Prolog
Suara ketukan pintu membuat Anin mengalihkan atensinya dari rajutan yang sudah nyaris selesai.
"Nin?" Suara sang Bibi yang berada di balik pintu membuat gadis itu segera menunda pekerjaannya, bangkit dari tempat duduk, ia berderap menuju pintu kamar.
"Kenapa Bi?" Tanya Anin usai membukakan pintu, dan mendapati sang Bibi yang tengah menyodorkan sebuah paper bag kehadapannya. "Apa itu Bi?"
"Tadi sih Bibi intip dikit isinya kotak sama undangan."
"Undangan?" Beo Anin sembari menerima paper bag tersebut.
"Iya, tadi ada yang mengantarkan. Bibi ke dapur dulu ya, mau lanjut tumis kangkung."
"Mau nyiapin makan siang sekarang? Kok nggak bilang-bilang? Tau gitu Anin bantuin."
Mengibaskan tangan di depan wajah, Ningrum menggelengkan kepala, "kamu kan lagi sibuk, lagian Bibi masih mampu kalau hanya menyiapkan makan siang buat kita berdua."
Mengela napas, Anin berusaha tak lagi mendebat. Bukannya terlalu mengekang, dia hanya tak ingin sang Bibi terlalu lelah. Usai tak lagi bekerja dengan Fany, dan juga restoran milik Elard, demi bisa selalu memantau kondisi sang Bibi yang sering jatuh sakit. Tak ingin peristiwa di mana mendapati wanita paruh baya itu tergeletak menyedihkan seorang diri di rumah kontrakan mereka saat Anin baru saja pulang bekerja. Maka dari itu, Anin memilih melanjutkan usaha kecil-kecilannya yang menjual berbagai macam jenis barang berbahan rajut yang dibuat sendiri melalui olshop yang dikelolanya. Hasilnya cukup lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama sang Bibi. Terlebih, akhir-akhir ini cukup banyak pesanan sampai kadang kewalahan.
Sang Bibi sesekali membantu, tapi Anin tak mau membuat wanita paruh baya itu terlalu lelah, jadi ... Semampunya ia urus sendiri.
"Yaudah, tapi nanti biar Anin yang beresin bekas masak sama makan kita nanti. Bibi nggak perlu nyuci, itu bagianku."
"Iya, iya, Bibi balik ke dapur ya?"
Mengangguk, Anin tak lekas masuk kembali ke dalam kamar. Ia amati tubuh ringkih sang Bibi hingga tak lagi tertangkap penglihatan. Baru setelahnya ia masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan kesibukannya yang tadi tengah membuat sebuah tas rajut.
Sayangnya, paper bag yang berada di tangan membuat Anin urung melanjutkan pekerjaannya. Mendudukkan diri di pinggir tempat tidur, Anin memerhatikan paper bag yang baru saja diterimanya. Gadis itu kemudian mengeluarkan isinya. Sebuah kotak hitam dengan pita berwarna silver, serta sebuah undangan, seperti yang Bibinya katakan.
Anin tercenung, mendapati nama yang tertera di undangan tersebut. Tubuhnya berjengit, saat suara ponsel tiba-tiba meraung meminta perhatian. Menolehkan kepalanya ke belakang, ia mengulurkan tangan untuk meraih benda pipih itu yang berada di atas bantal.
Sejenak, Anin terdiam melihat nama seseorang yang menghubunginya saat ini. Menggigit bibir bawah, ia kemudian menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan. "Halo?"
"Sudah dapat kirimannya?" Tanya seseorang di seberang sambungan yang membuat Anin menganggukkan kepala. Tapi kemudian meringis, saat sadar, jika pergerakannya itu tak akan dilihat oleh sosok tersebut.
Berdeham, Anin menjawab, "iya Kak, sudah."
"Kamu akan datangkan?"
Meremas undangan yang berada di atas pangkuan, Anin mengangguk. "A—aku usahakan."
"Ck! Jangan cuma diusahakan, tapi harus datang ke acara spesial itu, oke?"
"Acara spesial Kak Elard maksudnya?"
Di seberang sambungan, sosok itu—Elard, terkekeh kecil menanggapi ucapan Anin. "Ya, bisa dibilang begitu. Jadi, kamu juga harus datang. Nanti kurang lengkap."
"Bukankah itu berlebihan? Aku bukan bintang tamu. Lagipula, dalam acara nanti, yang paling penting tentu saja kehadiran dua mempelai."
"Tidak ada alasan, kamu harus datang, dan pakai apa yang sudah dikirimkan. Nara yang terjun langsung dan pilihkan, padahal udah aku larang buat nggak urus hal-hal semacam itu."
"Itu kan acara spesial buat dia, tentu saja ingin ikut serta."
"Kan udah diurus sama WO, masih aja pecicilan itu anak. Padahal udah mau jadi istri."
Tersenyum kecil, Anin hanya mendengarkan gerutuan Elard di seberang sambungan. Menjepit ponsel dengan bahunya, tangan Anin bergerak meraih kotak dan melepas simpul hiasan pita diatasnya. Saat kotak tersebut dibuka, terdapat sebuah kebaya berwarna dusty pink, yang tampak begitu cantik.
"Nin?"
"Eh, iya Kak? Maaf, aku lagi lihat kebayanya, cantik."
"Suka?"
"Ya, tentu saja. Ini sangat cantik."
"Tapi belum tau pas atau nggak. Aku udah bilang Nara buat ajak kamu nyoba kebayanya. Tapi situkang ngeyel itu nggak mau, katanya nanti nggak surprise."
Mengeluarkan kebaya tersebut dari kotak dan menelitinya, Anin tampak kagum dengan pilihan Nara. "Sepertinya cukup Kak, nggak perlu dirombak lagi. Tolong sampaikan ucapan terima kasih buat Nara, Kak."
"Hm, nanti aku sampaikan."
Sejenak, sepi meraja diantara mereka. Sebelum kemudian, suara seseorang yang memanggil Elard membuat pria itu kembali berbicara pada Anin, "maaf, harus nyoba jas, jadi aku tutup dulu ya teleponnya?"
"Ya, sekali lagi terima kasih." Mendapat gumaman sebagai jawaban dari Elard, sambungan mereka akhirnya terputus.
Mengela napas, Anin meletakkan ponsel di samping tubuh. Menundukkan pandangan, tangan kanannya mengusap lembut kebaya cantik yang berada di atas pangkuannya.
***
Waktu bergulir begitu cepat. Setelah persiapan panjang yang melelahkan dan terkadang ... Diselingi perdebatan yang berakhir dengan rajukan. Hari bahagia itu pun akhirnya datang.
"Tegang banget Bos!" Dika menepuk pundak Elard, terkekeh melihat wajah sahabatnya yang begitu serius.
"Gue cuma mau pastikan semuanya berjalan lancar."
"Tenang Bos, beres. Lagian, udah ada yang urus. Lo nggak perlu pusing, sekarang fokus aja sama acaranya. Apalagi, sebentar lagi ijab kabul dimulai."
Mengela napas panjang, Elard mengangguk, menyeka keringat yang membasahi keningnya.
"Udah sana Bos, masalah tamu, biar kita deh yang urus." Kali ini Dafa yang angkat bicara.
Mengangguk, Elard mengucap terima kasih, sebelum kemudian melangkah pergi mengurusi hal lain. Tak berselang lama, Anin hadir dengan sosok yang beriringan dengannya memasuki tempat acara.
"Eh, Gav, baru nongol lo?" Mengangkat tangan kanan, Dika menyapa Gavin yang membalas lambaian tangannya.
"Iya, kan jemput tuan putri dulu." Guraunya sembari mengerling pada sosok Anin yang hanya mendengkus kecil.
"Ck! Cantik banget jodoh orang." Melempar cengiran, Dika mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk huruf V. Meringis saat mendapati wajah Gavin yang berubah masam. "Ah, elah, muji doang Gav, nyolek juga belum."
"Coba aja kalau lo mau nginep di ICU malam ini."
"Gavin kalau cemburu serem ya. Bukan senggol bacok lagi, langsung dikirim ke ICU."
"Sudah, jangan bertengakar, aku mau ke dalam, lihat Nara." Usai berpamitan, Anin berlalu pergi. Meninggalkan ketiga pria yang masih terlibat pembicaraan.
"Raka sama Ben datang nggak Gav?" Tanya Dafa setelah kepergian Anin.
"Datang kok, katanya masih di jalan. Bentar lagi pal—nah, itu mereka!" Gavin melambaikan tangan pada dua sahabatnya yang berderap menuju kearahnya.
"Lo berdua nggak ada yang bawa gandengan? Ngenes amat kondangan berdua doang?" Kikik Dafa yang mendapat dengkusan dari Raka dan Ben.
"Lah, lo sendiri, sama aja, kemana-mana berdua kayak sendal jepit." Balas Raka yang tak ingin kalah.
Gavin menggelengkan kepala, sebelum kemudian menjadi penengah untuk perdebatan tak penting mereka. "Udah, ayo siap-siap, acaranya mau mulai bentar lagi kan?"
Mengangguk setuju, mereka akhirnya menempati tempat duduk yang sudah disediakan.
Sementara itu, Anin yang tengah berada di dalam ruangan khusus pengantin wanita, tengah menemani Nara yang hari ini tampak sangat cantik dan anggun dengan kebaya berwarna putih yang dikenakannya.
Menggenggam tangan kanan Nara yang sudah berhias Henna, Anin memberi senyum menenangkan. "Semua pasti berjalan lancar." Saat ini, mereka tengah bersiap menyaksikan ijab kabul melalui sebuah tv yang tersedia dan tersambung dengan tempat dilaksanakannya ijab kabul yang berada di luar.
Merekahkan senyuman, Nara mengangguk haru. "Rasanya seperti mimpi aku bisa berada di tahap ini." Ya, dia tak pernah membayangkan, jika kehidupan suram yang selama ini dijalaninya, berubah begitu banyak setelah bertemu dengan Elard. Pria itu benar-benar memiliki andil penting di hidupnya. Kini, dia bahkan tak lama lagi menyandang status sebagai istri.
Dulu, Nara pernah diposisi yang hampir serupa. Bedanya, dia menjalaninya dengan hati yang penuh dengan ketidak relaan, saat diharuskan untuk menikah paksa dengan pria yang lebih tepat menjadi kakeknya. Nara yang tak mau memasrahkan hidupnya pada rencana paman dan bibinya yang selalu mengutamakan kebahagiaan diri sendiri, akhirnya mengais keberanian untuk melarikan diri.
Hal yang tak pernah Nara sesali, karena dengan tindakan nekadnya waktu itu, yang sudah mempertemukannya dengan sosok judes tapi baik hati seperti Elard.
"Sah! Alhamdulillah ...."
Nara terkejut, lamunannya koyak saat suara-suara penuh rasa syukur tertangkap pendengarannya.
"Na, kamu melamun?"
Meringis malu, Nara mengangguk.
Anin memberi pelukan, "selamat ya, sudah sah menjadi seorang istri."
Tak lagi bisa membendung haru, Nara membalas pelukan Anin dengan satu tetes air mata yang berhasil lolos menjatuhkan diri dan mengaliri pipi kirinya. "Makasih Mbak, sudah bersedia menemani. Setidaknya, aku merasa memiliki saudara."
Melepas pelukan, Anin meminta perias untuk membenahi penampilan Nara, karena tak lama lagi, gadis itu harus keluar dari ruangan untuk menemui pria yang telah resmi menjadi suaminya.
Tak lama, Nara memang diminta untuk keluar. Dibantu Anin yang menjadi pengiringnya.
Senyum malu-malu tapi penuh kebahagiaan terus menghias wajah Nara. Gadis itu berjalan pelan dan tampak anggun, sesekali menunduk saat tak bisa menahan rasa gugup karena menjadi pusat perhatian para tamu.
Di sana, pria yang baru saja mengucap ijab kabul dan telah resmi menjadi suaminya tampak menunggu dengan senyuman serta tatapan haru.
Anin melepas tangannya yang sejak tadi menuntun Nara, usai keduanya sudah berhadapan dengan pria yang telah menjadi suami gadis itu.
Mengalihkan pandangan, tatapan Anin bersirobok dengan netra hitam yang seolah menenggelamkan milik seorang Elard. Tersenyum kecil, Anin berlalu menuju tempat duduk, sembari mengigit bibir bawah, gadis itu berusaha mengendapkan rasa asing yang tiba-tiba mengusik.