BAB 6 — Dunia Tidak Pernah Benar-Benar Berhenti Menguji

722 Kata
Pagi itu, mata Aira masih terasa berat ketika ia membuka mata. Aksa tidur memeluk pinggangnya, seolah takut Aira pergi sebelum ia bangun. Aira tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa sesak sisa tangis semalam. Ia mengusap kepala anaknya pelan. “Sayang… Mama pergi kerja dulu, ya.” Aksa menggeliat. Matanya masih mengantuk, tapi tangan mungil itu langsung meraih tangan Aira. “Mama jangan lama, ya…” Dan kalimat sederhana itu menusuk Aira lebih dalam daripada apa pun. “Iya, Sayang…” jawabnya lirih. “Mama pulang cepat kalau bisa.” Tapi… ia tahu itu belum tentu mungkin. --- Di tempat kerja, suasana lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai berbisik-bisik, dan ekspresi Bu Mira terlihat lebih kaku dibanding kemarin. Aira mencoba berjalan cepat menuju meja, berharap tidak mencuri perhatian siapa pun. Tapi Bu Mira langsung memanggil. “RA! Ke sini sebentar.” Aira berhenti. Napasnya serasa menggantung. Ia mendekat pelan. “Iya, Bu?” Bu Mira melipat tangan. “Tadi pagi Raka—bos baru—minta laporan tentang semua pegawai. Termasuk kamu.” Jantung Aira langsung berdebar kencang. “Dan saya bilang apa adanya,” lanjut Bu Mira dengan suara dingin. “Kamu sering telat. Tidak fokus. Banyak salah. Dan performamu menurun.” Aira terdiam, dadanya terasa kosong. “Bu… saya—” “Mau cari pembelaan?” potong Bu Mira. “Ra, saya tahu kamu punya anak, tapi kantor ini bukan tempat untuk bawa masalah pribadi.” Aira menunduk, menahan perih di tenggorokan. Ia bekerja keras. Ia tidak pernah bermalas-malasan. Ia hanya… terjebak di hidup yang berat. Tapi dunia tidak peduli. --- Menjelang siang, panggilan itu akhirnya datang. “Permisi, Aira?” Seorang laki-laki berdiri di pintu ruangan. Tegap. Rapi. Tatapannya tajam tapi tenang. Raka. Semua pegawai langsung duduk lebih lurus. Ia mendekat ke meja Aira. “Bisa ke ruangan saya?” Aira mengangguk cepat. “Ba… baik, Pak.” Napasnya naik turun ketika berjalan menyusuri koridor. Ruangan Raka terlihat berbeda—lebih modern, lebih teratur, lebih rapi dibanding kantor lain. Begitu pintu menutup, suara keras di luar hilang. Hanya ada ketenangan… yang justru membuat Aira lebih gugup. “Silakan duduk,” kata Raka. Aira duduk pelan, menunduk. Raka membuka berkas di depannya. “Saya sudah menerima laporan tentang Anda dari Bu Mira.” Itu cukup membuat perut Aira serasa ditinju. “Saya ingin dengar dari Anda langsung,” lanjut Raka. “Apa alasan Anda sering telat dan tampak tidak fokus beberapa minggu terakhir?” Aira menggenggam tangannya erat. Ia ingin menjawab jujur… Bahwa ia harus mengantar Aksa sekolah. Bahwa ia harus menyiapkan sarapan. Bahwa ia harus memastikan ibunya cukup kuat menjaga Aksa. Bahwa ia pulang malam setiap hari. Bahwa tubuhnya sering terasa gemetar karena kelelahan. Ia ingin berkata semuanya. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Aira hanya berkata pelan: “Saya… berusaha, Pak. Saya benar-benar berusaha.” Raka mengamati wajah Aira lama. Tatapannya tidak seperti Bu Mira. Tidak menghakimi. Tidak memandang rendah. Lebih seperti… mencoba mengerti. “Berusaha bagaimana?” tanya Raka, suaranya lebih lembut. Aira memejamkan mata sebentar. Isak kecil hampir lolos. “Berusaha untuk tidak kehilangan pekerjaan ini.” Suaranya bergetar, tapi ia melanjutkan. “Saya… punya anak, Pak. Dan saya… tidak bisa kehilangan penghasilan.” Hening sesaat. Hening yang berat, tapi tidak menyakitkan. Raka menutup berkas itu pelan. “Seberapa tua anakmu?” tanya Raka. “Empat tahun.” Raka menatap meja sejenak. Matanya melembut tanpa ia sadari. “Aira… saya bukan ingin membuatmu takut,” ucapnya akhirnya. “Saya cuma ingin memahami situasinya. Supaya saya bisa menentukan kebijakan yang tepat.” Aira menunduk lebih dalam. Hatinya campur aduk. Ada perasaan lega kecil… tapi juga takut besar. Ia tidak terbiasa ada orang yang ingin mengerti. Biasanya: Orang hanya menuntut. Menilai. Menghakimi. Raka menyandarkan tubuhnya. “Saya akan menilai performa Anda dari awal lagi,” katanya. “Mulai besok. Tunjukkan apa yang Anda bisa.” Aira mengangguk cepat. “Iya, Pak. Terima kasih…” Raka berdiri, lalu berkata pelan: “Dan kalau ada masalah… jangan dipendam sendirian.” Aira tercengang. Kata-kata itu… terlalu sederhana, tapi terasa menyentuh bagian hatinya yang paling rapuh. Ia hanya mampu membalas dengan suara hampir tak terdengar: “Baik, Pak…” Ketika Aira keluar dari ruangan itu… lututnya hampir goyah. Ia mendongak ke langit-langit koridor. Satu hari lagi… Aku berhasil melewatinya… Tapi entah kenapa, bayangan tatapan Raka barusan… ikut menempel di hati kecilnya yang lelah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN