Penebus Hutang, Penebus Nyawa!

1064 Kata
"Ayah ..." Salwa memeluk ayahnya dengan tubuh terguncang begitu ia tersadar. Ayahnya hanya bisa menepuk-nepuk pundak puterinya. Ia pun tak tahu harus berbuat apa. Musibah datang begitu saja, kalau saja hanya harta yang akan diambil oleh Kaisar, ia tak akan sesedih ini, tetapi lelaki itu menginginkan Salwa sebagai pengganti semua hutang juga nyawa yang tak sengaja hilang. "Aku benar-benar tidak sengaja, Ayah. Ayah percaya padaku, bukan?" tanya Salwa dengan suara tangis dan isak yang masih terdengar. "Ya, Salwa, ayah percaya padamu, Nak." Lirih sang ayah berkata. Mereka kalut. "Ayah, apa yang harus aku lakukan?" "Salwa, kita tidak punya pilihan lain." "Aku tidak mau menjadi b***k lelaki itu, Ayah ..." Salwa meraung, ia sungguh ketakutan saat ini. "Salwa, apa yang kita bisa selain menuruti semua kemauan Kaisar? Apa kau ingin Ayah di penjara dan kau di penjara pula?" Salwa terdiam. Ia juga bingung harus menjawab apa. Semua yang terjadi hari ini begitu membuatnya kalut dan rasanya ingin mati saja. "Dia minta Ayah mengantarmu ke istananya, Salwa." Salwa melepaskan pelukannya, ditatapnya sang ayah yang menatapnya sama gusar. Apa pilihan yang mereka punya sekarang selain mengiyakan apa yang kaisar mau? "Ayah, kalau memang tidak ada pilihan lain, baiklah, antar aku ke rumah lelaki itu, biarkan aku menjadi penebus hutang juga penebus nyawa yang sudah hilang karena diriku." Tuan Subroto memandang puterinya dengan sedih. Mereka memang tak punya pilihan lain selain menuruti kemauan lelaki yang sekarang telah dikuasai kebencian akan Salwa. "Mandilah dulu, Salwa, Ayah tahu kau harus mendinginkan dulu otakmu." Salwa mengangguk lemah. Benar, pergi dalam keadaan baju basah juga penuh dengan noda darah akan membuat orang jadi curiga padanya. Ia juga ingin menenangkan diri seperti yang tadi ayahnya katakan. Salwa menangis terisak setibanya ia di dalam kamar mandi. Sudah berapa banyak airmata yang terbuang hari ini. Salwa tak mau menghitungnya, yang jelas banyak! Ia akan segera menyerahkan seluruh hidupnya untuk lelaki yang sudah menyematkan kebencian kepadanya karena kematian calon istrinya. "Tuhan ... apa keputusanku sudah benar? Apa menuruti lelaki itu menjadi keputusan terbaik dibandingkan mendekam di penjara?" tanya Salwa putus asa. Menangis Salwa tapi tak bisa apa-apa. Air dingin masih setia mengucur dari pancaran Shower membasahi, membersihkan tubuhnya dari darah perempuan yang tadi udah ditabraknya. Sementara itu, di dalam ruang pribadinya, Kaisar menatap kosong ke depan. Ruangan indah yang telah ia sulap untuk menyambut Safira setelah menjadi istrinya, kini sudah berantakan berhamburan dengan berbagai barang yang telah pecah. "Tuan, jenazah nona Safira akan segera dimakamkan, Tuan mau mengantarnya?" tanya salah satu pengawal setianya. "Tidak, biarkan aku di sini." "Baik, Tuan." Kaisar memandang ke hampaan. Ayahnya bersama istri baru masuk ke dalam ruang pribadinya. "Kai, besok seret Subroto ke penjara, biarkan dia membusuk di sana!" Kaisar menatap ayah dan istri barunya yang hanya berjengkal beberapa jarak usia darinya itu. Perempuan jalang yang Kaisar tahu hanya menginginkan harta dan kerap menatapnya dengan mata berbinar menggoda. "Tidak ada yang akan di penjara, Papa. Aku sudah menjadikan putrinya sebagai penebus hutang sekaligus penebus nyawa Safira." Ayahnya menatap ia dengan acuh. Lalu pergi begitu saja. Sedangkan Merry, perempuan nakal itu menoleh dan menatapnya penuh arti. "Dasar Jalang!" desis Kaisar memandang jengah ke arah bayangan ayah dan istri barunya yang jalang. ****** Di dalam perjalanan menuju rumah Kaisar, Salwa diam. Ia menyandarkan kepala ke jendela mobil hingga jadi terasa terantuk. Tuan Subroto juga hanya diam, ia menyetir dengan sejuta kegalauan. "Salwa, maafkan Ayah." Lirih lelaki itu bicara akhirnya, memecah keheningan di antara mereka. "Aku ngerti, Ayah. Sudahlah, ini adalah jalan terbaik." "Tapi Ayah masih belum mengerti apa maksudnya meminta kau menebus semuanya, Salwa. Apa dia ingin menahanmu selamanya di istananya?" tanya ayah Salwa setelah ia menyadari hal itu. "Aku juga tidak tahu, Ayah. Kalau memang benar begitu, biarkan saja." Lalu ayah dan anak itu terdiam. Mereka sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing. Setelah lama dalam perjalanan, mereka mulai memasuki sebuah gerbang. Salwa takjub, setelah gerbang itu terbuka ada jalan aspal lebar dan terlihatlah sebuah patung besar lambang kerjaan bisnis keluarga besar mahendra di tengah lapangan luas beraspal yang dihiasi air mancur di setiap sisinya. Kalau malam, patung itu akan bersinar terang seolah menunjukkan besarnya kerajaan bisnis itu. Salwa melihat sebuah rumah megah bak istana di penghujung aspal, bergaya American Classic dengan nuansa keemasan. Disanalah Kaisar tinggal. Tapi bagi Salwa, itu bukan istana melainkan neraka yang sudah dipersiapkan oleh Kaisar untuknya. "Silahkan masuk, Tuan dan Nona, Tuan muda sudah menunggu kedatangan kalian." Seorang pelayan laki-laki berpakaian jas menyambut kedatangan Salwa dan Subroto. "Salwa, kau sudah benar-benar siap, Nak?" tanya Subroto pilu, ia semakin ragu akan menyerahkan putrinya kepada Kaisar begitu saja. "Sudah, Ayah. Kita sudah sampai ke tempat ini, tidak ada alasan untuk pulang." Keduanya kemudian berjalan, melaju ke depan dengan segudang keraguan juga ketakutan. Di belakang mereka mengekor dengan langkah teratur dua orang pengawal berjas rapi dan di depannya, laki-laki yang sepertinya kepala pelayan yang memiliki jabatan paling tinggi mungkin bertugas mengatur semua hal di dalam istana itu. "Kita sudah sampai, tunggu sebentar, duduklah, tuan kami akan segera datang ke ruangan ini." Salwa tidak menjawab, bersama Subroto ia duduk dengan tenang. Meski ia sangat ketakutan saat ini, tapi tetap saja ia tidak ingin membiarkan dirinya terlihat lemah di depan Kaisar dan orang-orangnya. Tak berapa lama kemudian, suara sepatu mahal yang beradu di atas lantai terdengar. Semakin dekat dan semakin membuat Salwa meremas ujung dress yang ia kenakan. "Aku kira kalian tidak akan datang. Bagus kalau kalian menepati janji untuk datang ke rumahku, karena kabur berarti cari mati." Kaisar mengulangi kata-kata bernada ancaman yang sempat ia ungkapkan kepada Subroto beberapa jam yang lalu. "Tuan Kaisar, saya mohon, lepaskanlah anak saya. Biarkan saya yang di penjara atas semua kesalahan kami." "Ayah ..." Salwa menahan ayahnya mengiba. Ia tak pernah suka ayah merendahkan dirinya kepada orang semacam Kaisar ini. "Penjara terlalu ringan, aku menginginkan puterimu menebus semuanya. Nyawa tidak bisa kembali!" "Tuan Kaisar ..." "Aku bersedia, Tuan. Lepaskan Ayahku. Aku akan menuruti semua kemauanmu. Bebaskan semua hutangnya sebagai gantinya akulah yang akan merelakan diriku." "Pintar. Kau tak perlu aku ajari semua hal rupanya. Persiapkan dirimu. Aku akan menggelar pernikahan denganmu. Persiapkan dirimu untuk menggantikan Safira. Steve, persiapkan semuanya, termasuk surat pernyataan yang harus dia tanda tangani." "Me-menikah?" Salwa terjatuh lemas. Tadinya ia pikir Kaisar akan menjadikannya pembantu atau apalah, tapi mengapa harus menikahinya? Apa dengan menikah, ia jadi lebih leluasa untuk menyiksa Salwa? Salwa memeluk ayahnya, tersedu-sedu menangis, entah seperti apa kehidupannya setelah menjadi istri dari pria kejam seperti Kaisar. Tubuhnya pasti akan sakit, hatinya apalagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN