Revro memainkan ponselnya di kafetaria kampus, ketika dia mendengar sedikit keributan. Cowok itu mengerutkan kening dan mengalihkan tatapannya dari ponsel untuk melihat apa yang sedang terjadi. Saat matanya menuju ke sudut kafetaria, dia mengangkat satu alisnya dan berdecak jengkel. Revro bangkit dan mendekati tempat kejadian perkara, di mana saat ini, seorang cewek dengan rambut panjang sebahu lebih sedikit itu sedang menatap tajam cowok di depannya sambil berusaha melepaskan cekalan tangan orang tersebut dari lengannya.
“Hikari-chan!”
Seruan dengan nada riang itu membuat semua orang menatap ke arah Revro. Cowok itu kini tersenyum lebar dan tanpa malu langsung mendekati Hikari yang masih dicekal lengannya oleh orang di depan cewek tersebut. Tidak peduli kalau tindakannya ini mungkin disebut ikut campur oleh si cowok b******k yang sudah mengganggu Hikari, Revro segera berdiri di samping Hikari, merangkul pundak cewek itu dengan posesif dan terlihat mesra, serta mendekatkan wajahnya ke wajah cewek tersebut.
Hikari yang kaget hanya bisa mengerjap dan mengangkat satu alisnya. Dia mengirimkan isyarat kepada Revro, menanyakan apa yang sudah merasuki cowok itu tanpa suara, yang rupanya tidak berhasil ditangkap oleh sahabatnya tersebut.
Ya, Hikari dan Revro bersahabat. Bunda Hikari dulu pernah menaruh hati pada ayah Revro, namun sepertinya takdir berkata lain.
“Walau lo keturunan keluarga Abimanyu, jangan pernah ikut campur urusan orang lain!” tegas cowok yang masih saja mencekal lengan Hikari itu. Tidak ada tanda-tanda kalau cowok itu akan melepaskan tangannya dari lengan Hikari.
Di tempatnya, Revro berdeham. Senyuman lebar cowok itu lenyap, digantikan dengan raut wajah datar dan tatapan dingin. Dia menoleh, menatap langsung ke arah cowok yang baru saja memberikan ancaman untuknya itu, dan bersedekap.
Membuat cowok itu menelan ludah dan berpikir ulang mengenai ketololannya barusan.
“Did you say something to me?” tanya Revro tajam. Tatapan dinginnya kini beralih pada tangan cowok di depannya itu yang masih bertengger di lengan Hikari. “Tolong, ya, lepasin tuh tangan kotor lo dari lengan Hikari. Kasihan gue liat si Hikari, nyaris muntah gitu soalnya.”
“Cih! Nggak usah banyak ngomong!” Tanpa diduga, meski mengatakan kalimat barusan, cowok itu toh melepaskan juga tangannya dari lengan Hikari. Hanya saja, karena terlalu gugup dengan ucapan dan tatapan dingin Revro untuknya, cowok itu menyentak terlalu kuat, hingga tubuh Hikari terdorong ke belakang dan Revro langsung sigap menahannya.
“Main kasar, ya?” tanya Revro sambil mengangguk dan memejamkan kedua mata. Ketika matanya kembali terbuka, cowok tadi sudah tidak ada di hadapannya. Dia bisa melihat bagaimana cowok tadi sudah sedikit berlari meninggalkan tempat kejadian perkara, namun Revro tidak akan tinggal diam.
Revro mengejar, melempar ranselnya begitu saja dan, ketika jaraknya sudah lumayan dekat dengan cowok tadi, dia melompat begitu saja di atas kepalanya, lalu mendarat tepat di depannya.
Membuat cowok itu tersentak hebat dan jatuh terduduk di lantai.
“Jangan pernah main kasar sama cewek, apalagi sama cewek yang gue kenal!” Revro menarik kaus cowok itu hingga membuatnya berdiri tegak dan langsung mendorongnya ke dinding. Semua orang yang menyaksikan itu langsung melakukan aksi masing-masing dengan teman di sisi mereka. Bisik-bisik.
“Ma—maaf, gue tadi nggak sengaja,” katanya memelas.
“Nggak sengaja kata lo?” ulang Revro, lantas dia tertawa hambar dan keras. “Kalau gitu, maafin ketidaksengajaan gue ini, ya!”
Revro menahan d**a cowok di depannya dengan menggunakan sebelah tangannya, sementara tangan lainnya yang masih bebas langsung diangkat ke udara dalam keadaan terkepal kuat.
Lalu, tangan itu melaju cepat ke arah sasaran yang akan ditujunya.
“Revro!”
Saat itulah, Revro mendengar suara tersebut. Dia mendengus dan arah laju tangannya berubah drastis. Tangan yang tadinya akan digunakan untuk meninju wajah cowok kurang ajar yang sudah berani mengganggu Hikari itu, kini meninju dinding tepat di samping wajah orang tersebut.
Walau tidak mendapat tinjuan Revro, tapi, efek yang ditimbulkan dari tinjuan Revro pada dinding di sampingnya sanggup membuat cowok tersebut menelan ludah. Dia menatap tangan Revro yang memerah, yang masih terkepal di dinding, kemudian beralih menatap Revro.
Wajahnya dingin, tanpa belas kasihan. Pun dengan tatapan matanya.
“Pergi dari hadapan gue, sebelum gue lepas kendali dan ngerusak muka b******k lo itu!”
Tanpa menunggu lebih lama lagi, cowok itu langsung berlari, meninggalkan Revro dan semua kerumunan. Di tempatnya, Revro menepuk-nepuk kedua tangannya, seakan sedang mengusir ribuan kuman dan virus yang menempel di sana. Kemudian, cowok itu memutar tubuh dan melirik sekilas ke arah oknum yang sudah menyerukan namanya, hingga membuatnya terpaksa berhenti menghakimi cowok sialan tadi.
Hikari dan Elif. Dua sahabatnya.
“Lo berdua ganggu acara gue,” kata Revro santai. Dia mengambil ranselnya yang dibawa oleh Hikari, kemudian meneliti keseluruhan fisik cewek itu. Setelah yakin kalau Hikari baik-baik saja, Revro segera menyentil keningnya pelan dan berjalan meninggalkan dua cewek galak menurutnya itu, untuk kembali ke tempatnya semula.
Hikari dan Elif saling tatap lalu langsung mengejar buronan mereka. Keduanya duduk tepat di hadapan Revro yang kembali fokus pada permainannya di ponsel tadi, sebelum dia melihat Hikari sedang diganggu oleh cowok sialan tersebut.
“Ngapain lo berdua ngikutin gue?” tanya Revro.
“Kenapa lo harus main hakim sendiri?” Elif membalas pertanyaan Revro dengan pertanyaan juga. Cewek itu bersandar pada kursi yang didudukinya kemudian melipat kedua tangan di depan d**a. “Kan bisa diomongin baik-baik.”
“Dia nyakitin Hikari,” kata Revro dengan fokus yang tetap berada pada ponsel. “Masa gue harus diam aja ngeliat sahabat gue diganggu dan disakitin?”
“Tapi nggak harus dengan kekerasan juga, kan, Vo?” Hikari angkat bicara. Dia tersenyum tipis dan menghargai niat Revro untuk membantunya. “Lo tau sendiri kalau gue paling nggak suka ngeliat lo main tonjok orang seenaknya.”
“Betul!” tandas Elif setuju. Kesal karena tidak digubris, Elif menjitak kepala Revro, membuat cowok itu mendesis jengkel dan berhenti memainkan ponselnya.
“Oke, gue salah dan gue minta maaf.” Revro memasukkan ponselnya ke saku celana. “Puas, Nona-Nona yang galak?”
“Gue sih sebenarnya yakin, lo nyaris mukul cowok tadi karena pengin ngelampiasin kekesalan lo.” Elif mengusap dagunya dan menatap Revro yang mengerutkan kening.
“Maksud lo apa?”
Sementara Hikari tertawa karena paham maksud Elif, Elif sendiri hanya menarik napas panjang dan menunjuk keningnya sendiri dengan telunjuk. Mengejek Revro karena lambat memahami maksudnya. Lalu, cewek itu berdiri.
“Mau ke mana, lo? Jelasin dulu yang barusan!” Revro berseru kesal, ketika Elif justru pergi dan melambai tanpa menoleh ke belakang. Tahu usahanya sia-sia, cowok itu berdecak dan bersedekap. “Elif benar-benar menjengkelkan!”
“Maksudnya si Elif, karena lo masih galau diputusin tanpa tau alasan yang pasti dari Bintang, lo jadi ngelampiasin kegalauan dan kekesalan lo ke semua orang yang lo anggap mengganggu.” Hikari menjelaskan dengan sabar. “Termasuk ke orang-orang yang mengganggu teman-teman dekat lo.”
Revro mengerjap dan menghembuskan napas panjang. Teringat lagi akan keputusan absurd secara sepihak dari Bintang, mantan pacarnya itu. Kalau mau jujur, Revro masih sangat mencintai Bintang. Bintang adalah cewek pertama yang berhasil menaklukkan hatinya dan mencuri perhatiannya. Karena itu, tidak mudah baginya melepaskan cewek itu begitu saja.
“Nev,” panggil Revro. Nev adalah nama kecil Hikari yang diberikan khusus oleh Revro dari nama tengah cewek itu. Kata Revro, hanya dia yang boleh memanggil Hikari dengan sebutan Nev. Orang lain tidak boleh ada yang memanggil cewek itu dengan nama panggilan tersebut. Bahkan Revro biasanya memanggil Elif dengan panggilan Syan, yang diambil juga dari nama tengah cewek itu, Resyana. “Menurut lo, gue harus gimana?”
“Ajak Bintang ngobrol aja.” Hikari memberi usul. Dia menyuapi Revro sebuah permen yang baru saja dibuka bungkusnya. “Tanya baik-baik, kenapa dia putusin lo. Kalau alasannya jelas, logis dan masuk akal, ya lo harus bisa terima. Tapi, kalau alasannya justru nggak masuk nalar, lo harus nolak dan bikin dia balik lagi ke pelukan lo.”
“Apa gue bisa?” tanya Revro setengah bergumam. Hikari yang bisa mendengarnya, langsung tertawa dan menggeleng. Dia meninju bahu Revro pelan, membuat sahabatnya itu menatapnya bingung.
“Lo keturunan Abimanyu, kan? Yang gue tau, sih, keturunan Abimanyu itu hebat semua. Nggak ada satu hal pun yang nggak bisa mereka lakuin dan mereka dapatkan. Kalau lo menyerah bahkan sebelum memulai peperangan, gue curiga lo dipungut di rumah sakit atau ketukar sama bayi lain.”
“Sialan!” Revro tertawa dan mengacak rambut Hikari. “Gue bakal buktiin sama lo, kalau gue bisa dapatin hati Bintang lagi! Sebagai taruhannya, apa pun yang lo mau nanti, kalau gue berhasil balikan sama Bintang, akan gue kabulkan!”
“Serius?”
“Swear to God!” Revro mengangguk mantap.
“Permohonan yang gue lakuin setiap hari selama sebulan penuh, deal?”
“Lo mau bikin gue bangkrut, ya?” tanya cowok itu dengan nada meledek dan senyum anehnya. Mau tidak mau, Hikari tertawa lagi.
“Bikin kembaran gue nangis dan sekarang justru ketawa bareng sama cewek lain. Hebat sekali.”
Suara datar dan dingin itu membuat tawa Hikari dan Revro lenyap. Hikari menoleh dan mendongak, lalu tatapannya bertemu dengan tatapan tegas dan tajam dari seorang cowok yang sudah dia kenal baik. Saudara kembar Bintang, mantan pacar Revro, sekaligus cowok yang juga ditakuti di kampus ini selain Revro. Rival Revro dalam kegiatan memanah dan menembak.
Bravonio Maladewa Bagaskara.
“Apa lo, yang udah bikin hubungan adik kembar gue dan si b******k ini hancur, Nona kecil?” tanya Bravo dengan nada sinisnya, membuat Hikari mengangkat satu alisnya dan bersedekap.
Sikap defensif yang bisa membuat Bravo terkejut, tapi dia segera menutupi keterkejutannya.
“Jangan ngomong sembarangan!” teriak Revro sambil menggebrak meja dan berdiri. Dia menatap tajam Bravo yang kini balas menatapnya juga. “Hikari nggak ada sangkut-pautnya sama hubungan gue dan Bintang!”
“Gitu?”
Revro mengepalkan kedua tangannya dan berniat mendekati Bravo, ketika tangan Hikari dengan sigap menahan lengannya. Cowok itu menoleh dan mengerutkan kening ke arah Hikari yang kini berdiri sambil tersenyum tipis ke arah Bravo.
Bukan senyum tipis biasa, melainkan senyuman mengejek.
“Gue nggak tau apakah orangtua lo pernah menceritakan hal ini, tapi,” kata-kata Hikari terhenti sejenak. Cewek itu lantas memasang tubuhnya di depan Bravo dan menentang tatapan dingin cowok di depannya tersebut. “Orangtua lo dan orangtua gue bersahabat. Apa lo tau?”
“Ya!” tandas Bravo langsung. “Bokap gue dan bokap lo bersahabat baik sejak dulu.”
Revro bukannya tidak tahu hal itu. Hikari pernah menceritakan hal tersebut dulu sekali, saat dia dan Bintang baru resmi menjalin hubungan.
“Bagus. Jadi, gue cuma sekedar mengingatkan aja. Gue, sebagai anak yang berbakti sama orangtua, nggak akan mungkin menghancurkan persahabatan orangtua gue sama orangtua lo, dengan cara menghancurkan hubungan anak dari sahabat orangtua gue sama pacarnya. Paham?”
Bravo diam, sementara Revro menatap takjub Hikari. Hikari adalah tipikal cewek yang lebih suka memendam semuanya dan baru akan beraksi apabila merasa sudah diinjak terlalu jauh oleh orang lain.
“Lagian, Revro bukan tipe gue.”
Sumpah, Revro rasanya ingin sekali menceburkan Hikari ke sungai terdekat. Kata-katanya benar-benar menusuk. Revro jadi curiga kalau sifat pemberontak dan kata-kata menusuk yang selalu Hikari perlihatkan sesekali itu menurun dari Om Haikal, ayah cewek itu. Karena menurut Revro, Tante Aurora, bundanya Hikari, sama sekali tidak ada bakat di dua bidang itu. Tante Aurora adalah wanita lembut dan penyabar.
Berbeda dengan Mom-nya, Phoebe Venzilla Abimanyu, yang pemberontak dan galak.
“Kak Bravo?”
Suara itu menembus dunia Revro, membuat kepala cowok itu langsung menoleh ke sumber suara. Efek yang ditimbulkan oleh Bintang masih sama untuknya. Suaranya, wajah cantiknya, kedua mata bulat indahnya, semua yang ada pada diri cewek itu masih sanggup menyihirnya, membuat otaknya blank dan membuatnya mabuk kepayang. Debar jantungnya kini meliar, jenis perasaan yang selalu dia rasakan pada Bintang sejak dulu.
Perasaan cintanya yang sangat menggebu.
“Gue nggak tau apa alasan dibalik lo mutusin gue, Bintang,” kata Revro tiba-tiba, membuat Hikari, Bravo dan Bintang sendiri menatapnya. Tatapan Bintang tidak terbaca, ketika dia menatap Revro yang menunduk dan mengepalkan kedua tangannya. Hikari yang melirik Bintang sekilas, bisa melihat kalau sebenarnya, Bintang juga masih mencintai Revro.
Lantas, kenapa cewek itu memutuskan Revro?
“Tapi, gue nggak sudi diputusin sama lo begitu aja.” Revro mengangkat kepala. Tatapannya sangat tegas dan final. Pun dengan nada suaranya. Dia tersenyum miring, senyuman yang sangat percaya diri, membuat Bravo mengangkat satu alisnya dan bergantian menatap cowok itu serta Bintang, adik kembarnya. “Gue akan bikin lo jatuh cinta lagi sama gue dan kembali ke gue. Dan kali ini, gue akan pastikan lo nggak akan pergi dari sisi gue untuk yang kedua kalinya!”
Hikari tersenyum bangga kepada Revro. Mendadak, tatapannya jatuh pada pilar bangunan yang berada tak jauh di depannya. Di sana, Hikari melihat seseorang sedang mengawasi ke arahnya, juga ke arah Revro, Bintang dan Bravo. Hikari tidak bisa melihat dengan jelas, namun, sosok itu tiba-tiba pergi begitu saja. Membuat Hikari memiringkan kepala dan mengerutkan kening.
Sikap yang rupanya ditangkap oleh kedua mata Bravo, membuat cowok itu ikut menatap ke arah yang dilihat oleh Hikari dan kembali melirik anak dari sahabat orangtuanya itu.
###