Langit-langit kamar adalah benda pertama yang terbingkai dalam pandangan begitu mataku terbuka. Selimut amat berat di sekujur tubuh. Aku menyibaknya, beringsut duduk dan tercenung dengan punggung membungkuk. Sakit di kepala. Aku memejam dan memegangi pelipis yang berdenyut. Saat membuka mata, Winter di depan wajah. Aku nyaris berteriak, tapi Winter menaruh telunjuk di depan bibirnya, menyuruhku diam.
“Kenapa?” Aku berbisik waspada.
Winter menunjuk-nunjuk ke bawah. Aku mengendap mendekati tangga lalu mengucek mata karena tidak mempercayai penglihatan sendiri. Romeo sedang memasak di dapurku. Aku melompati tangga dua-dua menghampirinya.
“Kamu… sedang apa?” Aku berdiri di sampingnya, melihat halaman yang terang demi memastikan sekarang memang pagi.
Sesuatu yang berkuah meletup-letup di dalam panci. Kecap. Aromanya seperti semur daging kesukaanku. Dia mengaduk-aduk isi panci, menyendok sedikit, menyesap, menyicipinya. Aku menelan ludah, menahan agar tidak menetes.
“Berapa gelas yang kamu minum? Sampai tidak bisa bangun.”
Aku menarik pandangan dari semur yang menggoda dan menatapnya. “Kapan kamu datang?”
“Semalam.”
“Kamu menginap?”
Romeo memberiku ekspresi bosan, lalu dengan spatula, menunjuk ke teras belakang tempat menjemur pakaian. “Lihat tidak? Itu bajuku. Aku mencucinya pagi-pagi.”
Aku menutup mulut dengan telapak tangan. “Jangan bilang….”
“Gimana rasanya muntah di kemeja ratusan dolar?”
Aku meringis. “Maaf….”
Romeo bertolak membuka chiller. “Pintu juga tidak dikunci. Kalau aku nggak datang, bisa-bisa kamu keliaran di hutan malam-malam.”
“Maaf.” Aku menunduk dalam-dalam. Meski tidak tampak marah, tapi aku pasti menyusahkannya. Lagi. Di sela-sela makian yang kulancarkan untuk diri sendiri, tiba-tiba sesuatu yang beku menyentuh pipi. Aku mendongak. Romeo menempelkan kaleng minuman dingin.
“Sadarkan dirimu dan hilangkan lebamnya dengan ini. Kamu tidak ingin tampak teler dan bonyok di hari pertama, kan?”
Wajahku beku, tapi warnanya pasti merah sebab jantungku masih sama—berdebar-debar tiap kali dia melakukan sesuatu seperti ini. Aku memegang kaleng itu dan menekan-nekan ke pipi. “Aku berangkat naik bus.”
“Terserah, aku juga datang bukan mau jemput kamu.”
“Terus?”
“Om Jordy datang?”
Refleks, aku berpaling menghindarnya yang tiba-tiba menatapku. Kuletakkan kaleng ke meja dapur dan mataku terus memandang embun-embun pada kulit kaleng—tak berkedip, sebab satu kedip saja akan menghancurkan kaca di bola mataku menjadi berkeping-keping air. Sakit menjalar dari dalam d**a hingga mencekikku.
“Kamu bisa melaporkannya ke polisi atas tindak kekerasan. Meskipun dia orang tuamu….” Romeo menggantung kalmatnya demi melihat reaksiku. Aku memang terkejut. Dia jadi lebih agresif belakangan ini. Biasanya, dia menasehatiku untuk tetap berbuat baik kepada Papa, meskipun dia kejam. Ingat? Dia bahkan mengatai Ji Eun ‘jalang’. Aku tidak tahu apa yang mengubahnya. Mungkin dia mulai kasihan padaku?
Dia mengulum bibir, memilih tidak melanjutkan ucapannya. Lantas, dia meraih sesuatu di atas meja makan. Buket mawar oranye. Sejak kapan ada di sana? Itu untukku. Dia menggaruk belakang telinga seraya menyodorkannya padaku.
“Apa ini?” Mereka mekar sempurna seperti senyumku yang tidak bisa dikendalikan.
“Terimalah. Hari ini pertama kalinya kamu belajar di sekolah formal, kan? Akuilah bahwa cuma aku yang mau mengucapkan selamat padamu.”
Aku menyipit dan mendesis. “Kamu mengatakan itu untuk menutupi rasa gugupmu, kan?”
Dia tampak salah tingkah hingga menyodor-nyodorkan buket itu berkali-kali. “Terimalah dan mandi. Sana, cepat!”
Aku menerimanya seraya tertawa. Lalu, ada masanya, aku terpejam mengendus aromanya. Kehangatan dan ketulusan yang teraba. Kutatap matanya demi menunjukkan rasa syukurku. “Terima kasih, tu-nang-an-ku.”
Kami bertatapan. Musik lembut melantun meski hanya aku yang bisa mendengarnya. Namun, panci yang mendesis merusak segalanya. Romeo gegas mematikan api, melepas celemek dan membentangkannya di sandaran kursi makan. Aku berdehem gugup dan melihat ke arah loteng. Heh? Aku melebarkan mata. Winter menjulurkan kepala dari sela-sela tiang balkon dan melambai padaku.
“Mandi dulu baru sarapan. Kutunggu di luar.”
Aku mengangguk cepat, tersenyum berusaha sewajar mungkin. Winter sudah kembali bersembunyi. Lepas Romeo pergi, aku bergegas naik.
“Hei?” Aku membuka-buka lemari. Dia ada di balik baju-baju yang digantung. “Kamu gila, heh? Kenapa menjulurkan kepala?”
Dia keluar lalu memijat tengkuk dan melakukan peregangan. “Tenang saja. Dia sama sekali tidak menyangka ada orang lain di sini.”
“Kamu belum pergi juga?”
Dia mengangkat dua jarinya dengan wajah polos. “Ini baru dua hari, kan?”
Aku mendengkus. Kesepakatan sialan itu.
“Kamu ada di sini? Tidak di ruang bawah tanah?”
“Ya.”
“Tidur di mana?”
“Di sebelahmu.”
Otakku tiba-tiba ngehang saat mendengarnya, berusaha mencerna dan mengulang lagi ucapannya barusan
Di sebelahku.
“MICHYEOSS-EO?”
“Terus, aku harus di dalam lemari semalaman?”
“Kamu tidak akan mati, kan? Tinggal buka sedikit lemarinya, kan bisa!”
“Tega, ya. Kejam sekali.”
Aku mendelik.
“Oke, oke, maaf. Tapi, tenang, dong. Dia pulas, kok. Sampai pagi, dia sama sekali tidak membuka matanya. “
Aku berpaling menatap luar. Sudah pasti Romeo lelah setelah bekerja seharian. Lalu, aku kembali memelototi Winter. “Jangan berani-berani naik ke ranjangku, hmm? Siapa tahu apa yang akan kamu perbuat kepada gadis yang sedang mabuk, kan?
Dia mengibaskan tangan. “Aku tidak memikirkan itu sama sekali. Yang kupikirkan hanya tubuhku. Aku ini artis, tahu? Penampilanku sangat penting. Aku harus tidur dengan nyaman atau mataku akan bengkak.”
“Aku ini artis, tahu.” Aku mencebik, meniru ucapannya. “Kamu cukup tidak tahu diri untuk ukuran seorang buronan, ya? Benar-benar, deh.”
Pusing, kupijat pelipis. Saat itu tersadar ada plester melekat di punggung tangan. Luka kemarin. Winter menyadari reaksiku dan mengangkat bahu. “Bukan aku. Dia yang mengobatimu. Pipimu juga.” Dia menunjuk pipi sendiri.
Aku meraba wajah. Sebuah plester merekat di situ juga. Aku menggigit bibir kuat-kuat. Dia mencemaskanku.
**
“Rianna Juli.”
Lissa membaca nama yang kutoreh di papan tulis. Ketahuan itu dia meski aku memunggungi dan tak melihat delapan orang di dalam kelas yang lengang ini. Cuma dia yang suka cari gara-gara.
“Aku harus memanggilmu siapa? Rianna, Juli, atau Anna?”
Aku meremas spidol dalam genggaman saat dia menekankan suara pada nama ‘Anna’. Gadis itu menyambutku dengan senyuman miring di wajahnya saat aku berbalik.
“Juli. Panggil aku Juli,” kataku, seraya menekan tutup pada spidol.
Tiga baris meja dan tiga orang tiap barisnya. Kursi kosong di tengah barisan paling kiri. Lissa berada di paling tengah, Romeo di sebelah kanannya. Aku cemas kursi itu untukku. Di sebelah Lissa.
Gadis itu bertanya lagi. “Berarti, kamu lahir di bulan Juli?” Dia memutar-mutar pulpen. Aku menatap ke arah lain, berusaha mengabaikannya. Romeo menulis sesuatu di bukunya. Tidakkah dia berniat membantuku?
“Miss!” Lissa mengangkat tangan. Duh, apalagi sih, ini anak?
“Ya?”
“Bagaimana kalau Juli duduk di sebelahku? Miss tahu, kan, Juli baru pertama bersekolah di sekolah formal dan dia langsung masuk ke kelas jurusan gambar yang tidak ditemui di sekolah mana pun. Dia pasti sulit beradaptasi. Biar dia duduk dekat denganku agar aku bisa mengajarinya.”
Aku mengepalkan tangan dan menggigit bibir. Benar-benar….
“Ide bagus, Lissa.” Miss Orange menyetujuinya.
Astaga, ini baru hari pertama.
“Juli, silakan.” Miss Orange menunjuk kursi di sebelah kiri Lissa dengan telapak tangan yang terbuka. “Nah, mari kita mulai pelajaran hari ini, sambil membantu Juli. Buat dia nyaman di sekolah ini, hmm?” Miss Orange bertepuk tangan dan seisi kelas mengikuti. Lissa bertepuk tangan dan tersenyum penuh arti padaku, seperti berkata, ‘sesuatu yang menarik telah dimulai, Anna. Ini menyenangkan sekali.
“Kali ini, saya ingin kalian menggambar ‘lawan jenis’. Kenapa? Karena sekarang musim hujan.” Miss Orange tertawa akan leluconnya sendiri. Aku ingin tertawa justru karena dia tampak berusaha keras. Wanita bertubuh gempal itu berdehem, tampak lebih serius. “Lawan jenis. Kenapa? Karena saya ingin kalian memperhatikan perasaan saat menggambarnya. “’Pria impian, ‘wanita idaman’, ‘aku ingin kekasih yang seperti ini, seperti itu’—perasaan semacam itu. Saya ingin melihat perasaan yang kalian curahkan.”
Aku terdiam, terlintas sebuah sosok.
Miss Orange menunjukku dengan pena. “Juli, kamu bisa, kan?”
Aku mengangguk mantap.
“Bagus.” Dia kemudian mengumumkan waktunya. Dua puluh menit.
Aku tolah-toleh, melihat Romeo dan yang lain mulai menyesuaikan stand holder seraya menyalakan tablet di atasnya, lantas aku mengikuti mereka.
Lawan jenis, ya?
Tanpa sadar, goresan demi goresan kubuat. Bentuk kepala yang oval, mata berkantung, dagu lancip, senyuman yang tampak sinis dan bibir yang kuwarnai merah. Aku mengulum bibir. Rasanya aku melupakan sesuatu.
“Tampak tidak asing.” Miss Orange mengecek gambarku. “Dia yang sekarang sering muncul di berita, bukan? Tunggu, siapa namanya? Handsome Grim Reaper?”
Aku tertegun. Benar. Kenapa juga aku menggambar dia? Winter. Si Malaikat Maut itu.
“Kamu mengidolakannya?”
Tidak kujawab. Sepotong ingatan baru datang ke dalam pikiran, tepat waktu aku menggambar bibirnya.
Bibirnya.
Bibirku.
Aku….
Astaga, aku baru ingat. Ciuman itu! Aku sontak berdiri. Bagaimana bisa ciuman pertamaku dengan seorang buronan kasus pembunuhan?
“Juli?” Miss Orange bertanya apa ada yang salah.
Aku menengok ke seisi kelas yang berkasak-kusuk. Ke Romeo yang menatap ingin tahu. Aku bisa gila, ini.