Bekas Kamar Safira

1263 Kata
"Salwa, kau tidak akan menyesali keputusanmu, Nak? Biarkan saja Ayah mendekam di penjara daripada kau harus menderita menikah dengan Kaisar." Salwa menoleh kepada ayahnya. Sekian detik berlalu ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia hanya termenung saat ini, duduk dengan lemas. Begitu banyak pengawal di rumah itu, sementara itu Kaisar sendiri tidak terlihat lagi batang hidungnya. Entah kemana lelaki itu kini. "Tidak, Ayah. Biarkan saja aku menuruti keinginan Kaisar. Tapi aku juga tidak akan tinggal diam. Aku tidak bisa memberikan diriku sepenuhnya untuknya." "Apa maksudmu, Salwa? Kau tahu, Kaisar itu seperti lelaki seperti apa?" "Ayah jangan gusar, kita sudah sampai sejauh ini dan aku tidak akan pernah mundur lagi. Kalau memang itu bisa membuatnya memaafkan segala kesalahanku karena aku sudah secara tak sengaja menabrak calon istrinya, juga dia bisa membebaskanmu dari segala hutang, maka biarlah, tak masalah." "Salwa ..." Ayahnya masih berusaha untuk meyakinkan Salwa. "Tak apa, Ayah. Pergi lah, kembali ke rumah, tidur dengan nyenyak dan nyaman. Biarkan aku menyelesaikan semua ini. Ayah harus percaya lelaki itu pasti masih memiliki belas kasih." Tuan Subroto menggeleng tidak rela, tapi ia sendiri tak pernah tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya menatap anaknya dengan pandangan berkaca-kaca lalu dengan ragu ia melangkah, keluar dari pintu megah itu. "Nona Salwa, silahkan pergi ke kamar anda." "Dimana kamarku, Tuan?" tanya Salwa setelah ia menyaksikan ayahnya berlalu dari rumah itu. "Ada di atas. Panggil saya Steve, Nona. Mulai hari ini saya akan menyiapkan seorang pelayan perempuan untuk melayani anda." Steve mengalihkan pandangan ke arah pelayan. "Kau!" lelaki menunjuk seorang perempuan paruh baya yang segera mendatangi mereka. "Antarkan dia pergi ke kamarnya, persiapkan dirinya secantik mungkin malam ini karena tuan Kaisar akan memperkenalkan dia dengan keluarga besarnya." "Baiklah, ketua, akan segera saya laksanakan perintah anda. Mari Nona, saya akan menunjukkan kamar anda." Salwa mengikuti langkah perempuan itu, naik ke atas tangga yang begitu tinggi dan melingkar. Terlihat begitu megah sekali berada di tengah-tengah ruangan itu. Salwa melangkah dengan takut dan hati-hati. "Ini kamar Nona, kami sudah mempersiapkannya sejak siang tadi. Sebenarnya, ini adalah kamar yang kerap ditempati oleh nona Safira selama ini." Mendengar nama yang disebut oleh pelayan itu, hati Salwa tiba-tiba saja nyeri. Nama perempuan yang tak sengaja ia tabrak dan ternyata selama ini sudah tinggal bersama dengan Kaisar. "Bibi, maafkan aku merepotkanmu," ujar Salwa sambil menundukkan kepalanya. Pelayan itu hanya tersenyum. "Nona Salwa bahkan lebih cantik dari nona Safira. Semoga Nona Salwa betah berada di rumah ini. Tuan Kaisar sangat memanjakan nona Saphira dulunya. Saya harap, Nona juga akan merasakan hal itu nantinya." Memanjakannya? Tentu Salwa jadi sanksi. Bahkan sekarang saja Kaisar menatapnya seperti musuh yang harus segera dibasmi. Ia tahu Kaisar menikahinya hanya untuk menahannya dan menyiksa dirinya karena ia telah tanpa sengaja menghilangkan nyawa perempuan yang dicintai lelaki itu dan harusnya segera menjadi istrinya itu. "Baiklah, Nona Salwa, silahkan beristirahat. Saya juga sudah menyiapkan air hangat berikut aroma terapi agar Nona Salwa bisa merilekskan tubuh Nona. Nona bisa memencet bel, kami akan datang kembali untuk merias Nona nantinya." "Terima kasih, Bibi. Oh iya, Bibi siapa namanya?" tanya Salwa lagi dengan sopan. "Saya Marimar, Nona." "Baiklah, terima kasih banyak, Bibi, aku akan segera masuk. Nanti aku akan memanggilmu kembali ketika aku sudah selesai mandi." Perempuan itu mengangguk lalu turun dari tangga dan segera bergabung dengan para pelayan lain untuk mengerjakan tugas lainnya. Di bawah ketua Steve, bibi Marimar adalah orang yang juga memegang kendali di rumah itu, mengatur seluruh pelayan sedangkan Steve, lebih condong untuk menjadi asisten pribadi bagi Kaisar. Setidaknya menjadi orang kepercayaan bagi Kaisar yang sudah dengan tak lagi percaya dengan orang asing termasuk saudara-saudaranya yang sangat bernafsu ingin menyingkirkannya. Salwa masih belum mengerti apa-apa tentang Kaisar. Yang ia tahu, lelaki itu adalah pria kejam yang tidak pernah memberikan senyum sedikit pun kepadanya. Ya wajar saja, karena ia telah membunuh cinta sejati dari pria yang bernama Kaisar itu. ***** "Kau sudah mempersiapkan semuanya dengan baik malam ini, Steve?" tanya Kaisar kepada asisten setianya. Di tangannya, tergenggam segelas wine. Saat ini, ia sedang berdiri di balkon ruangannya di perusahaan. "Sudah, Tuan. Aku sudah memerintahkan Marimar untuk meriasnya secantik mungkin malam ini. Tuan, boleh aku bertanya satu hal?" "Tanyakan saja, Steve." "Apa Tuan benar ingin menikahi gadis itu?" "Apa aku terlihat meragukan?" tanya Kaisar balik. Steve menggeleng, ia kemudian mengangguk paham. Kaisar terlihat baik-baik saja, bahkan setelah calon istrinya yang bernama Safira itu meninggal ia menganggap seolah tak terjadi apapun. Tetapi ia sudah mempunyai rencana-rencana di kepalanya. Ia memerlukan perempuan itu agar bisa menjadi istrinya sebab syarat untuk menjadi pewaris harta satu-satunya di keluarga besar Mahendra adalah dengan melahirkan keturunan baru, lebih baik jika itu adalah seorang laki-laki. Tadinya, Kaisar sudah begitu bahagia karena akan segera menikah dengan gadis pilihannya sendiri yaitu Safira, tetapi sayangnya, perempuan bernama Salwa itu sudah membuat calon istrinya meninggal dunia dan sekarang Salwa harus menembus segalanya. "Aku baru saja melihat tuan Mahendra pergi keluar," kata Steve setelah mereka terdiam cukup lama. "Aku tidak peduli, tentang dia. Dan yang pasti, aku juga tidak peduli tentang perempuan jalang yang sudah menjadi istrinya." "Tuan Mahendra menanyakan kepadaku identitas perempuan yang akan menjadi istri Tuan Kaisar." Steve melanjutkan. "Aku sudah mengatakan kepada dia kalau aku akan menjadikan anak dari Subroto menjadi istriku. Mungkin dia tidak percaya, lelaki itu hanya akan percaya kepada istrinya. Istrinya yang benar-benar murahan itu." Kaisar tertawa mengejek. Kaisar tergelak kecil mengenang betapa menyedihkannya nasib ayahnya yang mau saja dibohongi oleh perempuan penggoda bernama Merry itu. Pada malam harinya, di dalam kamar luas yang sempat ditempati oleh Safira semasa hidup, Salwa menatap dirinya di cermin. Saat ini ia sedang dihias oleh beberapa perias yang sengaja didatangkan oleh Marimar sore tadi. "Dia terlihat sangat cantik, Marimar, bahkan lebih cantik daripada Safira," desis perias itu kepada bibi Marimar yang hanya tersenyum menatap Salwa yang hanya menunduk. "Aku sudah mengatakan itu lebih dulu daripada kau, dia memang lebih cantik dari nona Safira, apalagi dari nyonya Merry." Saat mengatakan satu nama terakhir itu, bibi Marimar nampak mengecilkan volume suaranya. Walaupun perempuan bernama Merry itu tidak tinggal di rumah Kaisar, tetapi tuan Mahendra sering berkunjung untuk melihat putranya dan ia kerap membawa istri barunya itu. "Selesai. Kau sangat cantik," puji perias itu kepada Salwa yang sekarang menatap dirinya di cermin. ia mengenakan baju berwarna hitam ketat dengan bahu terbuka, rambutnya digelung sedemikian rupa menunjukkan leher jenjangnya. "Tuan Kaisar pasti akan suka," sambung bibi Marimar. Bibi Marimar kemudian menuntun Salwa untuk pergi ke depan, lalu turun dari tangga secara perlahan. Mereka terus pergi ke depan menuju ke halaman rumah di mana mobil mewah milik Kaisar dengan satu orang sopir itu sudah menunggu mereka. Pintu mobil itu terbuka, terlihatlah Kaisar yang nampak tampan dengan kemeja ketat berwarna hitam pekat serupa warna gaun milik Salwa saat ini. Untuk sesaat, Kaisar nampak terpana melihat kecantikan yang begitu alami terpancar begitu nyata dari perempuan yang akan segera menjadi istrinya itu. Namun, ekspresinya masih sama dingin, tanpa ada kasih. "Masuk! Aku sudah menunggumu dari tadi. Ingat, malam ini kau aku ajak pergi ke rumah ayahku yang besar. Di sana akan berkumpul saudara-saudaraku. Bersikaplah seanggun mungkin selayaknya seorang tuan putri yang akan segera menikah dengan seorang pangeran. Jangan tunjukkan wajahmu yang sedih karena kalau tidak, aku akan menghukummu nanti sepulangnya dari sana." Meski diucapkan begitu tenang dan dingin, kata-kata Kaisar bak sembilu bagi Salwa yang mendengarnya. "Baik, Tuan Kaisar," ujar Salwa. Kaisar meraih dagu Salwa, menghadapkan wajah perempuan itu kepadanya. "Tak ku sangka, kau sungguh cantik." Salwa tak mengatakan apapun selain hanya diam. Lalu keduanya kembali hening di dalam mobil dengan sopir yang sudah melaju membawa mereka menuju rumah utama yang dihuni oleh tuan Mahendra bersama istri barunya, Merry sang penggoda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN