Chapter IV

1183 Kata
    Atas permintaan Acha, Lina menurut untuk duduk di sebelahnya. Padahal kalau boleh, dia ingin kabur saja. Dia heran pada Acha. Apa dia sama sekali tak merasakan tekanan apapun saat berbicara dengan pria yang ada di hadapan mereka?    Oh, tapi kini justru Lina yang sadar bahwa Ryo sama sekali tidak menunjukkan sorot yang sama pada Acha. Pria itu nampak lebih santai dan biasa saja. Mungkin yang tadi itu hanya perasaannya saja.     “Tapi, apa asisten Anda benar-benar bisa dipercaya? Bagaimana kalau dia bicara macam-macam?” tanya pria itu ragu.     “Ini memang pertama kalinya dia ikut saya dalam pekerjaan ini. Tetapi, tenang saja, Pak. Dia tidak akan macam-macam. Iya kan, Lin?” tiba-tiba Acha menengok ke arah Lina.     Keinginan Lina untuk kabur dari sana pun kembali, karena kali ini Acha lah yang menatapnya dengan seram. Sorot mata Acha yang dulu pernah dilihatnya saat melakukan kesalahan benar-benar membawa maut. Jika ia menentang perempuan itu, ia tahu tak hanya karir yang melayang, tapi juga nyawa. Meskipun Lina baru tiga bulan bekerja dengan Acha, berdasarkan info dari asisten sebelumnya, dia tahu bahwa tidak ada untungnya melawan jika Acha sudah mengeluarkan tatapan mautnya.     Lina menelan ludahnya dan menjawab, “Iya dong, Kak! Mana ada saya ngegosip? Gosip itu dosa besar. Masuk neraka nanti!”     Jujur saja Lina hanya menjawab sekenanya juga. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dia hanya paham bahwa akan ada sebuah rahasia yang akan mereka bicarakan dan dia diminta untuk ikut merahasiakannya juga.     “Ok. Anggap saja saya percaya dengan dia. Kita mungkin bisa langsung ke inti pembicaraan?” Ryo mengalihkan pembicaraan.     “Ok.” Sahut Acha.     Ryo mulai menjelaskan lebih jelas tentang misinya kali ini. Dia memperlihatkan beberapa foto perempuan dari ponsel pintarnya pada Acha.     “Coba perhatikan satu persatu wanita pada folder itu. Bagaimana fisiknya dan bagaimana cara dia berpakaian.”     Sesuai permintaan Ryo, Acha memperhatikan satu persatu perempuan itu. Mereka rata-rata memiliki tubuh tinggi yang cukup toned dengan kulit taned. Pakaian yang mereka kenakan menunjukkan bahwa mereka berasal dari keluarga berada. Salah satu di antara foto-foto tersebut, terdapat foto Melati, pacar Dariel.     “Apa semua ini perempuan yang pernah dikencani Dariel?” Acha mencoba menebak.     “Benar sekali.” Ujar Ryo.     “Seperti yang Anda lihat. Para perempuan ini memiliki ciri fisik yang kurang lebih mirip. Artinya, cukup mudah untuk meraih hati Mas Dariel secara fisik.” Lanjutnya.     Acha mendengus kesal. Rupanya dari fisik pun dia sudah tidak lulus. Kulit Acha yang yang bening dan bentuk tubuhnya yang kurang masa otot itu sudah pasti tidak akan menarik untuk Dariel.     “Berarti saya perlu ubah penampilan, dong?”     Ryo tersenyum, kemudian berkata, “Itu terserah Mbak Acha saja. Kami akan provide apapun tergantung rencana Mbak Acha.”     Acha mendesis lirih. Dia masih takjub dengan cara berpikir orang kaya dalam menghabiskan uang. Untuk memisahkan hubungan sang anak dengan pacarnya saja sampai keluar banyak uang begitu.     “Hm... saya pikirkan nanti saja dulu. Yang saya butuhkan sekarang kurang lebih informasi yang lebih mendetail saja.” kata Acha sambil mengembalikan ponsel pintar itu kepada pemiliknya.     “Oh. Untuk hal itu, saya sudah merangkumnya dalam flash disk ini.” Ryo merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah flash disk berukuran 128 GB. “Di dalamnya sudah cukup lengkap mengenai kebiasaan, tempat yang biasa Mas Dariel kunjungi, bahkan sampai ke ukuran three sizenya.” Lanjutnya.     Acha terkikik geli. Begitu pula Lina. Acha pikir, mau sampai mana kliennya ingin membocorkan rahasia anaknya sendiri?     Sebenarnya sampai sini Lina hanya paham bahwa Acha ingin mendekati seorang pria dan Ryo yang ada di hadapannya ini akan membantunya secara cuma-cuma. Dia sama sekali tidak paham mengenai misi yang sebenarnya akan mereka lakukan. Dan sepertinya sekarang belum saatnya dia untuk bertanya. Lina berpikir setelah pembicaraan mereka bertiga selesai dan Ryo telah pergi, dia baru akan menanyakannya pada Acha.     “Oh, iya.” Sekali lagi Ryo merogoh sakunya. Kali ini dia mengeluarkan dompetnya. Dari sana diambil beberapa kartu.     “Ini adalah kartu anggota gym, klub golf, dan beberapa kartu keanggotaan lain yang sering dikunjungi Mas Dariel. Semoga membantu.”     Diambilnya kartu-kartu itu oleh Acha. Dia merasa pekerjaannya kali ini akan cukup cepat karena seseorang yang capable seperti Ryo telah membantunya.     Akan tetapi dia sebenarnya cukup heran. Kenapa mereka dengan percuma membocorkan data-data seseorang? Apalagi target adalah anak dari kliennya sendiri. Memangnya apa yang membuat mereka sebegitu percaya padanya? Padahal biasanya dia akan mencari tahu sendiri dengan bantuan dari relasi maupun pengamatan pribadi, kemudian kalau misinya sudah beres, Acha akan meminta uang tutup mulut.     “Kalian sepertinya memang sudah bersiap dari awal, ya?” Acha lalu mengambil kartu-kartu itu.     “Kami tidak ingin membuang waktu. Secepat mungkin, Anda harus memisahkan mereka berdua.”     “Ok.” Ujar Acha sambil mengulurkan tangan kanan untuk menjabat tangan Ryo.     Dibalasnya uluran tangan itu oleh Ryo.     “Kalau begitu mohon bantuannya, Mbak Acha.”     Setelah itu, mereka melepas jabatan tangan masing-masing. Ryo meminum teh Oolong yang tadi disiapkan oleh Lina sampai habis. Lalu, dia pun berdiri.     “Setelah ini saya masih ada hal lain yang perlu saya kerjakan. Saya mohon permisi.” Ucap Ryo.     Acha dan Lina pun ikut berdiri.     “Baik, Pak. Saya sangat berterima kasih atas kedatangan Bapak hari ini.” kata Acha.     Ryo mengerutkan dahinya. Sebenarnya dia agak risih dipanggil ‘Bapak’ dari tadi. Tapi dia bingung juga cara menjelaskannya.     “Ada apa, Pak?” tanya Acha melihat ekspresi Ryo.     “Tidak apa-apa. Saya juga mohon kerja samanya.” Jawab Ryo setelah mengendurkan dahinya.     Mereka pun kembali bersalaman, begitu pula Ryo pada Lina. Baru setelah itu, Ryo keluar dari apartmen dengan tiga kamar itu.     Lina segera mengambil gelas yang tadi mereka gunakan di atas meja. Dibawanya gelas itu ke tempat cuci piring dan langsung ia cuci. Tak lama kemudian, terdengar suara helaan napas yang cukup keras dari mulutnya.     “Kenapa, Lin?” Acha bertanya.     “Kak Acha gak ngerasa merinding atau tertekan gimana gitu?” Lina justru balik bertanya dan membuat Acha semakin bingung.     “Hah?”     Sambil mengeringkan gelas yang tadi dicucinya, Lina menjawab, “Pak Ryo tuh serem gimanaaa gitu auranya. Apalagi tadi pas dia liat ke arahku.”     “Itu karena dia belum percaya aja sama kamu, Lin.”     “Ih, gak gitu, Kak!” sanggah Lina.     Gelas yang sudah dilap kering itu ditaruhnya ke dalam nakas yang ada di atas wastafel tempatnya mencuci piring. Melihat Acha yang ternyata sedang duduk di kursi meja makan, Lina ikut duduk di sana.     Sekali lagi dia mendengus, lalu menjelaskan yang dimaksud olehnya.     “Dia tuh keliatan serem banget gimanaaa gitu. Kayak mau makan orang.”     Mendengar penjelasan itu, Acha malah tergelak.     “Nggak, ah! Dia biasa aja tuh kalau liatin aku.”     “Iiiiih... Kak Acha. Aku tuh beneran. Tadinya kupikir perasaanku aja. Tapi tadi pas dia mau pulang, dia juga ngeliatin aku kayak gitu. Serem banget pokoknya!” elak Lina.     “Dia naksir kali sama kamu, Lin.” Tebak Acha ngasal.     “Nggak! Sumpah. Tadi tuh dia kayak ngeluarin aura super gelap banget. Kayak mau keluar stand nya!”     “Kebanyakan nonton anime kamu.” Karena merasa itu hanya omong kosong Lina, Acha pun beranjak dari sana tanpa mempedulikan sanggahan Lina setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN