Anak Magang Baru

1273 Kata
“Guys, ini Janisa,” seru Afif sambil menghentikan langkahnya di sebuah area terbuka yang dipenuhi beberapa meja kerja dan karyawan yang sibuk di balik layar komputer. “Dia anak magang baru kita. Mulai hari ini, dia bakal bantu-bantu saya. Jadi, kalau butuh koordinasi, bisa langsung lewat saya atau Janisa, ya.” Beberapa orang mengangguk sambil tersenyum ramah. Ada yang bertepuk tangan, ada pula yang hanya menatap sekilas lalu balik ke layar. "Hai, Janisa. Selamat bergabung, ya. Aku Martin, kalau mau ngopi bisa call aku." Martin, salah satu pegawai pria yang memang dikenal suka memangsa adik-adik gemes. Melihat Janisa sebagai anak magang baru, mungkin dia seperti melihat mangsa barunya. Janisa mengangguk kecil sambil melemparkan senyum sopan. Tapi di dalam kepalanya, dia masih belum bisa menerima kenyataan kalau dia bakalan kerja tepat di depan ruangan itu —ruangan dengan nama "Jevan Balendra" terpampang gagah di pintu kacanya. Afif kembali melangkah, dan Janisa menyusul. Mereka melintasi koridor panjang, melihat ruang rapat besar, area pantry dengan mesin kopi otomatis dan kulkas mini, hingga ruang santai yang dipenuhi bean bag warna-warni dan rak buku. “Kalau kamu butuh istirahat sejenak, bisa ke sini,” kata Afif sambil menunjuk area santai. “Kita di sini sedikit fleksibel kok, asal kerjaan beres.” Janisa mengangguk, mencoba menyerap semua informasi dengan wajah datar, padahal pikirannya masih terjebak di satu hal—ruangan GM. Setelah beberapa menit berkeliling, mereka kembali ke meja kerja Afif yang, sayangnya, masih tepat di depan ruangan Jevan. Dan di situlah dia. Jevan Balendra. Sudah ada di dalam ruangannya, duduk dengan postur tegap di balik meja kerja modern. Kemeja putihnya tergulung rapi di lengan, jemarinya sibuk menari di atas keyboard laptop, sementara memperlihatkan matanya menatap layar dengan fokus yang hampir membuat orang lupa bernapas. Tidak munafik, Janisa sempat terpesona melihat Jevan saat ini. Suaminya begitu tampan dan berwibawa. Kalau saja Janisa tidak ingat dengan sikapnya yang dingin, mungkin Janisa akan tergila-gila dengan Jevan. Tapi secepat itu rasa kagum itu muncul, cepat pula rasa kesal kembali menguasainya. Wajah pria itu masih jelas dalam ingatannya saat membentaknya tempo hari. Belum minta maaf. Belum ngomong apa-apa soal kontrak. Dan sekarang… dia canggung seolah-olah Janisa hanya magang biasa. "Sial. Malam ini harus pokoknya gue komplen!" Janisa menggenggam jemari di sisi celananya. “Ayo,” kata Afif sambil memotong lamunan. “Saya kenalin kamu ke Pak Jevan dulu.” “Eh?” Janisa langsung panik. “Nggak usah, deh, Mas. Kayaknya beliau sibuk. Lagian—” "Pak Jevan harus tau siapa kamu, Janisa. Dia bos kita. Dan kamu secara teknis… bakal kerja di bawah dia juga." Afif tidak menerima penolakan dari Janisa. Dia sudah berdiri di depan pintu kaca itu, mengetuk pelan sambil membuka sedikit celah. “Pak Jevan, maaf ganggu. Saya mau kenalin anak magang baru kita.” Janisa berdiri canggung di belakang Afif, setengah bersembunyi di balik tubuh pria itu. Dia bisa merasakan jantungnya berdentam kencang. Dan Jevan… hanya melirik sekilas dari balik laptopnya. Ekspresi datar. Suara klik keyboard pun masih terdengar. Afif menarik napas panjang. "Janisa, ayolah. Sapalah." Janisa tersenyum sambil melangkah maju sedikit. “Saya… Janisa. Pegawai magang baru di divisi Bapak.” Suaranya nyaris terdengar seperti bisikan. Jevan akhirnya mengangkat wajahnya. Tatapan itu. Tatapan yang sangat dia kenal. Dingin. Terukur. Tidak bersahabat sama sekali. "Oh. Oke." Hanya itu yang dia ucapkan. Hanya satu kata, lalu kembali menatap layar. Janisa menahan diri untuk tidak mencakar meja kaca di hadapannya. Afif tersenyum kaku. “Baik, Pak. Kami balik ke meja.” Mereka keluar dari ruangan Jevan. Dan detik pintu tertutup kembali, Janisa mendengus samar. “Dia memang gitu, ya, Mas, orangnya?” Mohon maaf saja, Janisa tidak bisa menahan ekspresi wajahnya untuk berpura-pura menerima sikap Jevan yang tidak profesional. Di luar hubungan rumah tangga mereka, tidakkah seharusnya Jevan berakting sebagai boss yang ramah? Afif melirik ke arahnya. "Pak Jevan memang cuek orangnya, Jan." “Pantesan!” jawab Janisa cepat, terlalu cepat. Afif kembali duduk di kursinya yang bersebelahan dengan kursi Janisa. Satu alisnya terangkat melirik gadis itu. Tumben ada cewek yang tidak buta dengan sikap bos mereka yang menyebalkan. Kebanyakan dari pegawai perempuan di sini tergila-gila dengan ketampanan Jevan walaupun sikap atasannya itu sering bikin bawahan ngusap d**a sabar. Janisa tak menjawab. Dia hanya duduk di kursinya, menatap layar kosong komputer yang belum dia nyalakan. "Yang penting kan ganteng, Jan. Memang kamu enggak senang punya atasan ganteng dua-duanya?" Kening Janisa berkerut. "Maksud Mas Afif?" "Saya sama Pak Jevan, ganteng, kan?" Janisa langsung bergidik ngeri saat melihat Afif yang dengan pedenya mengangkat wajah tengil. Entah berapa tingkat rasa percaya diri yang di miliki pria itu. Afif tertawa kecil. Baru kali ini dia tidak melihat kemunafikan dari sikap anak baru di kantor mereka. Biasanya, kalau masih baru bergabung, mereka bakal iya-iya saja atau bahkan terlihat canggung. Namun, Janisa berbeda. Mereka sudah seperti teman akrab. * * * Jarum jam di tangan Janisa sudah lewat dari pukul dua belas. Perutnya sejak tadi udah keroncongan minta diisi, tapi suara keyboard dan rapat tim di ruang sebelah terus berdenting tanpa henti. Dia melirik Afif, lalu berbisik pelan. “Mas Afif, makan siang yuk. Aku laper banget, asli.” Afif nggak langsung menjawab. Pandangannya hanya melirik pelan ke ruangan kaca di depan mereka. Jevan masih di sana, duduk tegak sambil membaca dokumen di tangan. Ekspresinya serius. Kaku. Seperti biasanya. Afif membalik ke Janisa, lalu berbisik pelan, nyaris seperti kode morse. "Belum bisa. Kita tunggu Pak Jevan keluar dulu." Janisa mengerutkan dahi. "Hah? Emang kenapa?" Afif mendesah pelan, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Janisa. "Intinya, jangan keliatan duluan cabut kalau Pak Jevan belum keluar. Itu semacam... budaya tidak tertulis di sini. Terutama kalau kamu masih anak baru." Janisa hampir mau membantah, tapi dia menahannya. Mulutnya sempat terbuka, lalu tertutup lagi. Iya sih... dia anak magang, punya kekuatan apa untuk membantah atasan. Menit demi menit lewat. Lima menit. Sepuluh. Dua puluh. Jevan masih di tempatnya. Tidak bergerak. Bahkan air mineral di mejanya pun tidak disentuh. Afif akhirnya berdiri. "Saya coba tanya ke dalam, ya. Tunggu di sini." Janisa mengangguk malas. Tak lama kemudian, Afif kembali dari ruangan kaca itu. "Dia bilang nggak usah dipesenin makan. Kita boleh keluar." “Yes, akhirnya!” Janisa langsung bangkit sambil mengambil dompet dan ponselnya. Mereka melangkah menuju kafe kantin di lantai bawah. Tempatnya cukup nyaman—desain industrial modern, dengan bangku kayu panjang dan aroma kopi yang menyeruak dari pojokan. Suasananya agak ramai, tapi nggak terlalu bising. Baru saja duduk dan memesan sandwich masing-masing, seorang pria tinggi dengan hoodie hitam datang dan suara Afif spontan manggil. “Eh, Refal!” sapa Afif. "Sini, kenalin. Ini Janisa, anak magang juga. Dia gabung baru hari ini." Refal duduk di kursi sebelah Janisa dan tersenyum ramah. "Halo, Refal." Janisa lantas menjabat sesaat tangan besar itu. "Janisa." "Refal itu anak IT, jadi kalau ada masalah di sistem. Kamu cari dia aja." ujar Afif kemudian mengambil suapan pertamanya. Janisa manggut-manggut. "Lo dimana? Finance?" tanya Refal ikut penasaran. "Dia bawahan gue. Asisten." Afif yang menjawabnya sambil mengangkat dagu seakan bangga. Refal berdecak. "Masa asisten punya asisten." katanya mengejek. Walaupun secara karir dia dibawah Afif, tapi soal pertemanan mereka, jangan dipertanyakan lagi, udah kayak seumuran. Akrab banget. "Kalo enggak percaya tanya aja tuh sama anaknya." balas Afif. "Iya, gue staffnya Mas Afif." Rahang Refal langsung terjatuh tatkala Janisa mengeluarkan suaranya. Dengan dramatis pemuda itu bertepuk tangan. Merayakan Afif yang akhirnya memiliki rekan kerja. "Berarti udah enggak ngeluh lagi, Bang. Kerja ada yang bantuin kan sekarang." goda Refal. Benar, biasanya dia yang menjadi pendengar saat Afif kewalahan dengan pekerjaannya. "Kata siapa, bisa jadi kerjaan gue malah makin banyak. Lihat aja tuh mukanya Janisa, kayak enggak memungkinan banget kerjanya bener." kata Afif lantas Refal tertawa kenyang, sementara Janisa melotot sebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN