Pernikahan Tyas dan Argo yang Dingin

1054 Kata
Saran? Argo lucu sendiri, dalam gulungan amarah, dia tersenyum pahit. Apalagi kalau ingat setiap kali ingin menyentuh istrinya, Tyas selalu menghindar, alasannya karena sedang datang bulan. Apakah memang perempuan datang bulan selama itu? Rasanya pernikahan papanya tidak patut Argo tiru. Untuk apa menerima saran dari Papa? "Tidak perlu, Argo juga tahu apa yang akan Argo lakukan untuk pernikahan Argo. Cukup turut campur Mami dan Papa soal Argo harus tinggal di rumah Papa saja." Papa menghela napas, "Papa tahu kalau pernikahan Papa dan Mami tidak patut kamu jadikan contoh. Tapi, percayalah, Argo, tidak ada satu orang tua pun di dunia ini yang ingin anaknya bernasib sama seperti orang tuanya. Pernikahan kalian harus bahagia.” Wajah Argo makin tegang, saat ini tidak bisa menerima saran dari siapa pun. Bagaimana bisa bahagia? Apa selama dua minggu Tyas tidak mau disentuh itu adalah hal yang biasa? “Kalian bisa pergi liburan. Anggap saja bulan madu. Pap pikir, satu minggu kamu tinggalak kantor, tidak akan ada masalah. Pilih saja kalian mau ke mana. Hanya kamu dan Tyas,” saran Papa dengan suara yang ringan. Argo menatap Papa singkat. Apakah memang perlu pergi berdua saja? Kemudian terlintas dalam benak Argo. Mungkin dia juga merasa perlu berduaan dengan Tyas. Dengan begitu, mungkin hubungannya dengan Tyas akan lebih dekat, lebih menempel. Argo membatin, lalu berangan-angan Tyas akan lebih mesra. Argo menghela napas, melepaskan amarah dalam dadanya sedikit. Perkataan Papa tentang liburan mungkin ada benarnya. Meski Argo tidak menjawab saran itu sama sekali. “Papa mengerti kalau Tyas menjauh dari kamu, mungkin lantaran dia belum terbiasa dengan kamu, Go.” Papa memegang bahu anaknya itu. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Argo menatap papa sedikit. Hingga dia menepikan mobilnya ketika sudah sampai di pelataran parkir kantor. “Bagaimana dengan pekerjaan Argo nanti kalau Argo tinggalkan untuk liburan?” tanya Argo dengan dingin sebelum turun dari mobil. “Masih ada Argo saja, Papa memberikan Genta kasus besar. Apalagi nanti kalau Argo tinggalkan kantor. Mungkin Papa langsung akan mengangkat Genta sebagai pengganti Papa.” Argo menatap tajam papanya. Kali ini dia benar-benar mengharapkan jawaban dari papanya. “Kantor akan tetap sama selama kamu pergi. Papa tidak akan melakukan apa pun tanpa rembukan dulu dengan kalian. Anak-anak Papa.” Argo terdiam, lalu mematikan mesin mobil. Dan memberikan kuncinya kepada Papa. Anak itu lantas langsung pergi ke dalam kantor, berjalan melenggak tidak memedulikan keadaan sekitarnya. Papa yang masih ada dalam mobil geleng-geleng kepala. Anak hanya dua, tetapi dua-duanya juga tidak akur. Baik Genta maupun Argo punya ego masing-masing. Namun, Sinagar juga sadar, pernah melakukan kesalahan. Kalau pun sekarang dia menebusnya tetap tidak akan mengganti tahun-tahun yang penuh dengan kekecewaan. Khususnya dua anaknya. Sampai kantor sudah pukul lima kurang lima belas. Pesan Argo belum ada juga yang dibalas oleh Tyas. “Keterlaluan!” maki Argo hampir saja dia membanting ponsel canggihnya yang harganya lima belas jutaan itu. Tidak lama terdengar suara kenop pintu yang diputar. Argo tidak mengharap siapa pun masuk ke ruangannya saat ini. Terlalu marah dan juga penat. Ide liburan pun diabaikan begitu saja oleh Argo. “Kalau mau tanya soal pekerjaan lupakan saja. Saya tidak bisa diganggu hari ini. Mau pulang!” ujar Argo tanpa melihat siapa yang datang. Kursinya di putar membelakangi pintu masuk. Hingga dia tidak tahu yang masuk ke dalam ruangannya adalah Tyas. “Astaga, kenapa suamiku marah terus begini?” Tyas langsung mendatanginya. Lalu duduk di pangkuan Argo dengan cepat sambil mencium pipi Argo. Tangannya melingkar di leher suaminya. Lelaki itu sedikit kaget dengan tingkah Tyas yang begitu tiba-tiba. Ada apa dengan dia? Argo membatin sendiri. Apakah saat ini sudah beubah? Mata lelaki itu lantas berubah menjadi sorot mata yang lembut. Argo tidak menolak sama sekali kalau Tyas mulai memanjakan dia. Tangannya lantas melingkar di pinggang Tyas yang ramping. Tak kalah dia juga menciumi wajah Tyas sampai bibirnya yang ranum. Rasanya ingin Argo nikmati setiap hari. Kalau saja Tyas bisa bangun lebih lambat dari paada biasanya. Tyas selalu bangun pukul empat pagi. Menyiapkan baju untuk Argo, lalu pergi mandi, setelah itu, dia tidak akan kembali ke kamar, bahkan untuk berganti baju saja Tyas melakukannya di kamar mandi tidak pernah di depan Argo, agar suaminya tidak pernah melihat bentuk badannya. “Apa kamu baca pesan yang aku kirim? Banyak tapi tidak ada satu pun yang kamu balas?” Dahi Tyas mengerut, “Pesan? Rasanya aku lupa tidak membawa pencatu daya. Jadi, tadi itu lowbatt, jadi, tidak di charge. Sorry,” rajuknya sambil menangkup kedua tangan di depan d**a. Argo menepuk dahinya sendiri. Dia lupa, tadi pagi sebelum berangkat, Tyas sudah bilang kalau tidak bawa pencatu daya. Mengapa dia bisa lupa. “Ya, aku lupa, dan terlalu kesal kamu tidak membawa satu pun pesanku.” Tyas tertawa kecil. “Sudah selesai dengan Genta?” tanya Argo. Ah, harusnya tidak perlu menanyakan hal itu. Kalau Tyas sudah keluar dari ruangan itu, tandanya sudah selesai, kan? Argo membatin sendiri. “Um, sebenarnya aku ke sini mau izin,” ujar Tyas. Alis Argo beradu. “Izin apa?” “Karena akuisisi itu akan dieksekusi dua minggu lagi, jadi, Pak Genta mau malam ini kita kebut buat mengulas tentang perusahaan itu. Dari segala sisi.” Argo menghela napas, jadi izin untuk lembur. “Kamu akan lembur?” Tyas mengangguk pelan, jadi, karena itu, batin Argo berkata. Mana sangka kalau tujuan Tyas mesra begini mau lembur. “Kalau aku menolak bagaimana?” Tyas mengedikkan bahu. “Tidak masalah. Kamu kan suami aku. Memang kenapa?” Satu sisi Argo ingin melarang Tyas untuk lembur, bareng dengan Genta lagi! Namun, sebagai pengacara, Argo tahu ini adalah kesempatan untuk Tyas mengembangkan pengetahuan dan juga mengamalkan ilmunya selama di universitas. “Sampai jam berapa? Aku pasti tunggu kamu sampai selesai.” “Terserah kamu. Kalau kamu mau pulang duluan juga boleh,” balas Tyas dengan lembut. Tidak pernah dia merasa sedekat ini dengan suaminya sendiri. Lekuk wajah Argo sebenarnya sama dengan Genta. “Gini, aku akan bolehin kamu lembur sama Genta. Tapi, aku ada satu syaratnya.” Tyas sedikit terkejut. “Apa?” jantung Tyas berdetak dengan cepat. Apakah Argo akan meminta jatah? Saat ini juga? Sekarang juga? Ini di kantor, tetapi mungkin juga. Kalau saat ini Argo meminta, Tyas tidak mampu menolaknya. Sudah terlalu lama dia berdalih datang bulan kalau Argo meminta jatah. Tyas memperhitungkan, melirik jam di dinding. Berapa lama akan berbuat? Karena Argo tidak menjawab, Tyas menelan ludah susah payah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN