Daru hanya memandangi kalender yang berada di meja kejarnya, bulan Juli pun sebenar lagi akan tiba. Daru pun mulai teringat sesuatu tentang dirinya, bertambah tua. Ya, sebentar lagi ia akan berulang tahun. bukan hanya Daru, tapi Rana anak Dira juga berulang tahun di hari berbeda tiga hari denganya, sebuah kebetulan bukan? bahkan Daru merasa saat Rana lahir kedunia ini adalah sebuah kado terindah dari Tuhan padahal, antara Daru dan Rana tidak sama sekali ada ikatan darah. Daru memandangi layar ponselnya, terlihat pada lockscreen ponselnya wajah Dira dan Rana disana. Benar-benar pasangan ibu dan anak yang sempurna dan selalu terlihat bahagia, tapi kalau Daru mengingat kejadian pertemuan Daru dan Dira empat tahun lalu Daru tak bisa percaya dengan keadaan saat ini.
Di depan meja kerja Daru tak lupa Daru meletakan foto Rana di samping foto dirinya bersama Dwiki dan ibunya, Rana benar-benar penyihir cilik yang hebat. Karena setiap kali Daru lelah dan melihat foto Rana yang ada di mejanya itu ia pasti akan kembali bersemangat seolah-olah Rana itu adalah anaknya. Aneh bukan? Koyol rasanya, Daru yang bukan siapa-siapa untuk mereka berdua tapi selalu bersikap lebih dari siapa-siapa. Kenapa cinta membuat orang menjadi, nekat si?
'tok tok tok'
Suara ketukan pintu membuat lamunan Daru tentang Dira dan Rana. Sosok Raka sudah berdiri di ambang pintu dan memperhatikan setiap gerak-gerik Daru.
"Oh, Dokter Raka!" ujarnya, "Mari masuk, Dok."
Setelah Raka mendapat persetujuan untuk masuk akhirnya ia memilih untuk masuk dan duduk di hadapan Daru. "Saya ganggu Dokter ya?" tanya Raka hati-hati.
"Ah, nggak kok!" tuas Daru, "Kebetulan saya lagi nggak ada pasien juga. Ada apa?"
Raka memutarkan kedua bola mata, rasanya lidahnya begitu kelu. Apa rekasi dari Daru jika Raka yang baru berkerja selama enam bulan ini mulai menanyakan soal kehidupan pribadi Daru?
"Dokter deket ya sama, Dokter Joshua Wicksono dari departermen Kardiologi[1] ?" terbersit rasa ragu dalam suaranya.
Daru menyengitkan keningnya. "Dia itu sahabat saya sejak saya SMA hingga saya kuliah di kedokteran, kenapa memangnya?"
"Ah, nggak saya nanya aja kok!" elak Raka, "Habis, sepertinya Dokter Joe dan Dokter Handaru begitu akrab padahal anda berdua berbeda departermen."
Daru tak menyahut, ia justru mengambil pigura foto yang berisi foto Rana. Kenapa tiba-tiba perasaan Daru mulai tak karuan seperti ini?
"Dok?"
"Oh.... oh.... maaf maaf saya cuman lagi gak fokus aja," jawab Daru cepat.
"Sepertinya kondisi anda kurang baik, dok. Apa Dokter ada masalah?"
"Nggak," sahut Daru cepat, "Saya cuman lagi... merindukan seseorang."
"Pacar anda? Tunangan anda? Atau, Istri anda?" tanya Raka.
Daru mengeleng. "Anak saya."
#####
Agustus 2002
Raka akhirnya di rawat di rumah sakit malam itu. suhu badanya yang hampir empat puluh satu derajat membuatnya pingsan karena tubuhnya tak sanggup menahan dinginnya guyuran air hujan. hampir sepuluh jam Raka pingsan dan Dira engan untuk meninggalkan Raka sendirian di rumah sakit walau kedua orang Dira memaksa Dira untuk pulang. mendengar Raka di rawat di rumah sakit, ayah dan ibu Raka berinisiatif datang menemui Raka. Dan lagi-lagi mereka berdua membuat Raka malu karena mereka bertengkar di depan orang tua Dira.
Setelah Raka siuman, Dira yang masih setia menunggu Raka di rumah sakit benar-benar tak berani menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Raka.
"Kamu nggak pulang?" tanya Raka dengan suara seraknya.
"Aku mau nungguin kakak aja," ujar Dira.
"Besok kamu sekolah kan?" Raka mengelus pipi chubby Dira dengan lembut, "Besok hari Senin ada upcara kan?"
"Sebenernya, kak Raka kenapa si?" akhirnya Dira mulai buka suara, "Kakak hujan-hujanan di depan rumah aku lalu orang tua kakak tadi pagi ribut di sini ada apa?"
"Aku—"
Tangan Dira mulai mengenggam tangan kanan Raka yang tak di balut oleh penganga dan kasa untuk mencengah selang infus Raka terlepas. "Kakak kalau ada masalah cerita sama aku. jangan di pendam sendiri! Kakak inget nggak si, kita ini sahabat. Seorang sahabat harus saling terbuka satu sama lain."
"Panjang ceritanya," sahut Raka lemah, "Bahkan aku sendiri nggak mengerti sama semua yang terjadi."
#####
Dira yang sedang sibuk mengerjakan pesanan gaun pengantin yang sedang menumpuk di butiknya pun terpaksa mengabaikan ponselnya yang sejak tadi berulang kali mengalun lagu Can't Stop milik CNBLUE. Ia terlalu berkonsentrasi dengan pekerjaanya sehingga ia mengabaikan ponselnya. Biasanya, setiap makan siang tiba Dira pasti berusaha menghubung Livia atau Isty yang menjaga Rana. Tapi, siang ini berbeda. Dira bahkan lupa menanyakan apa Rana sudah makan atau belum dengan kakak ipar atau tantenya itu.
"Nad, ponsel kamu bunyi terus tuh, kenapa nggak di angkat?" tanya Eliana membuat Dira sadar bahwa ia sudah mengabaikan ponselnya cukup lama.
"Astaga, maaf Mbak ponsel saya berisik ya? Nanti saya—"
"Saya nggak melarang karyawan atau asisten saya sekalipun untuk tidak mengsilent ponselnya kok." potong Eliana. "Karena, menurut saya disilent atau tidak ponsel selama tidak menganggu pekerjaan no prob."
Dira langsung mengambil ponselnya terlihat puluhan telfon, SMS, What's App, Line dan BBM masuk ke dalam ponselya semuanya dari Via, Joe dan Daru. Tapi, pesan dari Daru lah yang paling banyak mendominasi ponsel Dira kali ini.
"Nad?" panggil Eliana.
"Mbak saya—"
Lagi-lagi ponsel Dira berdering, terlihat pada ID-caller nama Daru di sana. Buru-buru menyentuh layar ponselnya dan menekan hold hijau. "Halo, Mas Daru?"
"Kamu kemana aja!" sahut Daru setengah membentak, "Kamu aku telfon-telfonin nggak di angkat SMS nggak di bales Line, WA, BBM semua gak di read! kamu tahu gak si, Rana itu masuk rumah sakit?"
"Maaf Mas, tadi aku—"
"Aku sebentar lagi sampai di tempat kerja kamu," potong Daru. "Kalau kamu masih mentingin kerjaan kamu ketimbang anak kita, jangan salahkan aku kalau aku ngomong sama bos kamu kamu mengundurkan diri hari ini juga—"
"Mas Dar—"
Daru langsung memutuskan telfonnya. Dira hanya mampu menghela napas panjang karena paru-parunya kini terasa sesak luar biasa. Rana masuk rumah sakit? Kalau boleh jujur Dira ingin menangis sekarang. Tapi, Dira bukan anak kecil Dira sudah dewasa dan ia harus menghadapi semuanya dengan kepala dingin.
"Ada apa, Dir?"
Dira tersadar, ternyata bosnya ini sejak tadi terus memperhatikan gerak-geriknya. "Anakku masuk rumah sakit."
"Astaga, sakit apa?" tanya Eliana iba.
"Entahlah." Dira mengeleng hebat, "Aku bingung, El. Padahal, Rana tadi pagi sehat-sehat aja."
#####
Raka terus memantau keadaan gadis kecil yang sedang terbaring lemah di ruang perawatan ini. hampir satu jam gadis kecil ini belum siuman sejak tantenya membawa ia kerumah sakit. Melihat gadis kecil ini masuk IGD sikap Daru langsung berubah 180 derajat siang ini. Daru langsung menutup praktiknya dan pergi meninggalkan rumah sakit dengan terburu-buru. Seketika dalam pikiran Raka berkecamuk perasaan heran dan bingung, sebenarnya ada apa dengan Daru? Siapa gadis ini? kenapa Daru begitu panik saat ia melihat gadis kecil ini tak sadarkan diri? Apa... anak ini...
Raka memperhatikan papan nama gadis kecil ini, Ranadiani Malika. Rasanya Raka tak asing dengan nama ini. dan menurut Raka nama yang di berikan kedua orang tuanya sangat cantik, secantik wajah gadis kecil ini. pasti... kedua orang tua gadis ini begitu mencintai kecil ini. dia terlihat sangat manis walau ia sedang tertidur seperti ini. Raka dengan refleks mengelus pipi chubby gadis ini. entahlah, sejak pertama kali Raka melihat gadis kecil ini Raka langsung jatuh hati. Persis seperti dulu saat ia melihat Nadira.
Nadira?
Nama itu benar-benar tidak bisa ia lupakan walau sedetik saja, cinta pertamanya, ciuman pertamanya, sahabat pertamanya. Bersama Nadira, Raka mengerti apa itu artinya mencintai. Apa istilah jodoh pasti bertemu itu ada?
"Dok?" panggil seseorang membuyarkan lamunan Raka.
"Oh... maaf maaf saya jadi termenung begini," sahut Raka, "Ada apa, Bu Livia?"
"Bagaimana keadaan keponakan saya?" tanya wanita yang Raka panggil Livia itu.
"Seharusnya, ia sudah siuman sekarang." Raka menatap tubuh mungil Ranadiani sejenak, "Memangnya, Ranadiani sering seperti ini?"
"Hampir enam bulan saya membantu ibunya mengurus Rana, ia tidak penah seperti ini." jawab Livia.
"Memangnya Ibu—"
"Ibunya itu keras kepala." Potong Livia, "Berulang kali orang melarangnya untuk bekerja tapi dia masih mau bekerja. Akhirnya anaknya jadi terabakan seperti ini!"
#####
Selama perjalan menujur rumah sakit, Daru dan Dira sama-sama terdiam. Terlihat kemarahan menguasai Daru kali ini. Dira tidak berani berbicara dengan sahabatnya yang satu ini jika ia sedang marah. Bahkan, saat dulu Daru tahu bahwa Dira menyiksa dirinya demi menggurkan Rana, Daru benar-benar marah. Tak hanya itu, kala Dira menelantarkan Rana, berulang kali sahabatnya ini marah denganya.
"Mas," panggil Dira.
"Apa?" sahut Daru ketus, "Seneng kamu liat Rana sakit kaya gini?"
"Maaf, tapi aku—"
"Dira!" sela Daru, "Kapan si kamu berhenti keras kepala? Aku nggak suka liat kamu telantarin Rana. Aku udah bilang, masalah—."
"Kamu bukan siapa-siapa aku!" ujar Dira setengah berteriak, "Berhentilah, kamu atur-atur hidupku! Aku bukan anak kecil lagi. Kenapa si, kamu selalu aja ngatur aku?"
Daru terdiam. Rasanya lidahnya begitu kelu untuk berbicara mengenai alasan ia terus bersikap seperti ini. ya, alasan itu... karena ia begitu mencinta Dira dan Rana. "Ya, emangnya nggak boleh?" tanya Daru ketus, "Aku ini sahabat kamu dan aku cuman nggak mau kamu dan Rana salah jalan. Kamu itu masih muda, baru 23 tahun, Dira."
"Tapi, ini berlebihan!" tuas Dira, "Kamu itu seolah-olah seperti seorang suami yang sedang mengantur istrinya."
"Aku cuman nggak mau... liat kamu terpuruk lagi," ujar Daru lirih.
"Aku udah mengubur semuanya, Mas. Aku udah melupakan semua kejadian terkelam di hidupku itu, dan aku sudah menerima kenyataan pahit ini," sahut Dira.
"Aku nggak mau kamu jatuh di lubang yang sama."
Kedua alis Dira saling terpaut, "Kenapa? Kenapa kamu tiba-."
"Karena aku nggak bisa melihat orang yang aku cintai merasakan sakit dan hancur untuk kedua kalinya." ujar Daru tanpa sadar.
Dira membeku. Apa? cinta? Persetan dengan hal itu, cinta hanya omong kosong. Aku hancur juga karena cinta. Batin Dira.
*****
[1]Jantung dan pembuluh darah.