Aira menatap nanar jalanan dari jendela mobil. Yup, Aira kini di mobil bersama pak Bara dan Bu Surayani menuju kota Jakarta, bukan mudah mereka membawa Aira pulang bersama. Setelah pertemuan lalu, Aira menyuruh mereka pulang terlebih dulu dan berkata akan memikirkannya.
Setelah orang tuanya pulang, Aira bingung dan tak tau akan melakukan apa. Tapi karena bujukan kang Ucup yang menyentil ke hatinya makanya kini Aira duduk otw ke rumah orang tuanya, ah atau bisa disebut 'rumahnya'
"Kenapa kau tolak mereka Ra?" tanya kang Ucup Minggu lalu, setelah orang tua Aira pulang akibat usiran tetangganya ini.
"Terus Aira harus apa Kang,"
"Menerima mereka dengan tangan terbuka?? Aira nggak bisa,"
"Tapi Ra kalo kamu tinggal sama mereka kamu teh bakalan bahagia, kamu gak perlu kerja lagi, lagian kamu udah kelas 3, katanya kamu mau kuliah."
"Kalo kamu tetap kerja disini, kamu teh bakalan susah, cari makan aja berat apalagi uang kuliah Ra." bukan tanpa alasan Ucup membujuk Aira ikut orang yang mengaku sebagai orang tuanya itu. Ia kasihan melihat Aira yang menghabiskan masa remajanya untuk bekerja serabutan.
"Aira teh nggk kenal sama mereka kang, Aira gak bakalan mau!! Kalo mereka datang lagi Aira gak bakalan ikut mereka." Aira masih kukuh tidak ingin ikut dengan orang-orang tadi.
"Kalo kamu memang gak mau ikut sama mereka setidaknya kamu mau ikut karena nek Asih,"
"Nek asih pasti bakalan tenang disana kalo kamu terjamin hidupnya, pergilah Ra, pulang kemana kamu sebenarnya harus pulang!! Kamu tak harus menyiksa diri kamu dengan semua ini, cukup selama ini kamu kekurangan ekonomi dan kasih sayang orang tua, sekarang mereka menawarkan semuanya dan kamu menolak!!!"
"Kamu waras??" Pria berkepala dua itu menatap Aira dengan gelengan kepala, melihat sifat keras Aira yang tak pernah berubah, membuatnya berdecak kesal.
"Aira pikirkan dulu kang," ucap Aira mengakhiri pembicaraan
Kini keputusan Aira telah berubah, bukan karena dia ingin hidup berubah dan seketika menjadi kaya, bukan. Ia hanya menjalankan amanat nek Asih yang menyayanginya.
Aira menatap ke depan, Buk Suryani dan pak bara terlihat bahagia menyetir kemudi, apakah sekarang mereka menjadi orang tua nya?
"Hm, sayang kamu pasti sedih ya pergi dari sini?" tanya Buk Suryani memecahkan suasana di dalam mobil. ia tau dengan perasaan Aira, Suryani mengerti bahwa Aira ikut pulang bukan karena keinginannya melainkan keterpaksaan. Tapi bagi Suryani itu tak masalah, yang penting Aira mau pulang. Nanti juga Aira pasti akan menerima kehidupannya yang baru.
Aira diam, semenjak mereka datang kedua kalinya untuk menjemput dan mengajaknya pulang, Aira tak ada mengeluarkan suara, dia hanya mengangguk dan menggelengkan kepalanya. Aira tak munafik, ia sangat tidak bisa menerima semua ini dengan mudah, dia tidak bisa tertawa hahahihi sana sini, ia masih butuh waktu menerimanya.
"Tapi itu gak bakalan lama kok, nanti kamu disana mama masukin sekolah sama kayak adik kamu," ucapan suryani mampu mengangkat kepala Aira yang tadi menunduk menatap jendela mobil.
Apalagi ini, batin Aira.
"Kamu lupa ya? Kamu tuh punya kembaran, sama sama perempuan tapi bukan kembar identik." Suryani menjelaskan dengan raut sumringah menatap ke belakang tempat Aira duduk.
"Nanti di rumah, pasti ingatan kamu bakalan perlahan kembali," ujar pak Bara yang sedari tadi diam di bangku kemudi.
"Aira sebenarnya nama kamu itu Anindya dan kembaran kamu Anindita."
"Tapi ya karena kamu udah pake nama Aira ke mana mana, jadi mama rasa gak perlu ditukar, iya kan pa?" Tanya Buk Suryani meminta persetujuan pada suaminya.
"Iya tapi nanti papa akan urus nama belakang kamu, menjadi KEJORA AIRA HANZEL ."
"Nama belakang keluarga kita jangan sampai gak ada di kamu." Bara menatap Aira sekilas dari kaca spion dan kembali fokus mengemudi.
Jangan tanya Aira, dia hanya diam dan mata tetap fokus ke arah jalanan. Bu Suryani yang melihat itu tersenyum kecut, susah sekali membuat hubungan mereka membaik kembali normal.
Aira dengar apa yang mereka bicarakan, masalah namanya. Jujur Aira tak tau harus bersikap seperti apa dihadapkan mereka. Kini yang Aira pikirkan adalah kehidupan ke depannya. Apa yg harus ia lakukan ketika sampai disana, apa tanggapan orang orang disana yang notabenenya orang kota dan melihat cewek kampung sepertinya.
Aira bingung, dia tak tau apa yang terjadi ke depannya, lelah memikirkan semua ini, tanpa sadar matanya terpejam dan terlelap ke alam mimpi.
~️️️~
Ntah sudah berapa lama Aira terlelap dalam tidurnya. yang ia lihat setelah bangun masih sama yaitu jalanan.
Tapi bedanya jalanan ini persis melewati gedung gedung besar Jakarta seperti di tivi yang ia tonton di rumahnya.
"Sudah bangun sayang?" sapa Suryani yang tengah melihat Aira menatap kagum gedung gedung pencakar langit dari jendelanya.
"Hmm." Aira hanya bergumam sebagai jawaban.
Masih sama, batin Suryani.
"Sebentar lagi kita sampai ke rumah, papa yakin kamu bakalan ingat sama rumah kita," Bara tersenyum melihat sekilas ke arah Aira. Ia berharap saat melihat rumah dan kenangan lama mereka pasti Aira akan kembali ingat pada mereka.
Aira mengangguk, dia juga berharap bisa ingat kepada mereka, ah Aira juga penasaran dengan kata mamanya tadi bahwa ia punya kembaran. Bukankah itu menjadi hal yang mengejutkan. Dia yang hidup sendiri tanpa ada saudara ternyata memiliki kembaran.
"Alhamdulillah, kita sampai."
"Ayo turun sayang," ajak Suryani Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, kadang melihat senyum Suryani, Aira berpikir apakah bertemu dengan nya sebahagia itu? Sampai senyum itu tak pernah pudar semenjak Aira mengangguk kan kepalanya sebagai jawaban atas ajakan pulang kameren.
"Ayo masuk," ajak pak Bara sambil menenteng tas besar Aira.
Aira melihat sekeliling, rumah yang mewah bahkan tonggak rumahnya saja tidak bisa di peluk. Wow, decak kagum Aira dalam hati.
"Assalamualaikum," ucapan salam terucap dari bibir Suryani yang disambut oleh seorang paruh baya berpakaian biasa, dia bik Sumi, pembantu rumah ini.
"Waalaikumsalam, sudah sampai nyonya?" mata bik Sumi beralih ke belakang, menatap Aira dengan senyuman yang lebar.
"Masaya Allah, neng Dia udah besar aja." Aira bingung, Dia? Ah ia lupa bukankah Bu Surayani menyebut bahwa namanya Anindya.
"Namanya Aira buk, bukan dya lagi." pak Bara mengkoreksi.
"Dita sama Alfaro mana?" tanya Bara setelah duduk di sofa ruang keluarga.
"Di atas tuan, capek pulang sekolah katanya," ucap bik Sumi berlalu mengambil kan minum. Ia bahagia sekali, ternyata non Dya yg selama ini dicari telah pulang dengan keadaan selamat dan sudah besar.
Bara ingin langsung mengenalkan Aira yang telah lama hilang kepada putra dan putrinya, yaitu Alfaro Malik HANZEL dan Anindita lestari HANZEL
"Papa, sudah sampai?" Aira melihat ke arah tangga, disana berdiri seorang cowok dengan tinggi badan normal anak kuliahan seusianya. Dia Alfaro putra sulung Bara dan Suryani. kini Alfaro sedang study di salah satu universitas negeri di Jakarta.
"Dya?" tunjuk Alfaro ke arah Aira.
"Oh sorry kata papa, sekarang namanya Aira," sambil berucap Alfaro mendekap Aira erat. Kakak mana yang tidak senang saat adik yang dicari-cari ternyata masih hidup dan kini ada di depannya.
"Lo kemana aja sih dek, gua seneng banget akhirnya Lo pulang juga." Aira terkejut dengan pelukan yang di berikan Alfaro. Jujur ia sedikit canggung saat menginjak kan kaki di rumah mewah ini, apalagi sekarang ia sedang di peluk oleh orang yang notabenenya masih asing bagi Aira.
"Ha?" Aira bingung harus bersikap seperti apa, ia hanya melepaskan pelukan dari abangnya ini. Jujur Aira risih dipeluk oleh orang yang statusnya baru di mata Aira.
Alfaro heran karena Aira yang tak mengenalinya, ah, ia lupa bukankah papa berkata bahwa Aira hilang ingatan akibat kecelakaan itu.
"Adek kamu mana? Dia gak mau ketemu sama kembarannya." Buk Suryani yang sedari tadi tersenyum bahagia, bertanya kepada Alfaro karena tak melihat Dita, adik kembaran Aira.
"Itu." Alfaro menunjuk ke arah tangga yang sama saat ia turun tadi.
Aira mengalihkan tatapannya ke arah yaitu ditunjukkan Alfaro, disana berdiri cewek dengan rambut panjang tergerai dengan Pakaian rumahan, cantik, batin Aira. Muka mereka memang tidak mirip seperti kembaran pada umumnya, tapi mata, hidung dan kening mereka sangat mirip.
Dita mengangkat alisnya, satu kesan pertama yang ia lihat dari Aira adalah kampung. Jujur ia tak suka saat orang tuanya mengatakan bahwa kembarannya masih hidup, ada alasan tertentu untuk itu.
"Kamu nggak mau peluk kakak kamu Ta?" tanya pak Bara menatap putrinya heran. Bukan wajah bahagia yang ditunjukkan Dita sama seperti Alfaro tadi. melainkan, wajah masam dan senyum yang dipaksakan.
"Gak Sudi meluk cewek kampung, lagian kak Dya itu udah meninggal."
"Dita," tegur Suryani marah.
"Kenapa mama mau bela dia, baru nyampe aja udah gini sayangnya apalagi udah tinggal disini." Dita bersungut melihat tingkah mamanya.
"Udahlah, nggak penting!" setalah mengucapkan itu Dita kembali berlalu ke kamarnya di lantai atas.
Jangan tanyakan Aira. Dia bergeming di tempatnya, melihat penolakan dari cewek tadi membuatnya merasa sakit, apalagi ucapan tajamnya yang mengatakan bahwa dia cewek kampung. Seakan kata kata itu sebuah usiran baginya.
"Gak usah dengerin kata-kata Dita tadi ya dek." Alfaro menyentuh bahu Aira yang menunduk melihat lantai.
Aira tak tau harus bersikap apa, dia akan melakukan apa nantinya masih menjadi pertanyaan di benaknya.