“Bagaimana sekolahmu, Bi?” Mama bertanya padaku di meja makan ketika kami sedang menikmati makan malam bersama-sama seperti biasa.
Rona, pelayan kami yang setia menyiapkan makan malam di atas piring masing-masing. Orang Waluku mengambil masyarakat proletar dari Vrischika untuk dijadikan pesuruh di sini. Tentunya, setelah mereka melakukan serangakaian tes IQ serta pemeriksaan kesehatan. Apabila hasil tes IQ dan kesehatan mereka memuaskan, maka mereka lolos untuk dijadikan pesuruh bagi masyarakat borjuis. Rona salah satu yang lolos menjalani tes IQ serta kesehatan dan dipastikan dapat bekerja secara jujur berkat sodium pentothal yang digunakan dalam proses interogasi sebelum dinyatakan bersih. Begitu mereka lolos, otak mereka dicuci dan membuat mereka melupakan siapakah jati diri mereka sebenarnya, di mana mereka tinggal dulu, dan seluruh kenangan yang mereka miliki. Gunanya menghindari terjadinya pengkhianatan dan kebocoran keamanan dari kelompok pemberontak.
Aku mengamati makananku dengan tatapan jemu. Sepotong paha ayam di atas piring tipis dengan hiasan berupa kol dan bayam. Aku menaikkan sebelah alis, mulai membelah paha ayam itu menggunakan pisau menjadi dua. Bagi orang yang tak memahami cara memasak orang sini akan terperangah, namun aku bersikap biasa saja saat kudapati isi telur ayam setengah matang yang telah melumer di atas piringku. Masyarakat di sini memang mengembangkan kuliner dengan teknik gastronomi molekuler atau teknik penggabungan antara sains dengan kuliner, menjadikannya sebagai makanan pokok sehari-hari. Latar belakang didiami lebih banyak orang cerdaslah yang membuat kami menikmati makanan mewah yang dibuat menggunakan nitrogen, zodium alqinet, kalsium klorida, natrium alginat, dan unsur sains lainnya dengan perantara mesin.
“Baik, Ma. Ada guru baru yang mengajar Biologi,” jawabku mulai menggigit potongan pertama lapisan daging dengan rasa telur itu dari garpuku.
Papa berdeham kecil. Diraihnya segelas air putih di dekat tangannya dan memandangku setelah itu. “Tidak ada yang mengganggumu, kan?”
Aku menggeleng. “Tidak ada, Pa. Aku baik-baik saja di sekolah, seperti biasa.” Dalam waktu singkat saja aku sudah menyelesaikan makanku. Kami dituntut untuk melakukan pekerjaan tepat waktu. Kuraih gelas air putih di dekatku dan mulai meneguknya. Ada esensial stroberi yang menyatu bersama indera perasa.
Jarum jam pendek di ruang makan menunjukkan angka delapan tepat. Aku terbiasa hidup dengan jadwal-jadwal yang terstruktur. Maka setelah menyelesaikan makan malam, aku memundurkan kursi dan berpamitan untuk belajar di kamar.
“Oh, Sayang. Jangan lupa jadwal pemeriksaan kesehatan rutinmu,” ucapan Mama menghentikan langkahku.
“Tentu. Rabu depan jam sepuluh di GMC.” GMC kepanjangan dari Government Medical Center. Kuumbar senyum manis madu pertanda bahwa aku mengingat dengan jelas kapan waktuku menjalani pemeriksaan kesehatan rutin.
“Bagus. Jangan tidur terlalu malam, ya.” Mama tersenyum, lantas berlalu bersama Papa.
Aku menghabiskan malam itu dengan belajar seperti biasa untuk menghadapi pelajaran besok di sekolah. Menghidupkan komputer, aku mulai membuka-buka buku dan mengerjakan tugas. Jemariku ketak-ketik pada keyboard virtual di atas meja belajar, menciptakan kelap-kelip. Pandanganku lurus menuju pada layar transparan berukuran sedang yang memuat lembar kerja. Baru aku mengerjakan beberapa kalimat, ada bunyi ping pertanda pesan masuk di terminal. Aku memilih pilihan chat dengan menggerakkan jariku di depan layar sehingga pesan masuk tersebut mulai tersambung dengan obrolan online di komputer.
Quinita: hello ^^
Itu Queen. Quinita Valjean, teman baikku di sekolah, gadis berkaki jenjang dengan hidung mancung dan memiliki beberapa persen wajah Eropa dari Papanya—ia peranakan Prancis. Tidak sepertiku, ia lahir dari proses normal, bukan dari proses rekayasa genetika seperti kloning. Ia manusia normal.
Setengah jam mengobrol bersama Quinita, aku melanjutkan PR. Seluruh PR dikerjakan menggunakan bahasa Inggris, bahasa internasional yang telah ditetapkan sebagai bahasa wajib bagi lembaga-lembaga penting di samping bahasa kami sendiri. Kira-kira sejak tahun 2045 sistem seperti ini diberlakukan di seluruh negeri ini. Ralat, mungkin hanya di wilayah ini. Sebab aku yakin masyarakat di luar Waluku tak sudi mengikuti sistem yang ditetapkan oleh pemerintah yang hanya mengambil keuntungan sebelah pihak.
Aku mengucek mata mulai mengantuk. Sekiranya dua jam aku duduk di depan komputer bagaikan dua magnet yang memiliki kutub berbeda. Aku sudah menyelesaikan PR kurang lebih setengah jam. Kukirim soft filenya ke alamat terminal guru pengampuku untuk langsung dinilai. Barulah aku mematikan komputer, membuat layar transparan di depanku lenyap diikuti keyboard virtual yang berhenti berkedip-kedip, sebelum berbaring tidur.
*
Suasana di dalam kelas Matematika yang semula ribut lamat-lamat berubah tenang begitu guru Matematika kami, Miss Emilia, melenggang masuk dengan derap langkah kakinya yang kaku. Ia meletakkan tas beserta buku-bukunya di atas meja dengan rapi, membenakan letak kacamatanya yang melorot, lantas menyapa kami dengan suara monotonnya seperti robot. Aku tak pernah mengatakan bahwa guru-guru di sini semuanya ramah. Rata-rata orang di wilayah ini sulit menampakkan kejelasan emosi mereka. Untung saja aku tak sekaku mereka. Aku banyak bicara dan bertanya. Teman-temanku sering menjulukiku Btari The Wants To Know saking seringnya aku mengoceh untuk menanyakan hal-hal terkecil sampai puas.
“Morning, Children.”
“Morning, Mam.”
Telunjukku terketuk-ketuk di atas meja seraya bersendang dagu mengamati Miss Emilia yang mondar-mandir menerangkan bab baru di kelas ini. Tangannya dilipat di belakang punggung dengan tubuh tegak dan dagu yang ditarik ke atas sedikit. Wanita itu berumur sekitar tiga puluhan dengan rambut hitam yang diberi sentuhan pirang pada beberapa jumputnya, digelung ke atas dengan rapi.
Entah mengapa aku jadi gugup menghadapi pemeriksaan kesehatan yang sudah sering kulakukan. Aku mengkhawatirkan kesehatanku. Bagaimana jika mereka menemukan kecacatan padaku? Bagaimana jika aku diusir dari tempat ini?
Gigiku terbenam pada permukaan bibir bawah kuat-kuat. Pikiranku melalang-buana, mengembara selama yang ia bisa, berputar-putar, berkeliling, melompat, tak mau kembali ke batas kesadaran. Sedari tadi pandanganku tertuju keluar jendela, entah ke mana, aku hanya dapat mengamati burung-burung terbang berarakan melintasi awan putih yang menggumpal padat. Aku penasaran, bagaimana asyiknya menyentuh awan. Apakah seperti kapas? Atau justru seperti udara hampa?
Di sini memang ada yang mengembangkan awan buatan. Beberapa dekade lalu, seorang seniman Belanda bernama Berndnaut Smildeas berhasil membuat awan buatan yang tak dapat bertahan lama. Dari sanalah masyarakat postmodern mulai berbondong-bondong mengembangkan penemuan seni Smildeas dengan menciptakan serupa, yang lebih mendekati aslinya, tentu saja. Sayangnya, aku lebih tertarik menyentuh awan asli ketimbang buatan.
“Btari Pembayun.”
Mendengar nama terangku dipanggil dengan nada sarkastis, aku menoleh secepatnya pada Miss Emilia yang melipat tangan di depan d**a. Kepalanya dimiringkan ke satu sisi, mengamatiku dengan tatapan skeptis.
“Yes, Mam?”
“Will you solve the problem there?” Miss Emilia menunjuk lightboard dan memintaku mengerjakan salah satu soal yang ditulisnya di sana.
Mendesah pendek, aku berdiri dari tempat duduk, maju ke depan dan menggerakkan jariku di depan layar. Jemariku menari lincah di depan lightboard dengan teknologi leap motion, mengerjakan soal tersebut di luar kepala. Seolah otakku sudah terhubung dengan semua materi-materi pelajaran, aku dapat menyelesaikan soal di lightboard dalam waktu singkat. Miss Emilia menaikkan sebelah alisnya menyadari kecepatan berpikirku. Mungkin ia tidak tahu kalau aku bagian dari manusia rekayasa genetika. Dan kurasa jika ia tahu pun, aku yakin ia peduli setan denganku.
“Well done.” Ia tersenyum kecut. Telunjuknya mengacung pada bangkuku lagi memerintahku duduk. Aku tersenyum sekilas, lantas melenggang pergi menuju bangkuku sendiri dan menempatkan bokongku di atas kursi.
Quinita menyengir kuda ke arahku. Aku tahu Miss Emilia berniat mempermalukanku jika aku tak dapat mengerjakan soal yang diberikannya di lightboard. Berdua, aku dan Quinita menjotoskan kepalan tangan kami.
*
Kafetaria penuh sesak oleh murid-murid yang berjubelan mencari tempat duduk. Aku berdiri berbengong ria tidak mendapat tempat duduk yang telah penuh. Quinita menggerutu kesal, memaki dalam bahasa Prancis, sebab paling malas kalau disuruh mencari tempat kosong atau bahkan makan di tempat yang ramai. Namun sayang, perutnya berdemo, bertolak belakang dengan ucapannya yang memintaku pergi saja.
“Je déteste ma vie!” Ia menekan perutnya, merasa keroncongan. Dari sini kulihat ia memberengut lantaran tak memiliki opsi lain kecuali rela mengantre di depan konter makanan.
“Begini saja, aku tahu kamu tidak suka mengantre. Bagaimana kalau aku yang mengantre, kamu yang mencari tempat kosong?”
Quinita meniup poninya ke atas, mendesah frustrasi. Bibir mungilnya mengerucut miring seperti ikan cupang. Ia melangkah malas, berjubelan dengan lalu lalang pengunjung kafetaria mencari tempat kosong. Maka, aku berdiri di belakang antrean seperti ekor ular. Begitu antrean telah terpotong satu per satu, aku berdiri di barisan terdepan, memasukkan uang koin ke dalam mesin konter untuk mendapatkan dua baki beserta makanan di atasnya. Lalu jariku menekan pada tombol-tombol virtual mesin itu, baru menunggu prosesnya selesai. Dua baki muncul dari dalam mesin, selanjutnya diikuti oleh dua makanan berbeda bentuk pada masing-masing baki. Aku memilih makanan berbentuk daging panggang sementara kupilihkan bentuk sandwich ikan tuna untuk Quinita. Usai memilih makanan, aku mulai mengambil dua kaleng s**u di vending machine.
Memisahkan diri dari konter, aku membawa dua baki di kedua tanganku, mencari-cari sosok Quinita di tengah kepadatan pengunjung kafetaria. Tangannya terangkat tinggi-tinggi, melambai kepadaku bagaikan nyiur kelapa, memberi kode. Dengan segera aku melangkah menuju ke arahnya. Kuletakkan baki-baki makanan ini ke atas meja. Quinita menyeret satu baki dariku, mulai menggigit makanannya sambil mengutak-atik jam tangannya. Layar transparan berukuran sedang muncul di udara. Jarinya dilarikan kian-kemari, menyentuh pilihan-pilihan pada layar transparan itu. Ia tertawa, membuatku mengernyit dan menyikutnya.
“Forum kelas online.” Deretan gigi Quinita yang rata dan putih dipamerkan dalam bentuk cengiran. “Ramai sekali di sana. Memangnya kamu tidak pernah menengok forum kelas, Bi?” Quinita menekan tombol di salah satu jam tangannya. Layar transparan itu lenyap detik selanjutnya.
“Kalau tidak ada yang penting untuk apa kutengok.” Aku mengedikkan bahu, menggigit makananku.
“Mereka sedang membicarakan proyek perkembangan terakhir penelitian dan percobaan ilmuwan dunia yang berusaha mendapatkan energi fusi nuklir,” katanya sembari sesekali mengunyah.
Aku mengangguk. “Aku sudah pernah dengar. Prancis yang memulai beberapa dekade lalu dengan melakukan serangkaian percobaan dalam proyek bernama ITER di Cadarache, kan? Mereka meleburkan atom deuterium dan tritium dengan panas mencapai seratus lima puluh juta derajat celcius di sebuah wadah yang dilindungi oleh tokamak. Seratus lima puluh juta derajat celcius! Hampir mendekati sepuluh kali panas inti matahari.” Mataku melebar diikuti cebikan bibir Quinita.
“Kalau para ilmuwan dunia berhasil menciptakan energi yang efisien, ramah lingkungan, dan tak terbatas itu, maka seluruh dunia akan mendapatkan energi baru yang bisa menyelamatkan manusia dari kelangkaan minyak bumi. Sebentar lagi mimpi itu bakal terwujud.” Quinita tertawa senang seakan-akan proyek tersebut akan menyelamatkan hidupnya pula. Aku hanya mengedik.
“We’ll see.”
Mendadak, mata Quinita membulat lebar menemukan pujaan hatinya yang melangkah melewati meja-meja di kafetaria. Mulutnya ternganga sebesar karung, lalu ia berteriak kegirangan.
“Mon Dieu! Pangeranku ada di sini, Btari! Lihat di sebelah sana!”
Aku mendesah pendek, membekap mulut Quinita yang sukses menarik perhatian hampir separo pengunjung kafetaria. Mataku mendelik memeringatkannya.
“Kamu sadar kalau teriakanmu itu setara dengan panggilan paus Bungkuk yang bisa didengar sampai 500 mil?”
Quinita menepis tanganku, mengernyitkan dahinya kesal. Ekspresi memberengut tampak di wajah indonya yang bersih. “Maklumi saja orang yang sedang jatuh cinta. Dopamin sedang bekerja ekstra.”
“Jangan berteriak di kupingku lagi, Queen.” Aku menyentil poni Quinita.
“Itu namanya melepaskan ekspresi, Bi. Itu caraku mengekspresikan diriku.” Dengan memasang tampang sok memelas, Quinita menepuk pundakku. “Sekali-kali kamu lepaskan bebanmu dengan berteriak. Kalau kulihat-lihat, kamu seperti remaja yang kurang bahagia.”
“Bahagiaku dengan bahagiamu itu beda versi.” Bola mataku terputar ke atas.
“Well, bahagia seperti apa yang kau cari? Bertemu Romeo yang rela mati demi dirimu? Atau pangeran Phillip yang akan membangunkanmu dari tidur dengan ciuman?” Ia tergelak luar biasa.
Kutangguhkan makanku sejenak. Aku tidak pernah mengatakan kehidupanku tidak bahagia. Memiliki orang tua penyayang saja sudah menjadi kebahagiaan bagiku. Hanya saja sampai sekarang, aku belum tahu apa yang sebenarnya ingin kucari. Rasanya ada yang kurang dari kehidupanku.
*
Aku duduk dalam diam mengamati teman-temanku yang mulai berlatih karate di arena. Saling membanting tubuh lawan di atas matras. Bukan maksudku ikut ke dalam ekstrakulikuler yang bisa saja mematahkan tulang-tulangku. Kata Mama, badanku terlalu kecil dan tidak cocok ikut olahraga berat seperti karate. Aku menghabiskan waktu duduk di tribun hanya untuk menikmati latihan. Quinita bukan termasuk orang yang senang melakukan olahraga ekstrim. Hidupnya adalah kuteks, baju mahal, sepatu bermerek, dan kosmetik. Jadi aku sendirian di tempat ini sekadar mengamati latihan rutin.
“Hai, Bi.” Seseorang menepuk pundakku dan langsung duduk di sebelahku tanpa meminta izin terlebih dulu. Kepalaku bergerak ke samping mendapati salah satu teman kelasku, Regal, duduk dengan senyum manis ramahnya. “Masih tidak ada niat masuk ke klub karate?”
Sudut-sudut bibirku mencebik ke bawah memberikan balasan yang jelas. “Mama bilang aku tidak pantas ikut.”
“Sayang sekali.” Ia meneguk minuman langsung dari mulut botol, lantas mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Sebenarnya, ia tipe pria idaman di sekolah ini. Ayahnya bekerja di parlemen sebagai menteri pertahanan; aku menganggap bahwa pertahanan yang dimaksud adalah pertahanan milik Waluku, kendati secara formal pertahanan yang dimaksud merupakan pertahanan kedaulatan negara. Tuan Yodha yang sering memberi perintah Perwira Tinggi untuk mengirim pasukan ke pelosok-pelosok daerah di luar wilayah ini untuk menjaga di perbatasan mengantisipasi masuknya kaum revolusioner ke dalam Waluku dan melakukan pemberontakan bersenjata. Ia pikir, kaum revolusioner bisa saja berasal dari wilayah lain. Jika keamanan mengendur, bisa-bisa wilayah ini dikepung dan diserang secara brutal seperti beberapa tahun lalu.
“Mau bergabung nanti malam?” Regal menoleh ke arahku. Quinita selalu mengatakan padaku kalau pemuda ini sangat tertarik padaku. Namun aku hanya menyangkal dan mengatakan ia mengada-ada—walau sebenarnya aku sedikit tertarik padanya. Bagaimana juga ia terlalu sempurna bagiku.
Regal manusia yang dilahirkan secara normal tanpa melalui proses bioteknologi yang rumit. Sedang aku? Lihatlah aku. Aku bukan buatan Tuhan! Aku tidak lahir dari proses alami. Aku buatan manusia, hasil kloning dari sel somatik manusia lain yang bahkan tak kukenal. Aku memang beruntung bisa tumbuh sehat, tidak seperti manusia kloning lain di luar sana yang banyak tidak bisa bertahan hidup lama karena kesalahan pada saat pembuatannya. Bahkan yang dalam keadaan setengah sakit pun, mereka dibuang, dianggap sebagai produk cacat yang tak layak hidup berdampingan dengan orang-orang borjuis pecinta kesempurnaan. Kumpulan para perfeksionis.
“Memangnya ada apa nanti malam?” tanyaku.
“Banyak yang datang ke Dream Machine.” Ia berdecak dan memiringkan kepalanya. “Biasalah. Party.”
Dream Machine nama salah satu night club terkenal di kota J. Aku menempati kota di mana istana negara dan gedung parlemen lainnya berdiri. Orang tuaku bekerja di parlemen. Keluargaku cukup dekat dengan keluarga Presiden Andromeda. Ia wanita mandiri yang belum menemukan pendampingnya. Entah karena Presiden Andromeda yang masih muda—usianya tiga puluh tahun—terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai pemimpin negara atau karena tak ada yang berani mendekatinya. Ia dikenal cerdas, disiplin, dan otoriter. Ia dilantik tiga tahun lalu, tentu bukan dari pilihan rakyat. Sebab di era ini, demokrasi sudah lama mati. Pemerintahan berjalan sesuai dengan sistem oligarki di mana kekuasaan hanya ditekankan pada golongan tertentu.
Aku mengedikkan bahu menanggapi tawaran Regal. “Entahlah. Besok jadwalku tes kesehatan rutin. Kalau aku banyak begadang, aku khawatir hasilnya tak memuaskan.” Aku juga bukan tipikal peminum seperti kebanyakan temanku di sini.
“Oh, besok giliranmu?” Mata Regal membulat terkejut. Ia mengelus pundakku tanpa menghilangkan senyum ramahnya padaku. “Semoga sukses dan tidak ada masalah.”
“Ya… aku harap begitu.” Aku menghembuskan napas panjang. Mungkin enak bagi rakyat normal, tak perlu was-was tiap bulan sepertiku. Jika mereka terdeteksi sakit, mereka akan dikarantina sampai sembuh, lalu dikembalikan lagi.
Regal memberi kode padaku begitu namanya dipanggil oleh pelatih karate. Ia meletakkan botol minumannya di sebelahku, lantas berlarian kecil menuju matras. Kuamati caranya berlari mendekati matras. Gerakan-gerakan kecilnya bahkan tak luput dari pantauanku. Berdiri berhadapan dengan pasangan duelnya, Regal mulai memberikan salam hormat, lalu mulai menyerang. Aku menyandarkan tanganku di atas paha, mengulum bibir. Pandanganku masih lurus ke depan, menelaah dengan saksama gerak-gerik dan gestur tubuh Regal dalam menyerang serta menghindari serangan. Ia memang menarik, tak kupungkiri. Tapi aku tidak cukup bernyali mendekatinya. Mengagumi diam-diam dari jauh memang menyakitkan, namun hanya itu yang bisa kulakukan untuk saat ini. Sebab yang kutahu, ia banyak dikelilingi perempuan cantik dan seksi. Dan dilahirkan dari rahim ibu kandung.
Mengamati latihan di depan sana membikin aku berandai-andai bisa bergabung bersama klub karate. Aku tidak mau dianggap sebagai gadis yang lemah. Tidak semua perempuan dicap lemah memang. Dan aku ingin membuktikan bahwa aku sanggup bertahan dan melindungi diriku seperti laki-laki.
*
Karena didesak Quinita, pada akhirnya aku ikut pergi dengannya ke Dream Machine. Malam ini aku mengenakan dress berbahan fleece tipis model aristokratik sebatas lutut, stocking hitam, dan bot setengah kaki. Sedang Quinita berdandan lebih feminim dan terbuka; ia memakai dress sifon di atas lutut dengan tiga tali tipis menggantung di pundaknya dan heels lima senti. Jika aku memilih riasan natural seperti lipstik berwarna nude, eyeshadow coklat tipis, maskara dan eyeliner, beda selera dengan Quinita yang memoles bibirnya merah menyala dan bagian mata yang dibuat gelap. Rambutnya digulung membentuk per, menggantung di atas pundaknya. Aku cukup menguncir rambutku tinggi menggunakan pita dan menyisir poniku ke samping dengan menyisakan beberapa jumput rambutku yang ikal membingkai di salah satu sisi wajah.
Tanganku ditarik Quinita memasuki Dream Machine. Tempatnya sudah ramai dengan suara teriakan kegembiraan pengunjung. Tempat ini banyak dikunjungi teman-teman sekolahku. Seperti tempat hang out yang tak bisa lepas dari kehidupan mereka. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal mengamati keadaan di sekitar. Beberapa dari mereka ada yang duduk di meja bartender memesan minuman, ada yang berkumpul di meja bilyard, ada yang berlomba-lomba menghabiskan bir, dan ada pula yang berdansa. Quinita mengangkat tangan, berseru menghampiri teman-teman lain yang telah berkumpul di meja bartender. Aku mengekor seperti anak ayam, mengambil tempat duduk di samping mereka.
“No beer, Babe?” Ashley Brenan, teman sekolahku yang berasal dari negeri Paman Sam mengangsurkan gelasnya padaku.
Aku menggelengkan kepala menolak tawarannya. “No. My mom will kill me.”
Ia terkikik, lalu menenggak gelasnya yang entah diisi apa sampai tandas. Cairan itu berwarna kekuningan dengan busa di atas yang menempel di sekitar tepi gelas. Aku mengetukkan jemari di atas meja, mengedarkan pandangan ke sekeliling arah sambil menikmati lagu yang diputar di dalam sini. Di pojok sana, aku melihat Regal, bersama seorang gadis tengah mengobrol dan saling berbisik. Mereka tertawa berdua, tampak menikmati malam ini.
“Mereka pacaran?” tanyaku pada Quinita yang memutar-mutar kursinya di sebelahku.
Seolah mengerti apa yang kupikirkan, ia berdeham. “Oy! Ada yang cemburu di sini!”
“Heh, bukan! Aku penasaran, mereka pacaran?” Telunjukku teracung ke arah mereka. Sekarang, Regal melingkarkan tangannya di sekitar pinggang gadis di sampingnya. Ia berbisik-bisik di telinga gadis itu, lantas menciumnya mesra. Dahiku berkerut. Jantungku berdenyut ngilu. Benar, mereka pasti pacaran. Mengapa aku harus peduli?
“Hm… ya, entahlah. Aku rasa begitu.” Balasan Quinita yang singkat entah mengapa membuat hatiku seperti ditusuk seseorang. Aku mengerucutkan bibir miring. Mungkin seperti kebanyakan gadis di sekolah kami yang mengaguminya, aku hanya terserang Broken Heart Disease yang tren di kalangan anak muda. Bagaimana kalau hasil pemeriksaan rutin kesehatanku buruk dengan keterangan bahwa aku terjangkit Broken Heart Disease? Haha, jangan konyol.
Aku memutar kursiku menghadap bartender dan mulai memesan.
“Milkshake without alcohol.”
Seakan ada yang salah dengan permintaanku, baik bartender maupun Quinita menatapku melongo. Ia pikir aku anak TK yang tidak cukup pantas memasuki klub malam.
“Milkshake tanpa alkohol?”
“I don’t give a damn. Just bring me one.” Aku tersenyum hiperbolis. “Please?”
“Baik, Miss.”
Kuhela napas panjang. Setidaknya aku masih mengonsumsi makanan dan minuman sehat sejauh ini. Aku siap untuk diperiksa besok pagi.
Namun sialnya, jantungku lagi-lagi berdenyutan ngilu secara tiba-tiba.
*
Malam sebelum pemeriksaan, Mama masuk ke dalam kamarku. Pintuku diatur menggunakan sensor suara. Saat Mama memencet bel memanggil namaku, aku menyebut enter. Programnya bekerja, membuat pintu berwarna putih gading dengan ukiran-ukiran rumit itu bergeser dengan sendirinya. Mama melangkah masuk. Sepatu hak tingginya terketuk khidmat melintasi kamar, lalu membawanya duduk di atas ranjang. Aku mengangkat badan. Rambutku yang berantakan mencuat ke sana-sini. Tak begitu kupedulikan penampilanku saat ini karena mataku sudah menyipit karena mengantuk.
“Maaf, Mama mengganggu tidurmu, ya?” tanyanya.
“Tidak, Ma.” Aku menyunggingkan senyum tulus. Sekalipun jika aku terlelap dalam tidur yang senyaman-nyamannya, jika Mama yang membangunkanku, aku pasti langsung terjaga.
“Malam ini Mama kesulitan tidur, entah mengapa memikirkanmu, Bi,” bisiknya sendu.
“Memikirkanku kenapa?”
“Btari sayang Mama, kan?”
Dahiku mengernyit ke dalam membentuk garis-garis samar dengan alis menyatu. “Tentu saja. Aku menyayangimu sangat, Ma. Mengapa Mama tanyakan hal seperti itu? Mama pasti tahu jawabannya, kan?”
Mama mengulurkan tangannya ke arahku. Dielusnya rambutku yang kusut masai, dibelai lembut, lalu dikecup-kecupi puncak kepalaku. Meski aku tidak lahir dari rahimnya, aku sangat menyayanginya, sebab ia satu-satunya ibu yang kumiliki di dunia ini. Sekeras apa pun Mama, ia sangat menyayangiku. Sama halnya dengan aku yang akan terus menyayanginya.
“Apa pun yang terjadi, kamu harus tahu, Sayangku. Mama sangat menyayangimu.” Dagu Mama dibenamkan di puncak kepalaku. Ia mengusap-usap rambutku penuh kasih sayang. “I do really love you. Tak ada cinta yang besar sebesar cinta ibu pada anaknya. Maka ingat selalu pesan Mama, Sayang. You’re the one and only. Kamu satu-satunya harta Mama yang besar dan berharga. Dan apabila terjadi sesuatu yang bisa memisahkan kita, kamu harus ingat kalau Mama mencintaimu.”
Aku mengangguk. Kulingkarkan tangan memeluk Mama. Ia menyuruhku menata bantal dan memintaku segera tidur. Kesibukan Mama dan Papa akhir-akhir ini memang membuatku merindukan belaian kasih sayang mereka. Dulu semasa kecil, Mama yang selalu menemaniku tidur dan mendongengkan bermacam-macam cerita sebagai pengantar tidur.
Aku kembali berbaring. Diangkat selimutku sampai batas dagu. Kulihat senyum Mama yang bermain di bibirnya yang tipis.
“Mama, bersediakah Mama menemaniku tidur malam ini?” tanyaku. “Aku rindu sekali tidur di samping Mama seperti dulu.”
“Ya, tentu saja. Bergeserlah biar Mama bisa tidur di sebelahmu.”
Kugeserkan badan ke samping memberikan tempat untuk Mama. Ia berbaring di sebelahku. Mama sudah terbiasa tidak akan menutup matanya sampai aku tidur pulas. Kupejamkan mata, membawa senyumnya sebagai pengiring tidurku memasuki alam mimpi. Mama mengusap tangan, lengan, pipi, dan rambut. Diciumnya pula dahiku sangat dalam sampai bisa kurasakan deru napasnya yang hangat.
Dalam pelukan Mama yang kurindukan, aku pun tertidur pulas malam ini.
*
Aku sudah siap dengan pemeriksaan rutin. Mama telah mengirimkan surat izin ke sekolahku. Sebelum turun dan berangkat diantar langsung oleh orang tuaku—yang rela cuti kerja demi menemaniku—aku menghadap cermin, bertekur dengan wajahku untuk berdandan. Menyikat rambut ikalku, aku menyematkan bando dengan poni yang ikut tertarik ke belakang kepala. Rambut ikal panjangku jatuh di belakang punggung seperti pintalan benang wol yang lembut. Rambutku berwarna hitam legam yang diberi ombre sedikit pada bagian bawah dengan warna ungu pucat gradasi platinum. Ini pun atas desakan Quinita yang ingin kembaran gaya rambut denganku. Rambutnya diombre warna merah gradasi pink.
Begitu selesai dengan wajah dan rambut, aku menghembuskan napas panjang, meraih kalung berbandul bunga lily dari tempat perhiasan dan memakainya. Lily adalah lambang Waluku, sebagai lambang kemakmuran. Penduduk wilayah ini memakai aksesoris dengan lambang bunga ini. Mama memakainya sebagai anting sementara jam tangan yang sering dikenakan Papa memiliki ukiran bunga lily. Dulu aku memakai cincin berbentuk bunga lily, namun dua tahun lalu menggantinya dengan kalung berbandul lily, hadiah ulang tahun dari Mama.
Aku berdiri dari tempat dudukku, menghadap cermin rias selama beberapa saat, lantas mendaratkan pandangan ke arah cermin berdiri tak jauh dariku yang berbentuk persegi panjang. Aku berputar selama beberapa detik, melihat pakaianku dan memastikan tidak ada yang janggal. Aku memilih dress beludru berwarna merah sebatas lutut dengan sulaman benang emas pada beberapa bagian yang menutupi blus hitam bertali dua dan stocking putih sebatas tumit kaki. Kuamati sepatu botku yang senada dengan pakaianku. Sempurna. Aku harus secepatnya turun ke bawah dan memulai perjalanan menuju GMC. Seperti bulan-bulan sebelumnya, aku optimis lulus pemeriksaan kesehatan. Sebab selama beberapa hari ini Mama memberikan banyak vitamin dan antibiotik untukku. Delapan belas tahun aku hidup sebagai manusia kloning yang sehat dan tidak cacat. Untuk pembuktian rutinnya, aku akan mengatakan pada dunia bahwa aku sehat dan sempurna. Aku sehat! Oy, dunia! Akan kubuktikan bahwa aku manusia kloning yang sehat dan sempurna!
Aku berlarian kecil memasuki mobil dan duduk di jok belakang. Mama menoleh ke belakang, menyambutku dengan senyuman ramah.
“Are you ready, Honey?” tanyanya.
Kuanggukkan kepalaku sebagai jawabannya.
“Tidak gugup?” Papa melirik pada rearview, mengamatiku dengan cengiran lebarnya. “Btari tidak lupa minum vitamin, kan?”
“Ya ampun, Pa. Aku sudah melewati pemeriksaan setiap bulannya dengan baik. I’m fine.”
Mereka tertawa bersama sementara aku menghela napas panjang. Mobil mulai dikemudikan pergi meninggalkan halaman rumahku yang bergaya Romawi Kuno dengan hiasan patung Dewi Venus dijaga beberapa prajurit bersenjata di atas pilarnya. Sisa perjalanan kugunakan dengan memandang keluar jendela, sedang kulihat Mama sibuk mengutak-atik holografik yang muncul di atas dasbor digital. Dedaunan kering rontok dari sebatang pohon mati di samping jalan saat aku menekan jari-jemariku pada kaca mobil. Hidungku menempel di kaca jendela. Bola mataku melirik ke setiap tempat yang terjangkau oleh pandangan. Saat aku menghela napas pendek, kaca jendela mobil berembun. Tempat ini dipenuhi dan dipadati dengan gedung-gedung tinggi. Ada banyak cerobong yang menjulang ke atas di setiap bangunan yang berfungsi sebagai pabrik. Aku menengadah ke atas, melihat awan yang terkontaminasi dengan asap pabrik hingga membuatnya tampak seperti mendung.
Kami melewati wilayah pabrik, memasuki pusat kota dengan jalan yang lebih lebar. Mobilku menanjak naik melewati jalan yang dibangun menyerupai jembatan dengan pemandangan jalan aspal lain di bawah sana yang dilalui truk serta kendaraan yang lebih besar. Di kananku terdapat mobil bioelektrik yang dikemudikan oleh seorang remaja seusiaku. Dari balik kaca jendela mobilnya, ia menoleh memandangku. Tidak ada senyum sapa ramah. Yang kudapatkan hanyalah wajah datar malas sebelum ia melengos, lantas menambah kecepatan melewati mobil Papa.
Sebentar lagi kami sampai di GMC. Pusat balai pengobatan terbesar di negeri ini. Baru beberapa kilometer saja aku sudah dapat melihat bangunan tersebut dari atas jalan ini. Bangunan itu sangat besar dan tinggi dengan logo medis dan tulisan besar terukir pada pilarnya:
GOVERNMENT MEDICAL CENTER
Aku duduk dengan tenang menyilangkan kakiku selama mobil melaju mendekati GMC. Jari-jariku terketuk di atas paha. Bibirku terlipat ke dalam membentuk garis simetris. Aku ingin pemeriksaan ini segera berakhir dan pulang, lalu tidur. Selesai. Tapi tidak benar-benar selesai karena bulan depan aku pasti diwajibkan hadir lagi ke GMC.
Mobil berhenti di depan pintu gerbang. Papa mengulurkan tangannya keluar dan menempelkan sidik jari ke arah detektor yang bekerja secara otomatis mengelola data-datanya sebagai penduduk wilayah ini. Ia menarik kembali tangannya dan melajukan mobil lagi.
Setelah beberapa lama menunggu dalam kejemuan di dalam mobil, akhirnya aku keluar dan membiarkan pintu mobil tertutup otomatis. Usai mengambil nomor urut di dalam kotak yang dipenuhi dengan tombol-tombol rumit, Papa membiarkan mobilnya diangkut oleh mesin pengangkut yang bertugas menggerakkan mobil-mobil di tempat parkir sesuai dengan urutan nomornya. Kami berjalan bersama meninggalkan area parkir memasuki gedung GMC.
Tempat ini dipenuhi oleh warga lain yang kebagian jadwal pemeriksaan hari ini. Aku menggigit bibir bawah mencium bau aneh yang selalu menyelesak ke dalam penciuman tiap kemari.
“Ah, Pak Darma. Senang bertemu dengan Anda di sini.” Seorang pria berstelan resmi berjalan menghampiri kami. Ia menjabat tangan Papa sambil menepuk pundaknya sebagai ucapan selamat datang.
Tuan Gaesang yang menjabat sebagai menteri kesehatan, menatap ke arahku. Meskipun kami sering bertemu tiap bulan di tempat ini, ia selalu memperlakukanku seolah-olah aku janin yang baru tumbuh.
“Bagaimana perasaanmu, Btari? Kamu tidak takut, kan?”
“Tak ada yang perlu saya takutkan.” Kulayangkan senyum merekah sebagai balasannya.
“Semoga pemeriksaan kesehatanmu lancar dan kamu bisa kembali pulang dalam keadaan tenang.”
Aku tersenyum simpul. Sementara Papa berbincang-bincang dengan Tuan Gaesang di ruang tunggu, Mama mengantarku menuju tempat dilaksanakannya pemeriksaan kesehatan. Tuan Gaesang memang rutin datang kemari untuk mengecek jalannya pemeriksaan kesehatan. Hanya membutuhkan waktu singkat saja sampai hasilnya keluar. Apabila terdapat warga yang ketahuan sakit ketika menjalani pemeriksaan kesehatan, petugas medis yang mengenakan jubah putih dengan masker dan sarung tangan karet akan menyeret orang tersebut dan langsung membawanya ke karantina dikawal oleh tentara untuk ditangani.
Mama mengantarku sampai pintu masuk. Dilambaikan tangannya dan berpisah denganku untuk bergabung bersama Papa di ruang tunggu. Di tempat yang lebih luas ini, aku membagi pandanganku pada tiap-tiap tempat. Tak ada yang berbeda. Masih sama seperti terakhir aku datang kemari bulan lalu. Petugas medis yang lalu lalang dengan jubah putih berkibar menatapku sekilas. Aku tersenyum ramah, namun mereka tidak membalasnya sama sekali. Di tempat ini, jika kau tak mengenal satu sama lain, jangan sekali-kali tersenyum pada mereka. Karena (a) mereka menganggapmu gila dan (b) mereka menganggapmu orang aneh yang berbahaya.
Aku berjalan melintasi aula luas dengan tembok serba putih dan penerangan yang kuat menuju bagian pendaftaran. Sesampainya di depan konter, aku berhenti di depan salah seorang wanita yang bertugas mendata. Ia menatapku sejenak, lalu memamerkan sebuah alat di depan mata, seperti sebuah pena. Sesuatu menyala seperti kilat tepat di depan kedua mataku sampai membuatku mengernyitkan hidung dan memijitnya pelan.
“Btari Pembayun. Silakan di pintu sebelah sana.” Wanita tersebut menunjuk ke sebuah arah; pintu nomor tiga. Aku melihat antrean panjang di depan pintu kaca bening. Di dalam sana terdapat sebuah tempat berbentuk mirip kapsul yang bertugas membawa semua warga ke tempat rahasia untuk dilakukannya pemeriksaan kesehatan—termasuk mengganti pakaian mereka dengan pakaian khusus.
“Thank you.”
Aku melenggang menghampiri antrean di depan pintu nomor tiga. Peserta pemeriksaan datang dari semua usia. Kebetulan orang tuaku kebagian jadwal Minggu lalu dan dinyatakan sehat. Kata Mama, ia pernah tidak lulus pemeriksaan kesehatan akibat flu yang menyerangnya. Akibatnya ia dipisahkan dari orang tuanya—nenek dan kakekku—selama beberapa hari untuk ditangani di karantina sebelum menulari orang lain.
Di tempat ini kami tidak memiliki rumah sakit. Hanya ada karantina yang tersebar di beberapa kota besar dan memiliki fungsi sebagai balai pengobatan sedangkan GMC hanya sebagai tempat dilangsungkannya pemeriksaan serta kegiatan-kegiatan medis lainnya yang tidak melibatkan pasien—seperti pembuatan obat, pertemuan para dokter, dan lainnya. Maka jika ada keluhan penyakit, kami diharuskan mendatangi tempat karantina untuk dirawat secara intensif dan cepat. Orang borjuis mencintai kesehatan dan kesterilan. Dengan adanya pemeriksaan kesehatan rutin, paling tidak orang-orang yang memiliki penyakit berbahaya dan berusaha merahasiakannya dapat diketahui dan cepat diambil tindakan. Sehingga kami yang sehat dapat hidup tentram dan nyaman.
Aku menoleh ke samping kanan begitu sebuah sirine merah terdengar. Seorang bocah muncul dari dalam pintu berlapis kaca yang langsung diserbu tenaga medis bermasker. Anak laki-laki berusia sekitar duabelas tahun itu digiring menuju pintu keluar khusus untuk para pasien yang terjangkit penyakit. Mungkin ia segera dikirim ke karantina. Biasanya ada petugas medis lain yang bertugas memberikan hasil laporan kesehatan dan surat keterangan pada pihak keluarga.
Kini giliranku untuk masuk ke dalam pintu berlapis kaca bening itu. Aku berdiri di dalam tabung tersebut menghadap ke depan, lantas merasakan gaya gravitasi dalam kecepatan tinggi yang membawaku sampai di sebuah tempat yang lebih gulita dengan lampu berwarna merah. Beberapa orang menyambutku, mengantarku masuk ke dalam ruangan yang memiliki penerangan lebih baik. Begitu mereka mendorongku ke dalam, pintu tertutup otomatis.
“Ganti bajumu…” Dokter wanita yang bertugas memeriksaku membaca namaku dari layar transparan di dekatnya. “Oh, Btari Pembayun.” Ia tersenyum ramah padaku—mungkin karena mengenalku. “Anak Pak Darma?”
Aku membalas senyumnya dengan hal serupa. “Ya.”
“Aku baru bekerja di sini, kira-kira satu tahun lalu. Sepertinya kita belum pernah bertemu di tiap pemeriksaan, ya?” Dokter dengan badgename Kasandra mulai menyibukkan diri dengan alat-alat di tangannya. Aku mengedik. “Ganti bajumu, Miss Btari.” Ia menunjuk bilik yang digunakan untuk mengganti pakaian.
Aku mematuhi perintahnya dengan masuk ke dalam sana dan melepas pakaianku. Kuraih pakaian yang telah disediakan di sana—yang tentu saja telah diganti tiap orang agar tetap steril. Setelah mengganti pakaianku dengan jubah pendek sebatas lutut, aku keluar dari bilik. Dokter Kasandra menunjuk tempat di mana aku harus mengikuti prosedur pemeriksaan. Aku berdiri di atas lantai yang digambar dengan lingkaran dan memiliki beberapa lampu baik di atas maupun di bawah. Selama beberapa detik alat itu bekerja dengan menyorotkan sinar kemerahan ke arahku, mulai memeriksa apakah aku membawa benda-benda tajam, obat-obatan, atau hal-hal yang tidak diperkenankan selama menjalani tes kesehatan. Sinar kemerahan yang disorotkan dari atas lenyap detik berikutnya. Aku menghela napas melihat lampu detektor menunjukkan warna hijau.
“Sekarang, kita mulai pemeriksaan kesehatan rutinmu.”
Dokter Kasandra melenggang menghampiri sebuah keyboard virtual di dekat layar lebar di depanku; jari-jemarinya menari luwes di atas hamparan angka serta huruf virtual, menciptakan cahaya temaram kelap-kelip biru, hijau, dan merah di tempat itu. Layar di depanku menunjukkan rangkaian kalimat yang menunjukkan informasi lengkapku. Ada gambar manusia virtual di dalam layar itu dengan garis-garis hijau dan berputar-putar sementara kalimat lainnya mulai berjejer rapi. Gambar manusia virtual itu diperbesar, berubah menjadi gambar wajahku.
Sensor itu muncul lagi dari atas, menyorot tubuhku dengan warna merah berputar-putar, tanda bahwa alat pendeteksi kesehatan ini bekerja layaknya detektor. Hamparan kata muncul di bagian kiri. Ada rekaan seperti lensa yang muncul di depan wajahku, memeriksa kornea mataku dilanjutkan dengan pemeriksaan panca indera lainnya. Gambar wajahku lantas berubah lagi menjadi manusia virtual begitu informasi yang kami baca menunjukkan tak ada kecacatan, penyakit, atau virus yang terdeteksi di bagian kepala, wajah, serta leherku—termasuk organ-organ di dalamnya. Lalu manusia virtual itu berputar kembali diikuti eksistensi kalimat lain yang muncul satu per satu. Kalimat tersebut berbaris rapi, bergerak ke atas dengan titik-titik berkedip yang menunjuk pada anatomi tubuhku.
Jantungku seakan berhenti berdetak ketika titik-titik kecil itu berhenti pada satu tempat. d**a manusia virtual di dalam layar. Spontan, aku menyentuh dadaku sendiri sementara lampu berwarna merah menyala.
Aku katakan padamu, ini bukan pertanda yang baik. Aku meyakini asumsiku sendiri ketika kucermati ekspresi dokter Kasandra yang mendadak mematung di tempatnya melihat informasi di dalam layar tersebut, dengan titik besar berkedip-kedip di tempat yang sama.
“Jantungmu tidak sehat, Btari,” kata dokter Kasandra lirih, mengamati rangkaian kalimat yang tertera di dalam layar besar tersebut. “Jantungmu rusak.” Ia menoleh ke arahku. Prihatin.
Aku menelan ludah menelusuri kerongkonganku yang kering. Musibah apa yang kiranya akan kutempuh ini.
“Itu artinya aku produk cacat?” Sudut mataku berkedut tegang. Dokter Kasandra tidak menjawab pertanyaanku. Aku termangu memandang ke arahnya. Bahkan, bisa dibilang pandanganku kali ini sama kosongnya seperti pandangan dokter Kasandra.
“Andai saja aku bisa membantumu lebih,” bisiknya lirih.
Aku menggigit bibir bawahku lagi. “Tak perlu.”
“Cepat ganti bajumu dan segera pergi dari sini…”
“Artinya aku akan diusir dari sini? Aku akan diasingkan? Aku akan sendirian?” aku bertanya dengan nada bergetar.
Dokter Kasandra lagi-lagi menoleh ke belakang. Pandangannya menyiratkan permintaan maaf yang besar karena tak dapat membantu apa-apa.
“Paling tidak, Presiden tak memberikan perintah untuk memusnahkanmu. Tak usah dirisaukan, Btari. Aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Semoga sukses, Sayang.”
Aku kulum bibirku yang bergetar samar. Dengan cepat aku beranjak dari tempat pemeriksaan menuju bilik untuk mengganti pakaianku. Tanganku masih saja bergetar saat kupakai blus, dress, stocking, dan sepatuku. Wajahku memucat begitu kulihat pantulannya di dalam cermin.
Semenjak pemeriksaan sialan itu, aku berjalan lunglai meninggalkan dokter Kasandra yang menatapku monoton. Bahkan ketika aku sudah berdiri di dalam tabung kaca untuk naik ke atas, ia tak bersedia lagi menoleh ke arahku. Aku menghela napas panjang, sangat frustrasi.
Tabung yang kutumpangi naik ke atas dengan kecepatan layaknya kedipan mata. Begitu pintu kacanya terbuka, orang-orang dengan masker dan sarung tangan karet menyerbu ke arahku. Dua dari mereka menggenggam lenganku. Beberapa orang yang berada di tempat itu saling berbisik gaduh dan tidak berhenti menatap ke arahku. Pada sebuah layar berukuran besar di pojok sana, aku melihat nama dan data-dataku yang masuk ke dalam daftar warga yang terjangkit.
NAME: BTARI PEMBAYUN
TYPE: XENOGENY
DISEASE DETECTED: DYSFUNCTION ORGAN
Bagaimana aku tidak jadi perhatian kalau data-dataku dipampang pada layar besar yang tentu saja dipampang di bagian-bagian utama gedung ini pula; termasuk ruang tunggu. Matilah aku sekarang.
Keluar dari tempat pemeriksaan, aku melihat orang tuaku menghambur mendekat bersama Tuan Gaesang yang memerintahkan petugas medis berhenti menyeretku secara tak manusiawi. Mereka mematuhi perintah Tuan Gaesang tanpa melepas pegangan di kedua lenganku.
“Apa-apaan ini?” tanyanya.
“Jantungnya rusak, Pak.”
“Lantas?”
“Dia xenogeny, Pak. Berdasarkan peraturan yang tertulis dalam undang-undang terbaru, setiap manusia kloning yang dinyatakan gagal harus dibuang dan diasingkan menuju Vrischika.”
Aku mengernyitkan dahiku, merasa tidak terima dengan pernyataan yang diutarakan salah satu dari mereka. Aku bukan produk gagal! Aku tak mau dibuang!
“Ini hanya masalah sepele!” Mama meninggikan nadanya. “Lepaskan dia. Mau kalian bawa ke mana putriku?”
Aku harap mereka akan menjawab karantina.
“Membawanya pergi, Bu.”
“Ada apa ini?”
Perhatianku teralihkan mendengar suara merdu seorang wanita yang berjalan menghampiri kami dengan seekor kucing sphynx di gendongannya. Aku membulatkan mata dipertemukan dengan Presiden Andromeda yang menatap bingung pada keributan di tempat ini. Wanita itu memandangku selama beberapa detik dengan tatapan menilai—kucing di gendongannya pun menatapku lekat. Kami sudah sering bertukar pandang dan sapa, namun kali ini aku tidak suka dengan tatapan mengintimidasinya. Seperti biasa, wanita itu mengenakan blus turtleneck putih, rok span biru, dan bot berhak lima senti. Rambutnya dibiarkan tergerai menggantung di atas pundak, disematkan bando tipis dengan pernak-pernik anggrek hitam berukuran kecil.
Anggrek hitam adalah simbol pribadinya. Sudah menjadi rahasia umum bagi kami bahwa Presiden Andromeda merupakan pecinta tanaman liar yang menjadi maskot flora di Borneo.
“Anak ini mengalami gangguan pada jantungnya.”
“Oh, kloningan yang cacat, ya?” celetuknya.
“Aku bukan produk cacat!” sergahku marah.
“Kalau begitu singkirkan.” Tangannya mengibas di udara dengan gerakan acuh. Dielusnya kucing sphynx yang setahuku diberi nama Karma itu seakan tak peduli pada nasibku.
“Bu Presiden, saya mohon, ini hanya masalah kecil,” Papa mengambil alih percakapan dengan nada memohonnya. Ia dan Mama menatap Presiden Andromeda dengan sorot mata mengiba.
Mama menggenggam tangan wanita angkuh di depannya itu. “Saya mohon. Ini hanya masalah sepele. Kami bisa memerintahkan ilmuwan-ilmuwan yang hebat untuk mengatasi masalah ini dan memperbaiki kerusakan pada jantungnya, atau—”
“Anda tahu jawaban saya, Gayatri,” Presiden Andromeda menginterupsi ucapan Mama dengan nada arogannya. Ia mengusap lembut dagu kucing tak berbulunya itu dan melirikku mengintimidasi. “Seperti yang lain, Btari tidak sempurna. Bukan produk yang bagus. Jika saya memberikan toleran dengan mengembalikan dia pada kalian, saya mengkhawatirkan protes di kalangan masyarakat kita. Anda tahu saya tak suka dengan segala jenis protes maupun kegiatan demonstrasi, apalagi dilakukan oleh warga di sini?” Sudut bibir wanita itu tertarik membentuk senyum miring. “Jadi, dengan segala pertimbangan saya memutuskan agar dia dibuang dari wilayah ini. Diasingkan menuju Vrischika.”
Mama menggeram penuh amarah. Di luar kendali, ia menerjang dan mencengkeram kerah blus Presiden Andromeda, membuat wanita itu terpekik kaget hingga membuat Karma melompat dari gendongan pemiliknya.
“Dia anakku! Aku tak akan membiarkannya menjadi korban kebiadaban kalian! Aku tak sudi dia menjadi korban di negeri ini! Dasar perkumpulan b*****h, kalian sungguh tak manusiawi!”
Papa menarik lengan Mama dan mengeratkan pegangannya sebelum anggota paspampres berbuat kasar padanya. Aku merapatkan bibirku dan menyelipkannya ke dalam, menenangkan diri.
“Anda tahu apa dampak yang terjadi atas tindakan tidak sopan ini?”
“Maafkan istri saya, Bu Presiden.”
Presiden Andromeda tersenyum miring. “Anda sadar sikap Anda yang seperti orang bar-bar bisa dianggap sebagai tindakan pemberontakan? Saya bisa saja memberikan hukuman mati.”
“Jangan! Jangan sentuh Mama! Jangan apa-apakan Mama!” aku menyerobot cepat. Mataku mendelik ke arah Mama, mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja dan bisa melindungi diriku sendiri. “It’s okay, Mama. I’m okay. Believe in me. I’m okay.”
Mama meremas tangannya membentuk kepalan yang erat. Sepertinya ia berharap bisa meninju wajah Presiden Andromeda. Di sampingnya, Papa berbisik meminta agar Mama bisa bersikap tenang.
“Lihat, anak ini saja menerima takdirnya. Dan orang yang Anda sebut tak manusiawi tadi,” Presiden Andromeda memberi jeda dengan menghembuskan napas pendek, “Anda termasuk di dalamnya. Bukankah Anda yang meminta pengkloningan atas nama Btari Pembayun? Anda sama tak manusiawi. Kita semua tak manusiawi.”
Presiden Andromeda merapikan kerah blusnya lagi. Tangannya melambai ke udara memberikan perintah agar aku secepatnya dibawa pergi. Mama dan Papa mengantar dari belakang, meskipun sambil berusaha membujuk Tuan Gaesang yang hanya memijit pangkal hidungnya dan menggumamkan kata maaf.
“Setidaknya dia membawa pakaian dan bekal makanan!” Mama masih bersikeras. “Beri sedikit kebaikan padanya dengan pulang ke rumah dan tidur di ranjangnya! Sudikah kalian mengabulkannya? Satu hari saja…”
“Maaf, Gayatri. Tapi sesuai dengan perundang-undangan, xenogeny yang dianggap tidak sempurna secara otomatis dicabut hak kependudukannya dari Waluku dan sudah dianggap bukan warga sini lagi.”
“Persetan dengan undang-undang! Dia anakku! Aku yang membesarkannya! Dia bahkan tidak tahu dunia seperti apa di luar sana! Izinkan dia pulang dan tidur di rumah barang sehari. Aku mohon. Aku mohon!”
Aku menggigit sudut bibirku yang gemetar mendengar suara raungan Mama di belakang sana. Saat menoleh ke belakang, pasukan yang menjaga ketat keamanan menahan agar ia tidak ikut serta saat aku dibawa menuju mobil.
“Nanti akan ada yang mengurusnya sebelum dikirim keluar.” Tuan Gaesang menatapku prihatin.
“Tapi dia membutuhkan seseorang untuk menemaninya!”
Dengan kasar, aku didorong ke dalam mobil. Mama hanya memandangku sedangkan Papa memeluknya, mencegah Mama bertindak nekad dengan membobol keamanan dan berlari menghampiriku. Bisa-bisa ia ditembak oleh para petugas keamanan. Aku tak mau melibatkan mereka ke dalam masalah serius. Apalagi tindakan mereka bisa saja memancing emosi Presiden Andromeda.
Aku melambaikan tangan di balik mobil yang akan membawaku pergi. Kupandang Mama dan Papa dari balik kaca jendela, menatap mereka dengan senyuman kecil dan bibir bergerak-gerak mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja meskipun air mata telah merebak menjadi genangan di pelupuk mataku. Mama hanya dapat melihat dari kejauhan dan melepas kepergianku sembari terisak-isak di pelukan Papa. Beberapa saat selanjutnya, ia berhasil lepas dari pelukan Papa, berusaha mengejarku sambil menyerukan namaku, berkali-kali, berlari, namun beberapa tentara menahan tubuhnya dan mendorongnya kasar. Tubuhnya hampir terjengkang ke belakang andaikan Papa tidak menahannya dan berseru marah pada tentara yang bersikap kurang ajar. Andai aku bisa, aku ingin menerobos pintu ini dan memukul mereka yang telah bertindak kasar pada Mama. Namun apa daya, aku hanya dapat memandangi mereka dari balik kaca jendela, membiarkan satu tetes air mata yang sempat tergenang mulai turun perlahan di pipiku.
Mereka menghilang dari pandanganku begitu mobil berbelok ke tikungan.
Kini, duduklah aku di dalam mobil bersama orang-orang asing yang membuatku mengalihkan kontak mata. Kepalaku tertunduk mengamati tanganku yang kupangku. Jari-jemariku kumainkan dengan gerakan lemas. Aku yakin ini hanya mimpi. Tidak mungkin hidupku yang sempurna secara tiba-tiba berubah drastis dengan pembuanganku dari Waluku. Aku menghembuskan napas panjang, memejamkan mata dan menenangkan diriku.
Ini tidak nyata… Aku masih Btari Pembayun yang tinggal di antara kalangan borjuis. Aku sehat. Aku sempurna. Saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar dan terbangun dari mimpi burukku.
Namun ketika kelopak mataku terbuka, yang kulihat hanyalah orang-orang berjas putih dengan masker yang menutupi mulut serta hidung mereka. Kugigit bibirku getir menyadari bahwa aku tidak bermimpi.
Aku benar-benar dibuang.