Sudah hampir dua puluh menit terlewat, namun Bintang belum juga membuka mulutnya untuk menceritakan hal yang terjadi. Revro jadi senewen dibuatnya. Pasalnya, wajah Bintang saat ini benar-benar kacau dan berantakan. Air mata itu masih mengalir sesekali, walau isakannya sudah tidak ada. Belum lagi ucapan Bintang sebelumnya yang masih terngiang-ngiang di telinganya bak kaset rusak.
Gue udah nggak kuat lagi... tolongin gue!
Minta tolong dalam hal apa? Dan kenapa Bintang sepertinya sangat frustasi hingga mendatanginya untuk meminta tolong dan tidak ingin menyusahkan abang kembarnya, Bravo? Bukannya Revro tidak mau membantu Bintang. Sungguh, Revro akan melakukan apa pun untuk menjauhkan Bintang dari bahaya apa pun. Tapi, bukankah cewek itu sendiri yang menjauhinya bak virus mematikan setelah Bintang memutuskan hubungan mereka?
“Mm, Bintang,” panggil Revro pelan. Dia bersedekap dan bersandar, mengawasi Bintang yang masih menunduk dan mengepalkan kedua tangannya di atas paha. “Bisa tolong jelasin kenapa lo nangis? Dan pertolongan apa yang lo butuhkan dari gue, sampai-sampai lo nggak mau Bravo tau?”
Bintang menegang, Revro bisa melihatnya. Cewek itu perlahan mengangkat kepala, kemudian menatap Revro. Wajah itu adalah wajah yang selalu hadir di dalam mimpinya setiap malam. Wajah tampan yang sangat dirindukannya. Cinta pertamanya yang harus dia lepaskan supaya orang-orang di sekitarnya terlindungi.
Tapi... kalau sudah terlalu jauh seperti ini, rasanya Bintang tidak sanggup lagi menanggung semuanya sendirian. Dia tidak kuat, dia tidak bisa. Dia butuh Revro, butuh Bravo, butuh semua orang. Karena dia lemah, dia tidak kuat seperti Hikari, dan juga kebanyakan cewek lainnya.
Dia dilahirkan tidak memiliki kemampuan untuk membela diri seperti mereka semua.
“Sebenarnya... gue... gue....” Bintang menelan ludah dan nampak berpikir keras. Apa keputusannya untuk menemui Revro dan meminta bantuan cowok itu sudah benar? Bagaimana kalau orang itu mengetahui hal ini? Apa yang harus dilakukan Bintang nantinya?
Sadar akan kebimbangan dan kegelisahan Bintang, Revro menarik napas panjang dan memijat pelipisnya. Bagaimana dia bisa membantu cewek itu, kalau dia tidak mengetahui apa pun?
“Bintang, lo datang untuk meminta bantuan gue,” kata Revro memecah keheningan. “Kalau lo nggak kasih tau gue masalahnya apa, gue nggak bisa berbuat apa-apa.”
Bintang tetap diam.
“Apa... ada kaitannya dengan lo mutusin gue dan sikap lo yang jadi berbeda?”
Barulah gestur tubuh Bintang berubah. Revro mengangkat satu alisnya, ketika Bintang segera berdiri dan memakai tas nya. Cewek itu menatap Revro, mengucapkan maaf dan membungkuk sedikit, lantas pergi begitu saja dari hadapan Revro.
Tadinya, Revro berniat mengejar. Tapi, ada sesuatu yang harus dia pelajari terlebih dahulu dari permintaan Bintang juga sikap cewek itu. Namun, setelah lima menit duduk tanpa hasil, Revro jadi gusar sendiri. Akhirnya, cowok itu menggeram kesal, mengacak rambut dan berdiri.
Mengambil kunci yang tergantung di dinding, Revro berdecak dan mengumpat. Dia menuju garasi, tepatnya ke arah motor sport berwarna hitam dan segera duduk manis di atasnya. Tanpa mengenakan helm, Revro menyalakan mesin motor dan segera melaju.
Mengejar Bintang yang barusan saja dia lihat sedang berdiri di tikungan jalan, menghentikan taksi dan mengikuti cewek itu diam-diam dari belakang untuk menjaganya sampai Bintang tiba di rumah dengan selamat.
Sementara itu, di kampus, Hikari sedang berjalan dengan pikiran yang bercabang. Telepon yang dia terima benar-benar membuatnya sedikit terganggu. Selalu saja kalimat itu terngiang di gendang telinganya. Meskipun dia bisa sedikit bela diri, tapi kemampuannya masih sangat jauh dari kata hebat. Dia hanya mengerti teknik dasar dan bagaimana caranya mempertahankan diri dari serangan musuh. Itu saja.
“Apa yang harus gue lakuin, coba?” gumam Hikari lelah. Cewek itu berhenti melangkah dan menarik napas panjang. Tadi, dia melihat Revro sudah pulang, dan dia juga tidak berniat menceritakan perihal telepon yang diterimanya itu. Menurut Hikari, ini mungkin hanya kerjaan orang iseng saja. Tapi, orang itu jelas menyebutkan namanya, Bintang dan Revro. Itu artinya, orang tersebut adalah dalang dibalik berubahnya sikap Bintang terhadap Revro.
Kalau itu bukan sekedar perbuatan iseng, artinya... dia juga akan mengalami sesuatu.
Sedang asyik dengan pikiran ala detektifnya, mendadak Hikari merasa angin melewatinya dengan begitu kencang. Hikari mengerutkan kening dan menoleh. Sebelum sempat mencerna apa yang sedang terjadi pada dirinya, cewek itu merasa tubuhnya diterjang dan dia merasa seperti melayang. Hikari membulatkan mata, lantas memejamkannya detik berikutnya.
Lalu, dia mendengar suara itu. Suara benda terjatuh tak jauh di dekatnya, tepat ketika dia jatuh ke aspal bersama sesuatu yang menerjang tubuhnya tersebut. Anehnya, Hikari tidak merasakan sakit sedikitpun. Kepalanya terasa dilindungi, pun dengan tubuhnya.
Kemudian, terdengar suara kasak-kusuk, disusul terbentuknya kerumunan kecil di sekitarnya, saat Hikari membuka mata.
Ada apa?
“Lo nyembunyiin sesuatu dari gue dan Revro tadi, kan?”
Suara ini...
Hikari mengerjap dan menoleh. Di sana, wajah serius dan tatapan tegas Bravo menyambutnya. Tangan cowok itu pun melingkar di tubuhnya, seolah melindunginya supaya tidak menghantam kerasnya aspal. Hikari kemudian menatap sekitarnya, juga ke sumber suara yang tadi dia dengar. Dia bisa melihat pecahan dari sebuah pot hitam yang sepertinya lumayan besar, berhamburan di sana.
Ada yang mencoba mencelakainya?
Ada yang menjatuhkan pot itu dari atas, saat dia berdiri tadi?
Ya Tuhan! Dia... benar-benar akan dicelakai? Jadi, telepon tadi bukan sekedar iseng?
“Hikari!” seru Bravo tiba-tiba, mengembalikan alam sadar Hikari. Cewek itu tersentak dan fokus pada wajah Bravo sekarang. Tatapan tegas itu berubah menjadi tidak sabar dan emosi, membuat Hikari menghembuskan napas panjang dan bangkit berdiri dengan diikuti cowok tersebut. “Lo sadar nggak, kalau ada orang yang mau mencelakai elo? Dan gue berani taruhan, kejadian tadi ada hubungannya sama telepon yang lo terima waktu lo lagi sama gue dan Revro! Semuanya juga pasti ada hubungannya sama kembaran gue, kan?!”
Hikari kembali menghembuskan napas dan memijat pelipisnya. Dia perlu ketenangan dan kesunyian untuk memikirkan semuanya. Di sini terlalu berisik, Bravo terlalu berisik. Karena itu, Hikari melirik Bravo sekilas dan berkata, “Makasih untuk pertolongannya tadi. Sori, gue butuh waktu buat menyendiri.”
Ketika Hikari berlalu dari hadapan Bravo, cowok itu tahu-tahu saja melompat dan menyambar lengan Hikari. Dicekalnya lengan kecil itu dengan kuat, membuat Hikari meringis dan menatap Bravo dengan tatapan kesal.
“Bisa lepasin?” tanya Hikari dingin.
“Nggak bisa sebelum lo buka mulut dan cerita semuanya, Hikari-chan.” Sialan! Kenapa gue harus manggil dia dengan kalimat kayak tadi? “Gue nggak keberatan nahan elo selama mungkin di sini.”
Hikari mendesis dan menyentak tangan Bravo dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Cewek itu kemudian menunjuk wajah Bravo dan menatap tajam cowok tersebut. “Dengar, jangan ganggu gue! Kalau lo libatin diri lo lagi, kalau lo ada di sekitar gue, jangan salahin gue kalau kembaran lo kenapa-napa!”
DEG!
Apa? Apa maksudnya?
Apa maksud ucapan Hikari barusan?
Terlalu kaget dengan ucapan Hikari, Bravo membiarkan cewek itu pergi dari hadapannya dengan kedua tangan mengepal dan tatapan yang terus mengarah pada Hikari. Sama sekali tidak awas dengan keadaan sekitarnya, di mana ada seseorang yang menonton kejadian tersebut dan tersenyum puas.
###
Revro baru saja sampai di depan rumahnya, ketika dia melihat sebuah motor yang hampir sama dengannya, namun berwarna merah menyala itu, terparkir manis di sana. Keningnya mengerut dan dia melepas helm, kemudian menatap sosok yang sedang menunduk sambil bersedekap dan bersandar pada bodi motornya tersebut.
“Bravo?”
Panggilan itu membuat Bravo tersadar dan mengangkat kepala. Dia menoleh, bertemu mata dengan seseorang dari klan Abimanyu yang sangat disegani itu, kemudian mendekatinya. Setelah mereka berhadapan, menatap langsung ke manik masing-masing, Bravo memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
“Gue mau ngajakin lo kerjasama.”
“Dalam hal?”
Bravo diam sejenak. Dia masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa dirinya mengajak Revro untuk bekerjasama. Selama ini, Revro adalah rivalnya. Bukan berarti dia membenci cowok itu. Tidak, tidak seperti itu. Bravo hanyalah seorang cowok yang tidak pernah mau memiliki saingan. Egois? Mungkin. Tapi, dia tidak berusaha menutupinya. Dia secara terang-terangan memperlihatkan keegoisannya kepada semua orang, termasuk ketika Bintang pacaran dengan cowok di depannya ini. Bravo hanya tidak suka kalau ada orang lain yang dijadikan sebagai tempat berlindung dan bergantung oleh Bintang selain dirinya.
“Menjaga dan mengawasi Bintang juga Hikari.”
Hikari?
“Kenapa jadi bawa-bawa Hikari? Lo masih beranggapan kalau Hikari dalang dari putusnya hubungan gue sama adik kembar lo?” tanya Revro datar. Jujur, dia tidak suka kalau sahabatnya diperlakukan seperti ini oleh orang lain, terlebih cowok seperti Bravo. Padahal, kedua orang tua Bravo dan Hikari bersahabat, tapi kenapa Bravo tidak bisa menunjukkan sedikit kebaikan kepada Hikari, seperti Bintang yang selalu ramah pada sahabatnya itu?
“Bukan masalah itu.” Bravo berdeham dan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Hal itu membuat Revro mengangkat satu alis dan menyadari kalau Bravo sedang merasa tidak enak. “Lo ingat, kan, kalau Hikari mendadak jadi aneh dan pergi ninggalin kita, di saat dia dapat telepon entah dari siapa itu?”
Revro mengangguk.
“Tadi, gue nolongin dia. Dia lagi berdiri di bawah gedung kampus, di bawah jendela tepatnya, dan ada sebuah pot berukuran lumayan besar jatuh ke dia.”
“Apa?!”
“Dan gue berhasil nyelamatin dia tepat pada waktunya.” Bravo memutar bola mata dan mengenyahkan tangan Revro yang tahu-tahu saja sudah mencengkram kausnya. “Dia baik-baik aja. Tapi, ada dua hal yang ganjil menurut gue.”
“Which is?”
“Pertama, gue nggak sengaja liat ada seseorang di lantai tiga, di daerah jendela, natap ke arah gue dan Hikari yang lagi jadi pusat perhatian. Waktu gue mergokin dia, dia langsung lari.”
“Lari? Kabur?”
Bravo mengangguk. “Kedua, kalimat Hikari waktu gue nahan dia untuk pergi. Dia bilang, gue nggak boleh ada di sekitar dia, gue nggak boleh melibatkan diri dengan apa pun yang ada kaitannya sama dia, kalau nggak, kembaran gue akan kenapa-napa.”
“Hikari diancam?” tanya Revro dengan nada tidak percaya.
“Terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi sepertinya emang begitu.” Bravo menarik napas panjang. “Dan gue yakin, ancaman itu ada kaitannya juga sama sikap Bintang yang aneh, dan kenapa dia mendadak putusin elo.”
“Sebelum ini, Bintang datang ke rumah gue.” Revro bersuara setelah terdiam sejenak. Ucapan itu membuat Bravo tersentak, kemudian mendengus pelan. Bukannya Bintang bilang dia mau pulang? “Dia nangis. Dia minta tolong sama gue, karena katanya, dia udah nggak sanggup. Dia nggak mau ngerepotin lo dan bikin lo dalam masalah. Tapi, setelah gue tunggu tangisannya reda, dia justru pulang dan nggak bilang apa permintaan tolongnya tadi.”
“Dan lo ngikutin dia pulang?”
“Sekedar memastikan dia selamat sampai rumah.” Revro mengangkat bahu tak acuh. “Tugas seorang cowok, kan? Besides, i still love her.”
Keduanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Revro dengan pikirannya yang mengarah pada Hikari dan Bintang, sementara Bravo yang mengawasi Revro tanpa kentara. Dalam hati, dia sebenarnya bersyukur Bintang memiliki seseorang seperti Revro. Revro tetap menjaga Bintang dan tetap mencintai Bintang, walau kembarannya itu sudah berlaku tidak adil. Meskipun Bravo yakin, ada alasan dibalik semua tindakan Bintang pada Revro tersebut.
“So, i’ve been thinking,” kata Bravo kemudian, memecah kesunyian. “Gimana kalau lo bantu gue untuk jaga dan mengawasi Bintang, sementara gue akan bantu lo untuk jaga Hikari?”
Kening Revro mengerut. Dia mau saja, tapi, mengingat sifat dan sikap Bravo terhadap Hikari membuat Revro sedikit ragu.
“Tenang aja, sahabat lo nggak akan gue apa-apain,” kata Bravo lagi, seakan tahu isi pikiran Revro. “Lagian, dia bukan tipe gue.”
###
Bintang memutuskan untuk berjalan kaki dari ujung gang sampai ke kampusnya.
Cewek itu tidak bisa tidur semalam. Dia sibuk memikirkan bagaimana nasibnya ke depan nanti. Kalimat-kalimat itu masih saja menghantuinya, di mana pun dia berada. Kalimat-kalimat menakutkan yang dikirim oleh seseorang melalui SMS dan juga telepon. Sialnya, karena telepon yang masuk adalah nomor yang disembunyikan, dia tidak bisa mem-block nya.
“Gue harus gimana, Tuhan?” gumam Bintang. Dia menggeleng dan menarik napas panjang. Tidak tahu kalau dia berjalan terlalu ke luar dan sebuah motor melintas kencang dengan seenak dengkulnya.
“Bintang!”
Seruan itu disusul dengan tarikan keras pada lengan Bintang, membuat cewek itu tersentak dan menjerit tertahan. Motor itu melintas, bahkan tanpa berhenti untuk meminta maaf. Bintang menghembuskan napas panjang dan menoleh untuk mengucapkan terima kasih.
“Hikari?”
“Bintang, kalau jalan jangan ngelamun,” ujar Hikari dengan napas terengah. Cewek itu tersenyum dan menyeka peluhnya. “Bahaya, loh.”
Bintang mengerjap dan balas tersenyum. Dibiarkannya Hikari menggandeng tangannya dan menuntunnya ke kampus.
“Lo nggak dianterin kayak biasa, Kar?” tanya Bintang. Biasanya, Hikari selalu diantar oleh supir, atau berangkat bareng Revro. Hal tersebut tentu saja sedikit menimbulkan rasa cemburu di hati Bintang, tapi Bintang tahu kalau Hikari hanya menganggap Revro sebagai sahabat dan kakak, tidak lebih.
“Lagi mau menyegarkan otak, Bintang,” jawab Hikari pelan. Nadanya menerawang dan Bintang bisa menangkapnya dengan jelas. “Lagi banyak pikiran.”
Sama kayak gue.
Terlalu ganjil untuk disebut sebagai kebetulan.
Tahu-tahu saja, dari arah belakang mereka, terdengar suara mesin yang begitu keras. Keduanya menoleh dan terpaku ketika melihat sebuah motor dengan pengendaranya yang memakai pakaian serba hitam dan menutup wajah dengan helm itu melaju kencang ke arah mereka. Hikari yang sadar pertama kali langsung bertindak. Dia mendorong keras tubuh Bintang, hingga cewek itu terjungkal ke samping dan mendarat pada pelukan seseorang.
“Revro?” panggil Bintang tidak percaya. Revro hanya menunduk sejenak, memastikan keadaan Bintang, kemudian kembali fokus pada Hikari.
Dan membeku.
“HIKARI!”
Hikari bersiap menerima yang terburuk. Cewek itu tidak bisa bergerak, entah kenapa. Motor itu semakin melaju ke arahnya, dan dia menutup kedua mata. Lalu, setelah dirasa tidak ada sesuatu yang menabrak tubuhnya, tidak merasakan sakit sama sekali, Hikari memberanikan diri untuk membuka kedua mata.
Bravo?
Sejak kapan Bravo ada di sini? Dan... Tuhan, sejak kapan dia dan cowok itu sudah berada di pinggir jalan, dengan posisi yang sama, seperti kejadian jatuhnya pot dari atas kemarin?
Bravo mendesis dan meringis menahan rasa nyari pada bagian lengan dan punggungnya. Dia mendongak, menatap ke arah Revro yang berniat mengejar si pengendara motor b******k barusan, yang memiliki hasrat untuk mencelakai Hikari juga saudara kembarnya. Sialnya, si pengendara motor itu lebih cepat lagi. Tentu saja kedua kaki Revro tidak akan sanggup mengejar mesin motor yang digas secara gila-gilaan.
“Bintang! Kamu nggak apa-apa, kan?!” seru Bravo memastikan. Dia bisa melihat Revro kembali ke tempat Bintang dan merangkul cewek tersebut. Bintang mengangguk pelan dan tersenyum. Kemudian, fokus Bravo kini beralih pada Hikari.
“Hikari, lo—“
Kalimat itu terhenti. Kedua mata Bravo membulat maksimal ketika dia melihat darah pada pelipis Hikari dan air mata yang mengalir deras di pipi cewek tersebut. Meski begitu, tidak ada isakkan di sana. Tubuh Hikari juga gemetar hebat.
“Hikari,” panggil Revro yang datang bersama Bintang. “Lo nggak apa-ap—“
Revro pun terpaku, sama seperti Bravo. Bintang sendiri hanya diam, menatap iba ke arah Hikari yang selama ini selalu dianggapnya kuat dan hebat. Kemudian, cewek itu berdiri, membenarkan posisi ranselnya dan menatap Bintang.
“Bintang, lo baik-baik aja, kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Bintang tidak menjawab, hanya mengangguk. Tapi, anggukkan itu saja sudah sanggup membuat Hikari merasa tenang dan lega. Kemudian, Hikari balas mengangguk dan pergi begitu saja.
“Mau ke mana lo?”
Pertanyaan bernada datar itu membuat Hikari berhenti melangkah. Cewek itu menoleh sekilas dan menatap ketiga orang di belakangnya.
“Bintang, gue akan bikin lo jadi ceria kayak dulu lagi. Lo nggak perlu ngerasa takut lagi sekarang,” kata Hikari. Membuat kening Bintang, Bravo dan Revro mengerut, tanda tidak mengerti.
“Maksud Hikari apa?” tanya Bintang. “Hikari mau ngapain?”
Hikari tersenyum. Tulus. “Mau main.”
Angin berhembus kencang, membuat perasaan Revro, Bintang dan Bravo mendadak tidak enak. Hikari kemudian pergi, meninggalkan ketiga orang di belakangnya dengan tangisan yang semakin mengalir.
Lalu, seseorang menyambar lengannya.
“Gue akan ikut main.”
Suara Bravo.
“Gue juga!” Revro menimpali.
“Bintang juga mau main sama Hikari.” Cewek itu menggandeng tangan Hikari, membuat Hikari menoleh dan bertemu mata dengan Bintang. “Soalnya, permainan ini, Bintang duluan yang memulainya, kan?”
Hikari tersenyum dan memeluk Bintang.
Di kejauhan, dari balik pepohonan, seseorang mengawasi. Dia tersenyum dingin, kemudian merobek selembar foto.
“Bintang Sayang, karena kamu, cewek manis itu akan jadi tumbalnya. Setelah itu, aku akan menyingkirkan Revro dan Bravo, lalu kita akan hidup bahagia selamanya.”
###