Bab 12 – Luka yang Tidak Pernah Padam

570 Kata
Aira terbangun lebih pagi dari biasanya. Bukan karena alarm, tapi karena mimpinya yang berulang: suara pintu dibanting, suara lelaki mabuk yang ia hafal terlalu baik, dan tangisnya yang tak pernah didengar siapa pun. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus sisa takut yang masih menempel. Aksa masih tertidur di sampingnya, memeluk guling dengan pipi yang menempel lembut. Anak itu terlalu polos untuk mengerti betapa lelahnya dunia ibunya. Aira menunduk dan mengecup ubun-ubun Aksa. “Maafin Ibu kalau Ibu belum bisa jadi yang terbaik buat kamu,” bisiknya. Ia bangkit perlahan, menuju dapur, mencoba memulai hari seperti biasa. Tapi hatinya terasa sesak sejak semalam—sejak kedatangan Arga, sejak semua luka masa lalu kembali diseret keluar. --- Aksa Bangun Dengan Tanya “Ibu…” suara kecil itu terdengar dari belakang. Aira menoleh. Aksa berdiri sambil mengucek mata, masih mengantuk. “Duh, sayang… sini,” Aira mengangkat Aksa ke pangkuannya. Aksa bersandar di bahunya. “Ibu sedih lagi ya?” Aira terhenti. Anak sekecil itu, tapi hati dan nalurinya begitu peka. “Ibu nggak apa-apa,” jawabnya sambil tersenyum. “Tapi mata Ibu bengkak…” Aksa menunjuk wajahnya dengan polos. Aira menarik napas panjang. “Tadi malam Ibu kecapekan aja.” Aksa memeluknya lebih erat, seolah ingin memastikan dunia tidak menyakiti ibunya lagi. Pelukan itu saja cukup membuat Aira berjuang hari ini. --- Pagi yang Tidak Biasa Di teras, Aira hampir tersentak ketika melihat seseorang berdiri di depan pagar. Arga. Pria itu berdiri dengan tubuh tegap, wajah dingin, dan tatapan yang sulit dibaca. Entah kenapa, yang Aira rasakan bukan takut… tapi campuran marah dan bingung. “Kenapa kamu ke sini lagi?” Aira bertanya tanpa membuka pagar. Arga menatapnya tanpa berkedip. “Kita perlu bicara.” “Aku nggak punya urusan sama kamu.” “Yang datang semalam—itu bukan aku,” Arga berkata lirih. “Aku nggak pernah mau nyakitin kamu, Aira.” Aira mengepalkan tangan. Kata-kata itu seperti gunting yang membuka luka lama. “Jangan pura-pura peduli. Kamu datang atau nggak, hidupku tetap hancur waktu itu.” Arga terdiam. Ada sesuatu di matanya… penyesalan? Atau justru rahasia? --- Rahasia yang Mulai Terungkap “Aku cuma mau ngasih tahu…” Arga menunduk sebentar, lalu menatap Aira dengan serius. “Orang yang kamu benci itu… bukan aku. Itu—” Aira langsung memotongnya. “Cukup.” Dia tidak ingin kembali mengingat malam itu. Tidak ingin ingat lelaki yang menyebabkan hidupnya berubah selamanya. Tidak ingin ingat ketakutan yang mengurungnya bertahun-tahun. “Aira, dengar aku dulu—” “Pergi!” suara Aira pecah. “Kamu nggak ngerti apa pun tentang sakitku!” Aksa mendekap kaki Aira, ketakutan melihat ibunya berteriak. Arga terdiam melihat itu. Rahang pria itu mengeras, seolah menahan sesuatu yang berat. “Aku akan pergi,” katanya akhirnya. “Tapi kamu berhak tahu kebenaran. Dan aku akan tetap ngomong… meski kamu benci aku.” Aira menatapnya dengan mata yang bergetar. Arga melangkah mundur, meninggalkan rumah kecil itu, tapi meninggalkan serpihan rasa penasaran yang lebih tajam dari rasa sakit. --- Air Mata yang Tak Tertahan Saat Arga pergi, Aira langsung memeluk Aksa. Aksa menepuk punggungnya dengan lugu. “Ibu jangan nangis ya… Ada Aksa disini.” Aira menangis dalam diam. Bukan karena Arga. Tapi karena dunia seakan tidak mau membiarkannya tenang meski hanya sebentar. Dan jauh di dalam hatinya… Ia takut. Takut bahwa masa lalu yang ia kubur dalam-dalam mulai mencari jalan keluar. Takut bahwa kebenaran yang Arga simpan… mungkin akan mengubah segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN