Bintang duduk sambil merenungi semua kalimat yang diucapkan oleh Revro beberapa saat yang lalu. Cewek itu menarik napas panjang dan memijat pelipisnya pelan, berusaha mengenyahkan suara-suara Revro yang masih saja menggema di gendang telinganya. Tak lama, seseorang menjentikkan jari tepat di depan wajah Bintang, membuat cewek itu tersentak dan mendongak. Kembarannya ada di sana, mendadak muncul dan duduk di depannya, setelah tadi Bintang meninggalkannya di kantin bersama dengan Revro dan Hikari, karena Bintang tidak tahan berada di dekat Revro.
“Kenapa kabur?”
“Aku nggak kabur.” Bintang mengalihkan tatapannya dan mengaduk minumannya. Dia kembali menarik napas panjang, berusaha mengusir rasa sesak yang hadir di dalam hati. “Cuma malas ada di dekat Revro. Itu aja.”
“Itu kabur namanya,” balas Bravo seraya menghela napas. Dia menatap adik kembarnya yang menunduk dan masih mengaduk minumannya itu. “Kamu putus sama Revro apa karena Hikari?”
“Hikari?” tanya Bintang tidak mengerti. Cewek itu mengangkat kepala dan melihat tatapan serius yang dilayangkan oleh kakak kembarnya tersebut. “Kenapa jadi bawa-bawa Hikari, Kak?”
“You tell me,” kata Bravo dan mengangkat bahu tak acuh. “Mungkin kamu cemburu karena Hikari terlalu dekat dengan Revro. Karena mereka bersahabat. Bisa jadi, kamu juga cemburu sama sahabat Revro yang satu lagi. Mmm, siapa namanya?”
“Elif?”
“Ya! Elif.” Revro mengangguk mantap. “Revro bersahabat sama dua orang cewek dan mereka sangat dekat. Dengar, aku sama sekali nggak percaya yang namanya persahabatan di antara cewek sama cowok, karena itu nggak akan pernah berjalan mulus.”
“Tapi, bukan karena Hikari, Kak.” Bintang memijat lagi pelipisnya. Tidak ada orang yang tahu alasan dibalik keputusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Revro, bahkan cowok itu sendiri. Hanya Bintang yang tahu. Dia tidak mau orang lain mencemaskannya dan tidak mau menyusahkan orang lain. “Hikari orang yang baik. Dia sama sekali nggak pernah ngerusak hubungan aku sama Revro. Elif juga demikian.”
“Terus, alasan kamu putus apa?” tanya Bravo tajam. Sungguh, dia sangat mengkhawatirkan kembarannya itu. Semenjak putus dengan Revro, sikap Bintang berubah. Cewek itu jadi pendiam dan seolah tidak bersemangat. Kadang, Bravo mendapati Bintang sedang memikirkan sesuatu. Tetapi, ketika ditanya, cewek itu hanya menjawab tidak ada apa-apa.
Gimana nggak curiga, coba?
“Cuma capek pacaran aja. Nggak ada alasan lain.” Bintang mengangkat bahu tak acuh dan bangkit. “Aku pulang duluan, ya, Kak. Sedikit nggak enak badan soalnya.”
Bravo hanya mengangguk dan menyuruh Bintang untuk berhati-hati. Dia tetap mengawasi, memerhatikan Bintang yang mulai menjauh dan menghilang dari pintu kantin. Cowok itu kemudian berdecak jengkel dan mengacak rambutnya sendiri. Pusing menghadapi sikap Bintang yang sangat aneh itu.
Lalu, tatapan Bravo tidak sengaja mengarah ke satu titik di kejauhan. Tepatnya di ujung kantin, di counter sandwich isi tuna yang selalu ramai oleh para mahasiswa di kampusnya. Di sana, sosok Hikari terlihat. Cewek itu membawa nampan dan lagi-lagi, dia menatap ke arah kejauhan. Seolah-olah, Hikari sedang mengawasi seseorang atau menatap seseorang. Otomatis, Bravo juga menatap ke arah yang diawasi oleh Hikari dan tidak melihat apa-apa di sana.
Ada apa?
Siapa yang diperhatikan oleh Hikari sebenarnya.
Ketika Bravo kembali menatap Hikari, cewek itu sudah tidak ada di sana. Namun, Bravo bisa melihat nampan yang tadi dibawa oleh Hikari sudah ditaruh di atas meja kosong begitu saja. Cepat, Bravo menatap ke arah yang tadi diawasi oleh Hikari dan menemukan sosok cewek itu sedang berlari. Kemudian, sosok Hikari lenyap di koridor.
Bravo berpikir sejenak. Perasaannya mendadak tidak enak, entah kenapa. Dia menelepon Bintang, menanyakan posisi kembarannya, dan dijawab sedang berada di dalam taksi dalam perjalanan pulang. Bravo bahkan menyuruh Bintang untuk menyerahkan ponselnya ke supir taksi dan membiarkannya berbicara dengan supir tersebut. Tak lupa, Bravo sedikit memberikan peringatan kepada si supir untuk mengemudikan mobilnya dengan hati-hati dan berkata akan langsung mengejarnya bahkan sampai ke ujung neraka sekali pun, jika dia mendengar atau melihat Bintang terluka.
Oke, satu masalah beres. Tapi, Bravo tak kunjung merasa tenang. Perasaannya masih tidak enak dan tidak stabil. Cowok itu mengetuk telunjuknya di atas meja dan berdecak. Lalu, dia meraih ranselnya, mengenakkannya hanya di bahu kanan, lantas berlari menuju arah yang tadi dituju oleh Hikari.
“Menyusahkan aja!” gerutunya.
%%%
Hikari kehilangan orang tersebut.
Sudah dua kali, cewek itu merasa ada seseorang yang mengawasi gerak-geriknya, juga gerak-gerik Revro dan Bintang. Soalnya, pada kejadian pertama tadi, ketika semua orang berkumpul—dirinya, Revro, Bintang dan Bravo—sosok itu juga sedang mengintip dari kejauhan. Hikari tidak mau berpikir macam-macam, tapi, dia bersumpah sekilas melihat sosok itu tersenyum miring.
Karenanya, dia penasaran dan langsung mengejar orang tersebut, ketika tadi sosok itu kembali mengawasinya dari jauh. Tapi, ditengah koridor kampus yang sepi seperti sekarang ini, mendadak saja Hikari merasa sedikit takut. Cewek itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan meringis aneh.
Lalu, dia berteriak saat sesuatu menepuk pundaknya. Cewek itu berjongkok, menutup kedua telinganya dan memejamkan kedua mata.
“Kenapa lo?”
Pertanyaan itu membuat Hikari membuka kedua mata dan mengerjap. Cewek tersebut menoleh dan mendongak, lalu bertemu mata dengan Bravo yang mengangkat satu alisnya dan bersedekap. Merasa konyol dengan keadaannya sendiri, Hikari berdeham dan bangkit. Dia membersihkan bagian belakang celananya, kemudian kembali berdeham.
“Ngapain lo di sini?” tanya Hikari datar. Dia melirik Bravo sekilas dan cowok itu nampak sedang mengawasi keadaan sekitar. Lalu, tatapan Bravo kembali terarah kepadanya, membuat Hikari langsung mengalihkan wajah.
“Gue tadi nggak sengaja liat elo lari-lari nggak jelas, makanya gue susul.” Bravo membenarkan posisi ranselnya. “Siapa tau aja, lo mau ketemuan sama Revro dan kembali melanjutkan aksi kemesraan kalian secara diam-diam di belakang Bintang.”
Hikari membulatkan matanya dan mendengus. Bravo masih saja membahas soal kemungkinan dirinya yang menjadi orang ketiga di antara Bintang dan Revro. Malas berdebat, Hikari memutuskan untuk pergi saja dari hadapan Bravo, ketika sesuatu menyambar lengannya dan memutar tubuhnya dengan cepat, hingga saat ini, dia berada di dinding dan dikurung dengan rentangan kedua tangan Bravo.
“Mau main kasar?” tanya Hikari kalem, tapi dengan nada mengintimidasi. Bravo tidak terusik sama sekali dengan nada intimidasi tersebut, melainkan memajukan wajah dan menyisakan tiga senti saja.
“Dengar, jangan pernah-pernah main sama bahaya, Hikari. Lo nggak akan pernah tau kapan lo akan berakhir mengenaskan.”
Hikari mengangkat satu alis dan tersenyum. Senyuman itu sanggup membuat Bravo terdiam, tersentak sebentar, sebelum akhirnya kembali menormalkan raut wajahnya. Cowok itu menatap Hikari dengan tatapan intens, tapi cewek di depannya tersebut sama sekali tidak terpengaruh.
“Lo ngancem gue?”
“Bukan.” Suara itu menginterupsi pembicaraan Bravo dan Hikari, membuat keduanya menoleh dan menatap sosok Revro. Revro tersenyum miring, menyebabkan Bravo mengerutkan kening dan menjauhkan kedua tangannya dari dinding, hingga akhirnya Hikari bisa terbebas dari kurungan cowok tersebut.
“Maksud lo, Vo?” tanya Hikari tidak mengerti.
Revro mendekati Hikari dan berdiri tepat di samping sahabatnya itu. Dia meneliti fisik Hikari, memastikan apakah sahabatnya itu terluka atau semacamnya dan mendesah lega saat mengetahui bahwa cewek tersebut baik-baik saja. Kemudian, tatapan Revro beralih kepada Bravo.
“Dia bukan ngancem elo, Nev. Dia justru mau memperingatkan lo supaya lo nggak ngikutin sosok tadi.”
“Lo juga menyadari hal itu? Kalau ada yang mengawasi kita?”
“Lo pikir gue setolol apa, sih?”
“Cukup t***l untuk ngebiarin Bintang mutusin elo dan saudara kembarnya yang arogan ini menuduh gue yang bukan-bukan.” Hikari melirik Bravo, namun yang dilirik justru buang muka dan mendengus. “Apa lo juga tau kalau ada yang mengawasi kita?”
“Nope.” Bravo menjawab pendek. Dia diam sebentar, sebelum kemudian berdeham. “Tapi gue sadar kalau lo selalu memerhatikan kekejauhan. Makanya tadi gue sengaja ngikutin lo.”
“Karena lo khawatir,” sambung Revro mendadak.
“No, i’m not!” Bravo mendesis jengkel dan menyentil kening Hikari, membuat yang bersangkutan menggerutu dan balas menginjak kaki Bravo. “Gue nggak khawatir sama sekali sama Hikari. Apa untungnya buat gue, coba? Cih!”
“Gue juga nggak butuh dikhawatirin sama lo!”
Revro menarik napas panjang dan memijat pelipisnya. Sejak kapan Hikari dan Bravo jadi seperti ini? Seingatnya, Hikari dan Bravo bahkan tidak pernah berbicara sebelumnya, walau keduanya saling mengenal. Sesekali, Hikari dan Bintang memang akan mengobrol kalau mereka bertemu, tapi dengan Bravo, Hikari sepertinya lebih memilih menjauhi cowok itu untuk tidak mencari masalah.
Mendadak, ponsel Hikari berbunyi. Cewek itu merogoh saku celana jeans-nya dan mengerutkan kening ketika melihat sederet angka yang tidak dikenalnya. Tanpa berpikir dua kali, Hikari menggeser tombol berwarna hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.
“Halo?” sapa Hikari ramah. “Siapa ini?”
Tidak ada suara di ujung sana. Hikari menjauhkan ponsel dan sambungan masih terhubung. Cewek itu kembali mendekatkan ponsel ke telinga dan kembali menyapa.
Lalu, kalimat itu membuat Hikari membeku.
“Next time, i’ll play with you, Hikari Sayang... but now, i’m playing with Bintang dan Revro. See you soon, honey!”
Sambungan terputus begitu saja. Hikari menjauhkan ponsel dan menelan ludah. Cewek itu kemudian mengerjap dan sadar jika Revro dan Bravo masih ada di sana. Dan benar saja, kedua cowok itu menatapnya tajam dan tegas, seolah bertanya apa yang sedang terjadi dan siapa yang menelepon tadi tanpa suara ke arah Hikari.
“Gue... pamit duluan, ya! Kalian berdua jangan berantem, oke?”
Detik itu juga, Hikari langsung berlari meninggalkan Revro dan Bravo. Keduanya menatap kepergian Hikari dengan tatapan tajam. Sampai kemudian, suara Revro terdengar.
“She’s hiding something.”
“Gue tau.” Bravo menimpali. “Begitu juga dengan Bintang.”
%%%
“Revro Emerald Abimanyu Thampson!”
Seruan itu membuat langkah Revro terhenti dan cowok tersebut langsung menelan ludah susah payah. Dia menoleh pelan dan meringis aneh ketika mom-nya, Phoebe, berkacak pinggang sambil menatapnya tegas.
“Hai, mom! Hari ini mom keliatan cantik banget, seperti biasa. Pantesan dad nggak pernah bosan berduaan terus sama mom.”
“Cut it out!” Phoebe bersedekap. “Sejak kapan mom ajarin kamu untuk bikin cewek nangis?”
Hah?
“Tolong, ya, itu muka nggak usah dibingung-bingungin begitu, nggak akan mempan!”
“Tapi, aku beneran nggak paham maksud mom apa, loh.” Revro langsung mundur saat mom-nya terlihat ingin memukulnya. “Swear to God, mom!”
Phoebe diam. Dia mendengus kemudian segera menjewer telinga Revro dan menariknya ke ruang tengah. Revro sendiri mengaduh kesakitan dan mencoba melepaskan jeweran mom-nya, tapi tidak berhasil. Saat sampai di ruang tengah lah, Revro berhenti berontak dan melongo.
“Bintang? Lo... kenapa ada di sini? Dan... kenapa lo nangis?”
“Loh? Jadi kamu nggak bikin dia nangis?”
Revro memutar bola matanya dan mendesis. Dia melepaskan tangan Phoebe, kemudian mendekati Bintang. Wajah cewek itu kusut dan kedua matanya sembap. Hati Revro terasa sakit dan seperti diiris, ketika dia melihat Bintang masih bisa memaksakan seulas senyum, padahal air mata mengalir di pipinya.
“Kalau gitu, mom akan tinggalin kalian berdua.”
Saat Phoebe menghilang dari pandangan Revro, Bintang langsung berdiri dan menerjangnya. Cewek itu memeluknya erat, kemudian menumpahkan tangisnya di sana. Membuat Revro membeku dan tidak membalas pelukan Bintang karena terlalu kaget.
“Tolong gue... gue udah nggak tahan lagi.” Bintang meremas kaus Revro yang sedang dipeluknya itu. “Gue nggak mau libatin Kak Bravo. Tolong gue, Vo....”
%%%