Bab Enam

4942 Kata
Kelopak mataku terbuka perlahan. Satu-satunya pemandangan yang memenuhi dua mataku adalah langit-langit asbes. Setelah menelaah langit-langit di atasku, indera penciumanku merangsang aroma sedap dari arah lain, memasuki tempat ini. Lalu disusul indera pendengaranku; ada suara cericit burung di dahan pohon yang menjorok ke arah jendela. Aku menoleh memandangi burung kecil itu, mendengarnya bercicit ria seperti berusaha menyadarkanku dari kelinglungan ini. Aku mengerjap lagi, mengingat-ingat kejadian yang kulalui. Baru kusadari ada sesuatu di dahiku. Rasanya hangat seperti air yang direbus dan sedikit perih. Aku menyentuh dahi, memastikan benda apa yang ada di sana. Sedikit kasar, empuk juga. Aku meraihnya, mendapati sebuah kain—seperti handuk kecil—yang telah dibasahi oleh air hangat. Tanganku menyentuh badan, mulai dari dahi, pipi, dan leher. Memang sedikit panas. Bukan, bukan panas, melainkan hangat. Badanku terasa hangat. Mungkin itu sebabnya benda seperti ini ada di dahi, mungkin siapa pun orang baik hati ini yang melakukannya untuk meredam panas tubuhku. Aku mengangkat badan menyadari bahwa kini diriku sudah terbaring di sebuah tempat asing. Menoleh ke kanan-kiri, hanya kutemukan furnitur sederhana yang terbuat dari kayu jati, namun ditata sangat rapi. Dindingnya terbuat dari kayu yang diperhalus, demikian pula dengan lantainya yang sekarang kuinjak. Kakiku terasa dingin menyentuh permukaan lantai kayu yang dipolitur hingga halus. Furnitur di sini berbau jati. Sungguh nyaman di pandanganku. Aku berjalan ringkih dengan kepala berputar-putar bagaikan dihantam palu gada. Rasanya berat dan perih pada dahiku masih ada, meskipun ada plester kecil yang menutupi lukanya—aku baru ingat kejadian itu, saat aku tergelincir dan masuk ke dalam air laut, yang entah membawaku ke mana. Aku rasa siapa pun yang membawaku kemari adalah orang baik. Tentu orang baik. Lagipula, orang jahat mana yang bersedia merawat luka orang asing di dalam rumah, bahkan dibaringkan di atas ranjangnya yang hangat dan nyaman? Aku membuka pintu, mengintip dari baliknya, mengamati keadaan di sekitar. Rumah ini memang seluruhnya terbuat dari kayu yang dipolitur. Perabotannya ditata sedemikian rapi dan tiada yang berserakan. Lamat-lamat kakiku yang masih lemas ini berjalan keluar dari kamar. Bola mataku bergerak perlahan menelisik keadaan di sekitarku. Rumah ini tidak begitu besar, tapi cukup luas untuk ditempati beberapa orang. Mataku menyoroti kursi dan meja di bagian depan. Mungkin itu yang disebut ruang tamu. Kakiku yang lemas berjalan lagi mengikuti aroma sedap. Seperti masakan. Kalau ada aroma masakan, artinya aroma ini berasal dari dapur. Aku ikuti saja ke mana aroma ini membawaku. Dan benar saja! Aku sudah berdiri di ambang pintu dapur yang sama rapinya. Tertata. Dan wangi. Ada seorang wanita dalam pakaian panjang sampai batas mata kaki, berlengan dan berkerah panjang menutupi leher dengan bagian lingkar perut mengerut ke depan, dalam motif rumit berwarna coklat. Seperti… motif bunga dan burung. Entah bagaimana aku menyebutnya, sungguh tak pernah kukenal motif rumit seperti itu. Apakah pakaian seperti itu yang dikenakan oleh warga ini di era postmodern seperti sekarang? Lantas, di mana aku berada kalau begitu? Sampaikah aku di pendudukan Pari? Aku bahkan menyadari diriku sendiri yang mengenakan pakaian dengan motif sama rumitnya seperti wanita di depanku itu. Bedanya, milikku bermotif seperti parang, melengkung-legkung rapi dan dibuat sangat teliti. Aku menundukkan kepala, mengamati pakaian—seperti dress, kalau aku menyebutnya—sebatas lutut dengan renda-renda di bagian bawahnya. Tak berlengan panjang. Talinya berukuran lebar, menggantung menutupi pundakku. Kerahnya bermodel v-neck, tak setinggi milik wanita di depanku, menampakkan leher dan dadaku yang putih digantungi kalung berbandul bunga lily. Pakaian postmodern yang anggun, unik, dan indah. Tidak seperti pakaian-pakaian yang kutemui di wilayahku dahulu. Di mana sebagian remaja putri seusiaku justru berlomba-lomba memamerkan bagian tubuh mereka seperti pusar, d**a, serta paha. Aku sendiri dilarang Mama berpakaian seperti mereka. Mama selalu membelikan pakaian yang menurutnya rapi dan pantas untuk kukenakan daripada yang dikenakan teman-temanku di luar sana. Mama selalu berkata padaku pria baik sudah pasti disiapkan untuk wanita baik pula. Jadi Mama menjagaku sebaik mungkin untuk mendapatkan pria yang baik pula, untuk memperistriku kelak. Ah, aku jadi merindukan Mama. “Sudah bangun kau rupanya.” Aku terperanjat kaget mendengar wanita itu berbicara sambil berbalik badan. Ia menertawai reaksiku. Kini dapat kulihat wajahnya, cantik jelita bagaikan bidadari yang sering didongengkan Mama tiap malam sewaktu aku masih kecil. Wanita dengan wajah tenang dan menyiratkan aura menawan. Ia berjalan menghampiriku setelah mematikan kompor. Kepalaku melongok penasaran pada masakan yang tengah dibuatnya di dalam wajan itu. “Anda berbicara dengan saya?” Aku menunjuk diriku menggunakan ibu jari, lalu membungkuk rendah, sebagai penghormatanku. “Tak usah sekaku itu, Nduk.” Wanita di depanku terkekeh pelan; barangkali memang cara berbicaraku ini yang membuatnya tertawa. Meski tertawa seperti ini, ia tetap menjaga tawanya agar tidak menggelegak seperti sambaran petir. Tawanya anggun. “Ayo duduk dulu di meja makan, nanti kita bertukar cerita di sana.” Masih tak memahami keadaanku saat ini, siapa wanita yang memiliki tabiat lembut itu, dan di mana aku berada, pada akhirnya aku berjalan mendekati meja makan, lantas memosisikan diriku di salah satu kursi kayu berpolitur ini. Kuamati setiap sudut ruangan yang kutempati sekarang. Aromaterapi yang berasal dari beragam bunga-bungaan tercium semerbak di hidungku. Ditambah aroma hidangan sarapan yang dibuat wanita—yang bahkan lupa tak kutanyai siapa namanya—itu. Ia menyiapkan piring-piring di atas meja. Aku tak pernah menjamah dapur kecuali membantu Rona menyiapkan makanan. Itu pun menggunakan teknologi dan proses sains. Itulah mengapa aku tak pernah mencium aroma seharum dan senikmat ini. Apalagi dimasak dengan tangan, bukan melalui teknologi seperti di rumahku. “Le, sarapan, le!” Wanita paruh baya itu berseru. “Nduk!” Aku menoleh mencari arah, di mana sekiranya orang-orang yang dipanggil le dan nduk ini akan muncul. Hanya ada seorang bocah lelaki—kutaksir usianya sekitar tigabelas tahun—dengan bocah perempuan yang tampak tak beda jauh usianya, muncul dari balik pintu yang berbeda. Yang perempuan mengucek matanya sementara yang lelaki menguap lebar. Mereka terlihat mirip, namun tak cukup identik. Kurasa mereka berdua adalah sepasang anak kembar tak identik. Kedua anak itu duduk manis di kursi lain, di depanku. Beberapa detik mereka saling bertukar pandang, lalu melirikku, lalu bertukar pandang lagi sampai akhirnya menjatuhkan perhatian menuju ibu mereka. “Bunda, inikah perempuan yang ditemukan Mas kemarin sore?” salah satu dari mereka, yang perempuan, bertanya dengan suara nyaringnya. “Oh, Bunda sampai lupa.” Wanita itu menepuk dahinya. Ia tersenyum-senyum memandangku dan mengambil tempat duduk. Tatapan bocah-bocah di depanku saat ini berhasil menjarah mataku, menelaahku bagaikan menaksir barang berharga yang bernilai sejarah. “Siapa namamu?” Aku menunjuk diriku sendiri seperti orang bodoh. “Iya, namamu.” “Nama saya Bidari, Nyonya.” “Jangan kaku begitu, Nak. Panggil saja Bunda seperti Sam dan Mega.” Bunda menunjuk kedua anaknya satu per satu. “Mereka anak-anak Bunda. Yang lelaki itu Samudra Biru. Yang perempuan itu kembarannya, Mega Sasikirana.” Tuh, benar asumsiku. Mereka berdua pasti kembar. Yang lelaki, Sam, meneliti penampilanku dengan mata mendamba takjub. Bunda langsung berbisik memeringatkan tatapan Sam yang dianggap tidak sopan itu. “Nah, Nduk. Bagaimana ceritanya kau bisa pingsan di atas perahu, dibawa Laut Jawa dan nyasar ke sini? Kalau dari kalung yang kau pakai itu, rasanya kau berasal dari Waluku?” Praktis, aku menyentuh bandul kalungku yang berbentuk bunga lily ini. Aku menghembuskan napas pendek. Tak usahlah kuingat dulu betapa pilunya hatiku menyadari bahwa aku memang telah dibuang dari lingkunganku sendiri. Lebih baik kuceritakan saja sekenanya dengan wajah sumringah, agar Bunda tidak mengasihaniku melalui cerita ini. “Ah, tidak apa. Saya pingsan karena kelelahan. Kira-kira, ini di mana, Bunda?” “Kau sudah masuk ke dalam wilayah Pari. Sekarang kau berada di daerah pesisiran, di kecamatan P, cukup jauh dari pusat kota.” “Pesisiran?” “Kau sarapan dulu, biar tenagamu balik lagi. Setelah itu silakan istirahat atau jalan-jalan untuk mencari udara segar. Mumpung ini hari Selasa, hari aktif sekolah, jadi tak begitu ramai.” Bunda memberikan senyum manisnya sekali lagi untukku. Saat itu pula mataku membeliak, ototku mengencang, menyadari bahwa Bunda baru saja menyebut hari Selasa. Aku meremas telapak tanganku yang dingin. “Selasa!” Seperti sebelumnya, Sam dan Mega saling berpandangan melihat tingkah anehku ini. “Rasa-rasanya, seingat saya, saya pergi pada hari Minggu.” Sudut bibirku mencebik ke bawah. Perahu yang kugunakan untuk menyelamatkan diri hanyut terbawa ombak, sedangkan aku pingsan; entah karena lelah atau kesehatanku yang memburuk. Untunglah aku tak mati saat itu dan seseorang menemukanku. Aku tidak mengingat apa pun, sama sekali tidak, tentang kejadian kemarin. Yang mampir di ingatan implisitku hanyalah kehampaan. “Untunglah Gusti Pengeran masih sayang padamu. Laut tidak dalam keadaan pasang waktu kau diantarNya kemari.” Bunda tersenyum lagi. Ia menyendokkan sesuatu ke dalam piringku. Diam-diam aku mencolek makanan itu, lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Rasanya hambar. “Itu nasi,” Sam menyahut melihat tingkahku. “Aku tahu. Aku pikir rasanya berbeda.” “Orang aneh.” Dahi Mega mengernyit, membayangkan bagaimana bentuk makanan yang kukonsumsi. Aku mengedikkan bahu, mengambil sendok dan memandangi beragam lauk-pauk yang dihidangkan di piring berbeda. Itu benar lauk-pauk. Telur mata sapi yang rasanya sama seperti telur mata sapi biasa, ikan yang rasanya pun sama seperti ikan, dan sebagainya. Dari binatang yang pernah hidup. Aku mengernyit membayangkan mereka yang masih hidup sebelum dimasak jadi makanan. Mendadak selera makanku pun hilang membayangkan hal itu. Aku tidak pernah benar-benar memakan daging binatang. Bentuk makanan yang kumakan nyaris mirip aslinya, namun terbuat dari bahan yang berbeda. Rasanya pun beda dari ekspektasi! “Enak tidak tinggal di sana?” Sam bertanya lagi. “Apa di sana ada robotnya?” “Uhm. Lebih tepatnya mesin. Mesin yang canggih.” Aku mulai menceritakan seperti apakah Waluku pada Sam yang siap mendengar dengan saksama di tempat duduknya. Sementara Mega tak memedulikan ceritaku, alih-alih mencomot makanan di depannya. Dan Bunda hanya mendengarkan sambil menggelengkan kepala. “Aku selalu berangan-angan seperti apa Waluku itu. Apakah ramai? Seperti apa pakaian mereka? Apakah mereka sama-sama memakai kain batik atau songket seperti kami? Apakah mereka memiliki angklung, gamelan, seruling, dan ketipung?” Sam menjejalkan makanan ke dalam mulutnya sampai penuh. Bocah ini, biarpun usianya terbilang cukup matang menginjak remaja muda, tingkahnya kekanak-kanakan. Berbeda dengan kembarannya, Mega, yang tidak banyak bicara di tempat duduknya. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Sam. Mulai dari panoramanya yang padat dengan gedung-gedung tinggi, pabrik dengan asap mengepul, hingga gedung-gedung sekolah seperti Kindergarten, Elementary School, Junior High School, atau Senior High School yang sangat megah. Semuanya kuceritakan pada Sam. Bunda tampaknya tak keberatan aku menceritakan bagaimana keadaan di tempat tinggalku yang penuh sesak dengan transportasi serta gedung tinggi pencakar langit. Sampai keberadaan seseorang memotong ceritaku dan diikuti suara Bunda menegurnya pelan. “Baru datang kau rupanya. Pagi-pagi sudah kelayaban. Dari mana saja kau?” Saat itu pula rasanya makanan yang tadinya sudah berhasil kutelan masuk seolah diaduk-aduk dalam perutku, darahku mendidih lagi di balik kulit, lalu jantungku yang semula berdetak tak seirama semakin berdebar aneh pula. Aku melongo entah berapa sekian detik. Sungguh mahakarya Tuhan yang sempurna. Lelaki yang baru bergabung bersama kami sangat rupawan. Posturnya tinggi dan tegap. Rambutnya dibiarkan berantakan dengan beberapa jumput sedikit turun di dahinya, miring ke kanan. Dan pandangan dari kedua mata bak cakramnya bagaikan menelanjangiku di tempat ini. Aku perlu menelan ludah ke dalam kerongkonganku yang seakan kering kerontang. Aku sadar bahwa sampai detik ini aku tak berkedip mengamatinya. Ia balik memandangku, hanya sekilas, sebelum memandang Bunda yang masih mempertahankan tanda tanya di wajahnya. “Bantu-bantu di pendopo.” Ia tersenyum manis madu dan sopan pada Bunda, lalu mengambil tempat duduk. Di sebelahku! Napasku tercekat di tenggorokan sesaat, bahkan rasanya bola mataku tak bisa digerakkan, kelopak mataku tak berkedip. Detik ini aku bagaikan menjelma menjadi boneka porselen tanpa jiwa. Hanya diam membisu dengan gestur kaku yang aneh. “Nah, Nduk,” Bunda berkata lagi, berhasil membuat mataku berkedip. “Itu anak sulung Bunda. Nagara Adinata. Dia yang menolongmu kemarin sore.” Aku mengedip lagi, tak berani menoleh maupun melirik. Hanya anggukan kepala yang kuberikan sebagai perkenalan awalku padanya, lantas kupandangi nasi di depanku dan mulai menyendoknya ke dalam mulutku. Rasanya sudah tak hambar. Entah mengapa, nasi ini tak lagi hambar. Ah, aku terlalu berlebihan menanggapinya. Tapi debaran ini tentu saja nyata. Aku tidak pernah bertingkah sebodoh ini berdekatan dengan seorang lelaki. Apalagi usianya tampak tak terpaut jauh denganku. Sepanjang pagi ini aku tidak menceracau, lebih memilih makan saja sambil menggelengkan kepala ketika Bunda menawarkan lauk-pauk padaku. Aku dapat merasakan pandangan aneh—atau prihatin?—Nagara yang menusuk leherku. Akibat merasa dipandang sepanas itu, leherku jadi terasa kaku. Aku bergeming sepanjang waktu di meja makan.   *   Rasanya aku seperti orang asing yang tidak tahu apa-apa, bebal, dan linglung. Setelah sarapan dan bersih-bersih diri, aku duduk di teras rumah yang langsung menyambut mataku dengan pemandangan laut serta pepohonan di sekitarnya. Tempat ini jelas berbeda dibandingkan dengan tempat tinggalku yang padat oleh gedung bertingkat dan alat transportasi. Untuk sementara waktu, Bunda tak banyak bertanya padaku, membiarkan aku beradaptasi dulu di tempat ini dengan menjelajah. Namun aku tidak benar-benar menjelajah memutari rumah kecuali berdiam diri duduk di teras, di birai saja. Sam dan Mega sudah pergi dengan seragam sekolah; yang tentu berbeda dengan seragam sekolahku. Sebagian dari mereka yang berada di sini mengenakan pakaian serupa, memang dengan model biasa dan seragam, namun memiliki motif sama, melingkar-lingkar mirip tanaman rambat. Kata Bunda, masyarakat yang bisa sekolah di sini hanyalah mereka yang mau membayar mahal. Tentunya dengan pengawasan pemerintah. Mereka yang memiliki IQ superior akan segera diboyong ke Waluku dan tak pernah dikembalikan pada keluarga. Seperti yang dikatakan oleh Bunda ketika sarapan bersama tadi. Aku berada di Pari, lebih tepatnya di kecamatan P, kota L, yang berada di pantai utara Java (orang Waluku terbiasa dengan sebutan ini). Sungguh keberuntungan yang langka aku diselamatkan sampai di sini. Lalu ingatanku membawa pada sosok putra sulung Bunda. Nagara Adinata. Mengapa pipiku terasa panas mengingat nama itu? Dan mengingat wajahnya? Aduh, sebab apa aku dibikin begini gelisah? Baru aku memikirkan namanya, orang yang sedang kupikirkan ngeloyor begitu saja melewati teras, pergi dari rumah. Aku membuka mulut. Beragam kalimat yang ingin kulempar padanya menggantung di langit-langit mulutku, enggan tumpah. Aku bingung harus menyapanya seperti apa, sementara kami belum saling mengenal. Tapi aku tak mungkin hanya diam selama tinggal di sini, bukan? Aku harus berinteraksi, bukan hanya dengan Bunda, Sam, atau Mega—Mega bahkan jarang mengajakku bicara sampai ia pergi untuk sekolah. “Nagara!” Nama itu lolos begitu saja dari bibirku. Aku sedikit menyesal, sampai membungkam mulutku yang asal ceplos itu dengan telapak tanganku. Untung saja ia berhenti dan menoleh ke arahku, sehingga aku tidak perlu malu jika tidak mendapatkan respon seperti yang kuharapkan. Seperti dicambuk seseorang dari belakang, aku berlari menuruni anak tangga kayu menghampirinya. Aku tak mudah akrab dengan orang asing, namun rasanya sungguh tidak tahu diri jika mengabaikan kebaikannya tanpa ucapan terima kasih. Maka, kuulurkan tanganku ke arahnya sambil memasang tampang ramah dan sudut-sudut bibir yang kutarik ke atas bagaikan bulan sabit. “Terima kasih. Kalau kamu tidak menolongku waktu itu, aku tidak tahu bagaimana nasibku.” Aku menjilat bibir selama beberapa detik menunggu responnya. Ia tidak menampilkan emosi apa pun di kedua mata maupun wajahnya. Hanya pandangan monoton, juga ekor mata yang menelisikku dari atas ke bawah dalam gerakan samar. “Sama-sama,” balasnya pendek. “Aku Btari.” Seakan urat maluku sudah putus, aku masih mempertahankan tanganku yang terulur ke depan menunggu responnya. Terkutuklah Flying Dutchman jika ia mengabaikan uluran tanganku. Dan, ya! Flying Dutchman memang terkutuk, sebab ia tak menyambut uluran tanganku, hanya memberikan anggukan tanpa melepas pandangan monotonnya. Mengapa ia seakan tak menyukai keberadaanku? Aku dapat melihat dari kedua matanya. Mata merupakan media komunikasi bisu bagiku. Meski bibir enggan berucap, mata dapat mewakilinya. “Kamu sudah tahu namaku kan, Btari?” Jantungku serasa ditendang kuat oleh seseorang, berdebar menghentak-hentak menyentuh rongga dadaku saat ia menyebut namaku; betapa indah nama itu ketika disebutkan olehnya, seakan namaku sengaja dibuat hanya sebagai penyempurna lidahnya. Boleh kuakui ia rupawan. Tapi sikapnya sungguh arogan. Aku menarik tanganku, pura-pura mengelus tengkukku yang kaku. Apakah ia tahu aku orang borjuis? Barangkali sikapnya ini menunjukkan ketidaksukaannya terhadap orang-orang borjuis. Tapi, ia bahkan belum mengenalku dekat. Rasanya tidak adil. “Ajak dia pergi bersamamu. Mungkin dia butuh adaptasi di tempat ini,” suara Bunda terdengar dari teras, spontan membuat kepalaku bergerak ke arahnya. Ia memberikan anggukan pada Nagara, memintanya mengajakku pergi bersamanya. “Memangnya kamu mau ke mana?” tanyaku mulai penasaran. Nagara menghela napas panjang. Ia menoleh pada ibunya, seperti tatapan tanya untuk memastikan apakah Bunda serius meminta dirinya mengajakku ikut serta. Aku hanya berdiri seperti orang linglung, sambil menggesek kakiku dan memain-mainkan tanganku menunggu balasannya. Sekali lagi Bunda mengangguk. Telunjuknya diacungkan pertanda bahwa ia tak mau mendengar penolakan. Maka, Nagara memandangku setelah itu dengan pandangan sama. “Kalau mau ikut bersamaku, jangan banyak tanya,” katanya. “Baik, baik.” Aku mengangguk berkali-kali seperti hiasan boneka di dalam mobil Papa. Nagara berbalik dan berlalu pergi tanpa balasan lagi. Aku mengekor di belakangnya dalam langkah panjang-panjang. Sesekali aku berlari untuk menyamai langkahnya. Langkahnya begitu cepat, aku tidak mampu menyamainya, sampai-sampai napasku tersengal-sengal. Melihatku terengah-engah, ia berhenti tiba-tiba. Aku membungkuk menahan tanganku pada kedua lutut, mengatur pernapasanku. Gila, bisa-bisa persediaan oksigen di paru-paruku menyusut habis jika terus-menerus berjalan mengikutinya. Setelah berhasil mengembalikan fungsi kerja paru-paruku, aku berdiri tegak memandang ke arahnya. Ia tampak menahan tawa melihatku terengah-engah seperti ini. “Menyesal ikut denganku?” tanyanya mencela. Aku menggeleng buru-buru. “Tidak. Siapa yang bilang aku menyesal?” Bahuku terkedik. Pandanganku lalu beralih menuju sebuah tempat, sebab kudengar suara-suara riuh di depan sana; suara teriakan, erang kesakitan, dan tepukan tangan. Mataku mengerjap beberapa kali melihat pemandangan di depan sana; terdapat beberapa orang tengah beradu kemampuan bela diri di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pepohonan—yang tak kutahu apa namanya, sebab di Waluku tak ada pohon macam begitu. “Mereka sedang apa?” tanyaku, mulai penasaran lagi. Hey, ke mana jiwaku yang tenang dan kaku tadi? Ke mana larinya? Mengapa penyakit mau tahuku seakan kambuh lagi dihadapkan oleh lelaki di depanku ini? Aku rasai ada magnet dengan kutub tak sama di antara kami. Saling menarik. Atau mungkin yang menyedihkan, aku yang berusaha menariknya. “Ikut saja. Jangan banyak tanya dulu.” Nagara mengacungkan telunjuknya di depanku hingga membuat mataku juling. “Kenapa aku tak boleh banyak tanya?” “Tanyakan sesuatu jika memang itu perlu, Btari.” Ia mendesah pelan. “Kalau kamu memiliki potensi untuk mengetahui jawabanmu sendiri, simpan dan kunci rapat pertanyaanmu. Oke?” Lagi-lagi aku hanya menganggukkan kepala. Ia melangkah menghampiri lapangan luas itu, membiarkan aku berlarian kecil mengekor di belakangnya lagi. Begitu sampai lebih dekat di lapangan, aku berdiri di sebelah Nagara, mengamati aktivitas sekelompok orang yang disibukkan dengan latihan bela diri mereka. Yang berhasil menarik minatku di seberang sana ialah seorang gadis berkuncir tinggi, bergerak gesit memberikan perlawanan dan menghindari serangan dengan tongkat panjang di tangannya. Aku amati ia, begitu cekatan dan tangkas. Caranya menangkis serangan menggunakan tongkat begitu lihai. Tak kusangka ada gadis yang pandai bela diri seperti dirinya. Ia mengenakan celana kombor sepanjang lutut, juga kaus hitam yang disulam dengan benang emas bermotif rumit. Sampai sekarang aku belum tahu motif rumit yang mereka kenakan ini disebut apa. “Gadis itu hebat sekali. Dia bisa setangkas itu dalam melakukan karate,” celetukku, menunjuk si gadis berkuncir tinggi. “Karate?” nada Nagara meninggi terkejut. Ia menoleh ke arahku, mengernyitkan dahi dan menyatukan alisnya. “Itu bukan karate.” “Lantas?” “Namanya silat. Kau belum pernah mendengar silat?” Kepalanya ditelengkan ke satu sisi seperti seorang guru yang bertanya pada muridnya. Nah, itu pertama kalinya aku melihat ia tersenyum. Meskipun dalam bentuk senyum prihatin yang diberikan sebagai pertanyaan bagi orang aneh macam diriku. Menggeleng, aku menjawab pertanyaannya, “Di tempatku tinggal, kami tidak mengenal silat. Yang kutahu hanya karate, wushu, anggar, yudo, banyak sekali. Tapi tidak ada yang namanya silat.” Menanggapi kalimat itu, Nagara tertawa kecil. Dahiku berkerut keheranan. Apa sekiranya yang membuatnya tertawa? Memang ada ucapanku yang lucu menurutnya? Akan tetapi, sejujurnya, aku lebih senang melihatnya tertawa daripada memasang tampang monoton dan bersikap arogan seperti tadi. “Sayang sekali,” katanya pelan. Ia menoleh lagi ke arahku. “Kami lebih dekat dengan silat. Tidak seperti karate yang terlalu keras, silat lebih banyak memiliki teknik dan gerakan.” Jarinya teracung ke depan, menunjuk orang-orang yang berlatih di depan sana. “Mereka menggunakannya untuk melindungi diri.” Aku menggigit sudut bibirku, kembali mengamati latihan tanpa bertanya-tanya lagi. Meski banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya, namun aku takut ia memberikan labeling buruk padaku dengan segala pertanyaan ini. Tapi lidahku gatal ingin bertanya sekali lagi padanya, sambil meliriknya sekilas aku berkata, “Lantas, mengapa kalian mengenakan pakaian semacam ini? Gambar apa ini?” Aku mendapatkan perhatian darinya. Lagi. Dipandangnya aku seakan-akan aku adalah makhluk veterbrata pertama di bumi. Dahinya mengernyit lagi. Mungkin batinnya mengejek, makhluk bodoh seperti apa aku ini? Yang mempertanyakan banyak hal-hal kecil di sekitarnya. Tapi berani sumpah, aku tidak memahami kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mendiami wilayah ini. Nagara memutar badannya, menghadap ke arahku. Kini mata kami saling berpautan satu sama lain, membuatku terperangah sedikit selama ia menjawab pertanyaanku, “Ini namanya motif batik, Btari. Pakaian masyarakat yang tinggal di Pari era ini. Mereka menggunakan motif batik sebagai identitas.” Nagara menyentuh pakaianku. “Ini motif Parang Kusumo.” Aku mengedip, mengamati pakaian yang kukenakan sendiri. Ia tak menungguku bertanya-tanya, langsung melanjutkan penjelasannya. “Motif ini memiliki arti bunga yang mekar. Siapa pun yang mengenakan motif ini dianggap indah.” Entah mengapa kedua pipiku panas. “Lalu yang kau pakai ini?” Aku menunjuk kausnya yang juga memiliki motif tertentu di bagian belakang punggungnya. “Motifnya apa?” “Itu motif naga.” Aku mengangguk-angguk lagi. Pandanganku terbagi menuju orang-orang di lapangan, yang mengenakan pakaian senada dengan motif berbeda. Aku suka keanekaragaman seperti ini. Belum pernah aku menemukan hal-hal semacam ini. Pengetahuanku hanya terpaku pada teori dan materi pelajaran. Andai saja aku banyak mengenal budaya negeriku sendiri, sudah pasti aku tak sebuta ini dihadapkan beragam jenis budaya yang terhampar di depanku. Ini baru sebagian kecil. Aku penasaran, seperti apa seluruh wilayah ini yang diduduki oleh para budayawan. Hati kecilku menginginkan petualangan kecil, mengunjungi tempat-tempat lain yang sekiranya menyimpan budaya lainnya pula. Aku bertepuk tangan pada siapa pun yang dengan berani mendobrak modernitas di tengah kesintingan tata negara era sekarang dengan menyelamatkan identitas bangsa ini. “Kamu suka datang kemari?” tanyaku setelah beberapa menit diam. “Setiap saat jika memenuhi jadwal, aku sering kemari untuk berlatih dan melatih.” Ia tidak membalas pandanganku, alih-alih tetap mematri perhatiannya lurus ke depan. Jarinya dijentikkan seperti teringat sesuatu. Namun ucapannya terputus begitu terdengar seruan seseorang di seberang lapangan memanggil namanya. “Gara!” Nagara menoleh, sama halnya denganku. Di seberang sana seorang pria paruh baya memberi kode pada Nagara melalui tangannya; seperti ajakan bergabung bersama yang lain. Nagara membalas dengan bahasa yang tidak kumengerti. Menyelesaikan balasannya pada pria paruh baya tadi, Nagara memandangku lagi. “Kalau kamu mau, kamu bisa tunggu di sini. Aku harus bergabung dengan yang lain. Nanti kita sambung lagi usai latihan.” Tidak membutuhkan jawabanku, ia berlari melintasi lapangan untuk bergabung bersama teman-temannya. Dan baru kusadari bahwa gadis berkuncir tinggi tadi melesatkan tatapan tajam bak belatinya ke arahku. Ia lantas mengalihkan perhatiannya dari aku menuju Nagara yang menangkap sebuah tongkat panjang yang dilempar pria paruh baya tadi dengan gerakan tangkas. Aku berdiri mengamatinya dari tempatku. Gerakan-gerakan yang ditunjukkan mereka memang berbeda dengan karate. Dan aku sangat menikmati latihan ini. Rasanya aku ingin bergabung dengan mereka dan berlatih bersama-sama. Apalagi kalau yang melatihku Nagara. Aku menggigit bibir bawahku menahan diri untuk tidak tersenyum-senyum sendiri seperti orang sinting di samping lapangan. Gadis berkuncir tinggi tadi menjadi lawan Nagara. Mereka saling menyerang dan menangkis menggunakan tongkat panjang di tangan masing-masing. Aku mengamati tiap gerakan masing-masing dengan saksama, memasukkannya ke dalam pikiranku seperti biasa, jaga-jaga jika aku bergabung bersama mereka, aku bisa mengutip gerakan-gerakan yang telah masuk ke dalam memori otakku. Maka, sepanjang pagi ini aku menghabiskan waktu dengan berdiri di samping lapangan, mengamati kegiatan di depan sana. Menunggu Nagara sampai selesai.   *   Sekiranya aku menunggu selama dua jam. Aku duduk di atas batu, melihat orang-orang di depanku membaur pergi; ada yang menetap di lapangan dengan berkumpul serta mengobrol bersama. Aku amati saja aktivitas mereka dari sini, enggan menegur ke sana. Bagaimana juga, aku pendatang baru. Masih malu-malu berkenalan dengan mereka. Nagara menghampiriku, lalu duduk di sampingku. “Tidak mau gabung ke sana?” Aku menggeleng. “Rasanya segan bertemu dengan mereka, apalagi kalau mereka tahu aku orang borjuis.” Aku menduga-duga kalau orang-orang di sini tidak menyukai penduduk Waluku. Hanya khawatir mereka tidak mau menerimaku menjadi bagian dari mereka jika mengetahui aku pernah menjadi bagian Waluku. Pernah menjadi orang borjuis yang tak mereka suka. “Bagaimana ceritanya kamu bisa sampai di sini?” tanyanya. Inikah saatnya aku bercerita? Mengenai segalanya, mulai dari kenyataan mengerikan bahwa aku merupakan manusia kloning. Bagaimana tanggapannya nanti? Apakah ia semakin menganggapku aneh dan pada akhirnya menghindar? Mama tidak pernah mengajariku berbohong. Ia sering berkata padaku, bahwa satu kali kebohongan akan melenyapkan beribu-ribu kepercayaan. Maka, aku memutuskan untuk berterus terang saja pada Nagara, menceritakannya dari awal. Sesekali aku mencabut rumput panjang di bawah kakiku sambil memain-mainkannya selagi bercerita. “Aku dibuang dari Waluku.” Sesuai ekspektasiku, Nagara mengernyit heran. Namun tidak menyela ceritaku, maka aku melanjutkan lagi, “Presiden Andromeda memberikan keputusan untuk membuangku dari Waluku, mencabut hak kependudukanku di sana. Dia hendak mengasingkanku ke Vrischika. Di tengah perjalanan bersama tentara yang mengawalku menuju Vrischika, heli yang membawa kami ditembak seseorang. Satu kali kena baling-baling, lalu tembakan selanjutnya mengenai badan heli. Beruntung, aku sudah lebih dulu melompat ke lautan. Dan ya... aku pingsan dan kamu temukan.” Kuhela napas panjang sebagai jeda. Sementara Nagara tidak menginterupsi apa pun. “Mereka mengusirku dari Waluku karena menemukan fakta bahwa aku tidak sempurna.” “Tidak sempurna,” pada akhirnya ia menginterupsi dengan penekanan nada. “Apa maksudmu tidak sempurna?” “Aku tak sama sepertimu,” aku mengakui. Nadaku terasa aneh, seperti desingan peluru jatuh. “Aku manusia rekayasa genetika, manusia kloning—xenogeny. Dan karena aku tidak sesempurna yang diharapkan, aku dibuang seperti manusia kloning lainnya.” Nah kan, Nagara betul-betul terkejut mendengar pengakuanku. Matanya membeliak lebar, sedang sebelah alisnya terangkat, memastikan pendengarannya tidak salah bahwa aku baru saja mengatakan kalimat itu. Barangkali kalimat teraneh yang pernah didengarnya. “Manusia kloning?” Nagara mengulangnya, terdengar tercekat. Ia mengedip beberapa kali. Air mukanya berubah, sungguh berbeda dari beberapa menit sebelumnya. Ah, sial! Ia pasti tak menerima keberadaan manusia rekayasa genetika sepertiku. Inilah yang kubenci dari diriku, menjadi makhluk yang tidak sempurna di mata manusia normal dan pada akhirnya dikucilkan beramai-ramai. “Aku tidak pernah berharap dibuat seperti ini,” kataku lesu. “Aku memang tidak sempurna dan jujur saja, aku benci itu.” Kulunakkan nadaku menjadi getir. Bibirku melengkung ke bawah membentuk cebikan masam. Detik lainnya ia pandangi aku. Ekspresinya memang tak berubah, masih sama, begitu monoton tanpa emosi di matanya. Namun ia sudi membalas kalimatku dengan berkata, “Btari, memang manusia itu diciptakan memenuhi kodratnya menjadi makhluk yang tidak sepenuhnya sempurna. Tidak ada manusia yang diciptakan Tuhan sangat sempurna. Justru kamu sudah memenuhi kodratmu menjadi manusia sesungguhnya.” Cebikan muram bibirku berubah menjadi senyuman merekah. Ia tidak mempermasalahkan statusku sebagai manusia kloning rupanya. Itu sangat berarti bagiku. Apalagi ucapannya itu, sungguh mencairkan keresahanku sejauh ini. “Jangan membenci dirimu hanya karena kamu tidak sempurna,” lanjutnya. “Kamu bukan rekayasa, Btari. Tuhan memang sudah merencanakan kelahiranmu, meskipun dengan cara berbeda. Di kehidupan ini, Tuhan selaku penulis telah menyusun sebuah skenario untuk setiap hambaNya. Namanya takdir. Kelahiranmu termasuk takdir dariNya. Kalau Tuhan tidak menghendaki keberadaanmu, apa pun pasti dilakukan olehNya, misalnya saja kegagalan dalam proses pengkloningan atau semacamnya. Tapi kamu ada di sini, sekarang, masih diberi kesempatan bernapas. Bukankah Tuhan baik padamu? Dia menciptakanmu karena memang begitulah takdir yang ditentukanNya. “Pandai-pandailah mensyukuri apa yang kamu miliki. Kalau mengutip dari Aristoteles, kebahagiaan bergantung pada diri sendiri. Cara mudah merasakannya ya… lihat apa yang kamu miliki sekarang dan bersyukurlah. Kamu bisa saja merasa kurang, tapi kamu tidak tahu kalau di luar sana, pasti ada orang yang berharap bisa memiliki apa yang kamu punya. Aku yakin kamu bisa melakukannya.” Aku sungguh terpesona dengan setiap penggal ucapannya. Sungguh, aku bersyukur ditemukan lelaki sepertinya di tempat asing ini. “Kamu membenciku karena aku orang borjuis?” tanyaku perlahan, hanya untuk memastikan asumsi dasarku beberapa waktu lalu. “Membencimu? Mmm… ya.” Ia menganggukkan kepala. Mendengar jawabannya itu, bibirku kembali melengkung ke bawah. “Awalnya aku tidak menyukaimu—bahkan membencimu—hanya karena melihat bandul kalungmu.” Ditunjuknya bandul bunga lily pada kalung yang menghiasi dadaku. “Yang kutahu, kalian hanyalah sekumpulan manusia penggila modernitas yang mengalami krisis keyakinan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Tapi aku sadar, tidak semua orang borjuis seburuk yang aku pikir. Pasti ada di antara mereka yang masih memiliki darah kebaikan. Dan aku ingin membuktikannya melalui kamu.” “Aku punya darah kebaikan,” sangkalku merengut. “Aku tidak seperti yang kamu khawatirkan. Memang, tidak semua orang di Waluku itu keji, Nagara. Kamu belum mengenal semuanya.” “Aku tahu.” Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Maaf atas sikapku tadi. Aku tak bermaksud begitu. Sungguh.” Kugigit permukaan bibir bawahku dalam-dalam mencegah senyum merekah itu tampak di depannya. Aku tak mau menunjukkan perasaan berlebihan itu. Dasar dopamin sialan! Berhenti membuatku senang berlebihan seperti ini! Kupalingkan wajahku dan menarik napas dalam-dalam. Kuhirup udara bersih dan segar, memenuhi paru-paruku. Mmm… udaranya memang lebih segar dengan pemandangan hijau klorofil dedaunan di sekitarku dan aroma garam yang menyelesak sampai di penciumanku. “Mau berkeliling? Aku bisa mengajakmu pergi berkeliling dan menunjukkan hal-hal yang tidak kamu miliki di tempatmu dulu.” Spontan, aku menoleh ke arahnya dan mengangguk senang. “Boleh, boleh. Ayo!” Saking semangatnya, aku berdiri dan mengulurkan tanganku berniat menggandengnya. Ia mengikutiku berdiri, namun tidak menyambut tanganku, alih-alih melenggang begitu saja melewatiku. Sekali lagi, rasanya aku ingin menenggelamkan diri di Java Sea. Kukibaskan tanganku di udara, menghembuskan napas panjang, dan melangkah riang di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN