Aku belum dibuang.
Belum.
Sebab, mobil yang mengangkutku pergi dari GMC berhenti di sebuah tempat, gedung tinggi dan luas bercat putih gading dengan tulisan di bagian pilarnya:
E.X.I.T
EXIT akronim dari Exiled Xenogeny Institute. Itu adalah lembaga khusus pengasingan manusia kloning. Mereka menyebut manusia kloning sebagai xenogeny. Sebab aku dan manusia kloning lain yang ada di sini terbentuk dari proses aseksual dan diklon dari sel somatik orang lain, sehingga menciptakan individu baru yang tidak sama dengan orang tua.
Aku tak tahu apa yang akan mereka lakukan padaku. Sudut pikiranku yang t***l mengatakan bisa saja mereka sedang merumuskan apakah aku dibuang atau justru diselamatkan dengan berbagai macam percobaan oleh para ilmuwan untuk memperbaiki kerusakan organ pemompa darahku. Badanku didorong pelan memasuki gedung. Aku menoleh ke belakang, mengernyitkan dahi tidak suka.
“Hey, jangan kasar pada perempuan.”
Mereka tak memedulikan protesku, alih-alih semakin mendorongku kasar memasuki sebuah ruangan. Mungkin sebentar lagi Presiden Andromeda datang kemari menyaksikanku diusir keluar dari wilayah ini dengan mata kepalanya sendiri. Sungguh, tempat ini amat sangat asing bagiku, sebab aku belum pernah berkunjung kemari. Kepalaku bergerak ke sekeliling arah mengamati setiap sudut tempat. Dalam situasi seperti ini aku masih memikirkan kebaikan siapa pun yang bersedia menolongku.
Setidaknya Presiden Andromeda tidak membunuhmu… benakku berkata sarkastis dengan desahan dipanjang-panjangkan. Ya, setidaknya Presiden Andromeda tidak membunuh manusia kloning yang dianggap gagal. Berdasarkan yang telah ditulis dalam undang-undang, manusia kloning yang gagal harus dibuang dari Waluku, bukan dibunuh; hebatnya di era seperti ini, masih ada sedikit rasa kemanusian yang tersisa dari mereka. Setidaknya mereka masih memiliki setetes darah kebaikan, dengan mempertahankan manusia rekayasa genetika malang sepertiku ini agar tak dibunuh.
Sebelum pintu ditutup dengan sendirinya, aku menoleh ke belakang, mendapati seorang pemuda cakap yang kukenal baik. Bibirku terbuka ingin menyapa, namun pintu tersebut telanjur tertutup rapat meninggalkan aku sendirian di ruangan ini, entah untuk apa.
Itu Bimasakti. Adik bungsu Presiden Andromeda setelah Mayall. Kami saling mengenal sejak kecil. Bisa dikatakan, kami bersahabat dari kecil. Namun jarang bertemu semenjak ia mengabdikan dirinya di tempat ini sebagai salah satu ilmuwan termuda. Usianya dua tahun lebih tua di atasku, yakni dua puluh tahun.
Aku tidak mau duduk, lebih memilih berdiri sampai siapa pun masuk kemari dan menjelaskan apa yang akan mereka lakukan padaku. Ini akan menjadi hal tersulit bagiku. Membayangkan hidup mandiri tanpa orang tuaku di dunia luar yang bahkan tidak kuketahui seperti apa… apakah buruk? Bagaimana jika aku tidak selamat hidup di luar? Bagaimana jika kaum revolusioner menemukanku dan mengenaliku sebagai orang borjuis, lantas membunuhku ramai-ramai?
Kedua daun pintu terbuka sendiri. Aku menoleh ke belakang, memutar badan dan langsung berhadapan dengan Presiden Andromeda yang berdiri beberapa meter di depanku. Tubuhnya tinggi semampai dengan kaki jenjang. Sehingga ia perlu menunduk sedikit saat memandangku, sebab bisa dikatakan badanku cukup mungil. Wajahnya berkarakter tegas dan tak pernah menampilkan garis ramah. Aku menelan ludah dengan susah payah melewati kerongkongan yang kering. Ia berjalan perlahan menghampiriku dengan langkah anggun, menimbulkan suara ketukan lapisan sepatunya pada lantai. Jemarinya yang lembut dan halus menyentuh daguku, menengadahkan kepalaku untuk bertukar pandang dengannya.
“Kamu pasti tahu peraturan yang sudah lama ditulis sejak pertengahan abad lalu, Bi-da-ri,” katanya, mengeja namaku sengit. “Sejak kloning diperbolehkan di negara ini. Well, you’re not the perfect one.” Bola matanya melirik pada langit-langit seperti menerawang. “They’re not the pefect ones.” Mereka yang dimaksud Presiden Andromeda adalah mereka yang gagal, sepertiku. Presiden Andromeda menegakkan badannya tanpa mengalihkan tatapannya untukku. “Untuk sementara waktu, kamu tinggal di sini selama sehari.”
“Mengapa aku harus tinggal?” tanyaku penasaran. Alisku menyatu membentuk kerutan di sekitar dahiku.
“Untuk persiapanmu pergi besok. Kamu pasti tidak mau menjadi gelandangan yang kelaparan dan mati di jalanan dengan tragis dan menyedihkan, bukan?” Ia menambahkannya dengan kikikan. Lantas diusap kepalaku beberapa kali sampai membuat rambutku yang telah disematkan bando berantakan. “Aku pastikan orang tuamu tidak datang kemari, Btari. Atau…” Bahunya terkedik acuh. “Well, you know what I mean, right?”
“Jangan libatkan mereka. Aku mohon,” bisikku mengiba. “Don’t hurt my parents.”
“Kalau kamu menjadi anak manis yang penurut dan tidak membangkang, aku pastikan mereka baik-baik saja. Mungkin butuh waktu untuk memberikan oblivetanol agar mereka tidak lagi mengingat dirimu. Itu jauh lebih membantu, kan?” Kepalanya terteleng ke satu sisi. Dari gestur tenangnya, aku yakin ia sudah sering menangani hal semacam ini.
Aku tidak bisa membayangkan kalau aku dilupakan oleh orang tuaku sendiri…
“Ya,” aku berbisik pasrah. Mengalah pada wanita ini. Bagaimana juga, ia yang memiliki tali kekang di negeri ini sehingga dapat mengatur sesuka hatinya. Tinggal mengacungkan telunjuknya, maka semua yang diinginkannya terwujudkan.
Begitu menyelesaikan pengumumannya, Presiden Andromeda tersenyum kecil. Ia berbalik badan diikuti oleh beberapa paspampres keluar dari tempat ini. Belum sempat pintunya tertutup, dua orang asing berjubah putih dan dua orang berseragam hitam dengan pelindung kepala, masker, dan senjata di tangan menghambur masuk, memintaku keluar dari ruangan yang tak memiliki furnitur lain kecuali dua kursi kecil di tengah ruangan. Aku diantar keluar. Pintu di belakangku tertutup otomatis.
“Btari?”
Aku menoleh spontan ke sebuah arah. Tak jauh dariku, Bimasakti menyapaku, dan berlalu pergi meninggalkan seorang pria paruh baya yang diajaknya ngobrol tadi setelah berpamitan. Aku menghembuskan napas panjang saat ia sampai di dekatku. Pandangannya dibagi antara aku dengan dua orang berjubah putih dan dua orang berseragam hitam yang mengawalku ketat.
“Ah, Btari! Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya dengan dahi mengernyit.
Sudut-sudut bibirku tercebik ke bawah. “Hasil pemeriksaan kesehatanku buruk. Mereka menemukan kesalahan di dalam tubuhku. Jantungku rusak.” Ia tahu kalau aku manusia kloning, jadi tak perlu kujelaskan lagi.
Bima memandangku terkejut. “Mereka akan membuangmu?” ia berbisik pelan di dekatku.
Aku menoleh ke sudut tempat, menemukan Presiden Andromeda yang berbicara dengan salah seorang ilmuwan. Sesekali ia memandangku dengan mata yang menyorot lekat dan mengintimidasi. Sepertinya ia tidak suka jika aku berdekatan dengan adiknya.
“Ya,” kataku lesu. “Mereka membuangku besok.”
“Tunggu.” Ia menyurukkan jari-jemari pada rambutnya yang ditata dengan gaya spike. Tatapannya dialihkan sebentar menuju kakaknya, lalu kembali padaku. “You ain’t go everywhere. You will stay. Okay?”
Aku menggeleng. “A-aku tak tahu.”
“Aku akan coba membujuknya,” ia tetap bersikeras.
Bahuku terangkat lunglai. “Setidaknya, aku masih memiliki waktu satu hari di sini. Kalau segalanya telah dipersiapkan, aku akan pergi.”
“Tapi kamu tidak punya pengalaman dalam bidang survival, Btari. Apalagi kamu akan dibuang menuju Vrischika.” Bima menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mengusap hidungnya, tampak berpikir sambil bertolak pinggang. Mungkin karena kami telah lama bersahabat—bahkan sejak kecil—itulah yang membuatnya cukup terkejut mendengar bahwa aku masuk dalam jajaran kloning gagal dan diusir dari Waluku. Sudut mata Bima melirik dua pria berseragam hitam dan berjubah putih tadi. “Biar aku yang mengantarnya menuju kamarnya.”
“Kami tidak bisa menjalankan perintah orang lain, selain Presiden Andromeda,” salah satu dari mereka membalas datar.
“Apa bedanya?” Bima mengangkat kedua tangannya, memelotot kesal pada mereka berdua. “Aku adiknya.”
“Komando satu arah.”
Menghela napas berat, Bima kembali menatapku. Aku memberikan pesan dari mimik wajahku, mengatakan padanya bahwa lebih baik ia menuruti perintah kakaknya daripada ikut terseret ke dalam masalah.
Kuberikan senyuman singkat untuknya sebelum dua orang berseragam hitam dan dua orang berjubah putih itu membawaku pergi menuju kamar yang akan kutempati malam ini. Aku menoleh ke belakang, melihat Bima yang memandangku tanpa kejelasan emosi di kedua matanya. Ia menyusupkan tangannya pada rambut dan menariknya kasar sampai aku lenyap di balik tembok.
*
Malam itu pintu kamarku dibuka oleh seseorang, membuat aku yang rebahan mengamati langit-langit kamar terlonjak kaget. Dengan segera, aku menghidupkan lampu di dalam kamar ini. Melihat siapakah seseorang yang secara tidak sopan membuka pintu kamarku, aku menghembuskan napas lega. Bima tertawa kecil melihat ekspresi kagetku seperti ini. Kuraih bantal di dekatku dan melempar kasar ke arahnya; ia melesat menghindari lemparanku, alih-alih bantal yang terlempar itu menghantam kusen pintu.
“Ayo keluar, aku mau mengajakmu pergi,” katanya.
“Pergi?” nadaku naik dua oktaf, tidak begitu memahami apa maksud pergi yang dikatakannya. Apakah pergi dalam arti… kabur?
“Cari udara segar. Hitung-hitung…” Senyum di bibirnya memudar seketika, “sebelum kamu pergi.”
Aih, benar rupanya. Aku akan keluar dari wilayah ini dan hidup sebatang kara di luar sana. Mengangguk lemah, aku bangkit dari ranjang, berjalan keluar bersamanya. Kamar di EXIT tidak begitu buruk. Luas, tidak seperti penjara—meskipun aku tidak dapat membayangkan seperti apa penjara yang sesungguhnya—, bahkan wangi. Biarpun, ya… tak selengkap kamarku. Hanya ada ranjang berukuran setengah dari ranjangku, satu nakas kecil di sebelah ranjang dengan lampu temaram berdiri di atasnya.
Aku sudah mengganti pakaianku dengan yang baru, yang diberikan oleh salah seorang petugas di sini dan mengatakan ia akan membekali banyak pakaian untuk kubawa pergi nanti. Untunglah aku tidak hanya memiliki satu baju. Sungguh tak dapat kubayangkan. Terluntang-lantung di dunia luar yang asing dengan satu pakaian. Haha, terima kasih siapa pun yang berbaik hati padaku, telah membekali aku dengan makanan dan peralatan yang bisa kugunakan bertahan hidup di luar. Entah sampai kapan. Aku harus pandai-pandai bertahan di luar yang kemungkinan diisi oleh predator buas.
Aku dan Bima berjalan beriringan menyusuri koridor terang yang dilalui oleh orang-orang berjas putih. Kali ini, Bima tidak menanggalkan jas putih kebanggaannya seperti tadi pagi; ia cukup memakai kaus yang dilapisi jaket dan celana jins.
“Bukankah aku dilarang keluar dari kamar itu sampai besok pagi?” tanyaku padanya.
Kami berbelok ke tikungan, mulai meninggalkan wilayah kamar khusus manusia kloning yang akan didepak keluar dari wilayah ini.
“Aku mungkin tidak bisa membujuk kakakku agar mengembalikanmu pulang,” katanya penuh penyesalan. Bukan hanya dari ucapan, kedua matanya pun menyiratkan sinar penyesalan. “Tapi aku bisa membujuknya dengan mengajakmu keluar. Kamu pasti stres, Bi.”
Aku tertawa kecil, mengangguk-anggukkan kepalaku. “Aku stres akut stadium akhir.” Tawaku lenyap saat kuingat orang tuaku. Mungkin detik ini mereka sudah berhasil melupakanku akibat oblivetanol yang diberikan atas desakan Presiden. Aku menggigit bibir bawahku. Kini aku benar-benar sendirian.
Kami sampai di nok gedung EXIT. Angin malam langsung menyambutku dengan gelitikan samar di kulitku, menerbangkan sebagian rambutku dan membawa aroma daun pinus. Gedung EXIT memang terletak tidak jauh dari pohon pinus yang berjejeran di sepanjang jalan setapak.
Dari atas sini aku dapat melihat pemandangan kota J. Gedung-gedung tinggi, cerobong asap pabrik, lampu kelap-kelip, bising kendaraan, sebenarnya pemandangan seperti ini sudah bosan bagiku. Tempat ini terlalu padat dengan gedung dan kendaraan. Apalagi keberadaan kereta listrik menggantung di udara.
Kami berdiri, menyandarkan tangan pada birai nok. Kuamati pemandangan di bawah sana, seperti semut kecil yang berwarna-warni ditelan gemerlap cahaya. Aku mengulum bibirku, menghembuskan napas panjang merasakan debaran jantungku.
“Aku tahu semuanya,” katanya memulai percakapan. Pandangannya kini tidak sejenaka tadi. Ada kegamangan dan ketakutan di dalam matanya. “I will do everything to save you. Kamu sudah seperti adikku, Bi. Aku akan lakukan apa pun.”
Praktis, kedua alisku menyatu. “Aku baik-baik saja.”
Ia memberikan senyum kecil menentramkan. “Ya. Memang baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Perhatiannya dialihkan ke depan. Aku memandanginya dari samping selama beberapa detik, lantas ikut menatap lurus-lurus.
Ucapannya tadi seperti memberi pengertian bagiku bahwa aku sedang sekarat.
“Aku akan mati?” tanyaku tanpa menarik perhatianku dari puncak gedung di seberang sana.
“Tidak untuk saat ini.”
Aku menyengir. Kepalaku bergerak menoleh ke arahnya, memberikan senyum lebar, mengatakan padanya bahwa aku memang baik-baik saja. Tidak semua manusia kloning yang gagal mati muda.
Tidak semuanya... mungkin aku yang akan menjadi satu-satunya kloning gagal yang selamat dari kerusakan itu. Tapi, bagaimana caranya? Masalahnya, yang menjadi kekhawatiranku adalah pengasingan ini. Bima mungkin bisa mencari solusi mengakali disfungsi organ pemompa darahku, namun ia tak dapat membawaku tetap tinggal—atau kembali—kemari setelah dikeluarkannya perintah pengasinganku.
“Maaf tidak bisa berbuat banyak untuk mempertahankanmu di sini,” tukasnya dengan nada menyesal seperti tadi.
Aku menyingkirkan sejumput rambutku yang menempel di sisi wajahku, menyentuh bibir, membiarkannya berkibaran pelan bersama helaian lainnya.
“It’s okay. Tak perlu menyalahkan diri.” Aku menepuk tangannya berkali-kali. “Mungkin ini waktu yang tepat bagiku mencari jati diriku yang sebenarnya. Siapa aku, mengapa aku hidup, untuk apa aku hidup… apakah aku hanya produk tidak berguna atau justru sebaliknya. Akan kubuktikan pada mereka bahwa aku bukanlah makhluk lemah.”
“Itu baru adikku.” Ia memberantakkan rambutku, membuatku tertawa kecil. “Aku akan menemukanmu setelah berhasil menemukan solusi memperbaikimu tanpa melakukan pencangkokan jantung dari manusia lain. Dan berjanji membawamu kembali. I promise.”
“It sounds good.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Hanya saja, aku ingin tertawa mendengar pilihan katanya. Memperbaikiku, mungkin pilihan kata yang buruk, tapi aku senang mendengarnya. Itu sudah cukup bagiku. Meskipun aku tidak yakin apakah setelah ini Bima masih peduli padaku atau malah melupakanku. Parahnya lagi, jika Presiden Andromeda memberinya oblivetanol.
Tangannya merogoh ke dalam saku jaketnya, mengeluarkan sesuatu, seperti sebuah gelang rantai yang terbuat dari perak. Tanganku diraih tanpa menunggu izinku, lantas ia pakaikan pada pergelangan tanganku. Begitu gelang rantai itu terpasang di tanganku, aku mengamatinya dengan saksama dan mencebikkan bibir.
“Tidak buruk.” Bahkan, benda ini cantik. Aku tak berhenti mengamatinya dengan mata berbinar.
“Itu detektor. Aku bisa memantaumu dari komputerku,” katanya. “Aku memintanya dari salah satu teman dekatku membuatkan detektor dan menyelipkannya di dalam gelang itu. Jika aku berhasil menemukan cara agar kamu bisa kembali kemari, aku akan menjemputmu.”
“Thanks.” Kusunggingkan senyum tulus untuknya.
Meskipun telah lama tidak bertegur sapa karena ia memiliki kesibukan bergabung di tempat ini, aku tidak merasakan kecanggungan apa pun. Justru, aku senang bertemu dan berbicara berdua lagi dengannya, seolah-olah tali persahabatan di antara kami tak dapat diputus layaknya rantai. Aku merasa, ia memang kakak bagiku, meski kami tak terikat darah.
Kami tak lagi berbicara selama beberapa detik. Aku memilih mengamati gelang di tanganku sedangkan Bima bertekur dengan pemandangan di depannya. Entah apa yang membuat puncak gedung di depan sana menjadi sangat menarik di matanya.
“Kamu belum mendengar kalau situs rahasia kakakku diretas dan pembicaraannya disadap seseorang?” tanyanya mencairkan keheningan.
Aku membulatkan mata. “Orang macam apa yang berani meretas situs rahasia dan menyadap seorang Presiden macam kakakmu?”
“Well,” Bima mengatupkan bibirnya rapat membentuk garis lurus. Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi, “tentu saja revolusioner yang cerdas dan berani.”
Aku berasumsi sama. Revolusioner, siapa lagi. Yang berusaha mencuri rahasia dan mengacaukan sistem di dalamnya seperti virus komputer. Dan memata-matainya. Siapa pun orang ini, ia sungguh berani melakukannya.
“Lalu bagaimana?” Sifat keingintahuanku sekarang tersulut seperti sumbu dibasahi gas yang didekatkan pada kobaran api.
“Masih proses penyelidikan. Hebatnya, hacker ini tidak terdeteksi. Sangat licin dan cerdik.”
Kami tidak lagi membicarakan soal hacker dan ancamannya yang bisa menggulingkan kabinet Catur Cepuri yang sekarang dipimpin oleh Presiden Andromeda. Kabinet itu dibentuk oleh koalisi partai politik tertentu sejak negeri ini memasuki era postmodern kacau dan dinamai sesuai dengan empat wilayah di negara ini. Yang berarti Empat Tembok.
Keadaan kembali sunyi. Kusandarkan kepalaku di atas pundak Bima, merasakan pergerakan angin malam yang dingin pertanda awal memasuki musim penghujan. Beberapa hari nanti pasti hujan, itu pun kalau cuacanya memang mendukung.
Kami menghabiskan malam ini dengan duduk berdua di tepi nok dalam sunyi, bercengkerama bersama angin, dan mendengar samar-samar suara bising di bawah sana.
Sepertinya, aku siap hidup mandiri di dunia asing.