit dari tempat duduknya, ia berlari berusaha membawa sketchbook milik Dira sejauh mungkin, bahkan Raka sampai memanjat pohon agar sampai ke rumah pohon.
“Ambil buku kamu di sini!” teriak Raka dari atas rumah pohon.
Hampir sepuluh tahun Dira selalu menghabiskan waktu di taman dan di bawa pohon ini, Dira tidak pernah berani untuk naik ke rumah pohon sendirian tanpa di temani Raka. Tapi hari ini dengan segenap keberanian Dira berusah untuk naik ke atas rumah pohon. Meihat Dira berhasil naik ke atas rumah pohon Raka mulai salah tingkah.
“Balikin nggak bukuku?!”
“Nggak akan!” tuas Raka.
Karena tubuh Raka yang lebih tinggi dari Dira Raka berusaha keras mengakat sketchbook milik Dira setinggi mungkin sehingga Dira kesulitan mengapai sketchbook-nya itu. dan tiba-tiba tubuh Raka ambruk dan sedikit menindih tubuh mungil Dira. Raka menatap kedua mata Dira sejenak, mata cantik ini benar-benar sukses membuat jantung Raka semakin berdetak tak karuan. Raka dan Dira sama-sama saling terdiam, kedua mata mereka bertemu dan lagi-lagi detak jantung mereka berdetak abnormal.
Dira kembali mengigit bibirnya seperti kebiasaanya. Sungguh, hampir selama sepuluh tahun ia tumbuh besar bersama Raka baru kali ini Dira puas memandangi wajah rupawan Raka. Raka pangeran dengan permen kapas itu saat dekat benar-benar jauh lebih tampan.
Dengan ragu, Raka mulai mendekatkan wajahnya dengan Dira. Desah napas Raka begitu terasa di wajah Dira hingga membuat Dira semakin gugup dan hanya mampu menutup kedua matanya. Sedetik kemudian bibir mereka saling bertautan satu sama lain. Mereka berciuman. Raka yang awalnya hanya mengecup bibir Dira kini tidak mau melepaskan bibir tipis Dira karena bibir tipis Dira sudah menjadi sebuah heroin untuknya. setelah puas ia mencium bibir Dira, Raka menjauhkan tubuhnya dari tubuh Dira.
“Kak Raka....”
“Maaf Dir, maaf.” Raka meruduk malu karena perbuatnya ini, “Dira, maafin aku. aku-.”
“Kak Raka jahat!” akhirnya Dira mulai menangis, “Kak Raka-.”
Dengan Refleks Raka menedekap tubuh mungil Dira. “Maaf Nadira, maaf aku nggak maksud untuk memuat kamu nangis lagi, aku... aku.... aku sayang sama kamu.”
Dira terdiam. Sayang? Bukan kah seorang sahabat harus saling mengasihi bukan?
“Aku cinta sama kamu, Nadira.” Raka semakin memperat dekapannya, “Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.” Apa yang barusan Raka katakan? Tahu apa soal cinta untuk anak berusia enam belas tahun yang masih ingusan ini?
#####
Daru memarkir mobil Nissan March miliknya di lapangan parkir rumah sakit, setelah mesin mobil itu sudah mati Dira memilih langsung meninggalkan Daru. Pembicaraan mereka yang melenceng membuat Dira begitu kesal dengan Daru.
“DIRA TUNGGU!” teriak Daru sembari membanting pintu mobilnya dengan keras. Dira terus berjalan dan mengabaikan teriakan Daru.
Sebenarnya, Dira tidak tahu ingin merespon apa atas ucapan Daru tadi. Apakah ia senang atau ia sedih mendengar penyataan Daru yang mencintainya. Daru memang pria sempurna dan sosok suami dan ayah idaman, tapi Dira selalu merasa tak pantas bersama Daru apalagi status single parent yang menjadi cap buruk untuknya. selain itu bagi Dira, berurusan dengan cinta lagi cinta hanya omong kosong. Cinta membuatnya terluka, cinta juga lah yang membuatnya hancur.
“NADIRA!” teriak Daru lagi.
Dira masih terus berjalan bakan kini ia semakin mempercepat langkahnya untuk menjauhi Daru. Yang ada di pikiran Dira saat ini adalah memastikan Rana baik-baik saja. walau pun dulu Dira sempat membenci Rana tapi naluri dan cinta seorang ibu pastilah tidak pernah putus. setelah melakukan perjalan cukup lama akhirnya lift yang di tumpangi Dira sampai di lantai 7 rumah sakit ini. Langkah kaki Dira semakin cepat, ia langsung mencari-cari ruang perawatan Rana hingga akhirnya.
“Dira?” panggil Livia saat Dira berdiri di depan ruang perawatan Rana.
“Gimana keadaan Rana, Mbak?”
Livia hanya tersenyum sembari memandangi Dira yang sudah terlihat kacau ini. “Rana baru aja siuman, di dalam ada dokter yang menangani Rana katanya dia mau ketemu sama kamu.”
“Sama aku?” ujar Dira nampak bingung, “Kenapa?”
“Ya kan kamu itu ibunya, Dir!” tegas Livia, “Mungkin dia butuh keterangan kamu tentang keadaan Rana sebelumnya gimana.”
Dira memandangi Livia sejenak, kakak iparnya ini benar. Pastilah seorang dokter akan meminta keterangan ibunya bagaimana keadaan sang anak sebelum ia di rawat di rumah sakit.
“Udah sana, cepetan masuk! Rana dari tadi nangis karena nyarin kamu, Dir. Kasihan anak kamu!” ujar Livia membuyarkan lamunan Dira.
Dira mengangguk, Livia langsung pamit untuk pergi ke kafetaria rumah sakit ini karena sejak siang ia belum makan sama sekali karena ia begitu panik melihat Rana pingsan. Setelah Livia pergi dari hadapanya, Dira mendorong pintu ruang perawatan Rana dan pemandangan yang berada di ruang perawatan sangat mengiris hati Dira.
“Bunda!” seru Rana riang.
Dokter yang sedang bermain dengan Rana pun langsung mendongak kearah Dira. Lagi-lagi, Dira kembali merasa hari ini semakin sial.
“Nadira?” ujar dokter ini tak percaya.
Sosok dokter yang ada di hadapan Dira adalah, seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang merusak, mengancurkan dan mematahkan cita-cita juga masa depan Dira. Memori Dira kembali tanyangkan kejadian malam yang mengerikan itu rasanya Dira lebih baik mati dari pada harus di bayang-bayangi masa lalunya yang kelam itu.
“Kamu?”
Dokter tampan dengan rambut hitam yang berantakan ini berjalan mendekati Dira. Setelah lima tahun berlalu, ia tak pernah berubah sedikit pun. Rambut, senyuman segala hal tentangnya tak banyak berubah, hanya sebuah kacamata yang menghiasi wajahnya membuat dokter ini semakin tampan.
“Cotton Candy,” panggil dokter ini.
Dira tak menyahut. Rasanya kedua mata Dira sudah perih karena ia menahan tangisanya sejak pertama kali ia melihat sosok dokter yang sudah lama tak pernah ia temui. Dira buru-buru keluar dari ruang perawatan Rana tapi sialnya, dokter ini dengan cepat menarik tangan Dira sebelum Dira menutup pintu ruang perawatan Rana.
“Kamu mau kemana?” tanyanya.
“Lepasin tangan aku!” bentak Dira.
“Jelasin sama aku!” ujar dokter itu, “Kenapa kamu menghilang empat tahun yang lalu secara tiba-tiba?”
“Buat apa aku jelasin sama kamu, Raka. Nggak ada yang perlu di jelasin!” tegas Dira. “Mau aku hilang atau aku apa toh kamu nggak akan pernah perduli Raka Aditya!”
“Nggak ada yang perlu di jelasin?” ulang Raka, “Kamu berhutang penjelasan sama aku, Nadira! Kenapa saat itu kamu pergi begitu saja tanpa jejak sama sekali?!”
“Hutang penjelasan apa lagi?” sahut Dira ketus, “Belum puas kamu menghancurkan masa depan aku? apa yang harus jelaskan sama kamu lagi? Ha? Mau aku pergi atau nggak itu urusan aku! emang kamu siapa aku?! aku pikir, kamu orang baik tapi nyatanya nggak sama sekali. Puas kamu setelah menghancurkan aku? ”
“Nadira, aku minta maaf soal malam itu.” Raka mengengam tangan Dira, “Aku tahu aku salah, aku tahu aku memang brengesek karena aku sudah merebut sesuatu yang berharga dari kamu. Tapi, aku—”
“Tapi aku apa?” potong Dira, “Kamu bilang kamu cinta sama aku, tapi bukitnya? Kalau kamu cinta sama aku seharusnya kamu nggak melakukan hal itu, Rak! Kalau, kamu cinta sama aku harusnya kamu menjaga aku bukan merusak masa depanku!”
“Aku emosi malam itu,” jawab Raka. “Aku emosi melihat kamu sama pria lain dan aku—”
“Hanya karena kamu melihat aku pulang bersama Fadhil, kamu sampai tega melakukan hal itu denganku?” terdengar suara Dira mulai bergetar.
“Aku—”
“Aku apa? cemburu iya?” sahut Dira, “Kamu salah, Rak untuk cemburu sama Fadhil. Aku sama Fadhil bersahabat sejak kami berdua masuk kuliah. Dan sejak kecil aku memang lebih suka bersahabat dengan lawan jenis. kamu lupa? Dia juga udah aku anggap seperti kakakku sendiri, dan aku nggak sama sekali tertarik sama Fadhill mana tega aku merebut pacar orang apalagi dia pacar dari sahabatku sendiri.”
“Tapi, aku liat—”
“AKU PELUKAN SAMA DIA? IYA?!” teriak Dira histeris, “Asal kamu tahu, aku berpelukan sama Fadhil bukan berarti aku ada apa-apa sama dia! Aku berpelukan sama dia sebagai tanda persahabatan. Fadhil senang karena aku dan ia berhasil menutaskan misi kami berdua. Apa itu salah?!”
Tiba-tiba Dira lupa ia sedang dimana, emosi begitu menguasainya saat ini. bahkan Dira lupa bawah ada Rana di dekatnya. Ya Rana, anak yang ia kandung dan ia bertarung hidup dan mati deminya. Anak yang mewarisi separuh darah Raka, anak yang mewarisi separuh senyuman Raka dan juga lesung pipit milik Raka. Raka, lagi-lagi ia harus mendengar nama yang begitu menyakitkan telinganya, namanya yang telah membuatnya hancur dan begitu membenci cinta juga membenci pria. Perlukah, ia mengatakan semua fakta yang ada? Perlukan sebuah kebenaran dan kata maaf terkamuntar dari bibirnya saat ini?
“Tapi, aku—”
“Aku apa? kamu masih terus mau membela diri ya?” sindir Dira.
“Aku nggak membela diri, Nad!” tuas Raka, “Iya aku tahu aku salah, puas?! Tapi kamu justru lebih salah, kenapa kamu pergi begitu aja?”
“Pergi itu aja?” Dira menaikan alisnya, “Bukannya kamu yang ninggalin aku setelah kamu berhasil merusakku? Kamu membuangku bagaikan barang rongsokan yang tak berharga lagi apa itu bukan sebuah kesalahan yang tak terampuni?”
Raka terdiam. Benar, setelah ia puas melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan dengan Dira, ia justru meninggalkan Dira yang sudah hancur malam itu. kenapa emosi harus ada di dunia ini? kenapa ia harus kalah dengan emosi malam itu?
“Nadira.”
Dira langsung menepis tangan Raka. “Lepasin! Aku nggak mau orang ngeliat kita terutama suami aku.”
Dira terkekeh dengan ucapanya sendiri. Suami? Sejak kapan dia punya suami? Toh mana mau pria meliriknya lagi apalagi ia sudah hancur masa depanya terlebih ia sekarang menjadi single parent. Menyedihkan bukan? apa ia masih nampak berharga di mata seorang pria?
“Nadira tunggu!”
Dira langsung berlari keluar ruangan, kedua mata cokelat Dira dengan cepat menangkap keberadaan Daru yang sedang berjalan kearahnya. Dira langsung berlari kearah Daru tanpa aba-aba Dira langsung memeluk Daru dengan erat, melihat sikap Dira yang mendadak aneh Daru sedikit kebingungan apa yang sebenarnya terjadi dengan Dira sampai-sampai Dira memeluknya sangat erat.
“Dir, kamu—”
Karena tubuh Dira yang lebih pendek dari Daru, Dira berusaha berjinjit demi mengapai bibir Daru. Dan... sebuah serangan dari Dira sukses membuat Daru membeku seketika. Dira mulai mencium bibir Daru dengan lembut dan perlahan, kedua matanya terpejam membuat Daru semakin kehilangan fokusnya untuk membalas serangan demi serangan dari Dira.
Entah setan apa yang merasuki Dira, tiba-tiba ia memilih mencium Daru di tempat umum seperti ini. Dan, karena ulahnya sendiri ia dan Daru sukses menjadi tontonan publik. Bodoh bukan? tapi inilah rencana Dira membuat Raka cemburu dan merasakan sakit. Melihat pemandangan menyedihkan ini, Raka hanya bisa terdiam membisu seolah lidahnya ini tidak memiliki tulang. Rasanya hatinya begitu sakit melihat Dira berciuman dengan pria lain dan pria itu adalah seniornya di rumah sakit.
Dira begitu hanyut dengan permainanya, setelah puas meliaht Raka cemburu Dira justru semakin lupa diri bahwa saat ini ia dan Daru sedang berada di depan umum. Dira benar-benar tak bisa melepaskan tautan bibir tipisnya dari bibir penuh milik Daru. Dan Daru begitu menikmati ciuman mereka berdua. Bagi Daru, Dira memang bukan ciuman pertamanya tapi ciumanya dengan Dira kali ini sangat berbeda di depan umum dan di rumah sakit. Rasanya, hormon adrenalin benar-benar menguasai tubuh Daru untuk terus melakukan kegiatan ekstrim ini. Pengalaman yang... berbeda bahkan ciuman pertamanya pun kini di anggap bukan sebagai yang special.
“Ehem!” seru seserorang. Buru-buru Dira menjauh dari Daru lalu Dira melepaskan tautan bibir mereka. Terlihat wajah Dira sangat merah padam saat ini dan Daru mulai salah tingkah.
“Ciuman tau tempat kali!” dumal Livia, “Ini rumah sakit, bukan rumah apalagi kamar ya!”
Daru mengaruk-garuk tengkuk kepalanya yang terasa tak rasa gatal. Livia hanya memandangi Daru dan Dira secara bergantian. “Udah ah, aku mau masuk aja nemenin keponakanku di dalam. Kasihan Rana lagi sakit malah di anggurin orang tuanya udah gitu orang tuanya asik pacaran disini.”
Livia langsung pergi meninggalkan Daru dan Dira yang masih sama-sama terdiam. Kenapa rasanya jadi aneh begini si? Kenapa saat bibir mereka saling bertautan, justru Dira merasa sebuah getaran hebat di dalam hatinya? Kenapa saat bibir mereka saling bertautan, Dira merasakan... aliran darahnya lebih cepat? Kenapa sebuah sensasi yang berbeda menghampirinya saat kedua bibir mereka bertautan?
*****