#5

1129 Kata
Tamparan pertama mendarat di pipi kanan. “Anak Sialan!” Lalu, pipi kiri. Pedih dan panas. Air mata mendesak keluar. Namun, tak ada sebutir pun menetes. Seperti matinya harapanku agar hubungan dengan Papa kembali seperti semula, perasaanku juga sama. Rasaku mati. Aku mati rasa. “Ji Eun kurang apa padamu, heh? Dia sangat baik!” Baik? Aku tertawa. Kubayangkan penampilanku seperti orang gila: Tertawa sangat keras dengan rambut berantakan. “Jalang baik mana yang merebut suami orang? Wanita busuk itu menyakiti mamaku hingga akhir hidupnya!” Lagi. Tamparan keras diberikannya lagi. Papa kemudian mencengkeram kerah bajuku dan meninju. Tersungkur tubuhku di atas lantai kayu. Dia menggeram melihatku tak berdaya. Merah di wajahnya semakin matang. Aku mengenalnya. Dia berubah menjadi monster. Monster itu yang selalu menyakiti Mama. Naluriku muncul. Naluri untuk menghindar dari bahaya. Aku berlari keluar, ke arah hutan yang tenang, tapi tersandung jatuh. Papa mengejar dan menerjang. Duduk di atas tubuhku dan melancarkan tinju bertubi-tubi. Dia memang gila. Mama mendapatkan pukulan demi pukulan yang lebih parah dari ini. “Mati saja… mati saja….” Dia mencekikku. Kian lama kian kuat. Aku meronta, mencoba melepaskan tangannya dari leherku. Namun, tidak juga melonggar. Kutatap wajah itu dengan pandangan buram oleh air mata. Kenapa dia sangat marah? Kenapa dia sangat tidak terima? Aku hanya ingin semuanya kembali. Aku hanya ingin…. BUAKKK! Aku berhasil meraih batu besar dan menghantam kepalanya. Aku segera bangun dan menjauh, meloloskan diri. Dia terduduk di atas tanah. Diam. Mematung dan beku. Kepalanya pasti sakit. Darah mengalir dari kepala, merembes turun ke wajahnya. Pandangan itu terangkat. Sorot mata kebencian yang amat kentara. Namun, tak lama, kebencian itu tampak meredup. Dia berdiri, menyeka darah di wajah dan tersenyum melihat telapak tangannya dilumuri warna merah. “Kamu benar-benar sudah besar, Anna. Sudah bisa melawan Papa.” Dia berjalan mendekat padaku. Selangkah demi selangkah, maju. Selangkah demi selangkah pun, aku mundur. Namun, punggungku menabrak pohon. Aku terpojok. Dia berhasil meraihku. Tangannya membelai wajahku yang terasa bengkak. “Maafkan Papa, Anna. Maafkan Papa….” Apa-apaan? Petir menggelegar. Siang bolong begini. Lantas, rintik hujan turun bersamaan dengan air matanya. Tubuh itu jatuh berlutut. Tangisnya makin menjadi-jadi, meraung-raung seperti anak kecil. Petir menyambar di belakang tubuhnya, tapi dia bergeming. Aku membeku. Namun, air mata meluncur satu-dua. Hujan mengguyur kepala. Apa yang telah ‘jalang’ itu lakukan kepada papaku? Papa tampak kesakitan dalam tangisnya. Raungannya menyayat-nyayat. Dia sakit. Sakit jiwa. ** “Maaf.” Winter berjongkok di depanku, menyelipkan rambutku ke belakang telinga lalu membelai wajahku. Tangannya terasa hangat di kulitku yang nyeri dan perih. “Aku harusnya keluar dan menolongmu. Tapi….” “Tapi, kamu adalah buronan.” Aku meneruskan kalimatnya sambil menatap kosong. Papa sudah pergi. Bahunya bergetar saat membuka pintu mobil. Lalu, aku masuk dan Winter sudah menunggu. Dia memapahku duduk dan mengeringkan tubuhku dengan handuk. Kuraih ponsel di meja. Nada tunggu menjawabku. Tidak diangkat. Romeo pasti sedang rapat atau menemui klien. “Kamu ingin ganti baju? Biar kuambilkan….” Aku menggeleng. “Tapi, kamu bisa masuk angin.” Aku menatapnya dan tersenyum. Mengapa dia sangat bodoh? Seluruh tubuhku sudah ngilu. Masuk angin tidak akan seberapa menyakitkan. Dia mengikutiku berdiri. Bahkan mengekoriku yang berjalan ke arah ruang baca, turun ke ruang rahasia. “Kamu minum?” Winter bertanya saat aku meraih sebotol sherry. “Di Korea aku sudah bisa membeli alkohol sendiri.” Winter tampak ingin protes, tapi dia mengurungkannya. Aku mengangkat botol ke arahnya. “Mau membantuku merayakan sesuatu?” Kening pria itu mengernyit. “Merayakan apa?” “Merayakan luka-lukaku.” Aku tertawa. Namun, aku mungkin tidak tampak bahagia saat menertawakan nasib sendiri. Winter malah menatap prihatin seolah aku ini tunawisma yang belum makan tiga hari. “Hei, jangan berwajah seperti itu. Aku baik-baik saja, kok. Sudah jadi makanan sehari-hari, tahu? Papaku memang gila. Dan aku harus tetap waras menghadapinya. Bantu aku habiskan anggur ini, hmm?” Kami naik. Aku memberikan botol anggur padanya lalu menutup kembali lubang itu dan menyamarkannya dengan karpet. “Perapian ini ternyata masih bisa dipakai.” Winter berjongkok di depan perapian sementara aku mengambil gelas sampanye dari dalam rak. “Rara juga bilang begitu. Mau nyalakan?” Winter bergumam menjawabnya. Aku menaruh gelas di meja dekat perapian, lalu menghampirinya, membungkuk melihat perapian. “Bisa?” “Seperti menyalakan api unggun saat kemah, kan?” Aku mengendikkan bahu. “Entahlah. Mamaku yang selalu menyalakannya. Aku tidak pernah memperhatikannya.” Winter menyipit ke arahku. “Dasar Anak Manja.” Aku tertawa seraya berjalan menuju meja. Selagi menunggu dia berhasil menyalakannya, aku tercenung menatap punggungnya. Ini seperti mimpi aneh yang panjang tak sudah-sudah. Penusukan Han Ji Eun, kabur dari Korea dan menyembunyikan identitas, bahkan melompat dari lantai tiga. Dan sekarang aku tertawa bersama seorang buronan kasus pembunuhan. Hidupku heboh sekali, ya? “Hei, aku bisa!” Winter berseru senang, bertepuk tangan karena perapiannya menyala. Tanpa sadar aku tersenyum. Buronan itu tampak seperti anak kecil. Dia sama sekali tidak terlihat baru saja membunuh seseorang. Dia lebih mirip seperti…. uri chingu. Temanku. “Hangat, kan? Sebentar lagi tubuhmu kering.” Dia menuangkan anggur ke dalam gelas, untukku dan untuknya. Aku meraih gelas itu, menggoyang-goyangkan dan menghirup aromanya sebelum menyesap. Pahit dan mengagumkan. “Aku sudah baca tentangmu.” Aku menaruh gelas di atas meja. “Dari Wikipedia. Kau benar-benar artis yang berbakat, ya?” Winter selesai menyesap dan menaruh gelasnya. “Yah—begitulah. Aku hidup untuk bekerja mati-matian. Semua itu adalah hasil kerja kerasku.” “Terus, kenapa menghancurkan semuanya?” Winter bergeming dan menatapku. Sorot matanya menggores perasaanku. Binar mata itu meredup. Dia kecewa? “Aku tidak membunuhnya.” Dia berpaling. “Terserah percaya atau tidak. Tenang saja, lusa juga aku akan pergi.” “Hei.” Aku menyentuh pipinya dengan telunjuk. Hanya ada sebuah meja kecil yang menengahi kursi yang kami duduki. “Jangan marah. Aku percaya, kok.” Dia menoleh dan tampak terkejut dengan sentuhan itu. Aku segera menarik tangan. Kami terdiam. Hanya terdengar gemeletuk kayu di perapian. “Orang tuamu….” Dari Wikipedia aku tahu Winter yatim piatu. “Mereka meninggal bersamaan dalam sebuah kecelakaan.” Aku menunduk dan menyesali sikapku. “Maaf.” “Nggak apa-apa.” Aku mengangkat pandanganku menatap api yang menari-nari. Tubuh dan pakaian mulai kering. Nyeri dan ngilu yang masih teraba. Winter menuang anggur ke dalam gelasnya dan gelasku, lalu mengangkatnya—mengajakku bersulang. “Merayakan luka, kan? Baru saja, kamu juga membuatku mengingat luka di hidupku.” Aku menggaruk belakang telinga. Dia benar. Wajahnya muram semenjak aku membicarakan dirinya. Ting. Gelas kami berdenting. Lantas, seperti api yang tenang, waktu pun berjalan begitu hening. Teguk demi teguk, kata demi kata yang tertelan bulat-bulat, inci demi inci kayu yang lebur terbakar—semua berlalu dalam diam. Lantas, aku lupa kadar toleransiku terhadap alkohol sangat rendah. Aku mabuk dan dan ingat apa-apa. Aku hanya ingat, betapa lembut bibir itu saat menyentuh bibirku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN