Chapter II

1352 Kata
Suasana masih lengang saat Acha masuk ke studio pemotretan. Di sana ia disambut Lina, asistennya yang telah lebih dahulu datang ke lokasi. Acha menyerahkan tasnya pada Lina, lalu berjalan menuju ruang ganti. Sembari ke sana, ia menyapa satu persatu staf yang ada di lokasi saat itu. Meskipun beberapa rekan sesama modelnya tidak melakukannya, bagi Acha itu adalah sebuah manner yang harus dijunjung. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, jadi alangkah lebih baik jika dia beramah-tamah pada orang lain. “Pagi, Kak Nunu! Hai, Kak Piyan! Siwi! Lia!” sapanya satu persatu sambil terus menyunggingkan senyum. “Yo, Cha!” “Hay, Mbak Acha!” “Semangat, Cha!” “Pagi, Cha!” Mereka juga menyahut sapaan dari Acha. Setelahnya, Acha juga menyapa staf yang lain baik yang ia ketahui namanya ataupun belum. Dan seperti sebelumnya, mereka juga menyapa balik Acha. Bagi orang yang sudah lama bekerja dengannya, ini adalah hal yang biasa. Dan bagi yang baru kali ini bekerja sama dengannya, mereka hanya takjub dengan kagum. Mereka tak menyangka Acha akan menyapa mereka. Sebelum bertemu langsung, mereka mengira Acha memiliki kepribadian yang sombong dan penuh gengsi. Dengan banyaknya barang bermerek yang menempel di tubuhnya, apalagi dengan wajah yang terkesan dingin dan berwibawa itu, siapa yang mengira Acha adalah pribadi yang ramah. Belum lagi gosip-gosip miring tentangnya. Biar begitu, tidak semua senang dengan Acha. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang bisa lepas dari kesirikan orang lain di sekitarnya. Begitu pula Acha. Darimana lagi gosip-gosip aneh itu berasal kalau bukan dari orang-orang yang iri padanya. Salah satunya adalah perempuan yang saat ini sedang berusaha menghalangi jalannya menuju ruang ganti. Perempuan itu adalah Ghea, model seangkatannya yang hari ini juga ikut pemotretan untuk majalah yang sama. Sudah dari dulu Ghea selalu mencoba mengganggu Acha. “Woaaah... sugar baby punya gelang baru, nih.” Sindir Ghea. Acha mengangkat pergelangan tangannya. Di sana terlingkar sebuah gelang rantai berwarna emas yang dihiasi liontin berlian kecil berbentuk hati. Salah satu ujung bibir Acha naik, lalu berkata, “Hah? Kamu pengin?” Ia pun mencopot gelang itu dari tangannya. Diambilnya salah satu tangan Ghea dan ditaruhlah gelang itu di telapak tangan Ghea. “Nih, buat kamu.” Ghea yang tak menyangka akan dibalas demikian sulit untuk berkata-kata. Sementara itu, Acha sudah kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. “Kasihan banget ya, gak mampu beli gelang 30.000-an di Redland!” Acha sengaja mengatakan hal itu dengan cukup keras, sampai-sampai banyak orang di studio itu mendengarnya. Mendengar itu, sebagian staf dan model lain yang ada di sana berusaha menahan tawanya. Sebagian lain terang-terangan terkekeh. Tak terbayang betapa malunya Ghea saat ini. Ia benar-benar ludes dipermalukan Acha. Padahal tadinya Ghea lah yang berniat mempermalukan Acha. “ACHAAAA!!!!!” teriak Ghea geram. Acha dan managernya yang sudah masuk ke ruang ganti terbahak-bahak. Dia yakin Ghea semakin kesal padanya. Bahkan teriakan Ghea sampai terdengar di ruang ganti yang cukup rapat itu. “Gak bosen aku kerja sama Kak Acha. Mesti ada aja yang seru. Hahahaha!” ujar Lina sambil terbahak. “Oh, iya dooonk. Model teladan gitu loh.” Acha memperlihatkan wajah percaya dirinya. “Hilih... teladan bagi yang ingin terjun ke jurang sih iya, Kak.” Sahut Lina mengejek. “Ya gapapa. Yang penting gak terjun ke neraka ke-7. Ya, gak?” Acha membalas santai. “Bahahaha kayak ‘Si Geal Geol’ itu ya. Hahahaha.” Tambah Lina. “Hush! Gitu-gitu model LouiPhyton dia.” Hardik Acha, tapi lama-lama dia tidak kuat dan kembali terbahak bersama Lina. Hubungan mereka berdua memang sangat akrab. Meskipun usia Lina enam tahun lebih muda dari Acha, mereka sangat nyambung. Padahal Lina juga baru bekerja selama empat bulan dengan Acha untuk menggantikan asisten dan manager sebelumnya yang berhenti karena menikah. Berhubung waktu mereka tidak terlalu banyak, Lina segera mengambil baju yang akan dipakai Acha hari ini. Sebuah kebaya kutu baru tradisional lengkap dengan kain batik dan stagennya. Tema pemotretan kali ini adalah Jawa Tengah tempo dulu. Karena itulah setting studio terlihat banyak ornamen dari kayu dengan motif tradisional untuk membangkitkan suasananya. “Ini gimana makenya, Lin?” tanya Acha. Ini baru pertama kalinya dia akan memakai baju tradisional yang tidak instant. “Kak Acha pake baju dalamnya aja dulu. Nanti saya bantuin pakenya. Gini-gini saya pernah diajarin nenek saya yang dulunya orang keraton Jogja, Kak. Makanya saya gak manggil orang lain.” Lina menjelaskan. Acha mengangguk paham. “Baru aku tahu kalau kamu ada hubungan sama keraton.” Lina hanya nyengir mendengar yang dikatakan Acha. Dirinya memang tidak banyak bercerita tentang latar belakang keluarganya. Apa lagi soal neneknya. Acha belum selesai memakai kebayanya ketika seorang model lain masuk ke ruang ganti itu. Sementara Lina membantunya, mata Acha diam-diam mengikuti pergerakan rekan seruang gantinya itu. Acha tahu nama perempuan itu adalah Melati. Dia belum ada satu tahun bekerja sebagai model di agensi yang sama dengannya. Artinya, Acha jauh lebih senior darinya karena ini tahun ke empatnya di agensi Big5 Ent. itu. Tetapi, kelihatannya Melati tidak ada niatan untuk menyapa Acha lebih dulu. Padahal sekilas tadi Acha merasa pandangan mereka bertemu. “Hay, Melati!” Acha mendahului menyapa Melati. Melati nampak terperanjat. Dia nampak kaget saat tersadar bahwa yang menyapanya adalah Acha Adila, seorang model terkenal yang satu agensi dengannya. “Oh! Selamat siang, Kak Acha. Maaf tadi saya melamun. Sampai lupa menyapa.” Melati memberi alasan. Dari wajahnya terlihat perasaan bersalah dan takut karena seharusnya dialah yang menyapa lebih dahulu. Tanpa menengok Acha berkata pada Melati, “Gapapa! Santai aja sama aku mah.” “Terima kasih, Kak. Sekali lagi saya minta maaf.” Ucap Melati. Lina yang sedang memasangkan stagen di pinggang ramping Acha tanpa sengaja melihat ekspresi wajah Acha. Menurut Lina, saat ini Acha terlihat menyeramkan. Suaranya tadi terdengar riang, tapi tak ada senyum yang tersungging di wajah cantik itu. “Masa Kak Acha marah cuma gara-gara gak disapa junior, sih?” batin Lina. Tentu saja dugaan Lina salah. Acha bukanlah orang gila hormat yang marah hanya karena hal sepele begitu. Dia hanya sedang teringat sesuatu tentang juniornya itu. “Yang penting hari ini kita kerja yang baik saja. Tolong kerja samanya ya.” Ujar Acha lagi masih dengan suara ceria dan wajah datarnya. Seusai segala persiapan selesai, pemotretan pun segera dilaksanakan. Hari ini ada enam model yang majalah fashion itu pakai. Tiga model perempuan ada sisanya adalah model pria. Masing-masing melakukan solo shot, couple, dan grup. Photo shot hanya berlangsung hingga sore hari. Begitu selesai, Acha langsung beranjak untuk pulang ke apartmennya. Ada beberapa hal yang perlu dia persiapkan. Saat ia memeriksa ponselnya, datang sebuah pesan dari orang yang mengaku asisten pribadi Sarah. Asisten Sarah yang bernama Ryo itu berkata bahwa ia perlu menelpon Acha untuk membicarakan beberapa hal. Karena pembicaraan mengenai bisnis sampingannya adalah sebuah rahasia, hanya apartmennya lah yang paling aman. Setelah turun dari lift, Acha melangkahkan kakinya menuju parkiran. Sementara itu, Lina mengikutinya di belakang dengan membawa sebagian barang-barang Acha dan sebagiannya lagi Acha yang membawanya. Saat di parkiran, tanpa disangka Acha melihat targetnya kali ini yang tak lain adalah putera sulung Sarah, Dariel Putera Hardiansyah. Acha merasa beruntung sekali. Baru juga deal, sudah nongol saja targetnya. Sepertinya Dariel diundang ke sini untuk menjemput sang pacar, Melati. Ya. Mereka adalah pasangan yang dimaksud Sarah dalam perjanjian kerja saat ini. Dan tugas Acha adalah memisahkan mereka berdua bagaimanapun caranya. Kebetulan Dariel berdiri tak jauh dari lokasi parkir mobil mereka. Kesempatan langka ini tentu tak boleh luput dari gadis berambut hitam pekat itu. Dari tempat Acha berdiri saat ini, sembari melangkah Acha dengan sengaja dan terang-terangan memperhatikan Dariel supaya pria itu segera sadar akan keberadaannya. Begitu jarak mereka cukup dekat, Acha mengambil scrunchy di saku dressnya dan mengikat rambutnya begitu dia tepat di depan Dariel. Dia yakin dengan begini Dariel akan balas melihatnya. Dan memang benar Dariel jadi menoleh padanya. Lalu, dari sini tinggal menghitung sampai lima detik. Walau belum pasti akan muncul percikan asmara, Acha yakin lima detik cukup untuk membuatnya berkesan di mata Dariel. 1...2...3...... emp..... Acha menganga kaget. Boro-boro lima detik. Belum juga sampai empat detik, Dariel sudah berpaling darinya. Ini benar-benar di luar dugaan Acha. Baru kali ini ada seorang pria yang mengacuhkan tatapannya begitu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN