“Bibi Arra tahu soal ciuman kita?”
Elanor mengangguk. “Eclaire memberitahunya.”
“Astaga...” Harry tampak cemas.
“Kenapa?” Bibi Arra pasti bisa menjaga rahasia.”
“Elanor, aku minta ma’af.” Harry menggenggam sebelah tangan Elanor. Mata belok itu menatap sendu Harry. “Aku—“
“Elanor!” Mrs. Roget memanggilnya. Harry cepat-cepat melepaskan genggaman tangannya.
“Iya, Nyonya.” Elanor bangkit disusul Harry.
Susan mendekati Elanor. “Buatkan aku teh.”
“Baik, Nyonya.” Ujar Elanor lalu melesat pergi ke dapur.
“Kau sedang apa di sini?” tanya Susan pada putranya.
“Mengunjungi kebun, Mom.” Jawab Harry ringan.
Harry pergi meninggalkan Susan sendirian. Dan ibunya hanya bisa menatap putranya dari balik punggung. Dia tampak heran dengan sedikit kecurigaan karena sempat melihat Harry melakukan gerakan ‘melepaskan’. Entah Harry melepaskan apa.
***
Ada kalanya lara perlu dinikmati karena sama seperti kebahagiaan, lara selalu punya batas waktu. Tidak peduli selara apa yang kau rasakan hari ini, esok dan seterusnya. Lara akan tetap datang entah dari hal yang sama atau berbeda.
Pria yang dicintainya akan menjadi milik wanita lain. Tidak ada yang harus dilakukan Elanor kecuali menerima kenyataan dengan lapang. Bagaimana pun dia tidak akan menjadi istri Harry. Kalaupun Harry tidak menikah dengan Anne, pria itu tidak akan memilihnya. Sampai mati pun. Elanor hanya akan jadi sebatas wanita bayangan yang tidak akan bisa memiliki Harry sepenuhnya.
“Elanor,” suara Harry dari balik jendela kayu membuyarkan lamunan Elanor.
“Tu-Tuan, Tuan sedang apa?” tanyanya melihat Harry menaiki tangga untuk sampai di kamarnya di lantai atas.
“Temui aku di kebun belakang rumah. Aku menunggumu di sana.” Ujarnya, lalu menuruni tangga.
Tanpa berpikir panjang, Elanor turun ke bawah dan melewati pintu dapur untuk bisa keluar tanpa dicurigai Bibi Arra beserta Mrs. Roget.
Dia sampai di kebun belakang dan melihat Harry berdiri dengan kuda putih yang pernah dinaikkinya. Dia atas kuda itulah dia pernah berciuman dengan Tuannya.
“Elanor, naiklah,” pinta Harry dengan wajah agak cemas.
“Kita mau kemana, Tuan?” tanya Elanor bimbang.
“Ke tempat yang tidak diketahui siapa pun. Ayo naik.” Dibantu Harry, Elanor naik ke atas kuda.
Kuda melaju cukup kencang. Mereka menempuh jarak sekitar tiga ratus meter hingga sampai di sebuah rumah kayu berlantai satu. Rumah di tengah hutan. Rumah dengan lampu temaram.
“Rumah siapa ini, Tuan?” Harry turun kemudian dia menuntun Elanor turun.
“Ini rumah Pak Tua.”
Dahi Elanor mengernyit. “Siapa Pak Tua?”
“Pelayan keluargaku dulu. Dia sudah meninggal dan rumah ini kosong. Aku sering ke sini dan memegang kunci rumah.”
Harry masuk disusul Elanor. “Kenapa Tuan mengajakku ke sini?”
Harry membuka kunci pintu dan mereka masuk. Mata Elanor berbinar takjub. Rumah kecil namun begitu menenangkan.
“Duduklah, Elanor.”
Elanor duduk di samping Harry.
Harry berdeham.
“Tuan...”
“Elanor, setelah aku menikah nanti, apakah kau akan tetap menjadi pelayanku? Ibuku pasti menggantimu karena permintaan Anne. Anne meminta agar setelah menikah pekerjaanmu digantikan.”
Elanor menatap Harry dengan kecewa. “Kalau itu yang diminta Nyonya aku bisa apa.”
“Dengar, aku akan meminta ibuku untuk tetap mempekerjakanmu dengan berbagai alasan pendukung. Aku mohon saat ibuku memintamu berhenti kau juga bisa mempertahankan alasanmu. Agar kita tetap bersama. Maksudku—aku selalu memikirkanmu, Elanor. Dan ini membuatku gila. Aku tidak ingin berpisah denganmu.” Harry menyibak poni rambut Elanor.
Sudut hati Elanor yang rapuh tersentuh.
“Kau menginginkanku, Tuan?”
Harry menggenggam sebelah tangan Elanor dan menciumnya dengan lembut. “Aku hanya berpura-pura tak peduli denganmu, Elanor. Aku selalu berpura-pura bahwa kau tidak mencintaiku. Tapi perbedaan kita begitu mencolok hingga aku tak kan bisa melakukan apa pun untuk cinta kita.”
Mata Elanor berkilauan karena air mata yang merebak. Dan air mata itu jatuh saat Harry mencium bibirnya.
“Jangan menangis, Elanor.” Bisik Harry di telinga Elanor. Dia mencium telinga Elanor hingga Elanor merasa geli. Dan ciuman itu terus berlanjut hingga ke bahu Elanor dan gaunnya merosot ke d**a.
Harry merebahkan Elanor di atas sofa. Dia menatap mata belok Elanor. Mata yang disukainya sejak pertama kali melihat Elanor belasan tahun lalu ketika ibu Elanor untuk pertama kalinya membawa Elanor ke rumahnya. Dan empat tahun lalu pemilik mata indah itu menjadi pelayannya.
d**a Elanor naik turun dengan lambat dan itu menambah keinginan Harry terhadap wanita yang begitu mencintainya dalam diam. Dalam perasaan laranya. Memujanya begitu dalam hingga dia tidak peduli jika harus menajadi pelayan Harry seumur hidupnya.
Harry membuka bajunya. Elanor melingkarkan tangannya di leher Harry.
Wajah mereka begitu dekat hingga Elanor merasakan napas Harry.
“Apa kau akan menyesal karena mencintaiku, Elanor?”
“Aku tidak akan menyesal, Tuan. Aku akan selalu mencintaimu.”
Harry tersenyum. Satu desahan hangat keluar dari kedua daun bibir Elanor ketika bibir Harry sampai di sebelah dadanya. Elanor tak pernah merasa sepanas ini. Dia tidak tahan untuk tidak mencium bibir Harry dan mendekapkan tubuhnya pada tubuh Harry.
Bulan purnama bersinar utuh menerangi kegelapan hutan. Sang kuda begitu setia menunggu majikannya yang sedang menghabiskan waktu dengan sang pelayan yang cantik nan menawan.
***
Malam yang memukau.
Begitulah Elanor memberi nama pada malam itu.
Elanor tersenyum membayangkan gairah panas yang terjadi antara dirinya dan Harry. Mengetahui bahwa sang pujaan memiliki perasaan yang sama tentu saja membuatnya seakan terbang melayang. Itu pertama kalinya seorang pria menyentuhnya hingga bagian paling sensitif. Dia menyerahkannya. Menyerahkan apa pun yang dapat membuat Harry senang.
Elanor sadar kebahagiaan semacam itu tidak akan lama. Dia akan kehilangan Harry tapi permintaan Harry agar dia tetap menjadi pelayannya begitu dashyat dirasakannya seakan sesuatu dari syurga didatangkan padanya.
Dia masih membayangkan malam itu. Malam penuh gairah. Malam yang telah memenuhi isi pikirannya. Tubuh Harry yang mendekapnya, ciuman dalam dan kecupan-kecupan lembut yang mendarat di seluruh tubuhnya.
“Elanor, semalam kau kemana?” pertanyaan dari Mrs. Roget membuat Elanor terkesiap. Mrs. Roget memotong daging panggang yang disediakan Bibi Arra dan memasukannya ke mulut.
Elanor menatap Harry yang juga menatapnya. Mereka saling tatap beberapa detik dan Harry tersenyum.
“Aku mencarimu tadi malam.”
***