[ 03 ] Asupan ≠ Kebutuhan

1219 Kata
Pernah dengar peribahasa ‘Besar Pasak Daripada Tiang’? Artinya kurang lebih adalah besarlah pengeluaran daripada penghasilan. Kondisi seperti ini tepatnya dikaitkan dengan pengelolaan uang. Dalam kondisi Rani. Kebalikannya. Jika dikaitkan dengan berat badan, wanita itu lebih sering bertambah setiap harinya dibanding berkurang. Karena tersinggung dengan kata-kata Santi kemarin, ia mulai mengurangi porsi makanannya. Ketika mengambil nasi yang biasanya dua centong, kini ia hanya mengambil setengah centong saja. Setelah makan ia bertambah lapar. Bagaimana tidak, ia yang biasanya hobi makan kini malah melarikan kekesalannya dengan tidak makan apa pun malam itu.perutnya berbunyi saat tengah malam. Cacing-cacing dalam perutnya protes. Tidurnya pun gelisah, matanya tak mau terpejam, ia membayangkan banana split yang kemarin masih tersisa setengah. Ia menyesal, harusnya menghabiskannya. Tak habis-habis gerutu dalam hatinya. Dengkus napasnya keras terdengar, membuat Dino pun terbangun dari lelapnya. “Kenapa, sih, Yang. Dari tadi gelisah terus? Mau itu, ya?” “Ih, Mas, ini. Aku, tuh. Laper.” “Kenapa tadi gak makan?” “Aku gak mau makan malam lagi.” “Bener? Masak mie rebus enak, nih, kayaknya.” “Ahhh, Masssss.” Ia menatap mata suaminya yang kini tengah tersenyum menggoda. “Iya, ya, enak kayaknya. Ah enggak, gak boleh kalah. Harus diet.” “Mungkin kalo aku kasih makan cinta, kamu bisa tidur?” “Itu, sih, maunya Mas Dino.” “Bener? Gak mau juga?” Dino mulai menatapnya dengan mata sendu. Lalu mendekat dan terus mendekat. Bnar saja, malam itu rasa lapar memang hilang. Mungkin, karena aktivitas malam yang membuat Rani lupaakan rasa laparnya. Sebab kelelahan juga, dirinya akhirnya dapt tidur di pelukan sang suami tercinta. Pagi itu, Rani tidak sarapan. Setelah siap untuk berangkat kerja ia hanya membawa sebutir apel untuk camilan, cepat-cepat ia menutup pintu kulas yang didalamnya terdapat pudding, dan cake tiramisu cokelat. “Rani, kamu gak sarapan? Semalam juga gak makan, kamu gak laper?’ “Laper, Mas, tapi aku udah bawa apel buat camilan di kantor.” “Tpi, seharusnya kamu tetap sarapan, loh, kamu kan mau aktivitas.” “Gak apa-apa, Mas. Lagian aku kan kerjanya Cuma duduk depan computer seharian, pasti gak kerasa deh, anggaep aja puasa.” “Puasa juga ada waktu sahurnya loh.” “Enggak, ah. Udah Yuk, Nanti terlambat lagi.” Setelah mengecup kedua buah hatinya, Rani menggandeng Dino yang terus menatapnya khawatir. Di kantor, belum satu jam ia duduk di depan meja kekrjanya. Rasa lapar kembali menyerang. Teringat akan apelnya, ia segera melahap buah itu. Akan tetapi, ia tidak merasa kenyang. Seharian bekerja ia tidak konsentrasi. “Rani, makan, yuk?!” ajak Tia dari bagian RSD. “Yuk, laper, nih.” “Makan Mie Ayamnya Mas Min yang di perapatan itu enak deh kayaknya.” “Ikut dong, sela Sri dan Santi yang kebetulan lewat. “Gak jadi, deh Tia. Gue titip aja.” “LOh, kamu kan suka banget sama Mie Ayam Mas Min, apalagi kalo pake toping ceker ditambah angsit gorengnya.” “Ah enggak-enggak, gue lagi diet.” “Serius, nih?” “Iya, tolong belikan saja roti sobek rasa stroberi di LOveMart, ya. Oya, belikan juga es jeruk tanpa gula di Mas Min.” Rani menatap roti, dan esjeruknya. Ia memakannya dengan membayangkan kah mie ayam yang hangat dan segar, mie yang kenyal, belum ditambah topinng— “Eitsss, jangan dibayangin, ini juga enak, kok.” Liirh Rani menatap amakanan di depannya dengan sedih. Sisa waktu kerja berikutnya Rani tak berhenti sendawa. Kepalanya mulai pusing. “Kok, pening, ya? Apa karena aku kurang tidur?” tanyanya pada diri sendiri. Tak menyadari perutnya lebih banyak kosong daripada diisi. Pulang dari kantor ia merasa sangat lelalh, sebelum tidur ia hanya makan lagi sebuah apel.  Tiga hari Rani terus melakukan hal ini, ia merasa sangat tersiksa. Makanan yang masuk tak memuaskan rasa laparnya, pagi ketiga ia mulai muntah asam. Kepalanya sering sakit, dan konsentrasinya buyar, beberapa pekerjaan sengaja ia tunda, sebab tak kuat mengerjakaannya. Dua hari berikutnya, lambungnya terasa perih, ia mengabaikan rasa sakit tersebut, dan di hari ke enam, wanita itu pun, ambruk!  Untung dirinya tidak sampai masuk rumah sakit. Setelah beristirahat di kliknik kantor, ia diperbolehkan pulang setelah Dino menjemputnya. Laki-laki itu tak menatapnya, a fokus mengendarai mobil, Rani tahu, suaminya saat ini pasti sedang marah sekali. “Kan sudah dibilang, gak usah diet-diet segala!” “Mas, gak ngedukung kalau begini, aku, kan, melakukan ini untuk kamu juga.” “Iya aku ngerti itu, tapi kalo pada akhirnya malah sakit, yang rugi siapa? Kalo mau diet, dietlah dengan cara yang benar, jangan memaksakan diri hanya makan sedikit, atau malah tidak memakan apa pun.” “Iya, Mas. Maaf.”   Rani menanggapi suaminya dengan lesu, dalam hati ia membenarkan omongannya. Akan tetapi, ia harus menurunkan berat badannya ini.   “Kata dokter, maag kamu kambuh, dan terkena gejala typus.  Dia ngelarang untuk makan atau minum yang asam. Selain itu, harus makan tepat waktu, tidak boleh terlambat. Kalo belum masuk jam makan, tapi kamu udah laper, dianjurkan untuk ngemil.” “Apa! Ngemil, Mas? Terus program diet aku gimana?” “Kamu tetap boleh diet tapi dengan cara yang benar, cemilan yang dimaksud di sini adalah cemilan sehat, seperti roti gandum, oatmeal, atau buah-buahan. Sebab kadar gula dalam darah juga harus tetap dijaga, karena kalo kekurangan gula, badan bisa lemes, makanya kamu pingsan." “Begitu, ya?” “Kamu harus menyayangi diri sendiri, Sayangku. Kalo kamu menyiksa diri kayak gini bukankah itu sama saja dengan zolim.” “Iya, Mas. Maafkan aku, ya.” “Kamu mau membuktikan apa, Rani? Apa gak cukup aku yang sayang banget sama kamu, masa kamu gak sayang sama diri sendiri.” Perempuan itu merasa terharu dengan perkataannya, tanpa berkata apa-apa dipeluknya lengan Dino dengan erat.  Laki-laki itu pun membalas dengan mengusap kepalanya dengan lembut. “Sudah-sudah, sampe dir umah nanti kamu istirahat, ya. Aku masih ada meeting, tadi Boss ngasih izin, jadi rapat di undur.”   Rani pun mengangguk patuh, semua perkataan Dino tidak ada yang salah sedikit pun. Sesampainya di rumah, sang suami membawanya ke kamar setelah ia membersihkan diri. Setelah melihat Rani menghabiskan sup hangat dengan sedikit nasi dan minum obat, pria itu mengecup keningnya, lalu keluar kamar. Sambil memandang punggungnya Rani pun mendesah, merasa malu pada diri sendiri. Betapa rasa percaya dirinya justru hampir saja mencelakakannya. Tiga hari kemudian ia sudah merasa sehat, rasa nyeri pada lambung juga sudah jauh berkurang. Wanita itu memberanikan diri untuk menimbang lagi, dan angka pada timbangan bergeser menunjukkan angka 76 kg. “Hanya 2 kg!” jertnya tertahan. Ia duduk di atas pembaringan pasrah, melakukan diet berat selama satu minggu hari, ditambah sakit selama tiga hari, ternyata tidak terlalu membuahkan hasil yang signifikan. Bukannya kurus malah sakit dan tersiksa. Akan tetapi, Rani muali berpikir, selama ia sakit dan istiraha di rumah, Dino karena kesibukannya justru sering pulang larut malam, dan jarang menyentuhnya. Rasa curiga kembali menghantui, apakah ada wanita lain di hati sang suami. Ting! Notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya. Delapan pesan masuk dari nomor tak di kenal. Rani membuka pesan tersebut. Foto-foto Dino dengan seorang perempuan yang jauh lebih ramping dan cantik menghiasi papan pesan. Wanita itu membuka satu persatu dengan rasa marah. Meski foto-foto tersebut hanya menunjukkan kebersamaan saja, tetapi Dino tampak tersenyum bahagia bersama perempuan yang tidak pernah dikenalnya itu.   = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN