BAB 5 — Jika Kau Tahu Betapa Aku Berjuang untuk Kita

541 Kata
Rumah kecil itu gelap ketika Aira membuka pintu. Hanya lampu dapur yang menyala redup. Ia melepas sepatunya perlahan, takut menimbulkan suara. Aksa biasanya tidur gelisah kalau menunggu Aira terlalu lama. “Ra? Sudah pulang?” Suara ibunya pelan. Aira mengangguk. “Iya, Bu. Aksa gimana?” Ibunya tersenyum tipis. “Tidur, tapi sebelum tidur… dia nanya kamu tiga kali.” Aira menunduk. Tenggorokannya tercekat. Ia selalu pulang dengan d**a sesak setiap kali mendengar itu. “Katanya,” lanjut ibunya, menirukan suara Aksa yang kecil, ‘Bu… Mama lama banget. Nanti Mama pulang, kan?’ Aira menggigit bibir, menahan tangis yang tiba-tiba meluap tanpa aba–aba. “Maaf ya, Bu… aku pulang telat… lagi.” Ibunya mengusap bahu Aira lembut. “Kamu sudah berjuang, Ra. Ibu tahu.” Tapi Aira tidak yakin. --- Di kamar kecilnya, Aira menatap wajah Aksa yang tidur pulas. Pipi bulatnya, rambutnya yang sedikit acak-acakan, tangan mungil yang memeluk guling. Aira meraih tangan kecil itu dan menciumnya lama. “Aksa…” bisiknya, suaranya retak. “Maafin Mama… kalau Mama selalu pulang waktu kamu udah tidur.” Air mata jatuh pelan, menetes tepat di sela jari Aksa. Anak kecil itu mengerutkan dahi sebentar, lalu melanjutkan tidur. Aira duduk di lantai, punggung bersandar pada kasur tipis. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri… Apa Aksa bakal ingat masa kecilnya sebagai masa penuh tunggu? Penuh rindu? Penuh kekurangan? Ia mengusap wajah, menahan isak. Besok ia belum tentu bisa belikan Aksa es krim. Belum tentu bisa menemaninya main. Belum tentu bisa menemani tidur siang. Semuanya bergantung pada pekerjaan yang bahkan tidak menyukainya. Tapi di situlah ironi hidupnya: Ia bekerja mati-matian demi membahagiakan anak yang justru sering ia tinggalkan demi bekerja. Dan itu menyakitkan. Rasanya seperti dipaksa memilih satu dari dua bagian hatinya sendiri. Aira memeluk lutut, menunduk dalam-dalam. “Aksa… Mama sayang kamu lebih dari apa pun,” bisiknya. “Kalau kamu tahu betapa kerasnya Mama bertahan… cuma biar kamu bisa makan, sekolah, dan tetap tertawa…” Suaranya pecah. “Kadang Mama takut… kamu bakal tumbuh besar dan merasa kurang disayang karena Mama selalu sibuk cari uang.” Aira memejamkan mata. Hatinya terasa seperti diremas. Tapi tangan kecil itu… tiba-tiba menyentuh rambutnya. Aira tersentak. Aksa belum sepenuhnya bangun, tapi matanya terbuka setengah. “Mama…” suara kecil itu serak. “Jangan nangis…” Air mata Aira makin deras. Dia buru-buru mengusap pipinya. “Mama nggak nangis, Sayang. Mama cuma capek.” Aksa menggeleng kecil. “Kok Mama sedih…?” Aira menunduk, memeluk anaknya erat—lebih erat dari biasanya, seolah ia takut Aksa akan hilang jika ia melepaskan. “Enggak, Aksa… Mama cuma…” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. “Maafin Mama, ya.” Aksa memeluk leher Aira dengan tangan kecilnya. “Kalau Mama capek… Aksa peluk Mama… biar nggak capek lagi.” Dan saat itu… Aira benar-benar runtuh. Semua lelahnya, semua sakit yang ia pendam, semuanya pecah di d**a. Bahkan ketika dunia tidak mempedulikannya… ketika hidup terus melemparkan masalah… Hanya anak kecil inilah yang memeluknya tanpa syarat. Tanpa tanya. Tanpa pamrih. Aira mengecup rambut anaknya. “Terima kasih, Sayang… terima kasih…” Di luar kamar, hujan turun perlahan. Malam itu Aira sadar: Mungkin hidup tidak pernah memihaknya… tapi selama ada Aksa, ia tidak akan menyerah. Tidak hari ini. Tidak besok. Tidak pernah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN