Pagi ini Elanor tampak sibuk menyiapkan makanan untuk Harry. Bibi Arra yang sudah berumur 57 tahun mencicipi bumbu daging panggang. “Pas,” komentarnya.
Harry datang dan duduk dengan tenang. “Elanor, hari ini aku akan pergi memancing dengan Aclair. Apa kau mau ikut?” tanyanya seraya mendongak menatap Elanor yang sibuk memotong daging panggang untuk piring Harry.
“Oh, tidak. Elanor di sini saja.” Bibi Arra menyentuh lengan Elanor. Elanor menoleh. Selain dirinya, Bibi Arra tahu akan perasaan Elanor pada Harry. Dia hanya mencoba agar Elanor tidak mencintai Harry terlalu dalam. Itu hanya akan menyiksa perasaan Elanor.
“Bibi benar.” Dia menatap Harry. “Aku lebih baik di rumah, Tuan.”
Harry mengangguk.
***
“Tidakkah kau paham Elanor, kau dan Harry tak kan bisa bersatu?” Bibi Arra berkata dengan nada yang tajam.
Elanor menaruh piring di rak. Dia menatap Bibi Arra pasrah.
“Sayangku,” Bibi Arra membelai lembut bahu Elanor. “Kau tahu, Nak, Harry sudah memiliki Anne dan mereka akan menikah dalam waktu dekat. Jangan sakiti dirimu dengan tetap mencintainya, Nak.”
“Bibi, kalau saja aku bisa menghilangkan perasaan ini.” Elanor tampak frustrasi.
“Kau bisa sayang. Ubahlah perasaanmu. Kau tahu, kau tidak punya siapa pun di dunia ini lagi selain aku dan keluarga Roget. Mereka menyayangimu, Nak. Jangan membuat masalah. Apalagi kalau sampai kau menggoda Tuan Harry.”
Elanor teringat ibunya yang meninggal beberapa tahun lalu. “Aku tidak pernah berniat menggoda Tuan Harry.”
“Ya, aku percaya padamu. Tapi, aku tidak sepenuhnya percaya pada Tuan Harry.”
Elanor hanya menatap Bibi Arra tanpa protes.
“Kenapa kau tidak mempercayainya?”
“Kau cantik Elanor. Siapa pun itu pasti menyadari kecantikanmu. Harry bisa saja menyimpan perasaan yang sama padamu, tapi dia tidak akan memilihmu sebagai ibu dari anak-anaknya. Status sosial di kalangan bangsawan sangat penting.” Perkataan Bibi Arra begitu meyakinkan sekaligus menusuk d**a Elanor. Begitu tajam hingga Elanor merasa sebuah pisau menghujam dadanya.
***
Malam yang cantik dengan rembulan yang bersinar penuh di langit gelap.
Kecantikan dan status sosial begitu penting bagi dunia ini. Mereka yang cantik namun tidak memiliki darah biru cenderung menjadi wanita malam yang menghibur para p****************g. Elanor tak habis pikir bagaimana bisa mereka rela menjual harga dirinya demi uang. Pekerjaan yang hina asalkan itu adalah hasil jerih payahnya sendiri tak kan jadi masalah.
Elanor mematut wajahnya di cermin. Dia memperhatikan setiap sudut wajahnya. Dan dia memang menyadari kecantikannya yang tak kalah dengan Anne. Tapi dia kalah dalam status sosial. Tidak akan ada pria berdarah biru yang memilihnya sebagai seorang istri.
“Elanor!” teriak Aclair.
Elanor berlari menuju pintu rumah dan mendapati Aclair sedang berkesusahan membawa Harry yang mabuk parah.
“Kenapa dengan Tuan?” tanyanya panik pada Aclaire.
“Dia mabuk, Elanor.”
Mereka membawa Harry ke kamarnya.
Aclaire bernapas lega setelah merebahkan Harry di atas ranjangnya. “Ganti bajunya yang penuh muntahan.”
“Apa?” Elanor bertanya dengan wajah polos.
“Ganti semua pakaiannya, Elanor. Itu kotor sekali. Kasihan Tuan kalau tidur dengan pakaian seperti itu.” Lalu Aclaire pergi.
Elanor menatap pria yang dicintainya di atas ranjang dengan tatapan yang sulit diartikan.
Kedua mata Harry terbuka perlahan. Dia tersenyum tidak jelas.
“Elanor,” dia menarik tangan Elanor hingga Elanor jatuh di atas ranjang.
Elanor mencium bau alkohol yang manis. Demi apa pun dia tidak suka bau alkohol tapi embusan bau alkohol dari napas Harry mengubah persepsinya tentang bau alkohol.
***
“Elanor,” Bibi Arra mengagetkan Elanor yang sedang sibuk menyiapkan perlengkapan Harry untuk berkuda.
“Apa yang terjadi semalam?” tanyanya menatap curiga Elanor.
Elanor menggeleng. “Tidak terjadi apa-apa, Bibi Arra.”
“Benarkah?”
Mereka saling bersitatap. Bibi Arra mencoba menelusuri tanda kebohongan di mata belok Elanor.
Elanor menggigit bibir. “Tidak terjadi apa-apa.” Dia berkata kembali seolah mencoba meyakinkan Bibi Arra.
“Aku mendengar suara Tuan Harry mengerang. Kau melakukan sesuatu padanya? Aclaire bilang Tuan Harry mabuk.”
“Aku—aku hanya mengganti pakaiannya sesuai dengan perintah Aclaire karena pakaian Tuan Harry terkena alkohol dan muntahannya.”
Bibi Arra mengangguk-ngangguk. Tidak ada alasan untuk tidak percaya pada Elanor. Gadis yang baik, polos dan penurut. Ketakutan Bibi Arra hanya satu, Harry menyentuh Elanor. Dia takut Elanor dijadikan sebagai budaknya. Dia tidak ingin itu terjadi, meski dia pun ragu apakah Harry akan menyakiti Elanor dengan cara seperti itu.
***
Elanor selalu setia menemani kegiatan Harry. Dia menyiapkan segala sesuatu untuk Harry. Dan sekarang dia menemani Tuannya berkuda. Dia hanya memperhatikan Harry dari kejauhan. Bayangan yang terjadi semalam menyelinap masuk di pikirannya.
“Elanor,” Harry menarik tangannya dan dia jatuh di atas ranjang tepat di samping Harry. Mereka saling bersitatap. Harry menyingkirkan anakan rambut Elanor ke belakang telinganya. Entah Harry sadar atau tidak dengan apa yang dilakukannya.
Elanor tentu saja berdesir. Seakan Harry membalas cintanya.
“Tuan—“ Harry menempelkan telunjuk tangannya di depan bibir Elanor. Lalu tanpa berkata apa pun dia menarik kepala Elanor hingga dia berhasil melumat bibir tipis Elanor.
Mereka berciuman.
Ciuman yang lama.
Elanor menggeleng dan mengedip-ngedipkan mata. “Tuan Harry hanya sedang tidak sadar.” Gumamnya. “Aku harus sadar diri.”
“Elanor,” Harry turun dari kudanya yang berwarna putih. Dia berjalan mendekati Elanor.
“Iya, Tuan,” sahut Elanor dengan mata berbinar-binar. Mata itu yang selalu Harry suka dari Elanor. Mata yang selalu berbinar-binar ketika menatapnya.
“Kau mau menemaniku berkuda?”
Elanor seperti mendapat tawaran untuk mendapatkan gelar kebangsawanan secara Cuma-Cuma.
“Elanor?” Harry memiringkan kepala.
Elanor mengangguk pelan hingga nyaris anggukannya tak terlihat.
Harry tersenyum.
Elanor naik ke atas kuda dibantu Harry, kemudian setelah Elanor aman duduk di atas kuda, Harry menyusul duduk. “Kau berpegangan, Elanor.” Elanor memegang tali kuda erat. Harry memegang tali kuda dan tangannya menyentuh tangan Elanor hingga desiran itu semakin kuat. Semakin membara.
Elanor merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Dia teramat senang. Kuda melaju dengan kecepatan rata-rata.
“Ini pertama kalinya kau naik kuda kan?”
“Iya, Tuan.”
“Bagaimana rasanya?”
“Menyenangkan.”
***