[ 02 ] Infermmitten Fasting

1623 Kata
Setelah sekian lama berkutat di depan cermin, akhirnya Rani memutuskan menggunakan gamis bermotif tartan dengan warna gradasi biru dan hitam guna menghadiri arisan. Selain setuju dengan pendapat Dino, bahwa lekuk tubuh sebaiknya memang disimpan hanya untuk sang suami seorang, ia juga harus menutupi kelebihan lekuk lain yang tak diinginkan.   Setelah mematut-matut diri sejenak, ia harus puas dengan penampilannya yang tetap tampak elegan, dalam hati ia bersyukur paling tidak wajahnya masih belum berubah meski telah berumah tangga.   Setelah memarkirkan mobil di depan Café Teh Rosse, tempat yang telah ditentukan sebagai titik kumpul arisan sore itu, wanita yang menggunakan hijab berwarna biru muda itu segera memasuki café yang bergaya vintage dan instagramable yang sedang naik daun di kotanya.   Lambaian tangan beberapa rekan kerja wanita yang telah datang menyambutnya. Tak lama, suasana tempat itu serta merta ramai dengan cengkrama dan canda empat belas orang anggota arisan yang kesemuanya adalah pekerja di kantor BUMN yang sama, mereka hanya berbeda divisi saja.   Obrolan masih berlanjut meski berbagai macam makanan telah tersaji di depan mereka. “Jeng Rani, makin gemuk aja, nih, tambah makmur agaknya,” seloroh Santi, kolega Rani di Divisi Finance. “Aamiin … Mbak. Sebenernya saya bisa kurus, kok, cuma takut disangka gak bahagia,” kilah wanita yang tengah menyendok nasi plus lauk-pauknya itu. Ia berusaha tersenyum dan tampak biasa saja, meski canda dari temannya satu itu sedikit mengganggunya. “Ha ha ha ... Jeng Rani, ini bisa aja.” Santi melambaikan jemarinya sembari dengan sengaja menunjukkan koleksi perhiasan barunya. “Loh, iya, ‘kan, Mbak? Sing, penting aku sudah laku,” sahut Rani dengan nada bercanda. Mereka pun tertawa bersama, yang lain turut tertawa mengiakan. Sekejap kemudian, obrolan berganti jalur mengomentari cincin berlian baru milik wanita bergamis cokelat tua itu.   Sebenarnya memang miris, di antara teman-teman kantor tubuh Rani memiliki tubuh paling gemuk. Seringkali menjadi bahan ledekan. Namun, wanita itu selalu menengahinya dengan canda tawa, baginya hal tersebut tak masalah selagi dirinya memang berbahagia dengan kehidupannya sekarang. Jika dibandingkan dengan seorang koleganya yang lain di Divisi Distribusi, Sri. Ia baru saja menjanda. Rani tentu merasa bersyukur. Obesitas? Tentu bukan masalah besar.   Angel, salah satu temannya di Divisi HSSE, baru saja memasuki café. Riuh suara wanita-wanita itu mengelukan dirinya yang terlambat datang. Perempuan yang lebih muda dua belas tahun dari Rani itu datang dengan mengunakan rok tutu berwarna pastel, dengan kaos kasual bertangan pendek berwarna senada, dan dipadu dengan sepatu kets berwarna putih. Si bontot di kantor itu, berjalan dengan malu-malu. Meski tak terlalu cantik, postur tubuhnya yang langsing gemulai segera saja menjadi sorotan. Ada sedikit rasa iri di hati Rani, sebab gadis itu memiliki bentuk tubuh yang diidamkannya sekarang.   Tari langsung mempersilakan gadis dengan rambut lurus sepinggang itu, seraya bertanya pada Angel yang dengan segera duduk dan memakan sepotong kentang goreng. “Ngel, aku perhatikan sekarang kamu agak kurusan, ya?” tanya Tari sambil memperhatikan dengan saksama tubuh ramping perempuan muda itu. “Iya, nih, Bu Tari, saya lagi coba diet ala Deddy Corbuzier itu, loh. Ternyata berhasil,” jawab Angel tak menutupi kebanggaannya. Rani yang duduk di depan mereka pun tertarik dengan obrolan keduanya. “Memang dietnya seperti apa, Ngel?” tanya wanita itu antusias. Angel berpaling dari Tari dan menanggapi Rani. “Nama program dietnya metode OCD, Bu. Kepanjangan dari Obsessive Corbuzier’s Diet, sistemnya infermmitten fasting gitu.” “Caranya gimana, tuh?” tanya beberapa teman lain ikut tertarik. “Mudah, kok. Bebas makan dan minum apa aja setiap enam, delapan, atau dua belas jam sesuai dengan kebutuhan kita. Tapi … selain pada jam makan, tidak boleh makan lagi, hanya boleh minum-minuman tanpa kalori seperti air putih, teh pahit, kopi pahit, atau minuman tanpa gula lainnya, begitu seterusnya.” “Wah! Kayaknya menarik, nih, programnya. Gak nyusahin,” sahutku bersemangat. “Eits, tapi Bu Rani kayaknya gak bisa, deh. Soalnya tidak diperbolehkan untuk wanita hamil atau sedang menyusui.” Angel segera menambahkan informasinya. “Oh, begitu ya?” sahutku lesu. “Tapi, kalo aku udah gak menyusui lagi, aman, dong.” Rani kembali bersemangat, sebab teringat anak bungsunya kini telah berusia 18 bulan. “Memang udah turun berapa kilo, Ngel?” tanyanya kembali antusias.   Belum sempat Angel mengatakan hasilnya, tiba-tiba Santi ikut menyahut. “Gak usah susah-susah Ibu-ibu, sekarang ad acara mudah supaya cepat kurus, gak pake diet, dan olahraga berat.” Perhatian otomatis langsung tercurah pada Santi, akibat kalimatnya yang sangat menarik. “Hari gini. Apa, sih, yang gak instan, apalagi gak perlu capek menahan laper dan olahraga segala.” Ia melanjutkan dengan kalimat yang semakin menggoda para anggota arisan. Rani yang terobsesi semakin antusias, dengan segera ia menanggapi wanita berhijab merah itu.  “Memang bagaimana caranya, Mbak? Boleh dong dibagi ilmunya.” Mata Rani berbinar, merasa inilah jawaban dari kegalauan hatinya sejak pagi tadi. “Gampang aja, Jeng. Suruh suamimu kawin lagi, dijamin pasti kurus,” kata Santi dengan nada mengejek. Ia tertawa puas setelah berhasil mempermainkan pemikiran Rani yang polos. Wanita itu terhenyak mendengar kata-kata tersebut, sementara yang lain ikut tertawa terbahak-bahak, rupanya bagi mereka itu hanyalah kelakar saja. Sedang Rani hanya dapat tersenyum kecut. Banana split, es krim favoritnya tak jadi dimakan.   Rani pulang dengan masih menyisakan rasa tersinggung. Setelah meletakkan kunci mobil di atas meja kaca, ia kemudian duduk setelah membanting tasnya ke atas sofa. Dino yang telah pulang dan tengah bermain dengan anak-anak menegurnya. “Eh, Mama sudah pulang, minta dipeluk, tuh.” Kedua anak mereka langsung mendekati sang ibu dan memeluknya, meski masih sedikit kesal ia membalas pelukan keduanya dengan sayang. Dino menatap mata istrinya yang tampak sedih.   Setelah Mbok Yah, mengajak kedua anak mereka untuk makan malam, Dino mendekati Rani yang masih tampak murung sejak pulang arisan tadi. “Kenapa, Sayang, dari tadi manyun gitu, cantiknya nanti ilang, loh,” tegur Dino sambil menatap Rani. “Aku sebel, Mas. Pokoknya aku sudah putuskan mulai besok aku mau diet,” jawab wanita berdagu belah itu.  “Yakin mau diet? Nanti tergoda liat makanan yang enak-enak,” goda laki-laki itu. “Gak, Mas. Kali ini aku serius. Aku takut kalau aku tambah gemuk, nanti kamu malah selingkuh,” sergah Rani, “Astaghfirullah! Omongan macam apa itu?” Dino terkejut mendengar ucapan istrinya yang tidak disangka-sangka itu. “Abis! Teman-teman tadi siang ngeledek aku. Katanya, kalau mau kurus kamu disuruh kawin lagi.” Mata Rani mulai berkaca-kaca, ia tak mau membayangkan hal buruk itu, tetapi kondisi tubuhnya saat ini memaksanya untuk berpikir terus ke arah tersebut.   Dino menggeleng seraya tersenyum prihatin. “Untuk apa kamu denger omongan macam itu?  Asal kamu tahu, ya, walaupun kamu gemuk begini, aku gak masalah, kok. Aku tetap sayang.” Laki-laki itu berusaha menghibur juga menguatkan hati wanita dihadapannya. “Gombal! Tuh, kamu juga mengakui kalo aku gemuk, ‘kan?” Rani melipat lengannya ke d**a, berpura-pura marah. “Lha, kalo aku bilang sekarang kamu kurus itu sama aja aku bohong,” Dino tak tahan untuk tak menggoda istrinya, yang baginya tampak sangat cantik saat ngambek.   Rani gemas dengan komentar suaminya, ia pun mencubit pinggang laki-laki itu. “Ihhh, Mas ini. Pokoknya aku mau diet dan kamu harus dukung, titik!” tegas perempuan itu, tetapi matanya menerawang jauh. Pikirannya kini bercabang. “Aduh … iya, iya aku dukung!” Dino meringis sambil mengelus pinggangnya yang perih. “Udah, omongan semacam itu, gak usah diambil hati. Lagian, gak usahlah sering-sering kumpul sama mereka. Mending kamu ikut kajian daripada arisan, pulang dapat ilmu bukan kesal kayak gini. Terus gimana dengan Adek? Dia masih nyusu, loh.” Laki-laki itu menasehati Rani. Ia ingin menjaga perasaan istrinya itu tetap stabil, sebab baginya wanita seperti Rani tak mudah didapatkan. Perempuan penurut, memiliki pekerjaan yang mapan, mumpuni, jago masak, juga memiliki wajah yang cantik, dan walau sekarang gemuk, dulu istrinya itu memiliki tubuh yang seksi.  “Iya, sih. Aku juga mikirin itu. Terus gimana, dong? Aku nanti tambah gendut, terus kamu ….” Rani menatap laki-laki dihadapannya. Ia tak ingin meneruskan kata-kata yang meyakitkan jika diucapkan itu. “Gini aja. Gimana kalo Adek di sapih aja, lagian kamu juga udah kewalahan, kan, karena harus memompa ASI pas di kantor.” “Bener, Mas? Aku boleh diet?” Mata Rani berbinar, ia tak percaya suaminya mengizinkan dirinya. “Iya, boleh, asal jangan maksain diri, aku gak mau kamu sakit. Oke?!” tegas Dino, ia senang dapat mengembalikan keceriaan istri tercintanya itu. “Oke, Mas.” Senyum bahagia langsung terpancar di bibir wanita dengan rambut sebahu itu. Akan tetapi, senyum itu tak bertahan lama. Ponsel Dino bergetar, tanda ada notifikasi. Dengan segera laki-laki itu mengusap layar, memasukkan sandi untuk membuka aplikasi pesan dari notifikasi tersebut. Ia tersenyum saat membaca pesan dan dengan cepat membalasnya. Ia tampak bersemangat dan senyum di bibirnya tak berhenti tersungging. “Chat dari siapa, Mas?” tanya Rani seraya menggeser duduknya. Sadar istrinya semakin mendekat, ia langsung mematikan layar ponsel. “Ini, dengan rekan bisnis baru aku, dia kebetulan teman sekolah dulu,” ujar Dino sambil meletakkan ponselnya di meja secara terbalik. “Kamu lagi bikin bisnis baru?” tanya Rani sedikit curiga. “Anak kita udah dua, Sayang. Aku ingin nanti mereka bersekolah di tempat terbaik. Zaman sekarang mana ada sekolah bagus yang murah. Aku sedang berupaya agar kehidupan kita semakin mapan dan bahagia kedepannya,” jelasnya seraya mengecup dahi wanita itu sebelum keluar menuju teras.   Meski masih menyisakan sedikit rasa curiga, Rani berusaha berpikir positif. Ia yakin suaminya sangat sayang padanya. Laki-laki sempurna, penyayang, juga bertanggung jawab. Seharusnya memang ia tak pernah mengambil hati perkataan teman-teman kantornya. Mereka mungkin saja iri, karena ia memiliki suami seperti Dino.   Rani mengangguk yakin, lalu beranjak masuk kamar untuk mandi. Akan tetapi, tanpa sengaja ia menyadari sesuatu. “Sejak kapan Mas Dino mengunci HP pakai sandi?”   = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN