3. Rapuh

1349 Kata
Pernikahan mengharuskan setiap gadis beradaptasi dengan keluarga barunya. Sementara aku, sudah biasa di sini. Lah, iya. Orang menikahnya dengan keluarga sendiri. Adaptasinya mungkin dengan peran baru, sebagai istri dan menantu. Seperti pagi ini aku menyiapkan sarapan. Sebenarnya ini bukan hal sulit, karena memasak memang kesenanganku. Hal yang tak pernah aku lakukan dulu saat menjadi adik selain tidur bersama, adalah menyiapkan semua kebutuhan Mas Ivan. Termasuk mengurus pakaiannya bahkan underware. Dari mencuci dan melipat, hingga tertata rapi ke lemari. Parahnya, aku sampai hafal ukuran dalamannya. XL. Ups! Masalah ranjang, jangan ditanya! Kami tidur dengan jarak yang jauh dan selimut yang berbeda. Biasanya pengantin baru itu mesra, menempel kayak prangko. Nyaris tak bisa lepas. Ini mah boro-boro. Berpegangan tangan pun rasanya aneh. Masih merasa canggung. Seusai menyiapkan sarapan, aku kembali ke kamar. "Nda, kaus kaki di mana?" tanya Mas Ivan saat aku baru saja masuk. Ia sedang mengancingkan kemejanya. Aku mencari di lemari, lalu memberikan pada Mas Ivan. Kaget? Tentu tidak. Sebab aku sudah hafal karakter mereka. Untungnya mengancing baju pun, tidak harus aku bantu. "Dasi, Nda?" Aku ambil satu dari gantungan dalam lemari, kemudian memberikannya. "Bukan yang itu." Kuhela nafas, rasanya ingin kukatakan makanya ambil sendiri. Namun, istri yang baik itu harus sabar. Sekarang kuambil semua, beserta gantungannya. Biar sama-sama puas. Eh? "Nih, pilih sendiri!" "Pinter." Ia menepuk kepalaku, pelan. Aku memutar bola mata, malas. "Pujian terdeteksi, berisi modus." Ia tertawa dan tampak sangat baik-baik saja. Aku penasaran sampai kapan ia bisa menyembunyikan kerapuhannya itu. ** Setelah Mas Ivan berangkat ke kantor. Aku duduk di sofa ruang tamu, asyik berselancar di sosial media. Sepertinya topik tentang keluarga kami, masih hangat-hangatnya diperbincangkan. Aku tak habis pikir, kok ada manusia yang tega mengolok penderitaan makhluk lainnya. Di belahan dunia mana pun kita berpijak, tipe orang seperti itu pasti selalu ada mewarnai kehidupan. Sudah jadi hukum semesta. Dan aku, tipe manusia yang baperan menyikapinya. Bagiku mereka benar-benar tak punya perasaan. Meski begitu hidup akan terus berjalan, putarannya hampir mirip dengan roalercoaster. Kadang berada di puncak, bahkan seperti saat ini, kami sedang berada di titik terdasar. Akan ada masanya di mana gosip akan berganti dengan topik panas lainnya. Jadi harus sabar dalam menanti pergantian itu. Sampai kapan? Entahlah! "Nggak usah buka f******k dulu, Nda," kata Mama yang baru saja duduk di sisiku. "Eh, Ma. Iya." Aku meletakan ponsel ke meja. "Nanti kalau sudah bosan, netizen bakal berenti sendiri." Yah, maha benar netizen dengan segala bully-annya. Aku jadi kepikiran sama Masku, pasti di kantor juga jadi bahan gosip. Kan kasihan. Apa kata mereka? Di tinggal kabur pengantin, terus nikahnya sama adik sepupu. Resepsinya batal dan .... "Kenapa, Nda?" Aku sedikit tersentak. "Nggak pa-pa, Ma. Cuma kepikiran Mas Ivan aja. Gimana ya, di kantor?" Mama membuang nafas, "Ivan itu orangnya santai, kalau cuma masalah digosipin. Udah. Nggak usah pusing-pusing. Kalau semua dipikirin, bisa stres." Mama memberitahu. Aku mengangguk. ** “Es krim vanila?" Aku tersenyum manis pada sepupuku. Ia baru saja pulang dari kantor, sedang aku baru saja masuk ke kamar. Kuulurkan es krim yang baru saja dibeli dari toko dekat rumah. Menatap hangat penuh binar. Berharap menularkan sedikit gairah hidup untuknya. Mas Ivan ikut tersenyum seraya berterima kasih, saat menyambut es krim dariku. Lalu kami duduk di lantai beralaskan karpet, menikmati manisnya es. Andai hidup kita berdua semanis ini, Mas. Eh? "Kalau mau cerita, aku bisa jadi pendengar yang baik, kok, Mas. Kata orang, sakit di dalam itu nggak baik ditahan. Bisa-bisa jadi penyakit." Keningnya berkerut, "sok tau banget, sih." Ia malah mengekeh, "teori dari mana? Mas baik-baik aja. Baik di luar apalagi di dalem." "Ah ... udah lah, nggak usah bohong. Mas pikir aku nggak tau? Di luar memang baik-baik aja, tapi di dalam ... sekarat." "Nah dia, nggak percaya. Mau lihat yang di dalem? Biar kamu tau kalau Mas baik-baik aja?" Ia menahan senyum sambil mengangkat alis. Aku yang tadi ngomel, mingkem mendadak. Ya Lord! Yang di dalem, apaan? Kalau dalamannya aja XL, maka .... Aku menggeleng kuat-kuat saat bayangan yang tidak pantas berkelebat di otak. "Kecil-kecil kamu ternyata ngeres." Mas Ivan mengekeh geli sambil menoyor kepalaku. Seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan. Pipi yang terasa memanas, membuatku berdiri, lalu berlari pergi dari kamar. Astaga, otak dan jantungku sepertinya sudah tidak waras lagi. * Mas Ivan itu tipe laki-laki yang tinggi sekali gengsinya. Ia berpura-pura kuat, masih bisa tersenyum dan tertawa. Seolah baik-baik saja dan tak pernah terjadi apa-apa. Hanya demi menjunjung harga diri yang sudah dikoyak oleh orang yang ia kasihi. Poor, Mas Ivan. Lalu senyumnya itu, pasti hanya untuk menyembunyikan hati yang hancur. Menyatakan bahwa ia sedang menahan sakit yang luar biasa. Ya, dia tengah sekarat, karena dipatahkan sepatah-patahnya. Bagaimana rasanya, sudah menyiapkan pernikahan yang mewah, memimpikan semuanya berakhir bahagia. Namun kenyataannya, mempelai perempuan tak kunjung hadir. Ditambah lagi disaksikan oleh orang terdekat, seperti kerabat, rekan kerja dan seluruh keluarga. Sakit, malu. Serta harga diri seorang lelaki terinjak. Setiap kali aku bertanya tentang keadaannya, dia pasti mengatakan. “Memangnya Mas kenapa? Move-on itu masalah kecil!” Atau. "Aku baik-baik aja. Kuat lahir dan batin. Silahkan tes sendiri.” Ah, omong kosong! Dia sangat pandai beralasan, hingga akhirnya aku kehabisan kata-kata. Sehari. Dua hari berlalu, ia memang baik-baik saja. Namun, di hari ke tujuh .... Pagi ini. Setelah selesai menyiapkan sarapan, aku kembali ke kamar. Ternyata Mas Ivan belum juga beranjak dari pembaringan. Masih pulas di dalam selimut. Aku mengerutkan kening, heran. Sebab tidak biasanya dia begini. Aku berjalan mendekat. "Mas, nggak kerja?" Namun, tak ada jawaban. Aku menyentuh kening dengan telapak tangan. Tubuhnya terasa panas. "Ya Allah, Mas, panas banget.” Aku khawatir dan sedikit panik. “Sebentar-sebentar, tunggu Mas. Aku ambil kompres sama obat, dulu, ya." Lalu aku bergegas keluar kamar. Setengah berlari menuju dapur. Sampai di ruang makan, semua orang tengah menikmati sarapan. "Ma, punya obat penurun panas, nggak?" ** Setelah memberi minum obat pada Mas Ivan. Aku mengompres dahinya dan memijit kepalanya pelan. Sambil mengamati wajah yang tak pernah berubah. Masih tetap sama seperti dulu, manis. Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka. Mama datang membawa baki berisi segelas air putih dan semangkuk bubur. "Bangun dulu, Mas. Makan dulu," perintah Mama. Aku mengambil handuk yang ada di kening Mas Ivan. Lalu membantunya duduk. "Sini, Ma, biar Amanda aja yang suapin." Aku menyambut mangkuk dari Mama. Lalu mulai menyuapi sepupuku itu. Mas Ivan awalnya menolak, tapi karena Mama mengomel panjang, jadi akhirnya ia manut. "Gimana panasnya turun, nggak?" tanya Mama. "Masih panas, sih. Tapi habis di kasih obat, udah nggak sepanas yang tadi." "Yaudah, nanti kalau panasnya nggak mau turun. Panggil Mama, ya," kata Mama, kemudian pergi keluar dari kamar. "Minum," pinta Mas Ivan. Aku mengambil gelas di baki, yang terletak di meja samping. Lalu menyerahkannya pada Mas Ivan. Namun, baru beberapa teguk. Isi perut Mas Ivan keluar. Aku memapahnya menuju kamar mandi. Membiarkan ia mengosongkan perutnya. Lalu kembali ke kasur, mau tidak mau harus membersihkan bekas muntahan yang terkena seprai dan selimut. Cepat-cepat menggantinya dengan yang bersih. Kemudian ke kamar mandi lagi, memberikan baju ganti untuk Mas Ivan, karena bajunya kotor terkena muntahan. "Ini yang namanya kuat luar dalem, Mas?" ledekku. Dia masih sempat tersenyum, "bisa tolong gantiin, nggak?" Dia melirik ke baju yang ia pegang. Membuatku mundur teratur. Kemudian aku langsung berlari keluar kamar mandi. Asem! * “Gimana sekarang, Mas, udah enakan?” tanyaku pada Mas Ivan yang sedang duduk bersandar di kasur, memainkan ponsel. “Aku beli’in Mas bubur ayam.” Mas Ivan meletakkan ponsel di sampingnya. Lalu menyambut mangkuk bubur yang kubawa. “Masih kerasa sakit,” katanya. “Apanya?” Aku mengernyit menatapnya. “Ini.” Dia meraih tanganku lalu meletakkan di dadanya. Aku membeku, tak karuan rasanya. Lagi-lagi jantung ini berdebar tak menentu. Sesaat kami hanyut dalam tatapan, lalu aku mengerjap dan menarik tangan. Suasana berubah kaku dan kembali canggung. “Aku mau sarapan, dulu, Mas.” Aku berdiri, hendak pergi. Namun tanganku ditahan olehnya. “Amanda,” panggilnya cepat. Aku menoleh, saat itu juga Mas Ivan melepaskan tanganku. “Makasih.” Aku hanya mengangguk. Lalu pergi meninggalkan kamar. Cukup jantung dan otak saja yang bekerja di luar kendali, sedang hati jangan. Tolong, aku mohon ... jangan jatuh cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN