Aku terperangah selama diajak berkeliling oleh Nagara. Ia menunjukkan tempat-tempat yang sebelum ini tidak pernah mampir dalam kepalaku—bahkan di dalam imajinasi maupun mimpiku pun tidak. Rumah-rumah penduduk di sini memang tidak seragam, namun terbuat dari kayu berpolitur—ada pula yang dibuat dari batu bata. Bergaya sangat sederhana—ada yang berbentuk rumah panggung juga—dan tidak sebesar bangunan di tempat tinggalku. Aroma alam yang segar, angin semilir, serta bunyi-bunyi di sekitarku terasa begitu nyata. Tempat ini sungguh indah!
Nagara menunjukkan tempat yang disebut sanggar seni; katanya, sanggar itu dibangun ayahandanya. Waktu aku menengadah memandang pada papan yang digantung di pilarnya, aku menyatukan kedua alisku. Kupandang tulisan berbentuk melengkung-lengkung di atas sana, pada papan kayu itu, sungguh asing dalam benakku. Tidak pernah kutemui tulisan semacam itu, karena sepanjang eksistensiku, aku hanya memahami tulisan Latin.
Entah berapa lama aku menengadah ke atas dengan kepala miring mencoba menerka-nerka apa kiranya maksud tulisan pada papan kayu itu. Nagara yang menyadari keingintahuanku segera berkata dengan nada halusnya,
“Itu namanya aksara Jawa.”
“Aksara Jawa?” Aku memandangnya. “Berapa lama kamu mempelajari aksara seperti itu?”
“Aku belajar sejak kecil, Btari. Aksara-aksara Nusantara sudah banyak ditemui di sini dan dekat sekali dengan kehidupan kami.”
Kuanggukkan kepalaku, berusaha memahami dan menjejalkan setiap informasi itu ke dalam kepalaku.
Saat ini matahari telah merangkak naik berada di atas kepalaku. Sejak pagi tadi kami menghabiskan waktu mulai dari lapangan berlatih, melewati beberapa rumah penduduk ditemani berpasang-pasang mata yang memandang defensif dan skeptis di teras, balik jendela, dan lainnya. Lalu berhenti di sanggar pada siang hari.
Di dalam sanggar itu terdapat orang-orang yang menempati posisi berbeda. Ada yang duduk di atas lantai di balik alat-alat musik, ada yang berlenggak-lenggok dengan selendang di tangan, ada pula yang menyanyi di sebelah barisan alat musik. Aku berdiri di samping Nagara mengamati aktivitas itu, menikmati nyanyiannya yang belum pernah kudengar pula. Ah, ke mana sekiranya aku selama ini baru mengetahui betapa indahnya budaya negeriku sendiri? Aku terlalu sibuk mendengarkan lagu hip-hop, RnB, country, dan jazz. Aku terlalu dibuai musik Beethoven, Mozart, Somnium, Einaudi, Bach, Schumann, atau Salopes. Mereka menemaniku sejak aku kecil. Kini, aku mendengarkan lagu yang dinyanyikan menggunakan bahasa daerah dengan iringan gamelan—sesuai penjelasan Nagara. Dengan keadaan seperti sekarang, tak menutup kemungkinan terjadinya akulturasi budaya dari tiap daerah di Nusantara, begitu katanya.
“Setelah kerusuhan di dalam negeri dan memasuki era baru, para budayawan dari berbagai tempat berbondong-bondong membangun wilayah sendiri untuk melestarikan budaya di daerah mereka. Di Pari inilah tempatnya. Semua budaya negeri ini bercampur jadi satu, dilestarikan di tempat ini, di tangan para budayawan. Akulturasi jelas tidak bisa terhindarkan. Namun begitu, kami tetaplah menjaga nilai tradisi negeri ini, menjaganya dari kepunahan.”
Aku membayangkan seperti apa kehidupan negeri ini jauh-jauh masa sebelum sampai di era ini. Tak kusesali setiap detik yang kuluangkan bersama lelaki di sebelahku mengenali budaya negeri ini. Nagara menunjuk sekelompok perempuan dengan selendang yang melenggak-lenggokkan badan mereka.
“Bundaku dulu seperti mereka,” katanya. “Bunda dulu seorang penari semasa mudanya sebelum menikah dengan Ayahanda. Ayahandaku seorang dalang di sini. Setiap Sabtu malam, Ayahanda mendalang di lapangan disaksikan oleh penduduk. Kini, setelah kepergian Ayahanda yang telah dieksekusi mati oleh sekelompok oligarkis dan ditertawakan masyarakat borjuis, posisinya sebagai dalang di sini digantikan oleh dalang lainnya.”
Betapa kusesali diriku ini tidak tahu-menahu. Mama hanya menceritakan segelintir saja. Sekarang Nagara yang menyempurnakan cerita Mama. Ia banyak memberiku pengetahuan, menjelaskan ini dan itu sampai aku mulai memahami segalanya.
“Kamu sering datang kemari?” tanyaku.
“Ya. Aku selalu datang kemari untuk mengawasi mereka.”
“Boleh aku bergabung dengan mereka?” Aku merekahkan senyum bersemangatku. Rasanya tanganku gatal ingin menjamah benda yang digenggam mereka yang berada di barisan gamelan. Atau melenggak-lenggokkan badanku mengikuti tarian sekelompok perempuan di sana. Juga ingin mengetes suaraku seperti sinden di samping gamelan.
“Kamu yakin ingin mempelajarinya?” Nagara tampak sangsi mendengar ucapanku yang sungguh-sungguh ini.
“Aku bersungguh-sungguh. Kapan-kapan, ajak aku ke tempat ini lagi. Aku sangat bersemangat.”
Ia tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tentu saja. Kapan-kapan kita bisa berkeliling di tempat lainnya juga. Kamu pasti suka.”
Aku menganggukkan kepala antusias. Terima kasih pada Presiden Andromeda yang telah mengusirku dari Waluku sehingga aku dapat mengenali keindahan di tempat ini.
Setelah puas menengok sanggar seninya, Nagara mengajakku kembali ke rumah karena sore sudah datang begitu cepat. Aku bahkan tidak menyadari pergantian waktu, terlalu hanyut ke dalam golakan aneh yang menyatu ke dalam darahku. Rasa aneh itu datang, diikuti debar jantungku yang tak menentu tiap berjalan dekat dengan pemuda di sebelahku ini.
“Di tempatmu pasti tidak ada keindahan seperti di sini,” katanya di tengah perjalanan kembali menuju rumahnya. Sudut-sudut bibirku tertarik ke bawah memberikan cebikan masam. Ia memberiku kode untuk mengikutinya. Maka kuikuti saja dirinya dengan langkah panjang-panjang melewati pemukiman nelayan; sudah kukatakan bahwa cara berjalannya memang menguras tenagaku. Meski aku lincah karena tubuhku yang mungil ini, aku tak mampu menyamai langkahnya yang cepat. Sehingga sesekali aku perlu berlarian kecil seperti anak anjing yang mengejar bola mainan mereka.
Kami menyeberang jalan yang dilalui kendaraan, berjalan di pinggir, lantas menyeberang; jalannya sepi, kendaraan yang berlalu-lalang tidak sepadat di tempatku. Langkah kami terhenti sesampainya di dermaga khusus tempat tambatan perahu pribadi yang disewakan. Kami berdiri bersampingan di balik pagar dermaga, menghadap barat untuk menyapa surya sebelum menenggelamkan diri.
Mentari saat ini bersembunyi seperti anak kecil yang malu-malu di balik cakrawala biru cerah, bersemburat jingga menenggelamkan diri di ufuk barat. Senja sebentar lagi datang. Posisi matahari akan segera digantikan bulan dan aku penasaran seperti apa nuansa malam di tempat ini.
Angin sore menerbangkan rambutku, membuatnya berkibar dalam gerakan kecil, beberapa jumputnya menempel di wajahku. Kusingkirkan rambut dari wajahku memandang lurus ke depan. Tidak kusadari, senyum sumringah terbentuk di bibirku menikmati bentang alam yang asri. Kuhirup udaranya dalam-dalam sampai penuh di paru-paruku, menghirup aroma garam. Kudengar suara ombak tenang di bawah dermaga ini. Juga suara cicit burung terbang melintasi awan di atas sana. Maha Besar sekali Pencipta alam ini. Tak pernah kutemui hal seperti ini di tempat asalku.
Menikmati sore di dermaga dengan pemandangan laut, perahu-perahu kecil, kapal-kapal pesiar, matahari yang mulai tersuruk ke dalam belahan bumi dengan langkah lambat-lambat bagaikan laju jam pasir, menjadi sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup untuk saat ini.
“Benar, pasti suasana seperti ini tidak ada di tempatmu tinggal,” Nagara menyeletuk di sebelahku; kemungkinan karena melihat binar-binar di mataku atau senyum yang kutarik sangat lebar hingga menunjukkan lekuk tulang pipiku yang tinggi. Aku menoleh ke arahnya, setuju dengan ucapannya melalui anggukan kepala.
Peduli setan pada rasa takutku terhadap ketinggian dan laut, aku naik pada pagar besi dermaga, menempelkan tubuhku di sana dan mulai merentangkan tanganku seraya memejamkan kelopak mataku. Angin bertegur sapa denganku, menyentuh permukaan kulit wajah serta helaian rambutku yang kubiarkan dibelai lembut bersatu dengan mereka, berbisik-bisik di telingaku laksana kurcaci kerdil yang baru menemukan Putri Salju tengah terbaring di atas ranjang mereka. Aku menyatu dengan alam yang menyambutku baik di tempat ini. Sejenak, pikiranku yang dipenuhi dengan keresahan, gundah gulana, serta masalah-masalah lain yang memberatkan diriku mulai lepas satu per satu bagaikan serbuk baja yang tertarik oleh magnet.
Ini yang namanya kebebasan. Kebebasan mutlak tak terikat milikku. Hanya milikku. Dan di sinilah aku akan memulainya dari awal. Kehidupanku yang baru, yang sesungguhnya, dengan orang-orang yang memperlakukan aku sebagai makhluk sosial yang setara dengan mereka.
Di sini, tempat ini.
*
Malam di tempat ini sunyi.
Suara jangkrik mengerik terdengar bersahut-sahutan di balik pohon rindang yang mengelilingi rumah bagaikan menyanyi di atas panggung opera. Ditambah lagi bunyi debur ombak menghempas bebatuan karang dan burung-burung berkaokan melintasi lautan. Di teras, kudengar Sam bermain seruling seraya duduk di atas birai, bersandar pada tiang rumah. Di sana pula Bunda bersenandung ditemani Mega yang duduk di sebelahnya dengan buku terbuka di atas pahanya.
Lampu bersinar rembang menjadi satu-satunya penerang bagi Mega untuk membaca. Ia amati barisan kata-kata di depannya dengan saksama. Aku berdiri memandang di ambang pintu, kusandarkan tangan serta kepalaku pada kusennya. Batinku terenyuh mendengar lantunan lagu daerah yang dinyanyikan Bunda. Ia pandai betul dalam segala bidang, memenuhi kodratnya sebagai seorang perempuan yang mengayomi rumah tangga. Apalagi menjadi satu-satunya kepala keluarga! Sungguh hebat wanita ini, biarpun baru mengenalnya barang sehari.
Tak kulihat putra sulungnya itu di sekitarku. Sepulang dari dermaga, ia tak menampakkan diri lagi, masuk ke kamar dan tak kunjung keluar sampai malam tiba; saat ini jarum jam dinding menunjuk angka sembilan lebih. Aku bertanya-tanya penasaran, apa yang dikerjakan Nagara di dalam sana sampai membuatnya enggan menampakkan diri.
Kukuku mengetuk kusen pintu perlahan mengikuti irama nyanyian Bunda. Suasana di tempat ini memang berbeda, seratus persen berbeda, dari tempat di mana aku tinggal dan dibesarkan. Suara jangkrik mengerik, seruling, lagu daerah, dan ombak lautan menggantikan suara merdu penyanyi favoritku yang dari Amerika, Joanna McFoy, yang kerap kudengar di kamar.
Mendengar lagu daerah di sini, aku tak pernah dibuat bosan. Justru jiwaku yang semula terasa begitu gulana perlahan-lahan dapat diluluhkan, dibuai dalam ketenangan melalui nyanyian itu. Apalagi yang menyanyi adalah bekas penari seperti Bunda. Aku selalu mengingat sebuah fakta bahwa mendengarkan musik dapat mengurangi rasa sakit kronis hingga dua puluh persen dan meringankan depresi sampai dua puluh lima persen. Tak kusangka tingkat depresiku turun lebih drastis untuk saat ini.
“Mengapa sejak tadi kau hanya diam di sana?” Bunda berhenti bernyanyi. Suaranya itu mampu membuka kedua kelopak mataku yang sempat terpejam tadi.
Aku tersenyum memandangnya. Ia menunggu jawabanku dari tempat duduknya. Kugaruk tengkukku kaku tanpa memberikan jawaban yang diinginkan wanita itu. Tangannya melambai ke arahku, memintaku duduk di dekatnya. Maka, kulangkahkan kakiku menghampiri kerumunan keluarga kecil itu, duduk di atas birai dekat dengan kaki Sam yang diselonjorkan. Sampai detik itu, Sam tidak menghentikan permainan serulingnya. Sehingga aku merasa seperti berada di dalam panggung teater, sedang bermain lakon bersama seorang penari dan dua anak kembarnya yang memegang naskah dan musik pengiring.
“Saya suka sekali mendengar suara Bunda.”
“Suka kau tinggal di sini?”
“Suka sekali, Bunda.”
“Selama kau tinggal di sini, tidak kudengar sedikit pun cerita tentangmu yang lebih banyak. Mengapa kau bisa pergi dari tempat tinggalmu? Setahu Bunda, orang-orang di Waluku sulit berhasil keluar—atau bahkan tidak mau—sampai perbatasan. Apalagi kau sudah dibawa Laut Jawa. Sudah pasti kau jauh sekali dari perbatasan. Bagaimana ceritanya kok bisa sampai di sini, Nduk?”
Kupandangi wanita itu tanpa berkedip. Memang, tidak ada tatapan mengintimidasi di kedua matanya saat ini. Pandangan mata itu justru seakan mengajakku mengeluarkan semua rahasia yang hanya kuceritakan pada putra sulungnya. Aku diam membisu, seperti boneka porselen, berpandang-pandangan dengan Bunda. Kurasa, tidak banyak orang di luar Waluku yang mengenal keluarga petinggi negeri, seperti menteri, apalagi presiden. Yang mereka ketahui hanyalah nama para petinggi negeri itu.
“Bunda tentu tahu Darma Handaru,” kataku pada akhirnya.
Menjawab pertanyaan itu, Bunda mengangguk. “Kenapa dengannya? Kau masih bersanak saudara dengannya?”
“Aku putri tunggalnya, Bunda.”
Seolah ucapan yang terlontar dari mulutku ini terdengar bagaikan petir menyambar, Bunda mendelikkan matanya kaget. Siapa yang tidak kaget jika tahu anak seorang pejabat keluyuran sampai di luar perbatasan! Apalagi anak perempuan! Pastilah ia terkejut bukan kepalang.
“Bagaimana ceritanya anak pejabat lepas dari pengawasan, sampai di luar perbatasan pula?” tanyanya, menerka-nerka apa kiranya yang membikin aku seberani ini keluar dari perbatasan. “Tidakkah orang tuamu mencarimu, Nduk?”
Aku harus tetap waspada pada Sam maupun Mega yang bisa pasang telinga. Meskipun sejujurnya, kekhawatiranku hanya ada pada Mega yang tidak pernah melepaskan tatapan setajam mata tombak itu untukku seorang. Aku diam membisu selama beberapa saat. Seperti yang kuduga, ekor mata Mega melirikku sedikit, lalu ia lekas mengalihkannya menuju buku di atas pangkuannya itu. Apa jadinya jika aku bercerita terus-terang pada Bunda? Aku tidak mempermasalahkannya, yang jadi pertimbanganku hanyalah dua anak remaja itu.
“Tampaknya kau tidak bersedia berbagi ceritamu sekarang?” mengerti pokok persoalanku, Bunda mengangguk-anggukkan kepala. “Yo wis. Kapan-kapan saja Bunda cari tahu lagi. Kau bisa datang sewaktu-waktu ke kamar Bunda, jika ada yang mengganggu pikiranmu. Pintu kamar Bunda terbuka untukmu pula. Sekarang, kau bisa tinggal di sini. Terserah sampai kapan.”
Bibirku melengkung laksana bulan sabit. Betapa baik dan bersahaja wanita satu ini. Sudah menawan, tahu memperlakukan tamu pula! Meskipun tamunya orang asing, datang dari wilayah yang disebut-sebut sebagai tempat tinggal orang-orang pintar namun terbelakang dalam persoalan sosial.
Ya, beginilah keadaan dunia saat ini. Begitu sakit, dihuni orang-orang tak berperikemanusiaan. Aku bahkan menganggap diriku termasuk bagian dari orang-orang sinting itu. Sebanyak apa pun menyangkal aku berbeda dari kebanyakan orang di luar sana yang berkiblat pada ilmu pengetahuan secara berlebihan, mereka yang waras menganggapku ikut sinting. Orang waras yang tinggal terlalu lama di sekeliling orang sinting pasti dianggap sinting pula.
Bunda menyanyi lagi. Ia ajarkan padaku tembang dolanan yang dinyanyikannya. Judulnya Gambang Suling. Aku mengikutinya menyanyi meski ada beberapa bagian yang salah dan sumbang. Sambil tertawa malu, kuikuti lagi nyanyian itu sampai bisa.
*
Esok harinya aku merasa lebih baik daripada kemarin, kemarin lusa, dan kemarin lusanya lagi. Aku merasa segar. Kulenturkan otot-otot tubuhku usai tenggelam dalam alam mimpi, menarik tanganku ke atas dan menguap. Kini pemandangan pagiku tidak sama seperti pagi sebelumnya. Dapat kulihat fajar lambat laun menyingsing di barat. Sinarnya menyusup diam-diam melewati jendela kamarku yang selalu terkuak. Burung berkicau menjadi alarm satu-satunya di kamar ini. Aku mulai membiasakan diri bangun dalam keadaan seperti ini. Malahan, kuanggap sebagai suntikan semangatku yang baru.
Kurang lebih, aku mulai membaur dengan keluarga kecil ini dalam waktu pendek. Sarapan bersama sambil mendengar obrolan serta menjawab pertanyaan-pertanyaan menggunung dari Sam, melihat si kembar pergi ke sekolah setelah mencium punggung tangan Bunda dan mengucap salam, lalu mendapati Bunda menyibukkan diri lagi dengan pekerjaan rumah.
Tentu ada rasa ingin membantu yang mengonfrontasiku. Aku berniat membantunya membersihkan rumah dengan menyapu dan mengepel, namun Bunda melarangku dengan alasan aku masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Tak kepalang tanggung, ia menunjuk putra sulungnya lagi untuk mengajakku pergi keluar.
Tidak seperti kemarin, tanggapan Nagara tak searogan dan sedatar waktu pertama kami bertegur sapa. Kurasa, ia memang tidak pernah membantah perintah ibunya. Namun kali ini, ia mengerjakan perintah itu dengan wajah yang tak semonoton kemarin.
Hari ini Bunda menyebut alun-alun sebagai tujuanku dalam mengenali wilayah ini. Alun-alun kota terletak lumayan jauh dari tempat ini. Butuh setengah jam menempuh perjalanannya menggunakan bus kota. Untuk keluar dari daerah ini, kami menumpang pada mobil bak terbuka. Awalnya aku kesulitan naik ke atas, namun Nagara membantuku naik dengan menggenggam tanganku kuat. Ditariknya badanku ke atas sampai bisa kurasakan kakiku yang beralas selop memijak pada permukaan mobil.
“Yang ini juga tidak ada di tempatku,” kataku, begitu mobil dengan bak terbuka itu mulai melaju meninggalkan asap tebal kehitaman nan pekat dari lubang knalpot, membuntut ke belakang. Aku berdiri, sedang ia duduk menengadah memandangku.
“Sudah pernah kukatakan padamu sebelumnya. Bahan bakar di sini langka, jadi jangan heran kalau jarang ada kendaraan yang berseliweran. Kami lebih senang jalan kaki atau naik sepeda.”
Kuputar badanku, merentangkan tangan di udara. Kuhirup udara pagi ini. Terik matahari tidak lagi panas, aku meyakini diriku bahwa ini sudah mendekati hari di mana hujan akan turun deras. Mungkin dalam beberapa hari ke depan?
“Seperti apa alun-alun kota?” tanyaku, menoleh ke belakang lagi. “Apakah ramai?”
“Tergantung bagaimana kamu mengartikan ramainya.”
“Maksudku, berjejal orang-orang yang berlalu-lalang melakukan aktivitas mereka, berbelanja, bermain di taman kota, semacam itulah.”
“Lihat saja nanti dan nilai sendiri. Ramaikah menurutmu?” Senyumnya muncul detik itu pula.
“Nah!” kataku tiba-tiba. Kuhempaskan pantatku, memosisikan diri dengan duduk di sampingnya selama sisa perjalanan, memandang lurus ke depan pada pepohonan yang semakin lama semakin mengecil hingga raib ditelan jalan. “Coba kamu senyum setiap saat kalau bersamaku. Banyak-banyak pula tertawa. Apa kamu tahu kalau tertawa bisa meningkatkan antibodi sekitar dua puluh persen?”
“Mulai mengguruiku kau, Btari.” Berdecak pelan, ia memandangku. “Siapa yang tidak tahu kalau tertawa itu menyehatkan?”
“Daripada diam saja. Aku jadi merasa kamu tidak menyukai keberadaanku.”
Dahinya mengernyit tidak sependapat. “Mengapa kamu menudingku seperti itu? Masih tak percaya apa yang kuucapkan kemarin?” Ia memiringkan kepalanya. Aku membungkam mulut.
Kami terdiam sebentar. Udara seakan berubah padat menghimpit paru-paruku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya melalui mulut sangat pelan. Kulakukan berkali-kali karena aku mulai merasakan sesuatu aneh menyerang organ pemompa darahku. Memang tidak berdebaran kencang seperti kemarin. Debarnya kali ini aneh. Rasanya seperti ada genderang yang ditabuh di dalam rongga dadaku. Ditabuh berkali-kali tanpa henti. Sakit sekali.
“Kenapa?” ia menyadari ada yang aneh dariku.
“Tidak apa. Aku berdebaran, efek menikmati perjalanan ini bersamamu.”
Bibirnya mencebik ke bawah. Pandangannya beralih lagi, menghindari bertatap muka denganku, alih-alih ditumbuknya perhatian intens itu pada bentang alam di depannya. Hijau sawah serta pohon rindang sudah jarang kami temui beberapa kilo selanjutnya. Sisanya adalah rumah-rumah penduduk yang semakin padat, berdempetan satu sama lain, dengan kemiringan sejajar dan seragam.
“Bawa aku ke sanggarmu lagi,” kataku kemudian.
“Kenapa kamu ingin sekali mengunjungi tempat itu, hm?”
Kupandangi ia dengan tatapan yang menyerukan kalimat seperti ‘kenapa tidak boleh?’ Aku membuka mulut berkata, “Tidak senang ya jika aku datang ke sana?”
“Apa yang sebenarnya membuatmu ingin ke sana?”
“Mengapa pertanyaan itu harus kujawab jika aku tak punya alasan? Aku ingin datang ke sana karena memang begitu kemauanku.”
Ia tatap aku dengan bertanya-tanya, menyelidik melalui dua matanya yang memicing lekat. Oh, masih belum puas kau menginterogasiku! Dikira aku tak memiliki potensi atau kemauan lebih dalam memelajari budaya sendiri, begitu?
Sampai akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mempelajari sesuatu hendaklah dilakukan dengan keinginan yang sebenar-benarnya pula.” Mengambil jeda sebentar, ia menghembuskan napas pendek. Kami bertukar pandang lagi. Matanya yang gelap seolah merayuku, melambai dan berbisik memintaku tetap menjaga pandanganku hanya untuk dirinya. “Bukan karena sesuatu yang lain. Mengerti apa yang kukatakan?”
Hahaha! Bagus, sindir aku sesukamu. Bibirku mengerucut ke depan. Pasti ia mengira bahwa aku ingin memelajari semua ini, mengenal dekat, dan mencobanya menyatu dalam darahku yang memang dibuat hanya untuk tumpah di Tanah Air, semua itu karena dirinya. Tentu saja aku tidak berniat seperti itu! Aku sadar sepenuh hati, ingin menyatukan darah dan denyut jantung serta nadiku untuk kekayaan negeri ini.
Meskipun beberapa persennya juga karena aku ingin diajarinya sampai bisa.
“Berani sumpah, aku betul-betul tulus.” Kedua alisku menyatu kesal.
“Baik. Aku pegang sumpahmu.”
Aku memenangkan perdebatan saling tuding-menuding ini. Kutarik senyum simpul, namun yang terjadi justru munculnya seringai kuda yang langsung membuat tanganku membekap mulutku sendiri. Kami saling berdiaman lagi. Sudah semakin mendekati jalan raya kukira, sebab kendaraan mulai berlalu-lalang dengan suara berisik, lebih banyak daripada di pesisir tadi.
Tempat ini tidak terlalu modern seperti di Waluku yang serba praktis dan dikelilingi oleh mesin. Hampir tidak ada bangunan tinggi dengan menara yang nyaris menyentuh permukaan awan. Bangunan di Pari ternyata dominan terbuat dari kayu. Ada yang kasar, ada yang telah dipolitur sampai halus. Ada yang sederhana, ada yang besar. Namun beberapa di antaranya adapula yang terbuat dari batu bata; mungkin gedung perkantoran. Orang-orang yang melakukan aktivitas mengenakan pakaian ciri khas mereka; pakaian yang disentuh dengan motif batik. Begitu kental suasana tradisional di tempat ini, meski dikepung oleh modernitas. Walau hidup di era sinting, Pari sungguh berbeda dari yang ada di bayanganku.
“Tidak sepadat di Waluku ya,” celetukku.
“Ya kamu bisa menarik kesimpulan. Di era sekarang, bangsa yang mempunyai semangat melestarikan peninggalan nenek moyang sudah banyak yang menurun.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Coba aku balik tanya, pernah Mamamu mengenalkan dakon atau congklak saat kamu masih kecil?”
“Dakon apa?” Apa pula itu dakon!
“Nah, kau bahkan tidak tahu apa itu dakon.” Nagara berdecak mencemooh. “Dakon itu permainan anak-anak yang populer di luar wilayahmu. Kalau dari kecil saja sudah tak dikenalkan pada hal-hal kecil seperti itu, Btari, mau dikenalkan budaya seperti apa nanti besarnya?”
Aku mengatupkan bibir rapat, semakin malu. Mama tak pernah mengenalkanku pada budaya Tanah Air tempatnya lahir ini, sebab orang tuanya pun tidak pernah membuka pengetahuan tentang budaya negeri ini padanya. Mama terbiasa hidup di kelilingi arus postmodern yang berkembang begitu pesat. Sungguh disayangkan.
Mobil bak terbuka yang mengangkut kami dari desa berhenti di depan halte. Dengan bantuan Nagara, aku bisa melompat turun, berpegangan pada tangan serta pundaknya, sedang tangannya yang bebas melingkar erat di sekitar pinggangku. Ada sengatan kecil di jantungku begitu mata kami bertemu sesaat dan kurasakan helaan napasnya yang hangat di leherku, sebelum akhirnya ia melengos mengalihkan pandangan. Kuikuti dirinya melangkah melewati orang-orang yang memandangku tertarik dari puncak kepala sampai ujung kaki. Namun sebagian dari mereka ada pula yang tersenyum ramah padaku.
Tersenyum, iya, padaku. Menurutku itu keajaiban yang jarang di era sinting ini. Atau memang aku baru tahu kalau orang-orang di sini senang mengobral senyum?
Aku balik senyumi mereka, lebih merekah bagai bunga matahari mekar, lantas masuk ke dalam bus kota setelah tanganku diseret lembut oleh Nagara. Kami mencari tempat duduk, aku memilih berada di dekat jendela, karena aku suka melihat pemandangan dari balik kaca jendela sepanjang perjalanan.
Sekelompok pemuda berbondong masuk ke dalam bus membawa alat musik berbeda. Hampir semua alat musik yang mereka bawa aku kenali; biola, gitar, seruling, dan banjo. Kuamati mereka, bernyanyi menghibur penumpang dengan iringan musik yang memiliki tempo andante dan moderato. Karena menikmati lagunya, di luar kesadaran, aku menggerakkan kepalaku memandangi mereka. Para musisi muda itu tersenyum ramah padaku, terus menyanyi dengan suara yang merdu. Keren! Tiada nada sumbang yang kudengar! Mereka berbakat menjadi musisi terkenal yang memiliki pertujukan besar sendiri.
“Genre apa yang dibawa mereka?” tanyaku.
“Itu namanya keroncong,” jawab Nagara seperti biasa. Kalau begini, aku jadi merasa seperti murid TK yang butuh bimbingan guru untuk mengajarkanku sesuatu yang sederhana. “Bunda paling senang mendengarkan lagu Bengawan Solo.”
Kuangkat tanganku, melambai-lambai sampai menarik perhatian barisan musisi muda itu. Salah satu dari mereka menatapku sambil menaikkan kedua alisnya. “Bisa kalian bawakan Bengawan Solo?”
“Tentu, untuk dara yang ayu ini.”
Mereka mulai menyanyi lagu yang kuminta itu. Aku mengamati penampilan mereka dari tempat dudukku. Tak kuhiraukan pandangan di sampingku, yang menusuk leherku seperti waktu itu. Perhatianku hanya kuserahkan sepenuhnya pada musisi itu. Pemandangan yang tak biasa bagiku. Entah mengapa, aku merinding mendengar lagu itu, seolah-olah ada sesuatu yang telah menyatu ke dalam diriku, membuatku nyaman, tentram, dan sangat bahagia. Sungguh-sungguh bahagia! Lepas sudah semua yang berkecamuk hebat dalam dadaku. Aku merasa sangat senang tinggal di sini, tempat baruku.
*
Alun-alun kota L ini tidak besar, tidak juga terlalu kecil. Ada taman kota, tempat bermain anak-anak kecil dan keluarga yang menghabiskan waktu bersama. Kuamati keadaan di sekelilingku. Banyak sekali hal-hal asing yang kulihat di sekitarku. Ada seorang pria tua menggelar lapak dan menawarkan barang dagangan. Lalu wanita paruh baya dan tua yang melakukan kegiatan serupa. Banyak sekali para penjaja barang-barang di pinggir jalan.
Aku berjalan riang seperti pegas yang ditekan, berhenti pada masing-masing penjual yang menawarkan barang-barang dagangan mereka. Sangat menjamur sekali penjual di sini. Barang yang ditawarkan pun ada yang seragam, ada yang tidak. Nagara bilang, semua barang yang mereka jajakan merupakan warisan budaya dari nenek moyang. Aku melewati seorang wanita paruh baya yang menunjukkan kain bercorak warna-warni di tangannya pada beberapa pembeli saat melakukan tawar-menawar. Wanita itu menjajakan dagangannya padaku, berupa tas dengan corak sama seperti barang-barang lainnya, dengan nada cepat dan bahasa yang tak kumengerti. Namun akhirnya ia menggunakan bahasa yang kupahami saat beberapa pembeli yang kurasa tidak begitu menguasai bahasanya mulai menanyakan harga.
Oh, rupanya, barang-barang itu disebut kerajinan tangan tenun songket, kalau berdasarkan yang kutangkap dari kalimatnya saat menawarkan dagangan. Lantaran masih ingin berkeliling, aku melanjutkan langkahku.
Dengan keingintahuan besar, aku berhenti tiba-tiba dan meracau bertanya pada penjual di depanku, seorang pria tua dengan kumis melintang dan sebagian rambutnya memutih. Aku bertanya macam-macam, yang dijawab dengan gembira ria sambil sesekali menyebutkan harganya. Dikira aku akan membeli barang-barang dagangannya.
“Boleh aku membeli semua itu?” Kupalingkan wajahku meminta persetujuan Nagara yang menunggu di belakangku.
“Memang kamu punya uang sebanyak apa?” celanya.
Sial, aku kan sudah melarat, tidak punya uang sepeser pun. Kucebikkan bibirku ke bawah, menggelengkan kepala ketika pria tua itu menawarkan barang-barang dagangannya.
“Tidak usah khawatir, Cah ayu. Ini gratis untukmu. Untuk perempuan sejelita dirimu, sekiranya dewi ini cocok bagimu,” katanya dalam bahasa daerah.
Aku memandang Nagara lagi, meminta penjelasan. “Apa katanya?”
“Dia memberimu cuma-cuma.”
Mataku berbinaran menerima satu dari sekian barang yang ditawarkan pria tua itu padaku. Kuterima benda berbentuk pipih yang lebih mirip selembar boneka gepeng—entah terbuat dari apa, sepertinya dari kulit kerbau? Kuamati benda itu baik-baik, membolak-balikkannya seperti seorang kikir yang mengamati selembar uang berharap tak mendapatkan cacat. Mataku terpaku, lalu menatap si pria tua.
“Itu Wara Srikandi dalam pewayangan Jawa, simbol keberanian wanita,” berbisik di sebelahku, Nagara menjelaskannya, mencegahku mempermalukan diriku sendiri dengan bertanya pada pria tua itu. “Nama benda ini wayang kulit.”
Kami berjalan bersama meninggalkan lapak si pria tua setelah menganggukkan kepala untuk pamit. Perjalanan berlanjut mengelilingi alun-alun yang ramai oleh aktivitas masyarakat. Di sini lebih banyak kutemukan aksara-aksara kuno daripada aksara Latin. Aku seakan ditarik oleh pusaran waktu yang membawaku menuju zaman klasik sewaktu negeri ini masih bernama Nusantara.
Tentu saja, di Pari tidak hanya dipenuhi dengan kebudayaan Jawa. Ada kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari wilayah lain dan berada di tempat lain pula. Bercampur dan dilestarikan bersama-sama menghindari kepunahan. Apabila sering kutemukan orang di tempatku yang malah berlomba-lomba menaiki kursi jabatan setinggi-tingginya, justru di sini masyarakatnya berlomba-lomba menjaga peninggalan nenek moyang.
Nagara berjanji akan membawaku ke tempat lain yang menyimpan kebudayaan lain pula.
“Indah sekali di sini,” kataku di tengah-tengah langkah kami menuju taman. “Bagaimana bisa hal-hal seindah ini dilupakan pemiliknya?” Layaknya anak kecil yang belum tahu apa-apa, aku menoleh ke arah Nagara. Ia balik memandangku sedetik, sebelum akhirnya beralih menuju ke tempat lain.
“Karena masyarakat negeri ini dulunya malu mengenal budayanya sendiri dan menganggapnya terbelakang. Mental inlander peninggalan masa kolonial yang mendoktrin masyarakat konsumtif mulai berpikir segala sesuatu yang berasal dari asing itu menakjubkan. Negara ini terlalu banyak dihuni masyarakat xenosentris,” katanya. “Jauh-jauh masa saat agama Hindu, Budha, Islam, bahkan Kristen memasuki Nusantara dan bercampur dengan kebudayaan serta tradisi di Jawa, nilai-nilai tradisi Jawa tidak ada yang berubah. Hanya satu alat yang mengubahnya beberapa waktu selanjutnya.” Dipandangnya aku seperti meminta jawaban.
“Modernitas?”
“Nah, benar, itu satu-satunya alat yang berhasil mengubah tradisi Jawa.” Ia menghembuskan napas panjang, memandangku lagi. “Di sini, kami yang menempati Pari, hidup sebagai makhluk sosial yang memiliki kepribadian. Seperti yang pernah disebutkan oleh Presiden Sukarno; berkepribadian dalam kebudayaan. Yang berarti hidup di era modern tanpa menghilangkan identitas diri, yaitu kebudayaan Nusantara. Kamu tahu, kan? Yang namanya modernitas itu memuja yang baru dan meninggalkan yang lama.”
Aku jadi teringat sesuatu, salah seorang teman sekolahku memiliki darah Sunda dari neneknya, namun ia tak pernah bisa berbahasa Sunda. Bahkan ia menganggap berbicara bahasa daerah itu ketinggalan jaman.
Alun-alun ini lumayan luas. Ada empat air mancur berbentuk bunga tulip pada masing-masing sudutnya—dari tempatku berjalan, terlihat keempat air mancur tersebut yang menyemburkan air jernih, membumbung tinggi dan ditampung di kolam kecil yang memutarinya.
Berhenti di salah satu bangku taman, aku memandang pada kesenangan bocah-bocah yang berlarian kian-kemari sambil tertawa-tawa, bermain petak umpet, dan ada pula yang menangis karena terjatuh sampai lututnya berdarah.
“Aku merindukan masa kanak-kanakku,” tukasku.
“Manusia hidup mana yang tidak pernah merindukan kenangan mereka?”
Kulihat ia menengadah, memandangi potongan awan, menerawang ke atas, tampak berusaha membawa kenangannya di tengah-tengah kami.
“Kenangan siapa yang paling sulit kamu lupakan?” Pertanyaan macam apa itu? Tidak seharusnya aku mengucapkan pertanyaan seperti itu padanya.
“Apalah arti kenangan, itu sudah masa lalu. Aku hidup untuk hari ini dan esok,” balasnya.
Rupanya, ia tidak mau membahas kenangan apa pun yang dimilikinya padaku. Maka aku mengganti topik pembicaraan saja daripada membuat keadaan jadi kaku.
“Kamu masih sekolah?” Nah, pertanyaan macam apa pula itu? Kadang aku ingin menyelotip mulutku yang keterlaluan ini. Sungguh tak sopan menanyakan hal-hal seperti itu pada orang lain.
“Tamat tahun lalu,” ia menjawab pendek. Beberapa detik aku menunggu, mengira ia akan melanjutkan lagi. Kutunggu saja sampai bicara, tapi tak kunjung ada lanjutan darinya. Mataku mengekor ke arahnya.
“Berarti kamu satu tahun lebih tua dariku?”
Pada akhirnya ia menoleh ke arahku. “Berapa usiamu?”
“Delapan belas.”
“Hm.”
Aku curiga ia punya alter ego. Sebentar-sebentar ia bisa sangat menyenangkan, sebentar-sebentar lagi ia memperlakukanku sambil lalu. Atau ada masalah dengan pergantian suasana hatinya? Bagian pikiranku yang paling bodoh menyebut bisa saja ia bipolar. Tuduhan keji memang. Atau jangan-jangan ia punya gangguan kepribadian skizoid?
Kuperhatikan ia dari samping. Mau diamati dari sisi manapun, ia tetap menakjubkan. Jantungku berdebar tak keruan. Apakah aku betul-betul menyukainya? Sungguh konyol mengingat bahwa kami baru saling mengenal. Tapi, aku tak dapat mengelak rasa ini. “Nagara.”
Ia menoleh. “Ya?”
“Kamu tahu apa itu cinta sejati?”
Praktis, dahinya mengernyit menatapku. Jari-jemarinya diketuk pada punggung bangku panjang putih saat tangannya disandarkan di sana. Sekali lagi ia menengadah seperti menerawang, entah memikirkan jawabanku atau justru tidak tahu dan memilih tak menjawabnya.
“Kamu pasti mengenal Plato dan muridnya, Aristoteles,” katanya setelah itu.
“Tentu saja. Aku belajar filsafat dasar di sekolah.”
“Ya. Tentu saja kamu sudah memelajarinya,” nadanya berubah seperti dengusan pendek. “Pernah kamu mendengar dialog di antara mereka mengenai pertanyaan yang kamu ajukan itu?”
Aku menggeleng. “Yang kutahu hanyalah pemikiran mereka.”
Nagara menggelengkan kepalanya sembari berdecak. “Pertanyaan seperti itu pernah diberikan Aristoteles pada Plato. Suatu ketika, Plato meminta Aristoteles pergi ke sebuah taman bunga dan memetik satu bunga yang menurutnya terindah.”
Ia mulai bercerita mengenai dialog antara Aristoteles dan Plato tentang arti cinta sejati. Bertanyalah Aristoteles pada Plato, yang lalu dijawab Plato dengan meminta muridnya pergi ke taman dan memetik setangkai bunga yang menurutnya paling indah. Mengikuti perintah gurunya, Aristoteles pun pergi ke sebuah taman. Didapatinya satu tangkai yang indah, namun Aristoteles pikir di dalam sana akan ada yang lebih indah daripada yang dilihatnya kala itu.
Sayangnya, Aristoteles tidak lagi mendapatkan bunga yang lebih indah daripada yang pertama. Kembalilah ia pada Plato tanpa membawa apa pun, sebab bunga pertama yang dilihatnya tadi telah dipetik oleh orang lain. Dan kurang lebih seperti inilah jawaban Plato: “Seperti itulah cinta sejati. Semakin mencari yang lebih baik, maka kamu tidak akan pernah menemukannya. Jangan pernah menyia-nyiakannya pula. Boleh jadi ia akan segera diambil orang lain.”
“Jadi, aku tak boleh menyia-nyiakan cinta sejati?” tanyaku. Aku teringat Regal yang dulu pernah menarik minatku. Namun hanya karena aku tidak berani mendekat dan justru memilih mengamati dari jauh saja, ia telah menjadi milik orang lain.
Kini aku tidak akan menyia-nyiakan cinta itu. Tidak ada yang tahu kesempatan terbaik manakah yang dimiliki manusia. Semakin cepat, semakin baik pula. Maka aku memandangnya lekat. Kami saling bersipandang hingga dapat kutemukan bayanganku yang terpantul di dalam matanya yang gelap itu. Aku melanjutkan,
“Aku mencintaimu.”
Tak kusangka, ia tidak kaget mendengarnya, alih-alih menertawakanku. “Tahu apa kamu soal cinta?”
“Kamu baru saja memberitahuku.”
“Dan dengan cepat kamu menyimpulkan begitu?”
Aku tak menjawab lagi. Kebisuan merambat cepat di antara kami. Mengapa ia tidak yakin dan percaya padaku? Sesulit itukah mendapatkan kepercayaannya?
“Aku tak perlu meyakinkan dua kali, kan?” kataku pada akhirnya memecah keheningan. Dipandangnya lagi aku tanpa berkata-kata. “Aku merasa senang setiap berada dekat denganmu. Perasaanku sangat aneh, digoncang bak bahtera yang dihantam badai begitu hebat. Pernah kamu mendengar ungkapan Albert Einstein bahwa gravitasi tidak berlaku untuk orang jatuh cinta? Aku seperti tak berpijak pada bumi dan dibikin melayang ke atas. Dan aku yakin, sebagai seorang berwawasan luas, kamu pasti tahu kalau otak manusia yang sedang jatuh cinta akan memproduksi dopamin lebih banyak, yang membikin seseorang merasa gembira sangat berlebihan. Itu yang kurasakan belakangan ini dan aku kesulitan menyembunyikannya. Kupikir kamu tahu itu.” Kepalaku terteleng ke satu sisi. “Pernah kamu merasakan hal demikian?”
“Makhluk sosial mana yang tidak pernah merasakan sesuatu seperti itu?” ia balik bertanya, menjawab pertanyaanku. Tandanya, memang ia pernah jatuh cinta pada seseorang. Akan tetapi, aku tidak banyak berharap lebih padanya. Orang macam dirinya tampak sulit digapai. “Seseorang yang tidak pernah jatuh cinta ibarat manusia tanpa jiwa.”
“Jadi, apa kamu merasakan sesuatu itu untukku?” Sayangnya, aku telanjur penasaran. Sekiranya ia bersedia menjawab ya atau tidak, itu sudah cukup bagiku.
Dihelanya napas panjang. “Aku akan memberitahumu seperti yang dilakukan Plato pada muridnya.”
“Sungguh?”
“Bukan sekarang.”
“Kenapa begitu?” Bibirku melengkung ke bawah.
“Karena kita akan pulang.” Tidak mengacuhkan ekspresi merengut di wajahku, Nagara berdiri dan memberi kode padaku agar lekas beranjak. “Ayo.”