Chapter 7

1665 Kata
Rae baru saja keluar dari kamarnya saat melihat pemandangan itu. Di sana, di sofa ruang tamu, tampak Jamie dan seorang gadis berambut pirang sedang berciuman. Bukan hanya berciuman. Gadis itu bahkan sudah setengah telanjang karena bagian atas gaunnya sudah melorot sampai ke perutnya. Tangan Jamie meremas kedua p******a yang tampak penuh itu, sedangkan kedua tangan wanita itu sudah masuk ke dalam celana Jamie. Mereka begitu asyik dengan kegiatan mereka, seolah hanya ada mereka berdua di rumah ini.           Mata Rae memanas. Sambil menahan agar tidak bersuara, ia kembali masuk ke dalam kamar. Air matanya tidak tertahan lagi saat ia mencapai kamar mandi.  Rae terisak pelan. Ia jatuh terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Sekuat tenaga ditahannya agar isakan itu tidak semakin keras.           Sakit. Lebih dari sakit. Itu yang dirasakannya sekarang ini.Selama ini, da tidak pernah melihat Jamie make out. Satu kalipun. Jauh di lubuk hatinya, ia berharap Jamie bukan pria seperti itu. Baginya, Jamie adalah pahlawannya. Jamie itu sempurna.           Akan tetapi pemandangan yang tadi disaksikannya membuat hatinya hancur. Jamie bukanlah pria yang dikenalnya selama ini. Jamie bukan Jamie-nya yang dulu sangat menyayanginya. Jamie yang sekarang adalah pria dewasa yang sama sekali tidak ia kenal. Pria dengan gaya hidup bebas, yang mungkin saja berganti wanita setiap malam.           Kenapa Jamie membawa wanita itu pulang? Apa pria itu lupa ia tinggal di sini juga?Atau mungkin itu artinya Rae harus mencari tempat tinggal baru sekarang? Ia tidak akan tahan melihat pemandangan 'itu' setiap akhir pekan begini.           Rae menghapus air mata dan segera bangkit dari duduknya. Ya, ia harus segera mencari tempat tinggal sendiri. Pasti ada flat berbiaya murah yang bisa ia sewa.Selesai mencuci muka dan menggosok gigi, Rae bersiap pergi mencari flat yang bisa ia sewa. Semoga saja pasangan m***m itu sudah pergi dari sofa.  Rae baru saja memakai bajunya saat ponselnya berbunyi. Ia tersenyum sebelum mengangkat teleponnya.           “Ya, Abs.”           “Rae! Kau libur kan hari ini?”           “Ya, aku libur. Ada apa?”           “Bisa ke rumahku ya? Please...aku ingin Shepherd pie buatanmu,” Abby memohon di ujung sana.           Rae terdiam. Kalau ia pergi ke rumah Abby, ia pasti tidak akan sempat mencari flat. Juga ia pasti akan bertemu pria galak itu. Namun jika ia tidak kesana, apa bosnya yang galaknya melebihi singa lapar itu akan memecatnya?           “Rae, are you still there?”           “Ah, iya...aku...aku...”           “Bisa ya? Please...”           “Baiklah. Kirimkan saja alamatmu. Aku akan ke sana.”           “Tidak, kakakku yang akan menjemputmu.”           “Tidak, Abs. I'll be there by myself. Jadi kirim saja alamatmu.”           “Tapi...”           “Atau aku tidak akan pergi ke rumahmu.”           Rae tertawa geli mendengar Abby menggerutu. Walaupun baru bertemu satu kali kemarin, Abby benar-benar membuatnya merasa nyaman. Gadis itu, tidak, wanita itu membuatnya merasa menemukan keluarga di tengah kota asing ini.           Selama ini, Rae hanya mengenal ibu dan neneknya. Tidak ada saudara perempuan atau sepupu karena ibu Rae adalah anak tunggal.  Omong-omong, Rae bahkan belum menghubungi ibunya setelah hampir dua minggu ia di sini. Menurut orangtua Jamie, ibunya baik-baik saja. Wanita itu bahkan tidak mencarinya saat tahu ia pergi dari rumah. Ibu Jamie bilang wanita itu hanya marah-marah dan menyumpahi Rae saat tahu anak satu-satunya itu telah pergi. Kadang Rae heran, apa wanita itu benar-benar ibu kandungnya? Kenapa wanita itu tidak pernah menyayanginya sedikitpun?           Rae menghapus airmatanya yang kembali menetes dan bersiap pergi. Walaupun kemungkinan hari ini ia akan dimangsa singa gunung, tetapi setidaknya itu lebih baik daripada ia berdiam diri dalam rumah di mana ada pria pujaannya sedang b******a dengan wanita lain. Rae mengintip dari balik pintu kamar dan mendapati ruang tamu telah kosong. Segera ia keluar tanpa merasa perlu untuk pamit atau meninggalkan pesan.           Tadi, Rae sempat bertanya apa di rumah Abby ada semua bahan untuk membuat shepherd pie, dan saat wanita itu hanya menjawab dengan jawaban tidak tahu dan emoticon lidah menjulur, Rae memutuskan untuk mampir ke supermarket terdekat dari rumahnya.           Rae menyusuri Royal Mile dengan riang. Ia suka tinggal di sini. Keindahan kota ini seakan menyihirnya. Bangunan-bangunan tua tempo dulu seakan membuatnya berada di negeri dongeng. Royal Mile sangat istimewa karena jalan ini terbuat dari cobble stone, dan di kanan kirinya penuh dengan bangunan cantik berusia ratusan tahun yang masih terpelihara dengan baik. Sayangnya Rae belum sempat mengelilingi kota ini. Jamie selalu melarangnya pergi sendiri.           Jamie. Rae menghela napas berat. Sekarang, ia tidak akan bisa melihat Jamie tanpa mengingat kejadian tadi pagi. Mungkin kejadian tadi adalah langkah awal ia harus melupakan Jamie. Walaupun pasti sangat sulit. Rae mengenal Jamie seumur hidupnya, dan jika ia harus melupakannya, itu pasti hal tersulit yang harus ia lakukan. Namun Rae harus mencobanya. Tidak mungkin ia akan terus mencintai pria yang bahkan tidak pernah melihatnya.           Empat puluh lima menit kemudianRae tiba di rumah besar itu. Tidak, itu bukan rumah. Itu kastil!! Dari depan pintu gerbang saja, Rae masih harus berjalan cukup jauh. Ada padang rumput yang luas di sekeliling rumah itu. Rae bahkan yakin mereka memiliki lapangan golf pribadi.           Bangunan itu tampak megah dan kuno, tetapi tetap terlihat mewah. Pilar-pilar yang tinggi menyangga bangunan itu. Terdapat ukiran yang sangat cantik di sekeliling pilar. Aksen warna putih yang dominan memberikan nilai seni yang tinggi dan estetika yang eksklusif. Warna putih memang selalu identik dengan warna mewah dan klasik. Rumah akan terlihat lebih bersih, mewah, dan elegan.           Seorang kepala pelayan membukakan pintu dan membawanya masuk. Interior rumahnya bahkan bisa membuat matanya keluar. Desain yang elegan dengan furniture yang tampak mahal akan membuat siapa saja betah berlama-lama di rumah ini. Dalam mimpipun, Rae tidak berani akan memiliki rumah sebesar dan seindah ini.           “Rae!”           Rae menoleh dan mendapati Abby berlari kecil ke arahnya. Mereka berpelukan singkat.           “Kau berbelanja?” Tanya Abby kemudian.           “Tentu saja. Apa yang akan kita buat kalau kau sendiri tidak tahu ada bahannya atau tidak di rumah ini.”           Abby terkekeh mendengarnya. Wanita itu menggandeng tangan Rae dan  membawanya menuju dapur.           “Hai, Rae!” Seorang wanita yang tidak kalah cantiknya dari Abby menghampirinya sambil tersenyum ramah.           Rae jadi merasa seperti itik buruk rupa di rumah ini.           “Dia, Diva, adik Dave.” Abby memperkenalkan mereka.           Oh, jadi wanita cantik ini adik iparnya Abby.           “Kau bekerja di kantor kakakku?”           Rae mengangguk. “Sebagai cleaning service,” ucapnya pelan. Entah kenapa ia merasa malu di hadapan dua wanita cantik ini. Mereka berdua tersenyum tulus pada Rae seolah tidak mendengar apa yang ia ucapkan.           “Ayo kita memasak! Aku tidak sabar belajar membuat shepherd pie dari seorang Irish asli,” ucap Diva riang.           Mereka bertiga sibuk di dapur. Memasak sambil bercanda. Kecanggungan yang tadi Rae rasakan perlahan menguap. Abby dan Diva itu seperti dua orang malaikat yang sangat cantik dan berhati baik. Mereka bahkan mau bergaul dengan Rae yang bukan dari kalangan kaya seperti mereka. Rae bersyukur, setidaknya ia mengenal orang lain selain Jamie di kota ini. *****           Dave tertawa girang melihat si kecil Mike dan Louis belajar bermain golf bersama daddy mereka. Ini hari Sabtu, ia tidak berencana pergi kemanapun. Mika dan Michelle sedang melukis di  patio. Bukan, hanya Michelle yang melukis. Mika mengganggunya. Nenek dan kakeknya tertawa geli melihat Mika yang selalu mengganggu kakaknya. Ya, tadi pagi orangtuanya sampai ke Edinburgh. Jarang sekali semua cucu mereka bisa berkumpul seperti ini, karena itulah mereka langsung terbang kemari.           Pikiran Dave melayang ke peristiwa kemarin sore. Saat gadis itu masuk ke ruangannya mengantar jas yang selesai di dry clean. Tentu saja Dave tidak sesteril itu, ia hanya ingin mengerjai gadis kecil itu. Tadinya ia berharap gadis itu akan marah-marah seperti dua pertemuan mereka sebelumnya, tetapi ternyata gadis itu tidak melawannya. Kemana perginya gorilla betina pemarah itu? Kenapa ia sekarang tampak seperti kelinci kecil yang ketakutan akan dimangsa serigala?           Dave mengingat bagaimana gugupnya gadis itu saat Dave menanyakan awalnya gadis itu bekerja di sana.           “Jadi kau dari Donaghadee?”           “Yaa...ya, Sir,” jawabnya sambil menunduk.           “Bagaimana kau bisa bekerja di sini?”           “Sa...saya...sa...”           “Karena Jamie?”           Kedua mata biru itu membelalak saat ia menyebut nama Jamie. Sesaat, Dave terpesona pada kedalaman mata indah itu.           “Saya mohon jangan pecat Jamie, Sir!”           Dave terkekeh. “Apa kau pikir aku ini suka sekali memecat orang?”           Gadis itu menggeleng. “Saya sendiri yang meminta pekerjaan ini. Saya mohon Anda tidak memecat Jamie. Lebih baik saya yang Anda pecat.”           Dave tertegun. Gadis ini sangat mencintai Jamie.           “Apa kau bersedia melakukan apapun agar kalian berdua tetap bekerja di sini?”           “Apapun!” Jawabnya cepat, bahkan tanpa berpikir.           Dave merasa punya kartu As. Ia bisa membalas gadis itu yang membuatnya sial dua kali.           “Hentikan seringaian tololmu itu, Dave!” Suara itu menginterupsi lamunannya.           Ia menoleh dan cemberut melihat Devan terkekeh di sampingnya.           “Apa yang kau pikirkan? Gadis fast food-mu?”           Bahkan mereka sudah mempunyai panggilan khusus untuk gadis itu. Siapa lagi kalau bukan Abby yang memberitahu mereka.           “Jangan sok tahu, Sir!”           Devan terkekeh. “Tidak usah dipikirkan! Jika dia milikmu, dia akan selalu ada di dekatmu.”           Dave mencibir. “Aku tidak akan mau memiliki gadis barbar seperti dia! Aku bisa terkena darah tinggi.”           Kali ini Devan terbahak.           “Kenapa kau di sini? Mike sudah selesai bermain?”           Devan tidak menjawab. Ia hanya menunjuk dengan dagunya ke arah patio. Louis dan Mike sedang mengganggu Michelle di sana.           “Apa kau tidak ingin memiliki pengganggu kecil seperti mereka?”           “Andra! Kita sudah pernah membicarakan itu. Tidak usah dibahas lagi!”           “Jangan terlalu galak, para wanita akan takut padamu.”           “Di mana Daniel?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan. Ia tidak suka jika kehidupan percintaannya dibicarakan.           “Di dapur. Sepertinya ada tamu.”           “Tamu? Siapa?”           Devan mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu.”           Dave beranjak ke dapur diikuti Devan di belakangnya. Siapa yang datang ke rumah saat weekend begini? Apa teman lama Diva?           Langkah Dave berhenti saat ia melihat siapa yang sedang berdiri di dapurnya. Bahkan dari belakangpun, ia sangat tahu siapa orang itu. Kenapa gadis itu ada di dapurnya?           “Apa yang kau lakukan di rumahku??!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN