Chapter III

1155 Kata
    Kesal, malu, berabe... atau entah apa sebaiknya perasaan itu disebut, yang jelas saat ini Acha hanya ingin pergi ke tanah lapang dan teriak sepuasnya. Setelah tindakan yang dia lakukan untuk menggoda Dariel gagal total, dia langsung masuk ke mobilnya dan menarik-narik rantai hand bag-nya dengan wajah kesal. Lina yang memperhatikan kelakuan Acha itu hanya menggeleng-geleng kebingungan. Karena tidak biasanya Acha seperti itu.     Bagi Acha ini adalah penghinaan. Tidak pernah sekalipun ada pria yang memperlakukannya seperti itu. Mau yang susah ditaklukan sekalipun, setidaknya pria itu akan memperhatikan setidaknya lima detik.     “Wah, pantesan aja bayarannya mahal tuh cowok. Jadi ada tantangannya begini. Lumayan juga. Menarik...” gumam Acha.     Lina yang berada di kursi kemudi tidak tahu harus menanggapi apa. Sepertinya Acha juga tidak ingin ditanggapi. Yang jelas, mendengar perkataan Acha, Lina jadi berpikir bahwa pria yang mereka lewati tadi adalah seorang ‘gi-go-lo’ karena perlu ‘dibayar’. Apalagi pria itu juga sangat tampan.     Badan yang tinggi, tegap, berotot, wajah yang tampan dengan kulit sawo matang yang bersih dan terawat, serta pakaian rapi dan terlihat mahal. Lina berasumsi bahwa mungkin pria seperti ini lah yang disukai artis yang diurusnya itu.     “Memangnya berapa bayarannya, Kak?” Lina pun iseng bertanya.     Dan tak disangka Acha menjawabnya, “Tujuh Miliar.”     Lina menutupi mulutnya yang menganga dengan tangan kanannya. Dia tak menyangka bahwa bayaran pria itu sebesar itu. Otak Lina jadi berkelana membayangkan bagaimana pelayanan pria itu.     “Pasti puas banget dong, sampe tujuh miliar begitu.” Tanggap Lina.     “Well, jelas dong. Aku aja sampe bingung bakal diapain aja.”     Sekali lagi Lina takjub dan menutup mulutnya. Kesalahpahaman di kepalanya semakin membuat imajinasinya berpetualang ke mana-mana. Acha sendiri hanya sekenanya menjawab, karena dia tak ada maksud menyembunyikan pekerjaan sampingannya dari Lina. Dia cukup percaya bahwa Lina bukan orang yang suka menggosip dan dia sudah mengetesnya beberapa kali. Akan tetapi bodohnya, Acha lupa bahwa sebenarnya dia tak pernah menceritakan sampingannya itu pada Lina.     Untuk menyadarkan diri, Lina menampar pipinya beberapa kali.     “Sadar, Lin. Lu lagi nyetir. Ga boleh ngaco.” Batin Lina.     Sesampainya di parkiran apartmen, ponsel Acha kembali berdering. Kali ini adalah sebuah nada Panggilan dari orang bernama Ryo, asisten kliennya. Acha pun mengangkat telepon itu.     “Halo. Ada apa, Pak?” sapa Acha.     “Begini, Mbak Acha. Saya sudah ada di dekat apartmen Mbak Acha. Apa bisa kita bicarakan langsung saja? Maaf sebelumnya karena mendadak.” Jawab yang ada di seberang sana.     Sebuah suara merdu dari seorang pria yang sepertinya belum cocok disebut ‘Bapak’ kecuali untuk hubungan bisnis. Anehnya, Acha merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya. Sampai-sampai ia termenung memikirkan mirip siapa suara ini.     “Halo?” suara Ryo di ponsel itu menyadarkannya seketika.     “Oh. Iya. Gak masalah, Pak. Saya juga baru selesai pemotretan dan sudah sampai apartmen.” Jawab Acha.     “Waduh, jadi gak enak saya.”     “Gak papa, Pak. Nanti dari lobi langsung naik ke lantai delapan nomor 802 saja, ya.”     “Baik, Mbak. Sekitar sepuluh menit lagi saya sampai.”     “Baik. Saya tunggu.”     Setelahnya, Acha menutup panggilan itu. Dilihatnya jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 17:03.     “Ada yang mau dateng, Kak?” tanya Lina sambil mengeluarkan barang-barang yang mereka bawah dari kursi belakang yang dijawab Acha dengan anggukan.     “Apa sebaiknya saya pergi dulu?” tanya Lina lagi. Dia tidak mau mengganggu Acha dan tamunya.     “Sebenernya ga masalah sih, kalau kamu gak ada urusan lain.” Sahut Acha santai. Diambilnya salah satu tas dari tangan Lina dan mereka pun langsung berjalan menuju lift.     “Yakin, Kak?” Lina ragu-ragu.     “Santai aja. Justru aku berharap kamu tahu, jadi nanti bisa bantuin aku.”     Mereka menaiki lift untuk menuju lantai 8, tempat Acha tinggal selama ini. Sesampainya di sana, mereka langsung mengganti alas kaki dan menaruh barang-barang yang dibawa di sofa ruang tengah. Lina yang merasa lelah, dengan santai menghempaskan badannya juga di sana. Sementara itu Acha menuju kamarnya untuk mencari sandal rumah. Dia tak suka jika tamunya telanjang kaki. Karena itu dia membeli beberapa sandal kaki berbagai ukuran. Bahkan ada juga yang diambilnya dari hotel yang pernah dia singgahi.     Setelah mendapatkan sandal yang sekiranya muat untuk ukuran pria, dia keluar dari kamar. Pada saat itu juga, suara bel terdengar dari luar unit apartmennya. Ditaruhnya sandal itu di lantai dan dibukanya pintu itu.     Begitu pintu dibuka, terlihat seorang pria tinggi dengan kemeja coklat yang lengannya digulung sesiku. Senyum yang tersungging di wajahnya membuat mata sipitnya semakin sipit. Dan entah kenapa Acha merasa familiar dengan senyum itu.     “Selamat sore, Mbak. Saya Ryo.” Katanya sambil mengulurkan tangan kanannya.     Acha menjabat tangan itu singkat.     “Silakan masuk, Pak. Tolong pakai sandalnya dulu.” Ajak Acha.     “Makasih.”     Lina yang sadar akan kehadiran tamu Acha segera membereskan barang-barang yang ada di sofa dan membawanya ke kamar Acha.     “Maaf berantakan, Pak. Silakan duduk.” Acha mempersilakan tamunya.     “Tidak masalah. Kan Mbak Acha baru pulang.” Ujar Ryo sembari duduk.     “Lin, kamu nanti please bawain Teh Oolong ke sini ya!” Pinta Acha pada Lina.     “Iya, Kak!” sahut Lina dari kamar Acha.     Acha memalingkan pandangannya pada Ryo yang duduk di seberangnya.     “Itu asisten saya. Nantinya dia yang akan membantu saya juga, jadi saya harap tidak masalah kalau dia mendengar pembicaraan kita.” Jelas Acha pada pria yang sepertinya berdarah Asia Timur itu.     “Bukannya asisten Mbak Acha itu Mbak Dini ya?” tanya Ryo.     Pertanyaan Ryo membuat Acha bingung. Bagaimana pria yang baru dikenalnya ini tahu asistennya sebelum Lina?     Melihat ekspresi heran itu, Ryo segera mengalihkan pembicaraan, “Omong-omong apa sebelumnya Mbak Acha pernah bertemu Mas Dariel atau Melati sebelumnya?”     Kini wajah heran Acha berubah menjadi wajah kesal. Mengingat kejadian saat di parkiran studio tadi rasanya darah Acha naik ke ubun-ubun, karena rasa marah dan malu tadi.     “Sebenarnya barusan saya juga bertemu dengan mereka. Sebelumnya saya sudah cari tahu info tentang mereka, makanya tadi rencananya mau langsung saya mulai. Tapi, ternyata cukup susah juga. Pantas saja imbalannya cukup besar.”     Ryo terkekeh ringan saat mendengar curhatan Acha.     “Saya sudah duga itu akan terjadi.” Ujar Ryo.     “Maksudnya?”     “Saya ke sini untuk menjelaskan secara khusus tentang Mas Dariel. Karena dia memang agak unik.”     Acha mulai paham. Ternyata bukan dia yang tidak menarik, tetapi caranya saja yang salah. Rasa percaya diri Acha yang sempat hilang pun muncul kembali.     Setelah menaruh barang-barang di kamar Acha, Lina pergi ke dapur dan mengambil botol berisi teh Oolong di kulkas. Diambilnya pula dua buah gelas belimbing dan ditatanya di atas nampan. Setelahnya, dia membawa minuman itu ke ruang tamu.     “Silakan minumnya.” Ujar Lina sembari menaruh minuman di atas meja.     Lina melirik ke arah Ryo yang tak disangka juga melihat balik ke arahnya. Hal itu membuatnya cukup canggung. Apalagi pria itu bisa dibilang sangat tampan. Tapi, ada sesuatu dari sorot matanya yang membuat Lina takut. Entah apa itu. Bulu kuduknya langsung berdiri saat tatapan mereka bertemu, membuat Lina segera berpaling.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN