Bab 9 — Yang Tak Pernah Benar-Benar Hilang

721 Kata
Pagi itu, Aira merasa tubuhnya berat seperti diseret oleh beban yang tak kelihatan. Semalam ia menangis tanpa suara, tapi air matanya seperti tak sanggup berhenti. Hatinya masih terasa penuh, tapi kosong di saat yang sama. Aksa masih tidur pulas. Wajah polosnya membuat d**a Aira sesak lagi—bukan karena lelah, tapi karena rasa bersalah yang tak mau pergi. Aira mengusap rambut anak itu pelan. “Aksa… kamu satu-satunya alasan Ibu bertahan,” bisiknya. Namun hatinya bertanya-tanya, apa aku bisa terus sekuat ini? --- Saat Aira sedang menyiapkan sarapan, ponselnya berbunyi. Arga Calling… Aira tercekat. Semalam ia menolak bertemu, dan pagi-pagi begini Arga sudah menelepon. Ia diam beberapa detik. Menjawab atau tidak? Suara hati kecilnya berkata: Jangan bikin masalah baru. Tapi tangan Aira justru bergerak sendiri, menekan tombol hijau. “Halo…” suara Aira serak, berharap Arga tidak menyadarinya. “Kamu nangis lagi?” suara Arga lembut, terlalu lembut sampai Aira ingin menutup telepon. “T… tadi pagi bangun kesiangan,” Aira berbohong cepat. Ia benci betapa mudahnya Arga membaca dirinya. “Hm. Aira…” Arga berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Kamu masih sama kayak dulu.” Aira membeku. Dulu? Arga jarang menyentuh masa lalu. Dan biasanya… itu tanda ia ingin mengatakan sesuatu yang lebih berat. “Apa maksudmu?” Aira berusaha terdengar tenang. “Kamu selalu bilang ‘nggak apa-apa’ meski semua orang tahu kamu lagi patah.” Aira menutup mata, menahan napas. Sudah berapa lama tidak ada orang yang mengerti dirinya seperti itu? Arga melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Kalau kamu butuh tempat pulang… kamu tahu kamu bisa cerita ke aku.” Detik itu, Aira ingin menutup telepon. Tidak boleh. Ia tidak boleh goyah. Tapi sebelum ia sempat membalas, suara kecil terdengar dari belakang. “Bu…” Aksa berdiri di pintu dapur, wajahnya kusut, matanya bengkak. Aira langsung mematikan telepon. --- “Aksa sayang… kenapa? Sakit?” Aira mendekat. Aksa menggeleng. Tapi kali ini, ia tidak menangis. Ia hanya… diam. Dan itu lebih menakutkan bagi Aira daripada tangisan. “Bu…” Aksa menatapnya dengan mata yang sendu. “Kenapa Ibu nangis semalam?” Aira membeku. “Siapa yang bilang Ibu nangis?” “Aksa dengar… dari kamar.” Aksa memainkan jari-jarinya, gugup. “Kenapa Ibu sedih? Aksa nakal ya?” “Tidak, Sayang… bukan itu.” Aira buru-buru memeluknya. “Aksa anak baik. Aksa nggak salah apa-apa.” Tapi Aksa tidak membalas pelukannya. Ia diam saja. Seolah… hatinya menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan. “Aksa takut kalau Ibu nggak bahagia sama Aksa…” bisiknya pelan sekali. Kata-kata itu menghantam Aira dari dalam. Ia merasa napasnya hilang. “Tidak, Nak—” “Tapi Aksa denger Bapak bilang… Aksa cuma bikin Ibu susah…” Aira mematung. Jadi itu… Itu yang membuat Aksa berubah. Itu racun yang ditinggalkan masa lalu. Aira menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tidak boleh menangis di depan Aksa lagi. Tidak lagi. “Aksa, denger Ibu ya…” Aira memegang pipi kecil itu. “Kamu bukan beban. Kamu hadiah terbesar yang Tuhan kasih ke Ibu.” Aksa mengangguk. Tapi sorot matanya jauh… seperti menyimpan luka yang terlalu besar untuk anak seusianya. --- Siang harinya, saat Aira bekerja, ponselnya kembali berbunyi. Arga: “Aku serius. Kita perlu bicara.” Aira menatap layar itu lama. Ada sesuatu di balik pesan itu. Sesuatu yang tidak ia mengerti… atau mungkin tidak siap ia dengar. Ia mengetik pelan: “Bicara tentang apa?” Tak lama, balasan Arga muncul: “Tentang alasan sebenarnya kenapa aku kembali.” Aira merasakan sesuatu turun dari tenggorokannya sampai ke perut. Antara takut… dan penasaran. Ia hanya bisa menatap pesan itu tanpa membalas. Di pojok pikirannya, suara kecil berbisik: Apa yang sebenarnya Arga sembunyikan? Dan apa yang akan terjadi kalau kebenarannya terbuka? --- Hari itu, Aira pulang dengan hati sesak. Dan ketika ia masuk rumah… ia menemukan Aksa duduk memeluk lutut, menatap kosong ke lantai. “Aksa? Kenapa sayang?” Anak itu menoleh pelan. “Bu…” suaranya gemetar. “Aksa… nggak mau Ibu pergi.” Aira merasa seluruh dunia runtuh tepat di atas kepalanya. Ia berlutut, memeluk Aksa erat-erat. “Ibu nggak akan pergi… Ibu di sini. Selalu.” Tapi saat ia memeluk anaknya… Aira sadar sesuatu: Ketakutan Aksa semakin kuat. Dan sesuatu—atau seseorang—telah membuat anak itu merasa akan kehilangan dirinya. Apa pun itu… Aira harus mencari tahu. Sebelum semuanya terlambat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN