Bab Empat

1229 Kata
Orang-orang yang sudah bersiap siaga mengantarku ke Vrischika menggiringku menuju helikopter yang telah siap landas di atas helipad. Seperti asumsiku kemarin, Presiden Andromeda memang berniat menyaksikan kepergianku dengan mata kepalanya sendiri. Wanita itu berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggung, dagu ditinggikan, dan senyum samar yang masih tampak di bibirnya yang dipoles warna merah. Di sebelah, berdiri pula Bimasakti, yang memberikan semangat padaku melalui senyum merekahnya. “Tunggu sebentar,” sebelum aku dibawa masuk ke dalam heli, Bima berseru pelan memerintahkan tentara yang mengawalku untuk memberikan waktu sebentar. Ia berlarian kecil, membuat jubah putihnya bergerak sesuai langkah kakinya menghampiriku. “Selamat berjuang, Btari. Semoga kamu beruntung,” katanya begitu sampai di depanku dan mengusap pundakku. Ia maju satu langkah untuk mendaratkan ciuman di dahiku, lalu berjalan mundur beberapa langkah membiarkan pasukan bersenjata itu menggiringku masuk ke mobil. Di balik jendela heli, aku melambaikan tangan sebagai perpisahanku pada Bima. Sekiranya ia tidak melihat lambaian tanganku, rupanya ia balik melambaikan tangan tanpa melenyapkan senyum merekahnya padaku. Membuatku sedikit tenang dan tidak lagi memikirkan dunia liar seperti apa yang akan kuhadapi nanti. Bagaimana aku akan bertahan nanti? Ke mana aku pergi? Apakah aku jadi gelandangan yang tidur di jalan dan dipenuhui orang-orang tak kukenal? Tidak… aku tidak selemah itu! Meskipun aku tiada memiliki pengalaman survival, aku harus pandai-pandai beradaptasi dengan lingkungan baruku nanti. Mungkin, aku akan pergi mencari tempat perlindungan yang aman. Kubiarkan waktu saja yang menuntunku pergi.   *   Seorang perwira duduk di sebelahku dan berdeham pelan. Tak kuacuhkan sapaannya. Bagiku, semua orang yang tak kukenal—terutama mereka yang berseragam dan dilengkapi senjata—bisa menjadi ancaman bagiku. Kualihkan pandangan dengan melabuhkan perhatian menuju pemandangan kecil berjejeran di bawah sana. Hijau dan biru lebih mendominasi. Perwira itu bergeser lebih mendekat kepadaku. Aku dibikin kian tak nyaman. “Btari,” panggilnya berbisik. “Aku teman Bimasakti.” Pengakuan yang dilontarkan dari mulutnya sekonyong-konyong membuat kepalaku tersentak ke arahnya. “Oh.” Mataku berkedip beberapa kali. “Siapa nama Anda?” “Nama tak penting. Yang menjadi terpenting saat ini adalah keselamatanmu. Kamu mungkin akan bertemu mara bahaya di lingkungan barumu. Kamu tidak tahu sebangsat apa dunia ini; di luar sana akan kamu temui orang-orang sengsara yang belum pernah kau saksikan dengan mata cantikmu itu. Jadi, aku harap kamu tidak akan kaget.” Si perwira melirik kawannya yang menelisik kami dengan tatapan skeptis. Lebih memelankan suaranya, si perwira melanjutkan, “Jangan khawatir, akan ada yang menjemputmu di sana bila kita sampai. Kamu akan ditampung di rumah kenalanku.” Sudut-sudut bibirku tertarik ke atas membentuk lengkung senyum puas. Aku tidak perlu khawatir lagi. Akan ada yang menjamin kehidupanku nanti sesampainya di wilayah baru yang sebelum ini tiada pernah kubayangkan. Aku tak memiliki apa-apa lagi sekarang. Sungguh malang nasibku ini. Sudah hanya manusia rekayasa genetika, diusir pula. Sekarat pula! Aku tidak boleh memanjakan diri dan merutuki nasibku terus-menerus. Membuktikan diri bahwa aku bisa bertahan hidup adalah tujuanku. Biarpun mereka menganggapku produk gagal dan tak sesempurna yang diharapkan, akan kutunjukkan bahwa produk gagal ini sanggup bertahan dan bisa sejajar dengan mereka yang tak punya rasa kemanusiaan. Ah, Tuhan. Dalam keadaan begini saja aku baru mengingatMu. Boleh kubilang, Mama dan Papa bukan orang yang relijius, sebagai warga yang tinggal bersama warga lain yang mengalami krisis kepercayaan di era sinting ini. Mereka tak pernah mengajariku nilai-nilai agama lantaran kesibukan yang membelenggu tiap waktu. Yang kutahu, aku bertuhan. Dan juga beragama. Namun yang disayangkan, aku merasa tidak cukup dekat dengan Tuhanku. Aku bagaikan insan yang tak tahu diri. Sudah diberi kesempatan hidup malah melalaikan kewajibanku sebagai hambaNya. Mana kutahu cara-cara beribadah. Mama dan Papa saja tak pernah beribadah! Sejenak aku yang lelah tertidur di helikopter. Bunyi baling-baling dan udara yang bergumul jadi satu tak lantas menggangguku. Mendadak, para prajurit yang bertugas mengantarku menuju tempat pengasingan berbisik gaduh, entah membicarakan apa. Dalam batas kesadaran dan alam mimpiku, aku dengar suara ribut-ribut dan mesin menderu-deru. Detik berikut kurasakan goncangan kuat hampir membuat tubuhku terpelanting. Aku tergeragap, mencengkeram sisi bangku tempatku duduk dengan wajah panik. Perwira kawan Bimasakti mendorong tubuhku dalam keadaan setengah sadar. Kepalaku yang pening gagal menelan informasi darinya. Bibirnya bergerak-gerak memberiku komando. Mataku yang berkunang-kunang menyoroti beberapa orang di dalam heli ini terpontang-panting sambil bergegas mengenakan jaket pelampung. Barulah aku kembali pada kesadaran normal ketika kudengar dari si perwira di depanku bahwa helikopter yang kami tumpangi akan jatuh menuju Java Sea, dekat perbatasan Pari. “Terjun, Btari! Baling-baling heli ini kena tembakan! Heli ini tak akan dibiarkan melintas begitu saja oleh mereka! Terjun!” “Aku takut laut!” Dibantunya aku mengenakan jaket pelampung dalam keadaan genting. Mesin menderu-deru makin ribut. Hampir aku kehilangan keseimbangan seandainya si perwira tak menahan tanganku. Heli mulai kehilangan kendali, terpontang-panting ke kanan-kiri, bersiap menukik jatuh ke dalam air. Gigilan aku rasai sampai di balik punggungku. Pandanganku nyaris bunar, antara digenangi air mata ketakutan dan kabut aneh yang seakan menyelubungiku. Pening di kepalaku makin menjadi-jadi. Apakah riwayatku akan tamat? Akan matikah aku? “Terjun!” Si perwira membentakku. “Bagaimana denganmu!” “Jangan pedulikan aku. Kamu sudah berada di perbatasan Pari. Kamu akan selamat bila bertemu dengan orang yang tepat.” Dengan orang yang tepat. Itu semacam kalimat bernada waspada yang perlu kuperhatikan. Aku gemetar tak keruan. Si perwira terus membentakku meminta aku terjun sebelum heli ini tertelan lautan dan aku terjebak di dalamnya. Tak peduli lagi pada nasibku ke depan nanti, aku menuruti perintahnya dengan menerjunkan diri. Bunyi deburan air menggelegak tak terhindarkan. Aku ditarik ke dalam air dalam keadaan masih sadar. Ada bunyi letusan dan ledakan di udara yang dapat kudengar dari dalam air. Kepalaku tengadah, melihat kepingan-kepingan badan heli kocar-kacir, jatuh satu per satu ke dalam air. Sebuah pecahan entah dari bagian mana heli terhempas dekat denganku, hampir saja menghantamku bila aku tidak berenang menghindar, meski dahiku terbentur sedikit dan menanggalkan perih. Beberapa waktu selanjutnya, badanku tertarik ke atas. Jaket pelampung yang rupanya membawaku terapung di atas permukaan air. Aku berenang menghindari pecahan-pecahan bangkai heli yang mulai berentetan menghampiriku. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berenang makin menjauhi lokasi ledakan. Heli yang akan membawaku menuju Vrischika tadi meledak di udara tepat beberapa menit sebelum aku terjun. Asumsiku yang kuat berkata bahwa golongan revolusionerlah yang menembak heli milik pasukan tadi. Yang pertama baru kena baling-baling, membuatnya terbang tidak terkendali. Lalu tembakan kedua kena badan heli, langsung meledakkannya di udara. Dan untuk pertama dalam hidupku, aku sungguh bersyukur pada Tuhan yang memberiku kesempatan hidup. Badanku terputar ke belakang. Tidak ada yang tersisa. Mereka mungkin sudah tewas dalam ledakan—atau ada yang selamat dengan menerjunkan diri sebelum tembakan kedua. Tak terasa, air mataku merebak menjadi satu dengan air asin yang membasahi wajahku. Belum pernah aku mengalami kejadian dramatis yang nyaris membunuhku macam ini. Memutar badan lagi, aku berusaha mencari sesuatu yang dapat kujadikan pegangan. Perwira tadi bilang padaku bahwa aku sudah berada di perbatasan Pari. Artinya, aku dekat dengan pemukiman penduduk. Mataku menemukan sebuah perahu. Tanpa pikir panjang lantaran didera kepanikan dan ketakutan, kuhampiri perahu tersebut dengan berenang mendekat. Dengan tubuh lemas dan menggigil, aku naik ke atas hati-hati. Napas kuhela teratur. Pundakku naik-turun mengikuti gerakan pernapasanku yang terengah-engah. Baru beberapa meter perahu tak bertuan ini membawaku entah ke mana, jantungku berdenyut ngilu bagai ditohok benda tajam. Kadang sakitnya samar, kadang terasa lagi, lalu samar. Lalu mataku mulai berkunang-kunang. Pening menghampiri. Pandanganku lantas mengabur detik berikut. Kesadaranku benar-benar hilang seratus persen di detik lain. Gulita menelan dan mengisapku ke dalam hingga aku dibuai kesunyian panjang…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN