Janisa bangun lebih pagi hari ini. Biasanya, gadis itu harus diseret-seret untuk turun dari tempat tidur, tapi tidak pagi ini. Ada antusiasme yang berbeda di matanya, semangat yang ia bangun sejak malam tadi, hari ini adalah hari magang pertamanya. Dan bukan sembarang tempat, ini di kantor suami tempat sendiri, Jevan, adalah sang general manager.
Sebetulnya, Janisa agak sedikit merasa takut. Sebab, ini akan menjadi pengalaman pertamanya terjun ke dunia kerja. Apalagi Greyson Crop bukanlah perusahaan yang kecil. Sudah pasti akan banyak tekanan dalam pekerjaan dan lingkungan di sana. Apalagi status Janisa hanyalah sebagai anak magang. Seringkali dia mendengar cerita dari kakak tingkatnya yang sudah pernah magang di perusahaan besar, mereka lebih banyak mengeluh dan tidak bertahan lama. Tapi semoga saja, Janisa tidak menjadi salah satu dari mereka.
Setelah mandi dan berdandan rapi, Janisa keluar dari kamarnya dengan tujuan menuju dapur. Dia berencana menyantap sarapan ringan sebelum berangkat. Tapi langkahnya tertahan ketika matanya menangkap pemandangan tak mengenakkan di ruang makan.
Jevan sedang duduk santai dengan piring sarapan di hadapannya, satu tangan menyuap roti, tangan lainnya menopang ponsel. Suaranya terdengar pelan, hanya gumaman yang tidak jelas bagi Janisa, tapi senyumnya, senyum itu tidak bisa dibohongi. Bukan senyum basa-basi. Senyumnya yang hangat, tulus... dan sepertinya hanya ditujukan untuk satu orang spesial di layar.
Dia pasti sedang video call dengan pacarnya, pikir Janisa. Bukan tebakan, tapi lebih ke keyakinan. Siapa lagi yang bisa membuat Jevan terlihat semanis itu?
Menahan napas, Janisa langsung membalikkan badan dan menuju pintu depan. Dia tidak ingin mengganggu dua sejoli itu, dan terus terang, dia juga belum sepenuhnya berdamai dengan Jevan. Sejak malam di mana pria itu membentaknya, Jevan belum sekalipun meminta maaf. Atau mungkin memang tidak merasa perlu untuk meminta maaf sama sekali.
Tangannya hampir menyentuh gagang pintu saat suara dingin itu menyapa gendang telinganya.
"Janisa."
Langkahnya terhenti. Dengan napas teratur, dia berbalik pelan dan menatap Jevan tanpa ekspresi. Pria itu kini berdiri di hadapannya, tegap dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Penampilannya sudah rapi dengan jas kerja, dasi terikat sempurna di leher, dan aroma cologne mahal tercium samar. Sempurna. Seolah kejadian semalam tidak pernah terjadi.
"Jangan banyak bicara di kantor," ucap Jevan tanpa basa-basi. “Jangan cerita tentang pernikahan kita ke siapa pun. Jangan bawa siapa pun ke rumah. Dan pastikan semua orang tahu kamu itu single. Paham?"
Ucapan itu tajam, seperti tidak ada satu ons pun kelembutan di antara huruf-hurufnya. Tapi Janisa hanya tertawa pelan, senyum miring terbit di bibirnya.
"Tenang aja," sahutnya dengan nada sinis. "Aku bahkan nggak berniat bangga pamer jadi istri kamu. Jadi, semua yang Mas bilang tadi… udah otomatis bakal aku lakuin."
Perkataan itu menusuk. Ada jeda sesaat di wajah Jevan. Sorot matanya meredup, rahangnya mengeras, dan dadanya terasa sesak. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Janisa barusan terasa lebih menyakitkan dibandingkan bentakan apa pun yang pernah dia dengar.
Tanpa menunggu respons, Janisa membuka pintu dan melangkah keluar. Sementara Jevan tetap berdiri di tempatnya, menatap pintu yang kini tertutup, seolah sesuatu dalam dirinya baru saja retak... tanpa bisa ia jelaskan kenapa.
* * *
Sebuah sedan hitam berhenti anggun di depan gedung setinggi langit berlapis kaca. Pagi itu, cahaya matahari terpancar dari permukaannya, memancarkan aura profesional dan prestisius dari kantor pusat tempat Jevan bekerja—dan tempat Janisa akan memulai magangnya.
Pintu mobil dibuka dari luar oleh sopir, dan Janisa melangkah turun dengan anggun. Rambut panjangnya tergerai alami, disisir jari dengan santai. Ia mengenakan kemeja putih oversized yang dilipat di bagian lengan, dipadukan dengan celana jeans high-waist dan sneakers putih bersih. Sederhananya, tapi ada sesuatu dari caranya berjalan yang menyedot perhatian. Mungkin karena postur tubuhnya yang tegap, atau caranya menatap lurus ke depan dengan kepala sedikit terangkat. Dia bukan siapa-siapa, tapi membawa aura seolah tahu bertahan ke mana ia akan pergi.
Beberapa mata pegawai yang lalu-lalang sempat meliriknya sekilas. Bukan karena berlebihan, tapi justru karena tampilan kasual yang percaya diri, ditambah wajah segar yang kontras dengan ekspresi pagi orang-orang yang masih dikejar tenggat waktu.
Langkahnya mantap melewati lobi, menggosok lantai marmer mengkilap hingga sampai di depan lift. Ia menekan tombol, dan beberapa detik kemudian pintu terbuka, menampilkan beberapa orang di dalamnya yang sibuk dengan ponsel masing-masing. Tak satu pun menyapa. Dunia pagi ini masih dibalut layar sentuh dan musik dari earphone.
Janisa melangkah masuk, berdiri dengan posisi netral di tengah lift. Di dadanya, jantungnya berdetak cepat. Sedikit gugup, sedikit penasaran. Dia tahu apa yang dia hadapi hari ini bukan hanya soal magang, tapi juga menyimpan banyak jebakan perasaan yang belum dia pahami sepenuhnya.
Ponselnya berbunyi saat lantai tujuh hampir tercapai. Sebuah pesan dari Kinanti muncul: "Temui aku dulu di ruanganku, ya. Aku kasih briefing sebentar sebelum kamu mulai."
Begitu sampai di lantai tujuan, Janisa melangkah keluar dan segera menemukan ruangan dengan tulisan "HR Division – Kinanti Lestari." Ia mengetuk pintu ringan, dan beberapa detik kemudian, senyum hangat Kinanti menyambutnya.
"Morning, Janisa! Kamu datang tepat waktu. Ayo masuk."
Janisa mengangguk, mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangannya yang tertata rapi. Aroma lilin aromaterapi menyambut hidungnya, memberikan sedikit rasa tenang.
Setelah beberapa menit mendengarkan arahan singkat, Kinanti bangkit dari kursinya. "Ayo, aku tunjukin kamu ke tempatmu sekarang."
Keduanya melangkah keluar dari ruangan dan menyusuri lorong. Janisa merasa tenang—sampai matanya menangkap sebuah pintu kaca dengan tulisan mengkilap:
GENERAL MANAGER – JEVAN BALENDRA
Langkahnya langsung kaku. Matanya membelalak. Oh tidak. Kenapa harus ada nama itu di sini?
Tapi itu belum seberapa. Karena tepat di depan pintu itu, Kinanti berhenti dan menunjuk ke arah sebuah kubikel yang tampak cukup rapi.
"Di sini kamu akan kerja. Janisa, kenalan dulu sama ini—Afif, asisten GM. Kamu bakal bantu-bantu dia langsung, ya."
DUAR!
Janisa menoleh ke pria yang baru diperkenalkan. Afif tampak ramah, berkulit bersih dengan senyum sopan. Tapi isi otak Janisa langsung chaos.
Bantu Afif?
Asisten GM?
GM = Jevan???
Secara teknis… dia sekarang jadi bawahan dari suaminya sendiri.
SIAL!!!!
Mulutnya masih bisa tersenyum sopan sambil menjabat tangan Afif, tapi di dalam pikirannya, Janisa udah lempar laptop, banting kursi, dan guling-guling di lantai.
Apalagi saat dia sadar, meja kerjanya berada tepat di hadapan pintu kaca tempat Jevan Balendra, suami yang bahkan belum minta maaf atas bentakannya, bisa keluar kapan saja. Dan melihatnya. Setiap. Hari.
Selamat datang di neraka magang, Janisa.